Saya
ingin menikmati kesantaian sejenak segera setelah pulang kerja. Saya
ambil laptop dan memboyongnya ke beranda depan rumah. Biasanya saya
belajar dan membuat naskah di kamar belajar. Tapi, kali ini, untuk
mendapatkan suasana baru, saya pilih duduk di beranda,
dekat dengan rerimbunan tanaman. Tersedia segelas kopi jahe hangat
dengan dua buah pisang goreng. Angin sore bertiup lembut menambah sejuk
dan nyaman suasana. Saya pun memulai merenung, apa yang akan kutulis sore ini. Saya mencoba fokus pada topik seputar tulis-menulis.
Pertama-tama, saya
teringat dengan ucapan NH Dini tentang resep menulisnya. Sebagaimana
dimuat Kompas belum lama ini, novelis kondang ini mengatakan bahwa dalam
menulis orang tidak boleh lepas dari kegiatan editing atau koreksi sebelum
sebuah tulisan dinyatakan final. Novel-novel NH Dini yang lahir dari
kemampuan imajinasi yang kuat dan dalam, tentu saja sudah melalui proses editing
tersebut. Dengan pengeditan yang dilakukan secara cermat, niscaya
sebuah hasil karya tulis akan menjadi lebih baik. Pelajaran dari novelis
wanita ini adalah : jangan pernah mengirim naskah atau meng-upload artikel sebelum kita melakukan pengeditan secara cermat. Pertanyaannya, adakah kita sudah mengedit dengan cermat tulisan-tulisan kita selama ini sebelum dipublikasikan? Saya pun acap teledor dalam hal ini.
Kedua, saya ingin berbicara tentang siapa itu penulis asketik. Asketik
bermakna pengabdian total untuk suatu bidang kegiatan. Lantas,
bagaimana kaitannya dengan dunia tulis-menulis? Kita segera bisa
menebaknya. Benar, penulis asketik itu laksana seorang pertapa yang
sedang menjalankan tapanya dalam rangka mewijudkan misi suci (mission sacre). Dengan kata lain, ia
menjadi pengabdi terhadap pilihannya sebagai penulis, apapun tantangan
dan kendala yang dialami. Ia tak hendak berpaling dari dunia
tulis-menulis yang ditekuninya. Dia memiliki komitmen yang kuat untuk
itu. Bahkan, seorang penulis asketik merelakan seumur hidupnya untuk memperjuangkan sebuah visi dan misi melalui karya-karya yang tak pernah surut. Pertanyaannya, seberapa dalam kita mengabdikan diri untuk berjuang dan mengisi hidup melalui aktivitas sebagai penulis?
Ketiga,
saya tertegun memperhatikan buku-buku tebal yang banyak beredar di toko
buku, yang beberapa diantaranya kini menghuni rak buku saya. Buku-buku
tebal yang jumlah halamannya di atas 500 halaman itu “bercerita” kepada saya tentang perjuangan penulisnya. Untuk menghasilkan sebuah buku tebal dan berkualitas tentu dibutuhkan kompetensi dan disiplin yang sangat tinggi. Kompetensi itu menyangkut keahlian seseorang dalam suatu bidang. Kandungan isi buku yang dihasilkan mencerminkan kepakaran penulisnya. Disiplin itu menyangkut kemampuan untuk secara kontinu dan konsisten mengumpulkan dan mengkaji referensi serta menuangkan gagasan dari waktu ke waktu. Tanpa
disiplin yang ketat, mustahil bisa terlahir buku-buku tebal dan
berkualitas itu. Penulis-penulis besar yang dimiliki Indonesia, baik
penulis fiksi maupun nonfiksi, mengajarkan kepada kita
betapa pentingnya kompetensi dan kedisiplinan itu. Pertanyaannya, adakah
hal itu telah tumbuh dan bersemi diantara kita? Saya, sungguh, masih
harus banyak belajar.
Nah,
demikian dulu sahabat. Saya sudah membuat tulisan ini seperti apa
adanya. Walau amat sederhana, namun saya masih berharap semoga ada
sedikit gunanya untuk menggugah semangat kita semua dalam menekuni dunia
tulis-menulis.
( I Ketut Suweca , 7 Maret 2012)
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)