Proses Berkarya

Monday 30 March 2015

Ketika ingin belajar menulis puisi, kita sering mengalami mati ide. Berikut ada beberapa tips dan trik.

1. Tulis saja dahulu, edit kemudian
Pertama yang perlu dilakukan adalah tulis saja yang ada di kepala. Tulis saja kata-kata yang ada di otak. Sesingkat mungkin. Tulis kata-kata yang didapat lalu dirangkai sedemikian rupa. Kalau sudah selesai, kita edit/teliti lagi. Kata mana yang kiranya perlu pengembangan atau tambahan. Jadilah puisi!

2. Pemilihan kata yang sesuai
Pada tahap selanjutnya, saya sarankan untuk membuat puisi dengan pemilihan kata yang sesuai dengan tema agar semakin jelas dan terarah. Setiap kata punya banyak sekali makna. Kita bedah itu. Misal "batu". Batu punya makna keras, hitam, ada keterkaitan dengan air, sungai, laut dll. Dari eksplorasi makna kata itulah kita bisa mengembangkannya.

3. Memakai konsep
Pada saat kita sudah berada pada tingkatan yang lebih tinggi, saya sarankan untuk memakai konsep atau tema yang lebih spesifik agar tulisan (puisi) lebih terarah maknanya. Jika konsep itu dirasa membebani, maka jangan terlalu dihiraukan konsep itu. Lebih baik menulis sesuai kemampuan atau yang ada di kepala. Namun saya anjurkan untuk memakai konsep. Kita pakai konsep 10%, sisanya mengalir saja dari kepala.

4. Bergabung dalam komunitas sastra
Nah, ketika kita sudah merasa berada pada level setingkat lebih tinggi lagi, kita hendaknya menimba ilmu pada orang yang lebih luas pengalamannya. Kepada siapa sajapun kita juga bisa belajar menimba pengetahuan. Karena kita tidak mungkin kan berada pada level yang sama dari dahulu sampai kini?. Hadirilah acara-acara sastra di kota terdekat. Ikutlah bergabung dalam suatu komunitas sastra. Dengan begitu akan membuat kita semakin kaya pengetahuan dan tentunya menambah teman sehobi. Dengan begitu pula kita bisa mengembangkan karya berikutnya.

Banyak referensi yang perlu kita ketahui, minimal tahu saja sudah cukup. Dengan banyak berhubungan atau berkumpul dengan orang-orang yang sehobi atau sejalur dengan yang kita minati, tentu secara tidak langsung maupun langsung akan mempengaruhi kinerja kita dalam berproses/berpuisi. Ini sangat penting. Sebab kalau tidak, kita akan mati dan tenggelam. Tidak ada karya lagi yang akan terlahir dari jemari kita, dari keyboard laptop maupun komputer kita.

5. Pertajam naluri dan hati nurani
Ketika sudah berjalan tahap-tahap diatas, kita sering melupakan satu ini, melihat diri, yaitu menulis tentang diri kita sendiri, lingkungan dan sekitarnya. Kita sering mengangkat tema-tema besar di luar sana. Kita sering mengkritik habis-habisan orang lain. Namun kita luap mengkritik diri sendiri. Kita kdang-kadang melupakan naluri dan nurani hati sendiri. Inilah yang penting juga untuk diperhatikan. Kalau dalam bahasa lain orang menyebut "kemunafikan diri".

Pelajaran puisi pada tingkat sekolah baik SD, SMP maupun SMA hanyalah formalitas. Lebih jauh dan luas ditemukan di luar sekolah itu. Banyak orang yang menekuni dunia puisi dan hendaknya kita menimba ilmu pada mereka. Tentunya yang sesuai dengan minat kita.

Hingga pada akhirnya kita merasa pada tingkatan yang matang. Punya nama yang diperhitungkan dalam dunia sastra(puisi) di Indonesia. Orang-orang menyebut kita ""sastrawan".

Jakal KM 14 Jogja, 16 Nopember 2012

Selengkapnya: Proses Berkarya

Kata-kata dalam Sajak: Masalah Logis dan Tidak Logis

Oleh : Dasril Ahmad

SEORANG penyair berada dalam kata, di luar bahasa, kata Wiratmo Soekito dalam bukunya "Kesusastraan dan Kekuasan" (1984). Dalam menyair, penyair lebih akrab atau mengakrabi efektifitas penggunaan tenaga puitik (power puitic) yang terkandung dalam kata. Justru itu, kalau dilakukan studi khusus tentang penggunaan kata-kata dalam sajak dari beberapa penyair, maka bukan mustahil kita akan menemukan ciri pembeda yang merupakan warna khas sajak setiap penyair. Misalnya, penggunaan kata-kata yang dilakukan penyair Chairil Anwar, akan menunjukkan kekuatan sajaknya sendiri dan menjadi warna khas sajaknya itu. Ini akan berbeda dengan sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Hamid Jabbar, Rusli Marzuki Saria, dan lain-lain.

Dengan melakukan studi terhadap penggunaan kata-kata dalam sajak, berarti kita telah menyediakan (membuka) diri untuk menggumuli “jiwa” yang terkandung di dalam sajak tersebut. Kesempatan ini mengharuskan kita untuk menelusuri daya imaji, emosi dan ide-ide yang ditampilkan penyair lewat sajaknya itu. Sebab, penyair menggunakan kata-kata dalam bermacam-macam kombinasi untuk menampilkan imaji, menyampaikan ide-ide, dan untuk mencetuskan atau melahirkan emosi, kata B.P. Situmorang (1981). Dalam hubungan ini pula, kelak kita akan berurusan dengan masalah diksi (pilihan kata) yang dipergunakan penyair dalam sajaknya. Meski sering diungkapkan (malah secara vokal) oleh masyarakat umumnya, bahwa penggunaan kata-kata dalam sajak sering rancu dan tak beraturan, hingga menyulitkan upaya memperoleh pemahaman, namun sebetulnya ungkapann itu tidaklah selalu benar. Seorang Coleridge, misalnya, dengan tegas menyatakan, “Poetry equalie the best words in the best order” (Puisi sama dengan kata-kata terbaik dalam tata tertib/aturan yang terbaik).


Sungguhpun demikian, keluh-kesah masyarakat dalam memahami sajak selalu saja bergema. Salah satu penyebab timbulnya kondisi itu adalah sulitnya merebut makna dari kata-kata yang ditampilkan penyair dalam sajaknya. Pengertian sulit di sini menjurus kepada tindakan memaknai sebuah kata (secara denotatif) yang sering tak relevan (dan juga tak koherensi) dengan makna kata-kata yang mengikutinya di dalam setiap larik sajak. Kendala seperti ini, terkadang tak sulit dicarikan pemecahannya, asalkan kita mampu memaknai kata-kata yang dianggap sulit itu secara konotatif. Dalam hal ini kita akan akrab bergelut dengan masalah symbol, lambang, kias, dan sejenisnya yang diemban oleh kata-kata tersebut terhadap dunia nyata (realitas) yang sering kita temukan dalam hidup dan kehidupan kita sehari-hari.

Pada titik ini, sampailah kita pada pengertian bahwa upaya memahami sajak –untuk merebut makna yang dikandungnya— merupakan suatu upaya untuk memahami sekaligus mengarifi diri terhadap persoalan-persoalan hidup dan kehidupan yang realis. Di dalam proses ini pula kelak orang sering menghubungkan pengertian-pengertian yang diungkapkan lewat kata-kata ataupun kelompok kata (frasa) di dalam sajak, dengan kenyataan-kenyataan yang lumrah ditemui, dialami dalam kehidupan sehari-hari yang realis itu. Lewat kaca-banding ini pula kemudian masyarakat (minoritas) penikmat sajak, akan bersua dengan masalah logis dan tidak logisnya pengertian kata-kata dan frasa di dalam sajak dengan realitas keseharian. Sering pula lahir pendapat, kalau makna kata-kata dalam sajak relevan dengan kenyataan hidup keseharian, maka sajak itu tergolong baik, dan begitu pula sebaliknya.  


Mencari hubungan/kaitan logis dan tidak logisnya makna kata-kata/frasa yang digunakan dalam sajak dengan realitas objektif, merupakan suatu tindakan yang kurang menguntungkan untuk dipelihara. Sikap dan tindakan begini kurang lebih berarti mempersempit ruang-gerak pemahaman sebuah sajak yang hakiki; apalagi untuk menjatuhkan vonis baik atau jeleknya sajak tersebut. Adalah tidak menguntungkan kalau sebuah sajak Sitor Situmorang berjudul “Malam Lebaran” yang hanya terdiri dari satu larik, yaitu: “Bulan di atas kuburan”, dinyatakan tidak baik; kalau cuma ditilik dari segi ketidaklogisan pengertian dari ungkapannya dengan realitas objektif keseharian. Sebab, mana pula ada bulan berada di atas kuburan pada malam lebaran? Bukankah realisnya di setiap malam lebaran bulan cuma muncul (kecil) di sore atau menjelang senja hari? Tetapi apabila kita berusaha memaknai kata bulan dan kuburan secara konotatif, maka kita setidaknya akan dapat memahami makna hakiki dari sajak itu. Untuk itu, kita mesti menggeluti dunia simbol-simbol atau perlambangan; bulan adalah lambang kebahagiaan, sedangkan kuburan adalah lambang kesedihan. Jadi di malam lebaran ternyata ada kebahagiaan terletak di atas kesedihan!

Begitu juga, dua buah sajak karya Armeynd Sufhasril yang dimuat di RMI Harian Haluan tgl. 14 Juni 1987 yang lalu, masing-masingnya berjudul “Sepanjang Jalan Setapak di Dusun-Dusun” dan “Sansai”, ditemukan juga beberapa ungkapan yang tidak logis, misalnya ungkapan “pelangi muncul pagi hari/ azan tak terdengar lagi/ surau-surau lengang” (dalam sajak “Sepanjang Jalan Setapak di Dusun-Dusun”) Kemudian ungkapan “sungai keruh kering” (dalam sajak “Sansai”) 


Memang tidak logis kalau dinyatakan, “pelangi muncul pagi hari”, karena lazimnya pelangi muncul adalah pada waktu sore hari. Tetapi, ia menjadi logis kalau kita memaknai kata “pelangi” sebagai simbol dari keindahan, sehingga pengertiannya menjadi “keindahan muncul pagi hari”. Memang juga dirasa tidak logis kalau di dusun (kampung) dinyatakan, “adzan tak terdengar lagi/ surau-surau lengang”. Sebab, lazimnya kehidupan di dusun (apalagi di Minangkabau) suara adzan selalu mewarnai kehidupan masyarakatnya, dan surau pun selalu ramai sebagai tempat beribadah oleh masyarakat yang mayoritas taat beribadah itu. Tapi larik sajak itu menyatakan keadaan yang paradoksal dari kenyataan hidup keseharian masyarakat tersebut. Ini jelas tidak logis. Tetapi ia akan jadi (dan diterima) logis, kalau kita bermurah hari menerima tawaran persoalan yang diungkapkan oleh penyair (lazimnya penyair/sastrawan lewat karyanya selalu menawarkan alternatif dari sekian banyak persoalan hidup) bahwa begitulah suasana hidup dan kehidupan yang terjadi di tengah masyarakat di dusun-dusun dewasa ini. Suatu warna kehidupan yang tengah dilanda “krisis”.

Begitu juga ungkapan “sungai keruh kering” jelas tidak logis bila dikaitkan dengan realitas hidup sehari-hari. Mana pula ada sungai (pengertian kongkrit) berair keruh dan kering pula. Tetapi pengertiannya akan jadi logis, kalau kita mengaitkan dengan pengertian yang dikandung oleh judul sajak itu sendiri yaitu “Sansai” (Sangsai?). “Judul puisi mengemukakan suatu ide tentang sesuatu. Boleh tentang sesuatu yang terjadi, boleh nama orang, boleh nama tempat, boleh suatu benda atau boleh juga suatu waktu dan suatu massa (B.P. Situmorang, 1981 : 27). Nah, dengan judul “Sansai” berarti sajak ini mengemukakan sesuatu keadaan yang sedang terjadi, yaitu kehidupan yang nestapa tengah melanda masyarakat. Dengan ini pulalah, maka pengertian “sungai keruh kering” terkiaskan secara logis, yaitu sungai (sumber kehidupan) ternyata telah kering, dan terlihat tanah dasarnya yang keruh. Ini menandakan bahwa kehidupan memang betul-betul sengsara, karena sungai tak lagi digenangi air untuk kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari. 



Perlukah masalah logis dan tidak logisnya pengertian kata-kata dalam sajak dipersoalkan? Agaknya ini sebuah pertanyaan yang menarik untuk dikemukakan. Tetapi sebelumnya kita jangan lupa, bahwa penyair Sitor Situmorang pernah mengakui, bahwa perkara logis atau tidak logis baginya bukanlah persoalan. Kemudian, penyair Rusli Marzuki Saria berkomentar, bahwa bagi pernyair, logis atau tidak logisnya pengertian kata-kata dalam sajak bukanlah persoalan esensial. Tetapi hal itu akan menjadi persoalan bagi para kritikus sastra. Sedang, penyair hanya bergumul dengan kata-kata; dengan makna denotasi dan konotasi dari kata-kata tersebut. 
Padang, 26 Juni 2013

- Dasril Ahmad, penulis tinggal di Padang

Sumber: Facebook Dasril Ahmad.   
Selengkapnya: Kata-kata dalam Sajak: Masalah Logis dan Tidak Logis

Rainer Maria Rilke: Surat untuk Penyair Muda

Wednesday 25 March 2015

Rainer Maria Rilke. Sumber wikipedia.
Rainer Maria Rilke: Surat untuk Penyair Muda

(Diterjemahkan oleh: Sutardji Calzoum Bachri dari Letters To A Young Poet karya penyair Jerman, Rainer Maria Rilke)

Kau tanyakan apakah sajak-sajakmu bagus. Kau tanyakan padaku. Sebelumnya kau pun telah bertanya pada yang lain. Kau kirim sajak-sajakmu itu ke berbagai majalah. Kau banding-bandingkan dengan sajak-sajak yang lain. Dan kau pun jadi terganggu ketika ada redaktur yang menolak upayamu itu. Kini, (karena kau izinkan aku menasehati kau), aku minta kau jangan lagi melakukan semua ikhtiar semacam itu. Kau melihat ke luar, dan dari segala-galanya itulah yang kini harus tidak boleh kau lakukan.

Tidak ada orang yang bisa menasehati dan menolongmu, tak seorang pun. Hanya satu-satunya cara yang ada: Pergilah masuk ke dalam dirimu. Temukan sebab atau alasan yang mendorongmu menulis: Perhatikan apakah alasan itu menumbuhkan akar yang di dalam ceruk-ceruk hatimu. Bikinlah pengakuan pada dirimu sendiri, apa kau harus mati jika sekiranya kau dilarang menulis. Pertama-tama tanyakan dirimu dalam ketenangan malam: haruskah aku menulis? Menukiklah ke dalam lubuk dirimu agar kau mendapat jawaban yang dalam. Dan jika jawabannya ya, jika pertanyaan yang khidmat tadi dijawab dengan sederhana dan mantap ”aku harus”, maka binalah dirimu sesuai dengan keharusan itu. Hidupmu, baik pada saat-saat yang paling remeh dan sepele sekalipun, haruslah merupakan bukti dan kesaksian dari dorongan menulis itu.

Kemudian cobalah dekati alam. Lantas usahakan seakan-akan kau adalah salah seorang dari orang-orang pertama yang mengatakan apa yang kau lihat dan apa yang kau alami, yang kau cintai dan kehilangan-kehilanganmu. Jangan tulis sajak cinta. Jauhi dahulu bentuk-bentuk yang sangat familiar dan biasa itu. Karena bentuk yang semacam itu adalah yang paling sulit.

Di dalam tradisi yang bertaburan dengan karya bagus dan sebagian cemerlang itu, diperlukan kekuatan besar dan penuh dewasa untuk bisa memberi sumbangan individual. Maka itu, dari tema-tema umum, berpalinglah pada apa yang diberikan oleh kehidupanmu sehari-hari; Lukislah dukacita dan keinginan-keinginanmu. Pikiran-pikiran yang melintas dalam dirimu. dan keyakinanmu dalam suatu keindahan tertentu. Lukiskan semuanya itu dengan sepenuh hati, sungguh-sungguh, rendah hati dan ikhlas. Gunakanlah benda-benda di sekitarmu, imaji-imaji dirimu dan kenangan-kenanganmu untuk mengekspresikan dirimu.

Jika kehidupanmu sehari-hari terasa miskin dan gersang, jangan sesalkan dirimu, katakanlah pada dirimu, kepenyairanmu tidak cukup untuk dapat menggali kekayaan dirimu. Karena bagi setiap pencipta tidak ada kegersangan dan tidak ada tempat yang penting dan gersang. Bahkan jika kau sekiranya berada dalam penjara dengan tembok-temboknya yang menjauhkan kau dari suara dunia,—bukankah kau tetap masih memiliki masa kanak-kanakmu sebagai gudang khazanah kenangan yang kaya raya? Perhatikanlah itu. Cobalah bangkitkan kembali sensasi-sensasi yang tenggelam dari masa lampau yang jauh itu. Kepribadianmu akan lebih kuat tumbuhnya, kesunyianmu akan berkembang menjadi tempat tinggal yang temaram di mana suara-suara yang lain lewat di kejauhan.

Dan jika dari menengok ke dalam ini, dari menyelam ke dalam ini, dari menyelam ke dalam dunia pribadimu ini, akan muncul sajak-sajak. Tidak usah kau tanyakan pada siapapun apa sajakmu itu sajak yang baik. Juga tak perlu kau upayakan agar majalah dan koran-koran menaruh perhatian terhadap karya-karyamu itu. Karena karyamu itu adalah milikmu yang sejati dan berharga, suatu bagian dan suara dari kehidupanmu. Suatu karya seni menjadi baik jika tumbuh dari kebutuhan yang wajar. Dari cara ia berasal. Di situlah letaknya. Penilaian yang benar: tidak ada cara lain. Maka itu, aku tidak bisa memberi nasihat kecuali ini: pergilah masuk kedalam dirimu, galilah sampai ke dasar tempat kehidupanmu berasal; pada sumbernya itu, kau akan mendapatkan jawaban apakah kau memang harus mencipta. Dengarkan suaranya, tanpa terlalu cerewet menyimak kata-kata.

Barangkali memang sudah merupakan panggilan bahwa kau harus jadi seniman. Maka terimalah takdirmu itu, tanggungkan naik bebannya maupun kebesarannya, tanpa minta-minta penghargaan dari luar dirimu. Karena seorang pencipta haruslah menjadi sebuah dunia bagi dirinya sendiri, dan menemukan segala-galanya di dalam dirinya sendiri, serta di dalam Alam tempat dirinya berada.

Namun setelah masuk ke dalam diri dan ke dalam kesendirianmu, mungkin kau harus melepaskan keinginanmu untuk menjadi penyair; (bagi saya, seseorang bisa hidup tanpa harus menulis daripada samasekali berspekulasi untuk itu). Meskipun demikian, upaya memusatkan perhatian ke dalam diri sendiri yang kuanjurkan itu, tidaklah sia-sia. Bagaimanapun juga hidupmu sejak itu akan menemukan jalannya sendiri. dan kuharapkan hidupmu menjadi baik dan kaya serta tinggi pencapaiannya lebih dari apa yang bisa aku ucapkan.

Apa lagi yang harus kukatakan? Rasanya segala telah mendapat tekanan yang wajar. Akhirnya aku ingin menasehati agar mau menumbuhkan dirimu secara serius. Tidak ada cara yang lebih ganas menghalangi pertumbuhanmu kecuali dengan melihat ke luar, dan upaya mengharapkan jawaban dari luar, terhadap pertanyaan-pertanyaanmu yang agaknya hanya perasaanmu yang paling dalam dan saat-saatmu yang paling hening bisa menjawabnya”. (*)

Catatan Kecil:
Bagian kedua dari sepuluh seri kumpulan surat Surat-surat Rainer Maria Rilke untuk seorang penyair muda merupakan dokumentasi otobiografi yang luar biasa. Sebuah bacaan di mana, di luar keindahan fondasinya sendiri, telah memfasilitasi pengertian yang lebih jernih akan pandangan dan teknik puitik seorang Rilke. Surat kedua Rilke untuk seorang penyair muda itu berhubungan dengan penggunaan ironi sebagai suatu teknik puitik. Sarannya dalam hal ini adalah untuk tidak menggunakannya terlalu banyak, khususnya dalam kondisi-kondisi yang tidak kreatif.

Penyair-penyair modern menggunakan ironi secara ekstensif dan menganggapnya sebagai suatu bagian penting dari teknik puitik yang tidak dapat dilepas oleh penyair. Ironi mengarah kepada sebuah dunia yang jelas-jelas telah pasti –dengan melihat dari sisi yang berlandaskan pada ketidakpercayaan akan suatu sistem. Nada dari puisi juga digambarkan secara luas dari persepsi yang (cenderung) menghakimi dalam konteks turbulensi sosio-politik di masa itu.

Penyair-penyair modern yang datang setelahnya juga menggunakan ironi secara luas untuk menciptakan pernyataan puitik mereka. Sebagai salah satu contoh klasik adalah The Waste Land karya T. S. Eliot. Eliot secara efektif menggunakan ironi untuk menggambarkan kesengsaraan pasca perang dengan sumber daya ilustrasi yang kaya akan mitos-mitos Kristiani dan Oriental, sekaligus. Mitos-mitos menghadirkan sekumpulan kesadaranan akan hal-hal kemanusiaan dan memiliki simbol-simbol efektif yang secara ekstrim memiliki fungsi dalam semua bentuk seni penciptaan ironi.

Puisi Rilke menandai ketibaan penting akan tradisi puitik dalam suatu masa di mana ia menggerakkan sebuah genre puisi yang berisikan pernyataan puitik yang tajam:

“… Jadi, selamatkanlah dirimu dari tema-tema umum ini dan tuliskan apa saja yang keseharian hidup telah berikan kepadamu; gambarkan kesedihan dan kebahagiaanmu, pikiran-pikiran yang melintasi benakmu, dan keyakinanmu akan suatu keindahan– gambarkan semua ini dengan kepekaan hati, kepasrahan penuh. Dan saat engkau menyatakan dirimu sendiri, gunakan benda-benda di sekitarmu, imaji-imaji dari mimpi-mimpimu, dan obyek-obyek yang kau ingat …” (Surat-surat untuk Seorang Penyair Muda – Bagian Pertama)

Rilke jelaslah tidak secara keseluruhan menghindari penggunaan ironi dalan puisi. Ia hanya menyarankan si penyair muda itu untuk menghindari penggunaan ironi itu dalam kondisi-kondisi yang tidak kreatif. Puisi kemudian dialihkan menjadi permainan intelektual, permainan dari pernyataan diri seseorang secara puitik, di mana akan mengasingkan para pembaca dari dunia pengalaman pribadi yang intens dari sang penyair – “emosi-emosi dikumpulkan dalam keharmonisan”. (*)

Sumber: Facebook Remmy Novaris DM

Baca juga: http://fiksilotus.com/2012/06/21/rainer-maria-rilke-surat-untuk-penulis-muda-1
Selengkapnya: Rainer Maria Rilke: Surat untuk Penyair Muda

Semacam Tips Belajar Menjadi Penulis dari M Aan Mansyur

Wednesday 18 March 2015

Semacam tips belajar menjadi penulis dari M Aan Mansyur

1. Bacalah buku sebanyak mungkin.
2. Tentukan beberapa penulis yang paling sering membuatmu marah kepada diri sendiri dan cemburu kepada mereka.
3. Cari tahu dan bacalah semua buku yang membuat mereka bisa menulis lebih bagus daripada kamu.
4. Bacalah juga buku-buku yang membuat penulis yang mereka kagumi bisa dikagumi oleh para penulis yang kamu kagumi.
5. Jika mampu, bacalah semua buku yang dibaca oleh penulis yang dikagumi oleh penulis yang dikagumi oleh penulis yang kamu kagumi.
6. Menulislah sampai kamu kehabisan kata dan jangan sampai kamu kehabisan kata.
7. Menulis ulanglah sesering mungkin dan editlah tulisanmu sesadis mungkin.
8. (Kamu bisa menambahkan hal-hal lain di sini)

Diambil dari: https://medium.com/@hurufkecil/terima-kasih-eka-kurniawan-e4c43c4e770d
Selengkapnya: Semacam Tips Belajar Menjadi Penulis dari M Aan Mansyur

47 Tahun Persada Studi Klub: Berguru pada Umbu

Friday 13 March 2015

Selengkapnya: 47 Tahun Persada Studi Klub: Berguru pada Umbu

Kunci-kunci Haiku

Tuesday 10 March 2015

1. Kesenangan/pertaruhan/penyajian realitas baru atau penemuan realitas baru/epifani. (Ini umum dan dasar setiap puisi sebenarnya)
2. Elemen "di mana", "apa", dan "kapan" disusun ketat dalam 5-7-5 yang diambil dari stanza-stanza pembukaan bentuk puisi yang lebih panjang dalam Zen.
3. Penggunaan imaji/citraan
4. Kuge, pranata musim--di Jawa pun pranata musim menggunakan citraan/gambar)
5. Kireji, pemotongan kata, menjadi penanda stop atau jedah, sesuatu yang mungkin dalam bahasa Indonesia seperti lah tah kah pun (apakah lah tah kah pun itu pengaruh bahasa Jepang atau bukan?)
6. Jukstaposisi
7. 5-7-5 jika digandeng tak membentuk 1 kalimat


Sumber: Facebook Malkan Junaidi
Selengkapnya: Kunci-kunci Haiku

ASEAN Literary Festival (ALF) 2015: Persembahan untuk Sitor Situmorang

Monday 9 March 2015

Selengkapnya: ASEAN Literary Festival (ALF) 2015: Persembahan untuk Sitor Situmorang

Membaca itu..

"Membaca itu seperti berpikir, seperti berdoa, seperti berbicara dengan seorang teman, seperti mengekspresikan ide-idemu, seperti mendengarkan ide-ide orang lain, seperti mendengarkan musik, seperti melihat pemandangan, seperti berjalan-jalan di pantai." (Roberto Bolano, 2666)

Sumber: Facebook Gambang.
Selengkapnya: Membaca itu..

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas