Catatan Sore : Menulis tentang Menulis

Tuesday 10 April 2012

Saya ingin menikmati kesantaian sejenak segera setelah pulang kerja. Saya ambil laptop dan memboyongnya ke beranda depan rumah. Biasanya saya belajar dan membuat naskah di kamar belajar. Tapi, kali ini, untuk mendapatkan suasana baru, saya pilih duduk di beranda, dekat dengan rerimbunan tanaman. Tersedia segelas kopi jahe hangat dengan dua buah pisang goreng. Angin sore bertiup lembut menambah sejuk dan nyaman suasana. Saya pun memulai merenung, apa yang akan kutulis sore ini. Saya mencoba fokus pada topik seputar tulis-menulis.
Pertama-tama, saya teringat dengan ucapan NH Dini tentang resep menulisnya. Sebagaimana dimuat Kompas belum lama ini, novelis kondang ini mengatakan bahwa dalam menulis orang tidak boleh lepas dari kegiatan editing atau koreksi sebelum sebuah tulisan dinyatakan final. Novel-novel NH Dini yang lahir dari kemampuan imajinasi yang kuat dan dalam, tentu saja sudah melalui proses editing tersebut. Dengan pengeditan yang dilakukan secara cermat, niscaya sebuah hasil karya tulis akan menjadi lebih baik. Pelajaran dari novelis wanita ini adalah : jangan pernah mengirim naskah atau meng-upload artikel sebelum kita melakukan pengeditan secara cermat. Pertanyaannya, adakah kita sudah mengedit dengan cermat tulisan-tulisan kita selama ini sebelum dipublikasikan? Saya pun acap teledor dalam hal ini.
Kedua, saya ingin berbicara tentang siapa itu penulis asketik. Asketik bermakna pengabdian total untuk suatu bidang kegiatan. Lantas, bagaimana kaitannya dengan dunia tulis-menulis? Kita segera bisa menebaknya. Benar, penulis asketik itu laksana seorang pertapa yang sedang menjalankan tapanya dalam rangka mewijudkan misi suci (mission sacre). Dengan kata lain, ia menjadi pengabdi terhadap pilihannya sebagai penulis, apapun tantangan dan kendala yang dialami. Ia tak hendak berpaling dari dunia tulis-menulis yang ditekuninya. Dia memiliki komitmen yang kuat untuk itu. Bahkan, seorang penulis asketik merelakan seumur hidupnya untuk memperjuangkan sebuah visi dan misi melalui karya-karya yang tak pernah surut. Pertanyaannya, seberapa dalam kita mengabdikan diri untuk berjuang dan mengisi hidup melalui aktivitas sebagai penulis?
Ketiga, saya tertegun memperhatikan buku-buku tebal yang banyak beredar di toko buku, yang beberapa diantaranya kini menghuni rak buku saya. Buku-buku tebal yang jumlah halamannya di atas 500 halaman itu “bercerita” kepada saya tentang perjuangan penulisnya. Untuk menghasilkan sebuah buku tebal dan berkualitas tentu dibutuhkan kompetensi dan disiplin yang sangat tinggi. Kompetensi itu menyangkut keahlian seseorang dalam suatu bidang. Kandungan isi buku yang dihasilkan mencerminkan kepakaran penulisnya. Disiplin itu menyangkut kemampuan untuk secara kontinu dan konsisten mengumpulkan dan mengkaji referensi serta menuangkan gagasan dari waktu ke waktu. Tanpa disiplin yang ketat, mustahil bisa terlahir buku-buku tebal dan berkualitas itu. Penulis-penulis besar yang dimiliki Indonesia, baik penulis fiksi maupun nonfiksi, mengajarkan kepada kita betapa pentingnya kompetensi dan kedisiplinan itu. Pertanyaannya, adakah hal itu telah tumbuh dan bersemi diantara kita? Saya, sungguh, masih harus banyak belajar.
Nah, demikian dulu sahabat. Saya sudah membuat tulisan ini seperti apa adanya. Walau amat sederhana, namun saya masih berharap semoga ada sedikit gunanya untuk menggugah semangat kita semua dalam menekuni dunia tulis-menulis.

( I Ketut Suweca , 7 Maret 2012)


0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas