"Taman Sunyi Sekala" ini berisi sebuah renungan spiritual
perjalanan hidup seorang anak manusia. Dalam kesejatian ciptaan Rabb
semesta sekalian alam bernama manusia, maka sesungguhnya ia tidaklah
butuh nama. Dalam konteks ini maka benarlah lontaran " What's the name",
apalah artinya sebuah nama. Jiwa menjadi lebih penting disini, teramat
penting.
Dan dimana-mana jiwa memiliki nama yang sama, yaitu :
noname alias tak bernama. Orang-orang saja yang kemudian memberinya
nama : ruh.
Novel ini, yang sama sekali tak
mirip Novel, sebenarnya hendak berkata bahwa kita adalah apa yang kita
baca, kita serap, kita tulis, kita alami, kita saksikan, dan kita
cintai. Bahwa kehidupan kekinian ternyata selalu tak bisa melepaskan
diri dari kehidupan masa lalu. Sebuah 'blink' yang didapat di masa kecil
melalui semacam Laura Ingals dalam "Little House on the Prairie"
ternyata masih saja menjadi sebuah 'blink' dalam wujud lain di kehidupan
kini bahkan juga diyakini di kehidupan masa datang.
Sebuah
inspirasi kebajikan tidak akan pernah mati. Boleh saja "The good always
die young", bahwa pahlawan selalu mati muda, tapi "the goodness" atau
"the kindness" itu sendiri bersifat abadi dan tak pernah mati. Al-Quran
sendiri mengabadikannya, saat memberi jaminan kepada orang-orang hidup
yang ditinggal mati para syuhadah (the good) dengan mengatakan "janganlah mengira mereka mati? tidak! bahkan mereka itu hidup" (QS. Ali Imran:169)
Maka,
beruntunglah anak-anak pada masa kini, yang memiliki (to belong) orang
tua, guru, atau orang dewasa yang pernah hidup di masa lalu, dan
menyadari hakikat kehidupan di masa sebelumnya adalah semata agar masa
kini lebih baik. Sebab, banyak pula anak-anak yang berada di
tengah-tengah orang dewasa ( to have), tapi tak banyak merasakan apa
arti kedewasaan, karena mereka yang dewasa rupanya hanyalah 'anak-anak
yang terkurung dalam tubuh dewasa'.
Beruntunglah
anak-anak itu, yang disodori buku-buku dan bacaan sarat inspirasi,
meski inspirasi itu baru bisa termaknai jauh tahunan ke depan.
Beruntunglah juga anak-anak yang di beri kesempatan mengakses tontonan
(akui saja dengan lapang dada) TV dan film yang membasuh jiwa, pun juga
tontonan yang mengotori jiwa. Sebab yang 'kotor-kotor'itu sejatinya akan
menguatkan kekuatan pembasuhan.
Dan pihak yang
bertanggungjawab dibalik semua itu adalah : kata (word). Dalam segala
rupa kata, ia adalah dalang di segenap peradaban dan pemikiran dunia.
Buku yang ditulis, komik yang digambar, koran yang diterbitkan, film
yang diproduksi, iklan yang menipu, juga lirik dalam lagu bahkan rupa
murni dalam kanvas, semuanya melahirkan kata. Kata adalah sumber
kesejahteraan dan kata adalah sumber penderitaan. Selama kata itu ada,
selama itu pula perang dan perpecahan antar manusia akan ada. Pula,
selama kata itu ada kedamaian akan tercipta. Tak diragukan lagi, The word is the world's soulmate.
***
Yang
menarik buatku adalah, sepertinya buku ini mewakili kesunyian tamanku
juga, meski tak simetris dan kongruen. Kaernanya, seperti kataku pada BU
Pratmi, aku mau menjadi teman setianya, jika ia di sini. ^_^
Tapi
setidaknya, aku tahu, Sekala ini adalah seorang perempuan, dua tahun
lebih muda dariku, banyak menghabiskan umurnya di JOgja, pernah belajar
Psikologi, dan yang terpenting pernah atau masih berinteraksi dalam
dunia pergerakan Islam. Sudah pasti ia mahkluk asing dalam jagat 'bumi'.
Dan taman sunyinya itu, bisa dipastikan pula tak bertaburan bunga-bunga
dan kupu-kupu.
Sumber
http://www.doniriadi.com/2009/03/membaca-taman-sunyi-sekala.html
Quote tentang seni dan seniman
disini