Antologi Puisi Pendhapa 14: Requiem Bagi Rocker | 21 April 2012

Tuesday 24 April 2012


Gambar serupa:



Sumber Facebook Sosiawan Leak; di sini dan di sini

* * *
Hadir dalam pertemuan para penyair dan menyaksikan perform baca puisi sangat menarik bagiku. Ada rasa kepuasan tersendiri dalam menikmati aura puisi yang hidup. Hidup sebab ada suara. Hidup sebab diintonasikan oleh sipembuatnya. Dengan berbagai macam gaya dan ciri khas masing-masing. Dengan atau tanpa bantuan alam pengiring dalam hal ini instrument musik. Keyboard, biola, laptop, suara mulut yang disuarakan seperti alat musik layaknya bahkan musik dari handphone-pun jadi pengiring yang manis.

"Panggung Sastra Indonesia: Murtidjono, Chairil Anwar, dan Kebebasan Ekspresi" dengan tema " Ruang Ekspresi dan Elan Kreatif" di TBJT 12 April 2012. Acara dimoderatori oleh Sosiawan Leak dengan pembicara Kusprihyanto Namma dan Bandung Mawardi.

Sabtu malam, 21 April 2012
Orang berdatangan. Mengumpul dalam Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Solo. Mereka adalah orang-orang hebat menurutku. Tahulah saya selalu suka seorang penyair yang benar-benar intens akan dunia sunyinya. Mereka dari lintas generasi yang berbeda dan dari latar belakang yang berlainan pula. Namun spirit mereka dalam sastra khusus puisi sangat besar. Para generasi tua seangkatan pak Murtidjono atau kawan-kawan beliau hadir mencurahkan rasa kerinduan akan sosoknya. Generasi muda baik yang sudah banyak makan garam maupun pemula juga turut hadir menyaksikan ruh spirit mendiang pak Murtidjono. Semangat kebebasan berekspresi. Dari berbagai daerah Indonesia, Medan, Pati, Cilacap, Tegal, Purwokerto, Semarang Magelang, Jogjakarta, Solo, Slawi, Ngawi, Surabaya, bahkan dari pulau Celebes (Sulawesi) pun hadir. Sungguh semangat yang berapi.

Acara "Panggung Sastra Indonesia: Murtidjono, Chairil Anwar, dan Kebebasan Ekspresi" dengan tema " Ruang Ekspresi dan Elan Kreatif" sukses besar. Panggung Sastra bertajuk Requiem bagi Rocker ini diselenggarakan TBJT bersama dengan Forum Sastra Surakarta, Sabtu (21/4), bertepatan dengan Hari Kartini dan 100 hari memperingati Murtidjono. Koordinator Sastra TBJT, Wijang Warek J Riyanto berharap, selain memperkaya khasanah sastra Indonesia, peluncuran buku ini diharapkan menjadi sebuah ziarah dan “doa” mereka untuk Chairil Anwar dan Murtidjono.

Ada 128 puisi para penyair berbagai daerah yang termuat dalam antologi itu. Salah satunya puisi saya berjudul Rindu Tak Bertepi. Sebenarnya saya ingin Merapu Sunyi yang dimuat.

Hadir keluarga mendiang pak Murti. Pak Murtidjono bukan lagi milik pribadi, bukan lagi milik keluarga yang ditinggalkan. Beliau telah menjadi milik publik. Milik kita para penyair dan masyarakat. Bagaimana para penyair hadir mengapresiasi spirit pak Murti. Inilah keterikatan yang indah.

Nurochman Sudibyo Ys duet bareng istri

Kemudian acara pembacaan puisi yang sangat berkesan adalah ketika sepasang penyair membacakan puisi. Dengan diiringi biola yang mendayu membuat ikut larut kedalam. Dan si penyair perempuan tuntas membacakan teks-teks puisi dengan sangat sempurna. Saya suka. Namun ada satu penyair yang bikin semua tertawa dan tergelitik, Syam Chandra Manthiek. Gaduh ramai. Puisi berjudul Hendonesyah sukses menyedot api suara dari para hadirin. Di sela-sela ia membaca puisinya ia melemparkan uang kearah penonton. Hahaha.. Semua tertawa. Uang kertas berwarna hijau, biru dan merah segera lenyap diterkam para macan lapar. Saya menyesal tidak duduk dideretan depan. Barangkali ini penyair yang paling diminati.

Tampil penyair dari Pati dengan diiringi musik dari laptop. Saya suka musiknya. Apakah itu dari Fruity Loops? Saya benar suka musik semacam itu. Ambient, abstrak menusuk kepalaku. Tampil pula rombongan penyair dari Tegal dengan grup Musik Sastra Warung Tegal. Ada juga Musik Asah Manah Slawi, Teater Perisai Purwokerto, dan Surau Kami Semarang.

Acara sampai larut malam. Jam dua belas malam saya beringsut pulang. Meninggalkan pertunjukkan yang luar biasa. Ekspetasinya begitu besar. Ini adalah lompatan bagi para penyair yang puisinya termuat dalam antologi itu. Dan rasanya sangat lebih berkesan apabila membacakan puisinya. Sayang saya tidak ada kesempatan untuk menyuarakan teks-teks saya. Namun saya maklum, mereka lebih bagus dan pantas membacakan puisinya pada malam itu.

Minggu pagi jam sembilan, 22 April 2012
Acara ziarah sastra ke makam Murtidjono dengan 3 rombongan mobil di Karangpandan. Depan pasar Karangpandan samping gereja. Meski ragamu telah tiada, namun spiritmu tetap hadir dalam hati kami, pak Murti.

Sehabis ziarah, saya sempatkan ikut menyimak diskusi tentang seni. Berbagai persoalan dalam dunia seni disampaikan. Ada kelompok Sahita yang saya sendiri kurang tahu keberadaannya. Tapi rasanya pernah mendengarnya. Ada juga kelompok Wayang Kampung Sebelah pimpinan Jlitheng Suparman yang terkenal di Solo. Thompson Hs juga menjelaskan sejarah Opera Batak. Timbul tenggelamnya Opera Batak dan lainnya. Saya tidak pintar dalam hal mengingat.

Bermacam persoalan dalam dunia seni. Proses kreatif dan ketersampaiannya pesan-pesan moral dan sosial dalam masyarakat. Bagaimana dunia seni bisa menghidupi perut sendiri dan keluarga. Punahnya seni pertunjukan Opera Batak. Sejarah dan masalah diulas. Apa itu kelompok Sahita, bengkel kreatif teater, dan Wayang Kampung Sebelah.

Sungguh acara yang sangat menarik. Sungguh pengalaman yang berharga.

Link media: Solopos dan Timlo.net
Sosiawan Leak
Wijang
 
 
 
Bandung Mawardi
 

Ziarah sunyi ke makam Murtidjono

Saya, lima dari kiri

Thompson HS

Salah satu video baca puisi (buram/gelap) di sini (Maniro AF)
Selengkapnya: Antologi Puisi Pendhapa 14: Requiem Bagi Rocker | 21 April 2012

Rindu Tak Bertepi (Seri Dokumentasi Sastra Antologi Puisi Pendhapa 14, Taman Budaya Jawa Tengah, 21 April 2012)

: Murtidjono

/1/
dipelupuk pantaimu mengalir rindu
sampai ke hati
berpasir mutiara berkilaukilau
menghujam hasrat seteguk mimpi

sepasang senyum berpaut ke hulu
menyampaikan kegelisahan yang tertahan
sepasang angsa berpagutan berputarputar di danau
menyulam rindu yang berkesudahan

/2/
sepucuk sunyi
di beranda hati
memungut sisa rindu
yang hitam sehitam kopi

terlukis seraut wajahmu
geletar rindu di dada ini
sampai dikedalaman matamu
dimalam begini kabut mencabuti poripori

begitu gigil rindu tak bertepi
 
/3/
mengental rindu
untuk sepucuk senja yang selalu kunanti
nyanyiannyanyian merdu dari hati
segenap persembahan puisi dan tari
adalah refleksi diri
atas kegelisahan dan kepuasan batin
o, aku berdiri diatas matahari
seorang berkata lantang sambil memegang kertas bertulis penderitaan

musim telah beralih
ini rindu semakin mengikat diri
dan namamu terpaut dalam mimpimimpi sunyi
di dinding sanubari

Jakal KM 14 Jogja, 26 Februari 2012

Selengkapnya: Rindu Tak Bertepi (Seri Dokumentasi Sastra Antologi Puisi Pendhapa 14, Taman Budaya Jawa Tengah, 21 April 2012)

Rahasia Keindahan Puisi

Wednesday 18 April 2012

MENGUNGKAP RAHASIA KEINDAHAN PUISI

Oleh: Huda M. Elmatsani

“Puisi, bagi saya, adalah hasil upaya manusia untuk menciptakan dunia kecil dan sepele dalam kata, yang bisa dimanfaatkan untuk membayangkan, memahami dan menghayati dunia yang lebih besar dan lebih dalam.”
– Sapardi Djoko Damono.


Sebagai sebuah karya seni, puisi tentulah sebuah keindahan yang bisa dinikmati. Ia merekam semangat dari subjek dan membangkitkan emosi. Keindahan yang dapat memukau jiwa pembacanya. Sebuah keharuan. Acep Zamzam Noor menyebutnya, puisi yang membuat bulu kuduk berdiri, disebutnya teori bulu kuduk. Perasaan tersentuh, hati bergetar. Ook Nugroho mengiaskannya sebagai virus yang menularkan wabah. 

Lalu, apa yang membuat puisi indah?

Sementara orang bilang: puisi dapat mewakili ribuan kata, maka puisi indah hanya mewakili satu kata saja: “Wow!”

Keindahan puisi tercipta dari paduan harmonis: pesan yang ingin disampaikan, permainan kata, permainan bunyi, permainan imaji,  kesederhanaan dan kedalaman.

Pesan yang ingin disampaikan: Puisi adalah sebuah lukisan kecil dalam bentuk kata-kata. Puisi bagus adalah puisi yang berisi sebuah pesan dan ditulis dengan bahasa yang tertata indah. Pesan bisa berupa pernyataan, kesan, atau ungkapan emosi. Puisi indah tanpa mengandung pesan, hanyalah sebuah dekorasi. Puisi berisi pesan saja tanpa mengandung keindahan hanyalah sebuah curhat. Puisi, menurut Pradopo, adalah karya estetis yang bermakna, yang mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna.

Pesan butuh sebuah subjek. Tentang apa yang ingin anda sampaikan. Itu bisa saja berupa seorang yang kita kenal, pemandangan, atau gagasan abstrak seperti cinta dan ketuhanan. Kita menyusun pesan dengan memasukkan bagian kedua, yakni konteks, seringkali berupa latar. Konteks memberikan relevansi, keberadaan, lokasi subjek, atau minat lainnya, sehingga pesan dapat secara baik tersampaikan. Pesan adalah kombinasi dua elemen subjek dan konteks, yang menceriterakan pesan tersebut.

Permainan Kata: Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa seni adalah sebuah permainan, dan puisi itu sebenarnya adalah permainan yakni bermain dengan kata-kata. Inti dari permainan kata adalah diksi atau pemilihan kata, termasuk di dalamnya gaya bahasa. Diksi berfungsi, pertama untuk memberikan pengungkapan yang tepat sehingga pesan dapat tersampaikan dengan baik dan benar, kedua untuk menemukan pengungkapan yang cocok dengan subjek dan tulisan secara keseluruhan.

Unsur utama puisi adalah kata, maka diksi berkaitan dengan bagaimana memilih kata paling tepat dan paling sesuai, karena itu penguasaan kosa kata dan maknanya sangat penting dalam menulis puisi, kekayaan akan perbendaharaan kata dan pemahaman mendalam akan maknanya membantu kita dalam membuat diksi yang unik dan khas. Menurut Rendra, penyair harus membedah makna kata hingga tulang-tulangnya. Pisau naluri yang tajam akan menghasilkan kata-kata dan makna yang tajam pula.

Kata-kata adalah segala-galanya dalam puisi, demikian ungkap Sapardi Djoko Damono. Lanjutnya, kata-kata yang berserakan di sekeliling kita dengan artinya yang umum harus menyesuaikan diri dengan pengalaman puitik kita yang khusus. Pengabdian total terhadap kata-kata yang sudah ada, tanpa usaha menundukkannya hanya akan menghasilkan puisi-puisi yang mentah dan membosankan.

Selanjutnya Agus R Sarjono memberikan resep agar puisi tidak mentah dan membosankan, yaitu dengan menghindari musuh-musuh puisi, seperti: (1) bahasanya umum, tidak unik, tidak khas; (2) bahasanya gampangan, makna kata dan kalimat tidak digali secara mendalam, tidak ada penghayatan; (3) bahasanya seperti pengumuman atau reklame, tidak ada sentuhan rasa dan estetika; (4) bahasanya klise atau sudah janda, ungkapan-ungkapan usang, kata-kata yang sudah sering digunakan bahkan sudah dicerai; (5) bahasanya menggurui, seolah segurat ayat dalam kitab suci.

Ada pun mengenai gaya bahasa, bahasa figuratif atau majas, MS Hutagalung mengatakan ia memberikan andil yang besar untuk konsentrasi dan intensifikasi puisi, membuat baris-baris puisi menjadi padat arti dan imaji, sekaligus memberi warna emosional pada imaji tersebut.

Permainan Bunyi: Salah satu elemen estetika paling penting dalam puisi adalah bunyi. Merupakan elemen puisi untuk menciptakan keindahan musik dan kekuatan ekspresif, untuk membangkitkan suasana dan memperdalam makna. Tanpa permainan bunyi, sebuah puisi kehilangan separuh nyawanya. Goenawan Mohamad mengatakan bahwa puisi tidak cuma kata, tak cuma kalimat. Ia juga nada, bunyi, bahkan keheningan.

Faktor permainan bunyi – selain semiotik dan ekstrinsik – merupakan salah satu faktor yang membuat puisi tidak mungkin bisa diterjemahkan. Hanya bisa disadur. Hanya bisa ditulis ulang ke dalam gaya bahasa penerjemahnya. Walau maknanya mungkin masih utuh, namun nilai rasanya bisa jadi tak lagi menyentuh.

Permainan bunyi meliputi asonansi dan aliterasi (pengulangan bunyi dalam kata berurutan), rima (persajakan) dan irama (tinggi rendah, panjang pendek dan keras lembut pengucapan).

Keteraturan dan keselarasan dalam memainkan bunyi tersebut menghasilkan nilai estetika, yang oleh  ahli matematik bernama George David Birkhoff, dirumuskan dengan M = O/C. Di mana M adalah nilai estetika yang terukur, O adalah keteraturan estetika, dan C adalah kompleksitas. Nilai estetika sebuah puisi akan terukur tinggi apabila sebuah rangkaian kalimatnya mengandung lebih banyak asonansi, aliterasi dan rima dibandingkan dengan jumlah katanya (kompleksitas).

Namun sekali lagi, untuk memaksimalkan potensi estetika puisi melalui permainan bunyi, penguasaan perbendaharaan kata dan maknanya sangatlah penting. Agar puisi tidak sekedar serangkaian bunyi-bunyian.

Permainan Imaji: Perasaan-perasaan yang Menyusun Sendiri Petualangannya, demikian Gunawan Maryanto memberi judul kumpulan puisinya. Sebuah puisi adalah imaji atau citra itu sendiri. Yang menggambarkan dirinya di alam pikiran penyairnya, dalam bentuk ilham atau lamunan. Penyair menularkan pengalamannya kepada pembaca. Pembaca yang terinveksi, diharapkan mengalami pencitraan  yang dialami penyair, agar membayangkan hal yang sama, merasakan hal yang sama, bahkan tidak menutup kemungkinan, pembaca mengalami pengalaman yang jauh berbeda. Lebih seru dan haru. Lebih manis dan dramatis.

Menulis puisi adalah merekontruksi citra tersebut ke dalam bentuk rangkaian kata, dengan menggunakan kata-kata kongkret, gaya bahasa personifikasi dan metafora, juga dengan permainan bunyi. Sehingga angin terasa hembusannya, air terdengar gemericiknya, jantung terasa degupnya. Psikolog mengidentifikasikan ada tujuh citra mental – pemandangan, suara, rasa, bau, sentuhan, kesadaran tubuh dan ketegangan otot. Semua dapat dieksplorasi penyair untuk memperkuat makna dan keyakinan akan kebenaran yang diungkapkan penyairnya.

Keberhasilan membangun citra sangat berhubungan erat dengan pengalaman nyata penyairnya, baik yang terjadi di dalam kehidupannya maupun pergulatan di dalam batin dan alam pikirannya. Penyair tidak akan berhasil membangun citra sesuatu yang ia tidak terlibat di dalamnya, apakah itu keterlibatan fisik atau mental. Karena itu, Yevgeny Yevtushenko menyebut, otobiografi penyair adalah puisinya, yang lain hanya catatan kaki.

Di sisi lain, keberhasilan membangun citra akan meninggalkan kesan yang indah atau mengharukan pada diri pembacanya. Jika puisi tidak meninggalkan kesan apa-apa, bisa jadi tidak ada citra yang membekas dalam pikiran pembacanya. Lalu, ke mana sampainya pesan yang ingin disampaikan secara indah kepada pembaca?

Kesederhanaan: Kesederhanaan dalam puisi juga dikenal dengan sebutan pemadatan kata, atau lebih tepatnya pemadatan nilai, yakni dalam serangkaian kata yang sederhana terkandung kedalaman makna, kandungan imaji yang menggugah pikiran dan nilai estetika yang menyentuh perasaan.

Secara teknis, kederhanaan berarti mengeliminasi semua elemen atau detail yang tidak perlu yang tidak ada kontribusinya pada semangat komposisi secara keseluruhan. Terlalu sederhana yang dapat menghilangkan efek-efek puitis juga perlu dihindari. Kita harus menjaga keselarasan dan keseimbangan dalam komposisi untuk menciptakan efek puitis.

Kedalaman: Kedalaman puisi mempunyai arti apa yang tersirat lebih dalam dan luas daripada yang apa yang tersurat. Meliputi kedalaman emosi, pikiran, imaji, makna dan elemen-elemen puisi yang lainnya, yang membuat penikmat puisi tidak bisa berhenti membaca, tidak bisa berhenti merasakan, tidak bisa berhenti berpikir, walaupun puisi sudah berakhir. Seakan maknanya terus menusuk ke dalam jantung pembacanya, hanyut ke dalam alam bawah sadarnya.

Kadang-kadang penyairnya tak menyadari kedalaman dan keluasan makna dari apa yang ditulisnya sendiri. Kadang baru ngeh ketika pembaca mendiskusi atau mengapresiasinya. Sebab penyair, kata Bakdi Sumanto, hanya perantara saja bagi lahirnya puisi.

Untuk mencapai kedalaman, puisi tidak bisa ditulis sepintas lalu. Perlu pengendapan, lalu endapannya digali, lalu diendapkan lagi, digali lebih dalam lagi. Terus dan terus. Itu sebabnya puisi tak pernah selesai, seperti ungkapan Paul Valery, puisi tak pernah selesai, hanya ditinggalkan.

Kedalaman puisi tidak lepas dari faktor ekstrinsik seperti budaya, agama, kejiwaan, lingkungan, zaman, atau politik yang mempengaruhi secara mengakar penyairnya. Faktor ekstrinsiklah yang mengilhami dan memaknai puisi-puisi tersebut. Karena itu, seorang sufi seperti Rumi begitu fasih dan indah mengucapkan puisi-puisi ketuhanan.

Kepiawaian kita memadukan kata, bunyi, imaji dalam kesederhanaan dan kedalaman mengungkap cita rasa seni kita.  Kita dapat menentukan bagian mana yang perlu diperkuat untuk menegaskan pesan kita. Pilihan-pilihan ini bersifat unik dari satu penyair ke penyair lainnya, sangat dipengaruhi kepribadian dan kehidupan penyairnya. Menciptakan gaya penulisan khas seorang penyair. Sebuah puisi dapat dikenali siapa penyairnya dari gaya pengungkapannya. Maka kita bisa tahu puisi indah siapa, kita bisa tahu dia ngikut gaya siapa …

Selengkapnya: Rahasia Keindahan Puisi

Dewi “Dee” Lestari : Hadiah Terbesar untuk Sang Penulis

Tuesday 10 April 2012

Untuk menjadi penulis yang berhasil tentu dibutuhkan perjuangan panjang. Di dalamnya ada kerja keras dan kerja cerdas. Waktu, tenaga, uang, dan  terutama pemikiran,  banyak disedot  untuk pencapaiannya. Tidak ada jalan instant agar seseorang  bisa menjadi penulis sukses.
 
Perjuangan panjang itu tentu pantas mendapatkan hadiah, hadiah dari kehidupan. Lalu, apa saja hadiah-hadiah yang didapatkan para penulis yang berhasil dalam kariernya? Apa pula hadiah terbesarnya? Inilah dia.Pertama-tama, sebuah hadiah yang menyenangkan, yakni  dimuatnya tulisan di koran/majalah. 

Keberhasilan menembus koran/majalah merupakan salah satu tahapan penting sebagai wujud keberhasilan bagi seorang penulis yang tengah memantapkan karier kepenulisannya. Kalau sebuah artikel dikirim ke sebuah media massa dan kemudian berhasil dimuat, duh alangkah gembira rasahanya hati. Hal ini bisa menjadi penyemangat yang luar biasa untuk meraih kesuksesan berikutnya.
 
Hadiah kedua, berupa honorarium yang datang belakangan. Mungkin jumlahnya tidak seberapa, tapi tetap menyenangkan. Honor itu menjadi begitu berharga karena diperoleh dengan usaha keras. Ada kegembiraan kalau pada suatu ketika Pak Pos datang dan berujar: “Pak/Bu, ini ada wesel dari koran/majalah.”
 
Lalu, hadiah ketiga, berupa sms atau telepon dari seorang teman. Dari seberang, seorang sahabat berkata: “Hei, kawan, saya sudah baca tulisanmu di koran/majalah hari ini. Bagus. Selamat ya, sukses.” Mendapatkan ucapan selamat dan dukungan seperti itu, siapa juga tidak senang. Atensi semacam ini bisa menjadi penyemangat untuk meraih keberhasilan-keberhasilan berikutnya.
 
Hadiah keempat? Ini mungkin terbilang hadiah terbesar untuk penulis sekaligus bagi kemuliaan hidup manusia. Novelis Dewi Lestari yang lebih dikenal dengan nama ngetop, Dee, punya pendapat tentang hadiah terbesar ini. Ia bilang, bahwa hadiah terbesar sebagai  penulis adalah ketika karyanya dapat menyentuh, bahkan mengubah hidup pembacanya.

Tentu saja untuk menyentuh pembaca, apalagi mengubah hidup pembaca, bukanlah perkara gampang. Tetapi, itulah hadiah terbesar bagi  seorang penulis yang pantas  diperjuangkan. Siapa mau melangkah mendapatkannya? 

Selengkapnya: Dewi “Dee” Lestari : Hadiah Terbesar untuk Sang Penulis

Menulis Itu Memberi Pengharapan

The founding fathers, Bung Karno dan Bung Hatta, pernah dipenjara. Pramoedya Ananta Toer, juga pernah dipenjara. Para tokoh itu pernah dipenjara dengan berbagai sebab yang berbeda. Tapi, selama di penjara, para tokoh itu, tak pernah putus asa atau mengakhiri perjuangan dan idealismenya. Sebaliknya, mereka tetap tegar, dan sehat-sehat saja, begitu keluar dari penjara. Mengapa? Karena, selama di penjara mereka tetap memiliki pengharapan.
Selama di penjara, mereka tak berdiam diri. Mereka membaca buku, juga menulis buku. Begitu mereka keluar dari penjara, mereka telah menghasilkan satu atau lebih buku untuk negeri ini. Bung Karno menghasilkan Indonesia Menggugat saat berada di penjara Sukamiskin. Bung Hatta melahirkan buku Krisis Ekonomi dan Kapitalisme di samping sejumlah karangan lainnya saat di penjara Glodok tahun 1934. Pramoedya Ananta Toer menciptakan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dan Bumi Manusia, dan lainnya. Luar biasa! Badan boleh dipenjara, tapi jiwa tak bisa. Jiwa para tokoh yang kuat, berani, dan dipenuhi oleh rasa cinta kepada tanah air, tak surut hanya oleh penjara, betapapun menyedihkan penderitaan yang dialami.
Apa artinya semua itu bagi kita? Selalulah memiliki harapan. Membaca memberi jiwa dan pikiran berada dalam state of mind — pinjam isitilah Bung Karno — kendati tubuh dalam keadaan terkurung atau cacat sekalipun. Orang berhasil “melupakan” kepedihan yang dialami dengan terus membaca. Orang juga mampu menjalani hari-hari yang berat, dengan menulis. Sikap asketik tampak jelas di sini. Sikap asketik diwujudkan dengan kecintaan kepada dunia ilmu pengetahuan, kecintaan kepada negeri yang disertai pengharapan untuk lebih baik, dan kecintaan terhadap kegiatan tulis-menulis, yang diekspresikan dengan menulis. Itulah yang dilakukan oleh sejumlah tokoh bangsa ini di masa lalu.
Kini, generasi kita telah diberi banyak sekali kemudahan oleh kemajuan di berbagai bidang. Untuk bisa produktif, banyak fasilitas di sekitarnya yang bisa kita manfaatkan. Kalau ingin mendapatkan ilmu pengetahuan, sudah ada buku yang melimpah, juga ada majalah, koran, dan sumber informasi lainnya. Kalau ingin menulis, kini sudah ada komputer atau laptop. Tak perlu menulis dengan mesin ketik jadul… tak tik tak tik, atau dengan pena. Kalau ingin mengirim naskah, tak perlu mengutus seseorang sebagai kurir berkuda agar tulisan kita sampai di alamat. Kita bisa minta bantuan ke kantor pos terdekat. Dan, lebih praktis lagi dengan mengirim artikel via e-mail. Murah dan sangat praktis. Sekarang dikirim, sekarang sampai. Teknologi sudah mengantarkan kita untuk hidup lebih mudah yang mendorong kita (seharusnya) menjadi lebih produktif.
Dengan berbagai kemudahan, yuk kita menulis dan menulis terus dari waktu ke waktu. Dengan menulis, kita bisa berbagi. Jangan lupa, dengan menulis kita memberikan pengharapan kepada diri sendiri. Cobalah perhatikan, setelah memposting tulisan di kompasiana, kita bisa berharap ada yang segera membaca, juga berharap ada yang berkomentar. Ketika menulis untuk koran atau majalah, kita berharap bisa dimuat. Kita berharap agar tulisan kita dibaca oleh para penikmat koran/majalah itu. Jadi, agar hidup selalu dipenuhi dengan pengharapan, maka marilah menulis. Harapan itu menjadikan kita bergairah menjalani hidup. Harapan memberikan kita tujuan yang menguatkan. Dan, harapan pula mengantarkan kita untuk lebih produktif dari hari ke hari, tak terkecuali dalam dunia penulisan. Pancangkan harapan dan menulislah. Menulislah dan pacakkan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Semoga dengan demikian, kita bisa membuktikan diri telah dan akan terus berkontribusi untuk perubahan dan pertumbuhan yang positif bagi umat manusia, sebisa kita, kecil sekalipun. Selamat berkarya, sahabat.

( I Ketut Suweca , 14 februari 2012). 

Selengkapnya: Menulis Itu Memberi Pengharapan

Catatan Sore : Menulis tentang Menulis

Saya ingin menikmati kesantaian sejenak segera setelah pulang kerja. Saya ambil laptop dan memboyongnya ke beranda depan rumah. Biasanya saya belajar dan membuat naskah di kamar belajar. Tapi, kali ini, untuk mendapatkan suasana baru, saya pilih duduk di beranda, dekat dengan rerimbunan tanaman. Tersedia segelas kopi jahe hangat dengan dua buah pisang goreng. Angin sore bertiup lembut menambah sejuk dan nyaman suasana. Saya pun memulai merenung, apa yang akan kutulis sore ini. Saya mencoba fokus pada topik seputar tulis-menulis.
Pertama-tama, saya teringat dengan ucapan NH Dini tentang resep menulisnya. Sebagaimana dimuat Kompas belum lama ini, novelis kondang ini mengatakan bahwa dalam menulis orang tidak boleh lepas dari kegiatan editing atau koreksi sebelum sebuah tulisan dinyatakan final. Novel-novel NH Dini yang lahir dari kemampuan imajinasi yang kuat dan dalam, tentu saja sudah melalui proses editing tersebut. Dengan pengeditan yang dilakukan secara cermat, niscaya sebuah hasil karya tulis akan menjadi lebih baik. Pelajaran dari novelis wanita ini adalah : jangan pernah mengirim naskah atau meng-upload artikel sebelum kita melakukan pengeditan secara cermat. Pertanyaannya, adakah kita sudah mengedit dengan cermat tulisan-tulisan kita selama ini sebelum dipublikasikan? Saya pun acap teledor dalam hal ini.
Kedua, saya ingin berbicara tentang siapa itu penulis asketik. Asketik bermakna pengabdian total untuk suatu bidang kegiatan. Lantas, bagaimana kaitannya dengan dunia tulis-menulis? Kita segera bisa menebaknya. Benar, penulis asketik itu laksana seorang pertapa yang sedang menjalankan tapanya dalam rangka mewijudkan misi suci (mission sacre). Dengan kata lain, ia menjadi pengabdi terhadap pilihannya sebagai penulis, apapun tantangan dan kendala yang dialami. Ia tak hendak berpaling dari dunia tulis-menulis yang ditekuninya. Dia memiliki komitmen yang kuat untuk itu. Bahkan, seorang penulis asketik merelakan seumur hidupnya untuk memperjuangkan sebuah visi dan misi melalui karya-karya yang tak pernah surut. Pertanyaannya, seberapa dalam kita mengabdikan diri untuk berjuang dan mengisi hidup melalui aktivitas sebagai penulis?
Ketiga, saya tertegun memperhatikan buku-buku tebal yang banyak beredar di toko buku, yang beberapa diantaranya kini menghuni rak buku saya. Buku-buku tebal yang jumlah halamannya di atas 500 halaman itu “bercerita” kepada saya tentang perjuangan penulisnya. Untuk menghasilkan sebuah buku tebal dan berkualitas tentu dibutuhkan kompetensi dan disiplin yang sangat tinggi. Kompetensi itu menyangkut keahlian seseorang dalam suatu bidang. Kandungan isi buku yang dihasilkan mencerminkan kepakaran penulisnya. Disiplin itu menyangkut kemampuan untuk secara kontinu dan konsisten mengumpulkan dan mengkaji referensi serta menuangkan gagasan dari waktu ke waktu. Tanpa disiplin yang ketat, mustahil bisa terlahir buku-buku tebal dan berkualitas itu. Penulis-penulis besar yang dimiliki Indonesia, baik penulis fiksi maupun nonfiksi, mengajarkan kepada kita betapa pentingnya kompetensi dan kedisiplinan itu. Pertanyaannya, adakah hal itu telah tumbuh dan bersemi diantara kita? Saya, sungguh, masih harus banyak belajar.
Nah, demikian dulu sahabat. Saya sudah membuat tulisan ini seperti apa adanya. Walau amat sederhana, namun saya masih berharap semoga ada sedikit gunanya untuk menggugah semangat kita semua dalam menekuni dunia tulis-menulis.

( I Ketut Suweca , 7 Maret 2012)


Selengkapnya: Catatan Sore : Menulis tentang Menulis

Paling Enak Menulis di Malam Hari

Apakah sahabat kompasianer pernah mendengar nama Adi W Gunawan? Ia adalah penulis buku tentang teknologi pikiran. Buku-bukunya berbicara tentang hipnoterapi, teknologi pikiran, dan pendidikan.
Salah satu bukunya yang menarik perhatian dan saya baca dengan serius berjudul The Secret of Minset (2007). Buku berketebalan 273 halaman ini membahas materi tentang memetakan dan memahami belief dan dekonstruksi dan restrukturisasi belief. Buku itu mendapatkan banyak pujian. Penulis buku-buku laris, Andrias Harefa, misalnya, menyatakan bahwa memahami isi buku ini akan ‘berbahaya’, sebab bisa mengubah hidup pembacanya. ”Jadi, jika Anda memang siap berubah, BACALAH,” tulis Andreas Harefa.
Di samping buku yang saya sebutkan di atas, ada judul-judul lainnya yang rata-rata terjual di atas 6.000 eksemplar setiap bukunya. Diantaranya: Born to Be Genius; Genius Learning Srategy; dan Manage Your Mind for Success. Paling tidak ada 18 judul buku yang terlahir dari tangannya.
Apa pandangan Adi W Gunawan tentang dunia tulis-menulis yang ditekuninya? Ia menyatakan, baru bisa merasa nyaman kalau menulis apa yang benar-benar dikuasainya. Bahkan, menguasai materi yang hendak dituliskan itu menjadi salah satu syarat bagi dia dalam menghasilkan buku. “Buku itu akan menarik jika kita mampu menyajikan tema yang dibahas dengan selengkapnya. Kalau kita tidak sungguh-sungguh menguasai masalahnya, akan langsung tampak dalam tulisan,” ujarnya seperti dikutip Kompas (13/3).
Menurutnya, hal yang penting menjadi pegangan adalah disiplin diri. Ia mengaku mengharuskan dirinya menulis setiap hari meskipun terkadang hanya menghasilkan beberapa lembar kertas. “Setiap orang punya mood menulis yang berbeda-beda. Bagi saya, waktu yang paling enak buat menulis adalah malam hari. Saat suasana hening, ide-ide saya mudah keluar. Ini membuat saya bisa menulis dengan cepat. Kalau sudah begini, dalam sehari bisa menulis satu bab,” tambah pendiri Silva Method di Surabaya, suatu lembaga yang melatih teknik mengolah pikiran dengan relaksasi ini. Adi W Gunawan pernah mempelajari teknik peningkatan dan pemberdayaan potensi manusia, khususnya dalam bidang pendidikan, di The Accelerated Learning Institute and Training Centre, Las vegas, AS, tahun 2002.
Adi W Gunawan telah memberikan gambaran kepada kita tentang tiga hal. Pertama, penulis itu perlu menguasai dengan baik materi yang ditulisnya. Kedua, untuk mencapai sukses sebagai penulis, orang harus menjaga kedisiplinan dalam memanfaatkan waktu dengan menulis setiap hari. Ketiga, waktu yang paling enak untuk menuangkan ide adalah pada malam hari, saat suasana hening.

Nah, itulah Adi W Gunawan. Bagaimana dengan Anda? Mari kita terus menulis.

( I Ketut Suweca , 14 Maret 2012). 

Selengkapnya: Paling Enak Menulis di Malam Hari

Menjadi Penulis yang Berani!

Seorang sahabat bertutur tentang nasib tulisannya. Ia mengaku memiliki banyak naskah, baik artikel maupun puisi, yang tak dipublikasikan. Ia bilang bahwa dia tak berani mengirim tulisan-tulisannya itu ke koran karena takut ditolak dan takut ketahuan bodo-nya. Mendapat penuturan semacam itu, lalu saya bertanya, untuk apa artikel-artikel itu ditulis? Ia jawab, disimpan saja, sambil menunggu waktu hingga keberaniannya muncul. Kapan beraninya? “Nggak tahulah,” katanya penuh keraguan.
Ketahuilah, bahwa ketakutan mengirimkan sebuah naskah ke koran/majalah atau juga ketakutan mempublikasikan tulisan ke media sosial seperti kompasiana, banyak disebabkan oleh alasan yang tidak masuk akal.
Mari kita periksa lebih jauh. Menulis dan menulis saja belumlah cukup. Sebuah tulisan perlu bertemu dengan ‘dunia luar.’ Ia butuh ‘pergaulan’. Percuma kalau kita menulis hanya demi menulis alias disimpan di dalam laci. Dengan publikasi, maka ide-ide yang kita paparkan di dalamnya bisa bertemu dengan para pembaca.
Misalnya, kita menulis di sebuah koran dan berhasil dimuat. Jumlah pembaca koran pada umumnya sangat besar. Sebut saja jumlah pembaca koran tersebut 500 ribu orang. Kalau seperempatnya saja membaca tulisan kita, itu sudah lumayan. Berarti 125 ribu orang membaca karya kita. Pengetahuan atau informasi yang kita sampaikan telah masuk ke ruang pikiran pembaca. Secara diam-diam, kita sudah mempengaruhi mereka, minimal ada perubahan : dari tidak tahu menjadi tahu. Atau, bahkan, mungkin lebih dari itu : dari tidak mau menjadi mau melakukan sesuatu, dari tidak percaya menjadi lebih percaya karena kita sudah mempersuasi mereka. Jika menulis itu dilandasi niat baik dan tulus untuk berbagi, berarti kita sudah berbuat amal-kebajikan bagi begitu banyak orang!
Jika demikian halnya, mengapa masih saja ada yang tidak kunjung mempublikasikan tulisan dan memilih menyimpannya? Bukankah menulis itu bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain?
Untuk berani mengekspose sebuah karya, bisa sulit, bisa juga gampang. Bisa sulit, kalau sang penulis diliputi perasaan khawatir yang berlebihan : bagaimana kalau ditolak atau dilempar ke bak sampah oleh redaksi? Bisa gampang, kalau mau dan ada keberanian : kirim saja ke Redaksi, mau ditolak atau dimuat, tidak usah dirisaukan. Kewajiban penulis, ya, menulis dan mengirim karyanya ke media yang diharapkan bersedia memuat.
Ketakutan yang kronis akan berbuah kegagalan. Keberanian yang serampangan pun akan berbuah kegagalan. Jadi, ketakutan yang berlebihan perlu diganti dengan keberanian yang rasional. Tidak sekadar berani, apalagi keberanian yang membabi buta. Membabi buta, maksud saya, misalnya, mengirim sebuah naskah tanpa memperhatikan media apa yang cocok untuk memuatnya, berani mengirim naskah tanpa mengedit sebelumnya, berani menjelek-jelekkan orang lain dan memperuncing SARA. Itu tentu keberanian yang sama sekali tidak diharapkan dan bakal jadi bumerang.
Lalu, bagaimana? Mari perkuat keberanian untuk menulis dengan baik, miliki pula keberanian untuk mengirimkan ke media yang diharapkan akan memuatnya: keberanian yang rasional. Jangan lagi naskah itu disimpan di dalam laci atau di laptop. Percuma. Seperti halnya kita manusia, tulisan itu pun perlu bergaul dengan ‘dunia luar.’

Nah, selamat menulis dan mempublikasikannya ke media.

( I Ketut Suweca , 21 Maret 2012).

Selengkapnya: Menjadi Penulis yang Berani!

Menulis Itu Mencerdaskan

Banyak sekali manfaat yang bisa dipetik dari aktivitas menulis. Sahabat kompasianer sudah jamak menuliskannya. Salah satunya adalah bahwa menulis itu mencerdaskan. Bagaimana bisa?
Menulis merupakan aktivitas mengekspresikan ide atau gagasan. Denga jalan menulis dan mempublikasikannya, maka suatu gagasan bisa sampai ke tangan orang lain atau pembaca. Gagasan itu tentu saja tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus diperjuangkan. Di samping dengan menggali informasi dan pengetahuan sebanyak-banyaknya dan sedalam-dalamnya tentang sesuatu hal, juga melengkapinya dengan kreativitas sehingga melahirkan sebuah artikel yang berisi unsur aktualitas dan orisinalitasnya.
Menemukan informasi atau pengetahuan sebagai modal dasar dalam menulis tak bisa ditawar-tawar. Mesti diusahakan senantiasa oleh mereka yang berprofesi sebagai penulis. Jika tidak, apa yang bakal disajikannya kepada para pembaca?
Bagi saya, dan tentu saja bagi semua penulis, mencari dan mendapatkan informasi adalah hal yang sangat-sangat penting. Itulah sebabnya, hampir setiap hari kita harus sempatkan diri untuk menemukan informasi terbaru, juga pemikiran-pemikiran terbaru dari para pakar atau orang lain.
Untuk mendapatkan informasi atau pengetahuan terbaru, saya menelusuri media cetak dan media online. Untuk media cetak, saya berlanggana Kompas, yang hadir setiap pagi. Ditambah lagi dengan media online yang saya nikmati, yakni vivanews, kompas.com, inilah.com, dan detik.com. Satu media cetak dan empat media online itu sudah cukup membuat saya tahu tentang hal-hal terbaru yang terjadi di dunia ini. Inilah sumber referensi saya kalau hendak menulis. Di samping itu, tentu saja ada buku-buku yang menghadirkan seperangkat teori suatu bidang yang ditulis, sepanjang diperlukan.
Tak cukup dengan hanya bermodal informasi. Tapi, harus ditambahkan dengan modal kreativitas. Maksudnya, informasi yang kita peroleh itu mesti kita ramu sedemikian rupa, dilengkapi dengan pemikiran atau opini kita sendiri, maka akan muncul jenis “santapan” baru yang gurih. Kita bertindak bagai koki yang meracik bumbu dan bahan makanan hingga menjadi hidangan yang sedap dan bergizi. Jadi, kita ramu informasi yang sudah jamak ada, lalu menuliskannya kembali dengan membubuhkan pandangan alias opini kita. Ini sudah cukup untuk menciptakan sebuah artikel. Jika apa yang kita tulis tak beda dengan apa yang sebelumnya ada, yaa, artinya kita nggak kreatif. Bahan-bahan mentahnya boleh sama, tapi kalau diramu dengan cara unik, maka hasilnya pun jadi khas kita dan lezat.
Dengan melakukan praktik penghimpunan informasi dari berbagai media setiap hari, ditambah dengan kreativitas atau pemikiran sendiri, maka kita sudah melatih pikiran menjadi cerdas. Bagaimana tidak? Kita sudah membuat pikiran kita aktif bekerja setiap hari. Bagaikan otot-otot pada tubuh yang kalau dilatih terus akan kian kuat, maka pikiran yang dilatih terus-menerus akan kian cerdas.
Nah, begitu dulu, sahabat. Teruslah menulis, karena dengan demikian Anda semakin cerdas.

( I Ketut Suweca , 18Maret 2012)

Selengkapnya: Menulis Itu Mencerdaskan

Tulis Dulu, Edit Kemudian!

Mengapa proses penulisan sebuah artikel menjadi begitu lambat dan tersendat-sendat? Mengapa aktivitas menulis bisa menjadi biang keladi frustrasi dan menggoda niat untuk berhenti? Adakah penyebab masalah ini sampai-sampai membuat orang enggan melanjutkan menyusun artikel, bahkan mengurungkan niat menjadi penulis sukses? Ternyata, dari beberapa kasus yang banyak dikeluhkan, kesulitannya antara lain terletak pada keinginan untuk menyusun tulisan yang sempurna pada saat memulai menulis, sesuatu yang mustahil diperoleh.
Mari kita bahas lebih jauh. Menulis adalah menulis. Menulis itu bukan mengedit. Itu pasti. Harus dipisahkan antara pekerjaan menulis naskah dengan mengedit naskah. Dua hal yang berbeda, yang tak elok kalau dicampur aduk. Kalau dipaksa dicampur aduk, maka proses penulisan akan berlangsung sangat lambat, dan bahkan bisa membuat penulisnya frustrasi karena artikelnya tak kunjung selesai. Lalu, bagaimana?
Jika kita hendak menulis, ya, menulis saja. Tulislah ide-ide yang dimiliki, baik yang sudah dibuat dalam bentuk outline maupun yang hanya tersimpan di dalam benak. Tulis dan tulis terus hingga selesai. Jangan pedulikan kalau terjadi kesalahan ketik, jangan pula pedulikan kalau belum sistematis penyajiaannya. Pokoknya, tulis dan tulis saja sampai seluruh ide habis tertuang. Jika dalam proses penulisan muncul godaan untuk mengedit, jangan pernah diindahkan. Menulis dan teruslah menulis sampai ide-ide yang ingin dituangkan tuntas. Jangan pernah menghakimi tulisan yang baru lahir dari ruang pikir kita. Tabu!
Usai menulis keseluruhan ide, barulah mulai memikirkan untuk mengedit. Sebelum memulai mengedit sebuah artikel, ada baiknya beristirahat dulu sejenak agar pikiran kita fresh, segar kembali. Kita bisa memilih aktivitas lainnya untuk, sementara waktu, melupakan draft artikel itu. Kemudian, pada saat kembali ke depan komputer, barulah memulai mengedit artikel tersebut. Lakukan secara perlahan-lahan dari awal hingga akhir. Yang diedit mengangkut, misalnya, kesalahan pengetikan, pilihan kata, penalaran, dan sistematika.
Keberhasilan menulis 50 persen ada pada penyusunan draft dan 50 persen lainnya terletak pada kemampuan mengedit. Kemampuan mengedit artikel meliputi antara lain kecermatan berbahasa, ketepatan penalaran, yang dilandasi kesabaran. Kecermatan yang tinggi akan membawa sebuah karya pada tingkat kesalahan yang sangat kecil. Kesabaran yang baik terwujud melalui kesediaan menjalani proses pengeditan secara perlahan-lahan dan berulang-ulang sebelum dipublikasikan. Penulis yang sabar dalam editing akan menghasilkan artikel yang ‘gue banget’. Maksudnya, apa yang dihasilkan merupakan sesuatu yang unik, khas, dan mencerminkan kepribadian sang penulis.
Oleh karena itu, mari menulis dengan, pertama-tama, menulis an sich. Setelah selesai, barulah dilakukan pengeditan secara cermat dan penuh kesabaran. Semoga dengan begitu akan tercipta karya yang ‘bersih’ dan ‘gue banget’.

( I Ketut Suweca , 19 Maret 2012).
  
Selengkapnya: Tulis Dulu, Edit Kemudian!

Penulis yang Kesepian!

Pernahkah sahabat mendengar nama Ajahm Brahm? Benar, Ajahm Brahm adalah seorang biksu penulis buku “Si Cacing dan Kotorannya” yang terkenal dan sangat laris itu. Di samping buku tersebut, ia juga menulis buku lainnya, diantaranya berjudul “Superpower Mindfullness”, dan “Hidup Senang Mati Tenang.”

Pada saat memberikan ceramah bertema “All is Well” yang dihadiri sekitar 5.000 orang peserta di Jakarta baru-baru ini, seorang peserta bertanya, “Apakah Ajahm Brahm pernah merasa kesepian?” Anda tahu, apa jawaban biksu kelahiran London, Inggris ini?

Katanya, “Saya tak pernah kesepian karena selalu didampingi sahabat sejati, yaitu diri saya. Menjelang tidur, saya menyapanya, ‘Selamat tidur Ajahm Brahm… sleep well‘. Kalau bangun pagi, saya katakan salam, ‘Good Morning, me …” “Kalau Anda melakukannya, maka Anda tak akan pernah merasa kesepian,” ujarnya.

Nah, Ajahm Brahm adalah seorang biksu dan penulis yang tak pernah merasa kesepian. Bagaimana dengan Anda, para penulis? Sebagai penulis, apakah Anda pernah merasa kesepian?

Pekerjaan menulis memerlukan lingkungan yang kondusif. Suasana yang tenang dan sepi bisa mendorong penulis untuk berkarya secara maksimal. Secara fisik, mungkin seorang penulis terdorong untuk menyepi dari hiruk-pikuk kota semata-mata untuk berkarya, sehingga sampai ada yang menyewa vila untuk merampungkan novelnya, atau bahkan membuat rumah jauh di pegunungan agar bisa berfokus melakoni perannya sebagai penulis.
 
Bagi penulis, dalam suasana lingkungan fisik yang sepi, terdapat keramaian dan kesuntukan. Artinya, ketika seorang penulis menyepi, sejatinya ia sedang bergabung dan bergumul dengan ‘keramaian ide-ide’ yang bersliweran di dalam ruang pikirnya. Keramaian di dalam pikiran itu membuatnya tenggelam dalam kesuntukan, tak lagi hirau dengan lingkungan fisik di sekitarnya. Ia sudah berada dalam state of mind, saat pikiran berada dalam gelombang gagasan yang bergerak berkelindan dan akhirnya mengalir menuju muara penulisan. Kala itu berlangsung, tangannya terus saja menari di atas tuts keyboard laptop.

Jadi, secara rohaniah, jika sedang menulis, seorang penulis tak akan merasa kesepian. Ide-ide jatuh bagai hujan yang mengguyur pikirannya, membuatnya lupa waktu, lupa tempat, lupa bahwa hanya dia sendiri berada di tempat itu. Dalam keadaan seperti itu, adakah yang disebut dengan kesepian?

 Ajahm Brahm tidak pernah merasa kesepian. Bagaimana dengan Anda?
 
( I Ketut Suweca , 22 Maret 2012).

Selengkapnya: Penulis yang Kesepian!

Merawat Semangat Menulis

Dari para penulis sukses kita belajar betapa pentingnya menjaga konsistensi dalam penulisan. Konsistensi ini sangat menentukan keberhasilan seseorang berkarier dalam dunia tulis-menulis. Kendati banyak orang yang paham betapa pentingnya konsistensi dalam penulisan, tapi tak banyak  yang berhasil mempertahankannya. Banyak kendala dalam perjalanan menyebabkan sang calon penulis sukses urung melanjutkan langkahnya. Dia memilih untuk berhenti karena merasa melakukan sesuatu yang sia-sia, bahkan merasa tidak berbakat sama sekali.

Begitulah kisah para calon penulis yang memilih off daripada melanjutkan mengayuh dayung mencapai pulau tujuan: menjadi penulis yang berhasil. Sebenarnya manusiawi saja kalau orang membatalkan niatnya untuk menjadi penulis, toh masih ada banyak profesi lain yang bisa digeluti dan cukup menjanjikan. Akan tetapi, bagaimana jika tarikan keinginan untuk menulis itu selalu datang dan memanggil-manggilnya untuk kembali menulis? Tapi, apa daya, tarikan itu tak mampu menggoyahkan niatnya untuk kembali. Ia suntuk dengan profesi lain, padahal ruh-jiwanya ada pada dunia penulisan.

Persoalan yang acapkali menjadi kendala dalam penulisan adalah kehilangan semangat menulis saat menempuh perjalanan panjang yang melelahkan. Dalam perjalanan itu, godaan untuk pergi dari dunia penulisan selalu saja ada. Godaan untuk lepas dari komitmen untuk menjadi penulis bisa hadir kapan saja. Bagi sebagian orang, akan memilih keluar saja dan mengikuti niat atau profesi barunya itu. Bagi sebagian lain,  memilih tidak mempedulikan godaan itu. Ia tetap konsisten menulis karena ia menanamkan komitmen untuk menjadi penulis yang berhasil kelak.

Nah, beberapa hal yang bisa menyemangati kita untuk menjaga dan merawat semangat menulis, diantaranya, pertama, jadikan pekerjaan menulis sebagai arena pengabdian. Dengan menjadikannya sebagai arena pengabdian, maka kita akan lebih kuat bertahan dari godaan untuk keluar dalam lingkaran penulisan. Kedua, jadikan menulis sebagai wujud ibadah. Orang memilih banyak cara untuk beribadah dengan menekuni bermacam-macam kegiatan. Kita yang suka menulis, seyogianya menjadikan kegiatan menulis sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan, wujud amal-bakti dan sebagai bukti bakti kita kepada Tuhan dan sesama.

Ketiga, jadikan kegiatan menulis sebagai medan perjuangan untuk mencapai visi hidup. Misalkan, visi hidup kita adalah untuk turut  mencerdaskan masyarakat Indonesia, maka patri-lah visi itu di dalam benak dan wujudkan ke dalam karya nyata. Misalkan, visi hidup kita adalah untuk menjadi penulis profesional, ukir-lah itu di dalam hati dan segera membuatnya menjadi kenyataan.  Ini tantangan! Beranikah kita menyambutnya?

Salam menulis.

( I Ketut Suweca, 1 April 2012).

Selengkapnya: Merawat Semangat Menulis

Mempertimbangkan Waktu Menulis


Tidak kunjung menulis, banyak orang berdalih karena ‘tak punya waktu’. Kesibukan demi kesibukan dalam pekerjaan menjadi biang keladi mengapa seseorang tidak menulis walaupun angan-angan menjadi penulis demikian besar. Kesibukan yang demikian padat menjadi alasan yang bisa diterima dan masuk akal, tentu saja. Yang bersangkutan menetapkan skala prioritas pertama pada pekerjaan-pekerjaan lain selain menulis.
Ketiadaan waktu menulis, sejatinya hanyalah sebuah persoalan komitmen. Ya, komitmen untuk menetapkan seberapa penting aktivitas tulis-menulis itu bagi kita. Kalau menulis kita pandang bukan hal penting, maka pantas saja kalau kita tidak mengalokasikan waktu untuk aktivitas ini dan berdalih tak punya waktu.
Tetapi, kalau kita memiliki komitmen yang besar, maka kita akan jadikan pekerjaan menulis sebagai prioritas utama dan senantiasa ada waktu untuk menulis. Jadi, komitmenlah yang mengantar seseorang untuk menetapkan skala prioritas terhadap pekerjaan dan mengalokasikan waktu untuk pekerjaan itu. Jika kita memiliki komitmen menulis – untuk menjadi penulis –, pastilah kita mampu menyisihkan waktu. Maka, tak ada istilah ‘tak punya waktu’, kecuali untuk mereka yang tak punya komitmen atau yang berada di barisan orang-orang malas.
Bagaimana mengalokasikan waktu menulis? Pertanyaan pokoknya, pukul berapa di antara jadwal pekerjaan kita yang bisa dialokasikan untuk menulis: pagi, siang, sore, atau malam? Ada penulis yang memilih waktu pagi-pagi sekali menulis artikel atau buku. Sebelum matahari terbit di ufuk timur, dia sudah bekerja di kamar kerjanya. Alasannya menulis di pagi hari karena pagi hari udara masih bersih dan tubuh segar-bugar usai istirahat semalam. Pikiran pun dapat bekerja maksimal.
Ada juga yang memilih menulis pada siang hari dengan alasan pada pagi hari ia mengerjakan hal-hal lain. Seorang ibu rumah tangga yang juga seorang penulis, memilih mulai menulis pada pukul 11 .00 setiap hari setelah pekerjaan rumah tangganya selesai. Beda dengan ibu rumah tangga tersebut, ada orang yang memilih menuliskan ide-idenya di malam hari. Saat berisik hiruk-pikuk kehidupan jauh berkurang, tatkala suasana di sekitar mulai sepi, kala itulah penulis mulai bekerja. Suasana yang hening di malam hari membangkitkan gairahnya menciptakan gagasan-gagasan terbaik.
Waktu mana pun yang kita pilih, tak menjadi persoalan. Setiap orang mempunyai waktu-waktu puncaknya, di mana dia bisa mencapai tingkat produktivitas terbaik, baik secara kuantitas maupun kualitas. Pastikan, waktu mana yang paling pas untuk masing-masing dari kita. Temukan waktu saat Anda bisa paling produktif.
Melajulah terus di atas rel penulisan hingga tercapai stasiun kerberhasilan. Jangan pula kita berlama-lama di situ, karena kita harus berjalan lagi mencapai stasiun-stasiun berikutnya. Menulis adalah pekerjaan tiada akhir: kita senantiasa berada dalam ‘proses menjadi’.

Selamat menulis sahabat-sahabatku.

( I Ketut Suweca , 8 April 2012 ).

Selengkapnya: Mempertimbangkan Waktu Menulis

Penulis Itu Pembelajar

Apa yang menyebabkan seorang penulis bisa tetap eksis membagikan pengetahuannya melalui tulisan? Jawaban singkatnya: karena ia terus belajar! Dengan terus belajar, ia akan mendapatkan peningkatan pengetahuan secara berlanjut, dan hal ini menjadi modal utama untuk dibagikan kepada para pembaca.
Kita bisa bayangkan seperti apa jadinya jika seorang penulis bukanlah seorang yang suka belajar. Mampukah ia bertahan dalam dunia tulis-menulis dalam waktu yang relatif lama? Tentu sulit! Sebab, orang tidak bisa memberi kalau ia tak punya apa-apa untuk diberikan. Maka, ia harus memiliki sesuatu untuk dibagikan. Sesuatu itu mungkin berupa pengetahuan, informasi, atau lainnya. Oleh karena itu, kesediaan belajar adalah faktor utama untuk menjadi seorang penulis. Jika tidak, bagai sumur tanpa air, sang penulis akan mengalami kekeringan ide.
Untuk menjadi penulis-pembelajar, maka sejumlah langkah yang relevan dilakukan, yakni, pertama, selalu aktif menambah pengetahuan baru. Untuk hal ini, ia akan membaca berbagai sumber informasi dan pengetahuan, termasuk di dalamnya bergaul dengan banyak orang yang dapat dijadikannya ‘guru’. Baginya, masyarakat adalah ‘universitas kehidupan’, tempatnya meraup kebijaksanaan hidup, sebanyak-banyaknya dan sedalam-dalamnya.
Kedua, menulis dengan pendekatan baru. Dalam menulis, ia tak merasa harus menulis dengan pakem tertentu. Ia lebih suka menyusun tulisan yang variatif dan senang berpetualang dalam genre dan teknik penulisan. Sekali waktu ia mengarang puisi, sekali waktu ia mengarang cerpen, sekali waktu ia menulis artikel opini, dan sekali waktu ia mungkin menulis reportase. Wujud variasi lain, misalnya, ia menulis dengan cara yang khas. Dia menulis dengan nuansa argumentasi yang kuat, pilihan kata yang tepat dan bertenaga, ungkapan-ungkapannya acap bernada filosofis, menggugah, dan memberi insiprasi. Ciri khasnya tampak, tapi tidak pernah monoton.
Ketiga, senantiasa memperhatikan trend. Tema apa yang paling ngetop belakangan ini? Itulah pertanyaan utama yang dialamatkan kepada dirinya sendiri. Jika ia menulis, maka dia akan berangkat dari tema yang paling baru tersebut. Karenanya, ia sangat tertarik untuk senantiasa mengikuti perkembangan pemikiran dan pemberitaan yang terjadi. Pergerakan aktualitas suatu karya demikian cepatnya. Kini aktual, esok sudah tidak lagi, karena disalip oleh kemunculan tema baru. Baginya, penulis yang baik selalu berusaha menjaga aktualitas karyanya.
Keempat, rajin bergaul dengan para penulis untuk saling menyemangati. Ia membuat jaringan, wahana yang bagus baginya untuk saling berbagi informasi, pengalaman, dan motivasi dengan sesama penulis. Ia sering bergaul dengan orang-orang yang bisa menyemangati dan memberinya motivasi untuk melanjutkan karier penulisan. Untuk membangun semangat berkarya, sesekali ia tak lupa mengikuti seminar motivasi di samping menikmati buku-buku yang sejenis dengan itu. Tujuannya tiada lain agar ia selalu terdorong untuk bekerja dengan penuh gairah dan energi, sesuatu yang membukakan jalan untuk meraih sukses dan mampu bertahan dalam perjalanan panjang di dalam dunia penulisan.
Seorang penulis-pembelajar selalu ingat belajar dari berbagai sumber informasi dan kehidupan pada umumnya. Seorang penulis-pembelajar selalu rendah hati untuk belajar dari siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Seorang penulis-pembelajar senantiasa berada di dalam barisan orang-orang yang menempuh perjalanan panjang ilmu pengetahuan dan membagikan pengetahuannya demi kemajuan umat manusia. Seorang penulis-pembelajar adalah dia yang selalu memperbaharui diri.
Selamat menulis, para penulis-pembelajar.

( I Ketut Suweca , 10 April 2012).

Selengkapnya: Penulis Itu Pembelajar

Menulis Itu Pekerjaan Tangan atau Pekerjaan Pikiran?

Saya sungguh dibuat merenung setelah membaca karya Andrias Harefa. Dalam buku yang berjudul Happy Writing: 50 Kiat Agar Bisa menulis dengan “Nyasyik” ( 2010 : 2-3), ia mengatakan bahwa menulis itu adalah pekerjaan tangan. Alasannya, untuk menulis tidak diperlukan talenta khusus, sama seperti orang yang belajar bersepeda atau berenang. Kedua kegiatan ini tak membutuhkan talenta. Dikatakan, jika menulis adalah pekerjaan pikiran, tentu diperlukan kecerdasan khusus untuk itu. “Yang diperlukan adalah praktik berkelanjutan alias pembiasaan. Yang diperlukan adalah tangan yang mengetik, mewujudkan gerakan gagasan menjadi sesuatu yang terbaca …,” terangnya.

Sampai di situ saya juga belum memahami secara klop maksud Mas Andrias Harefa. Bagi saya, menulis itu tetap merupakan pekerjaan tangan sekaligus pekerjaan pikiran. Pekerjaan tangan, karena dia membutuhkan pembiasaan, seperti penguasaan sebuah keterampilan pada umumnya. Keterampilan menulis pun memerlukan latihan yang berkesinambungan untuk menjadikannya kebiasaan sehingga lebih mudah dilakukan!

Tetapi, benarkah menulis itu semata-mata keterampilan? Tidakkah di situ ada kemampuan berpikir yang berperan besar? Saya tak bisa membayangkan orang bisa menulis tanpa gagasan, apalagi gagasan yang mendalam dan bernas dengan mengandalkan keterampilan semata. Oleh karena itu, saya lebih setuju kalau dinyatakan bahwa pekerjaan menulis itu adalah pekerjaan pikiran dan pekerjaan tangan yang bersinergi.

Ide-ide yang muncul dalam pikiran, ide-ide yang digagas dan diolah, semuanya berlangsung di dalam pikiran. Mendapatkan ide, mengolah ide, menyajikan ide secara runut adalah pekerjaan pikiran. Menuangkan ide yang sudah ada di dalam pikiran ke atas kertas atau komputer, sebagian besar termasuk pekerjaan tangan alias keterampilan.

Apapun pemahaman kita tentang pekerjaan tulis-menulis, apakah itu pekerjaan tangan atau pekerjaan menulis ansich, atau gabungan keduanya, yang terpenting: mari menulis. Siapa tahu, Mas Andrias pun sesungguhnya hanya ingin memotivasi pembaca bukunya untuk menulis dan menulis, tak peduli ada talenta atau tidak.
 
Salam menulis.

( I Ketut Suweca , 25 September 2011).

Selengkapnya: Menulis Itu Pekerjaan Tangan atau Pekerjaan Pikiran?

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas