Showing posts with label sutardji calzoum bachri. Show all posts
Showing posts with label sutardji calzoum bachri. Show all posts

Sutardji Calzoum Bachri

Wednesday, 26 February 2014

Sutardji Calzoum Bachri, anak kelima dari sebelas bersaudara pasangan Mohammad Bachri dan May Colzoum ini lahir di Riau pada 24 Juni 1941. Setamat SMA, ia melanjutkan studinya di Fakultas Sosial Universitas Padjadjaran, Bandung. Baginya, menulis adalah panggilan alam yang merayu jiwanya untuk membebaskan kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya.

Sastrawan dengan gelar Presiden Penyair Indonesia ini memulai karirnya saat masih di Kota Kembang. Beliau mengirimkan sajak-sajak dan esai karangannya keberbagai media cetak di Jakarta seperti; Majalah Horison, Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana dan Budaya Jaya. Selain itu, ia juga menulis untuk surat kabar lokal di Bandung, Pikiran Rakyat.

Menurut para seniman di Riau, kemampuan sastrawan yang karyanya sudah banyak diterjemahkan kedalam berbagai bahasa ini laksana rajawali dilangit, paus di laut yang bergelombang dan kucing yang mencabik-cabik dunia sastra Indonesia yang sempat membeku dan membisu setelah kepergian ‘Si Binatang Jalang’, Chairil Anwar. Hal ini disebabkan konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikan kepada fungsi kata itu sendiri seperti didalam mantra.

Suami Mariham Linda ini berkata "Dalam menciptakan puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya"(tokohindonesia.com). Menurutnya, jika kata di bebaskan, kreativitas pun akan tercipta. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, karena kebebasannya, tiba-tiba bisa menyungsang terhadap fungsinya.

KARIR

Pada tahun 1974, bersama dengan K.H Mustofa Bisri dan Taufik Ismail, ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat. Pada tahun yang sama, sebelum mengikuti seminar di Iowa, beliau juga mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam.

Tahun 1979, ia diangkat menjadi redaktur majalah sastra Horison. Setelah lama berkecimpung besama Horison, ia memilih menjadi penjaga ruang seni “Bentara”, specialisasi puisi pada harian Kompas pada tahun 2000 hingga 2002.

Karya pertamanya yang berjudul ‘O’ dibuat pada tahun 1973 dan diterbitkan tiga tahun setelahnya. Sajak tersebut mendapatkan hadiah puisi DKJ. Karyanya yang lain berjudul ‘Amuk’ (1977) dan ‘Kapak’ (1979). Kemudian pada tahun 1981, ketiga kumpulan puisinya itu digabungkan menjadi satu buku dengan judul ‘O Amuk Kapak’ dan diterbitkan oleh sinar harapan. Selain itu, sejumlah puisinya telah diterjemahkan Harry Aveling dan dimuat dalam antologi berbahasa Inggris, seperti: Arjuna in Meditation (Calcutta), 1976 ; Writing from the World (Amerika Serikat) ; Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Selain menulis puisi, ia juga menulis beberapa esai dan cerpen, seperti: Isyarat, Gerak Esai, Ombak Sajak Anno 2001 dan kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam.

Dalam membacakan puisi, ia memiliki ciri khas tersendiri, saat sedang ‘waras’ ia akan membacakan puisinya seperti sedang bernyanyi, atau hanya diiringi harmonika kesayangannya. Namun disaat sedang ‘edan’ dia bisa jumpalitan diatas panggung, kadang bisa sambil tiduran atau tengkurap. Hal inilah yang menyebabkan ia dijuluki sastrawan ‘edan’ didalam dunia persajakan. ''Setiap orang harus membikin sidik jarinya sendiri, karakternya sendiri. Biar tak tenggelam dan bisa memberi warna,'' begitu katanya. Di luar negeri ia dijuluki bottle poetry, karena beberapa tahun silam, sebotol minuman keras tak pernah lepas dari tangannya saat ia membacakan puisi.

PENGHARGAAN

Lewat karya-karyanya, Ayah dari Mila Seraiwangi ini telah meraih berbagai penghargaan. Pada tahun 1979, ia dianugerahi hadiah South East Asia Writer Awards di Bangkok, Thailand atas prestasinya dalam dunia sastra. Kemudian di tahun 1988, ia mendapat penghargaan tertinggi dalam bidang kesusastraan di Indonesia yakni Penghargaan Sastra Penyair Legendaris Indonesia Chairil Anwar yang sebelumnya diraih Mochtar Lubis.

Ia juga kerap mendapat undangan dari berbagai negara. Pada tahun 1997 ia membaca puisi di Festival Puisi International Medellin, Colombia. Ia pernah menghadiri Pertemuan International Para Pelajar di Bagdad, Irak. Ia diundang oleh Mentri Keuangan Malaysia, Dato Anwar Ibrahim untuk membaca puisi di Departemen Keuangan Malaysia. Ia pun kerap kali mendapatkan undangan untuk berbagai pertemuan Sastrawan ASEAN, seperti: Pertemuan Sastrawan Nusantara di Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Dulu Bang Tarjdi, sapaan akrab Sutardji, pernah berkata pada penulis “Jika kamu ingin jadi penyair, itu mudah. Semua orang bisa menjadi penyair-penyairan. Tapi disaat kamu sudah bisa menuliskan cinta tanpa ada kata cinta, dan melukiskan rindu tanpa kata rindu. Disitulah kamu telah menjadi seorang penyair”.

Rujukkan : Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Tokoh Indonesia


Sumber Facebook Sutardji Calzoum Bachri
Selengkapnya: Sutardji Calzoum Bachri

(Esai) Penyair dan Telurnya

Monday, 9 January 2012

Oleh Sutardji Calzoum Bachri

ENGKAU bilang puisi adalah dunia tersendiri sambil masih bertanya apakah hubungan puisi dengan realitas. Memang ungkapan yang serasa sudah menjadi klise itu-puisi adalah sebuah dunia-cenderung bisa disalah-pahami seakan puisi dan realitas bagaikan dua dunia terpisah mutlak satu sama lainnya. Hendaklah dipahami ketika engkau sedang menulis puisi atau karya sastra lainnya engkau sedang menulis di atas tulisan. Engkau tak mungkin menulis di atas kertas kosong.

Alam, sejarah, ikhwal, kejadian sehari-hari, sudah tertulis atau sedang menulis dirinya sendiri, dan ketika engkau menulis puisi engkau menulis di atasnya.

Puisi sebagaimana halnya imajinasi adalah upaya pembeba- san dari realitas, karena itu ia membutuhkan realitas. Eksistensi imajinasi hanya mungkin bila terpaut dengan realitas. Seperti imajinasi tentang perahu, kapal, takkan mungkin bila tak ada sungai atau lautan. Imajinasi menolak dan membebaskan diri dari realitas bagaikan dayung atau baling-baling kapal menolak dan membutuhkan sungai atau lautan. Engkau tak mungkin menulis di atas kertas kosong. Engkau menulis puisi di atas tulisan.

Mana mungkin ilham menyambarmu dan imajinasi mengurai dalam bait-bait sajakmu, kalau engkau tidak berdiri di suatu realitas.

Imajinasimu bisa aneh, eksentrik, sangat defamiliar, atau bagai bohong karena ia menolak realitas, namun bagaima-napun ia bertolak dari realitas dan karena itu ia membutuh-kannya.

Bahkan imajinasi yang “bohong” sekalipun membutuhkan fakta, realitas, untuk kondisinya agar bisa disebut bohong. Karena ia membutuhkan setakat fakta, setakat realitas tertentu, imajinasi cenderung mengandung setakat kejujuran.

Jangan heran kalau penguasa zalim risau terhadap karya sastra atau puisi, walaupun itu “cuma” fiksi.

Karena menulis sastra adalah menulis di atas tulisan (realitas), maka menulis pada hakikatnya pula menyembunyikan menyimpan, mengandung, menindih, melapis realitas.

Suatu saat engkau menulis bagaikan menusir foto realitas. Engkau tebalkan garis hidungnya, engkau panjangkan janggutnya, engkau hitamkan ubannya, engkau kasarkan kumisnya, dan engkau menciptakan foto lain yang beda dari foto sebelumnya (realitas). Dan realitas sekadar membayang dari bawah tulisanmu.

Menulis pada hakikatnya kegiatan meletakkan realitas di dalam posisi di bawah tulisan. Dalam karya sastra (puisi) realitas berada dalam situasi di bawah tulisan.

Di saat lain engkau bukan sekadar menusir, bahkan lebih ekstrem engkau simpan realitas jauh di bawah tulisanmu sehingga para pembaca yang kurang peka tidak mudah menyadarinya. Mereka mungkin bilang engkau sekadar ber-aneh aneh, absurd, asyik sendiri, eksentrik, atau kurang menyadari realitas ataupun sejarah.

Apa sebenarnya yang terjadi?

Pada karya semacam itu engkau sebenarnya telah membe- kukan realitas. Realitas yang teraktualisasi mengalir dalam kenyataan sehari-hari, engkau bekukan dalam puisimu. Aktualisasi realitas dibekukan, tidak berfungsi, dikembalikan menjadi sekadar potensi, yang janin, embrional.

Puisi atau sastra cenderung mengembalikan realitas menjadi telur.

Realitas itu ayam yang menciptakan telur imajinasi (puisi), dan puisi (imajinasi) itu ayam yang menciptakan telur realitas.

Realitas yang dibekukan dalam puisi sebagai telur akan menetas dan mendapatkan kelahiran baru (metamorfose) sebagai realitas baru dan mencerahkan pada hati, pikiran dan tangan para pembacanya. Telur itulah unsur depan sadar dari puisi. Tentang depan sadar ini aku tak mau berpanjang- panjang, baca tulisan SCB beberapa bulan lalu di Bentara.

Para pembaca yang kecewa terhadap karya sastra yang dianggapnya tidak menampakkan realitas samalah halnya dengan orang yang kecewa melihat tidak ada persamaan antara sebuah telur dengan seekor ayam.

Penyair yang mendedahkan (merujuk) begitu saja realitas tanpa meletakkan secara kreatif di bawah tulisannya, sama pula halnya dengan menyuruh pembacanya menetaskan ayam di mesin penetas.

Salah satu masalah yang muskil dari penyair adalah bagai-mana memosisikan realitas di bawah lapis larik-larik sajaknya, membekukan aktualitasnya, mengembalikannya menjadi potensi (telur) untuk kelak menetas kembali menjadi realitas baru (metamorfose) pada para pembacanya.

Jika penyair dengan ungkapan atau imajinasinya mampu menanggulangi masalah telurnya ini secara baik, saya kira ia cenderung bisa berhasil melahirkan sajak-sajak yang dalam.

Link http://teaterawan.blogspot.com/2010/02/penyair-dan-telurnya.html
Google books
Selengkapnya: (Esai) Penyair dan Telurnya

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas