Sajak-sajak Chairil Anwar

Saturday 29 December 2007


AKU

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943


PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

Maret 1943


HAMPA

kepada sri

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.


DOA

kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

13 November 1943


SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...


SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat: Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

1946


CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.

1946


MALAM DI PEGUNUNGAN

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

1947


YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

1949


DERAI DERAI CEMARA

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

1949


PRAJURIT JAGA MALAM

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ! (1948)

Siasat, Th III, No. 96, 1949


KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak \"Merdeka\" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi (1948)

Brawidjaja, Jilid 7, No 16, 1957


DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.


Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang

(Februari 1943)
Budaya, Th III, No. 8, Agustus 1954


PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
(1948)

Liberty, Jilid 7, No 297, 1954

Aku Berada Kembali.

Banyak yang asing:
air mengalir tukar warna,kapal kapal,
elang-elang
serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;

rasa laut telah berubah dan kupunya wajah
juga disinari matari lain.

Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja.
Lebih lengang aku di kelok-kelok jalan;
lebih lengang pula ketika berada antara
yang mengharap dan yang melepas.

Telinga kiri masih terpaling
ditarik gelisah yang sebentar-sebentar
seterang
guruh

1949

Dengan Mirat

Kamar ini jadi sarang penghabisan
di malam yang hilang batas

Aku dan engkau hanya menjengkau
rakit hitam

'Kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran hitam?

Matamu ungu membatu

Masih berdekapankah kami atau
mengikut juga bayangan itu

1946


Di Masjid
Kuseru saja Dia
sehingga datang juga
Kamipun bermuka-muka
seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada
Segala daya memadamkannya
Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda
Ini ruang
gelanggang kami berperang
Binasa membinasa
satu menista lain gila

Malam

Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
--Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang
Malam di Pegunungan

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

1947

Mirat Muda

Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,
menatap lama ke dalam pandangnya
coba memisah mata yang menantang
yang satu tajam dan jujur yang sebelah.

Ketawa diadukannya giginya pada mulut Chairil;
dan bertanya: Adakah, adakah
kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahulah dia kini, bisa katakan
dan tunjukkan dengan pasti di mana
menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-nyawa saling berganti.
Dia rapatkan

Dirinya pada Chairil makin sehati;
hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan dera,
menuntut tinggi tidak setapak berjarak
dengan mati

di pegunungan 1943, ditulis 1949

Nisan

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu di atas debu
Dan duka maha tuan tak bertahta.
Rumahku

Rumahku dari unggun-unggun sajak
Kaca jernih dari segala nampak

Kulari dari gedung lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala
Dipagi terbang entah kemana

Rumahku dari unggun-unggun sajak
Disini aku berbini dan beranak

Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
jika menagih yang satu

April 1943


Tjerita Buat Dien Tamaela

Beta Pattiradjawane
jang didjaga datu datu
Tjuma satu

Beta Pattiradjawane
kikisan laut
berdarah laut

beta pattiradjawane
ketika lahir dibawakan
datu dajung sampan

beta pattiradjawane pendjaga hutan pala
beta api dipantai,siapa mendekat
tiga kali menjebut beta punja nama

dalam sunyi malam ganggang menari
menurut beta punya tifa
pohon pala, badan perawan djadi
hidup sampai pagi tiba

mari menari !
mari beria !
mari berlupa !

awas ! djangan bikin bea marah
beta bikin pala mati, gadis kaku
beta kirim datu-datu !

beta ada dimalam, ada disiang
irama ganggang dan api membakar pulau .......
beta pattiradjawane
jang didjaga datu-datu
tjuma satu

*berbagai sumber
Selengkapnya: Sajak-sajak Chairil Anwar

Puisi-puisi Cinta Chairil Anwar yang Menggetarkan

Oleh Tjahjono Widarmanto

Memperbincangkan kesusastraan Indonesia, mustahil tanpa menyebut sosok Chairil Anwar. Namanya menjadi bagian tak terpisahkan bagi terbentuknya identitas kesusastraan Indonesia, khususnya identitas sastra puisi Indonesia. Sampai sekarang namanya menjadi mitos dan paling banyak diperbincangkan dalam khazanah sastra Indonesia.

Ialah yang dianggap meletakkan dasar perpuisian modern Indonesia, yang mengembangkan estetika Indonesia modern dengan bentuk yang ekspresif, liar, berani, dan tak beraturan.

Membicarakan puisi-puisi Chairil Anwar, orang akan mempertautkan dengan vitalitas, ego, dan spirit individualis dalam diri Chairil yang memang tersirat dalam banyak sajaknya (bahkan cara hidupnya). Hal itu memang telah menjadi pilihan konsep estetika Chairil, seperti yang diteriakkannya dalam pidatonya:

…Vitalitas adalah sesuatu yang tak bisa dielakkan dalam mencapai suatu keindahan. Dalam seni; vitalitas itu Chaotischvoorstadium, keindahan kosmich eindstadium…

(Pidato Chairil 7 Juli 1943). Karena kredonya itu tak heran puisi-puisinya meneriakkan reaksioner, heroik, sangat individualis, bahkan revolusioner. Hal ini tergambar jelas dalam puisi-puisi ”Persetujuan dengan Bung Karno”, ”1943”, ”Semangat”, ”Siap Sedia”, dan masih banyak lagi. Bahkan, ia tak segan-segan mengumumkan dirinya sendiri dengan lantang sebagai ”binatang jalang” dalam sejaknya yang paling populer, ”Aku”.

Sungguhpun demikian, seliar-liarnya, Chairil tetaplah seorang seniman yang tak luput dari perasaan romantisme, bahkan sentimentil saat ia terlibat dengan urusan wanita dan cinta. Kehidupan Chairil memang banyak diwarnai dengan nama-nama wanita; ada yang memang dipacarinya, ada yang ditaksirnya tapi tak terbalas sehingga ia patah hati, ada pula yang sangat mencintai dan dicintainya tapi tak pernah sampai pada perkawinan.

Wanita-wanita itu dan ”pengalamannya” dengan wanita-wanita itu menjadi sumber inspirasinya bahkan nama-namanya secara tersurat hadir dalam puisi-puisinya, seperti nama-nama Karinah Moordjono, Sumirat, Dien Tamaela, Sri Aryati, Gadis Rasid, Ina Mia, Ida, Sri, dan Nyonya.

Saat bersentuhan dengan persoalan cinta dan wanita ini, Chairil Anwar bisa menjelma menjadi sosok yang amat halus dan romantis. Perasaan cinta digambarkannya dengan aksentuasi lembut dan bersahaja, seperti pada puisi yang dipersembahkannya pada Gadis Rasid:

Buat Gadis Rasid

Antara
Daun-daun hijau
Padang lapang dan terang
Anak-anak kecil tidak bersalah, baru bisa lari-larian
Burung-burung merdu
Hujan segar dan menyembur
………………..

Kita terapit, cintaku
—-mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak—-
Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati
Terbang
Mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat
—-the only possible non-stop flight
tidak mendapat

Dalam puisi di atas dengan amat lembut Chairil bertutur perasaan hatinya yang tercepit cinta. Hampir tidak ada kata-kata yang bombas dan ekspresif, seolah-olah hanya gumaman cinta yang mendesak di dada. Pada puisi ”Puncak”, romantisme cinta Chairil memuncak dan diucapkannya dengan terus-terang:

………..kita berbaring bulat telanjang
sehabis apa terucap di kelam tadi, kita habis kata sekarang
………..
Maka cintaku sayang, kucoba menjabat tanganmu
Mendekap wajahmu yang asing, meraih bibirmu di baalik rupa
Kau terlompat dari ranjang, lari ke tingkap yang
Masih mengandung kabut, dan kau lihat di sana……..

Saat Chairil mengalami patah hati, ia pun berubah menjadi sosok sendu yang sentimentil. Seperti yang tergambar dalam puisinya ”Senja di Pelabuhan Kecil” berikut ini:

Senja di Pelabuhan Kecil
(buat Sri Aryati)

Ini kali tiada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali. Kapal,perahu tiada berlaut
Gerimis mempercepat kelam.
Ada juga kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari lari berenang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
Menyusur semenanjung, masih pengap harap
Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
Dari pantai keempat, sendu penghabisan bisa berdekap

Kemuraman Chairil akibat patah hati amat terasa dalam puisi ini. Diksi-diksi: gudang, rumah tua, kapal perahu tiada berlaut. Gerimis mempercepat kelam, muram, air tidur hilang ombak, aku sendiri, pengap harap, selamat jalan, sendu penghabisan.

Merupakan komposisi yang sedemikian rupa disusun untuk menggambarkan suasana hati yang muram dan patah. Segalanya jauh dari kata bombastis yang meledak-ledak.

Namun, tak seluruhnya Chairil menggambarkan pesona wanita dan cinta dengan romantisme yang teduh dan halus. Kadang-kadang melompat kenakalan dan keliarannya dalam melukiskan keberadaan wanita, bahkan dengan cara yang mengejutkan dan kurang ajar, seperti terdapat pada penggalan puisinya yang berjudul ”Kepada Kawan” di bawah ini:

…….
Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kecup perempuan, tinggalkan kalau merayu
Pilih kuda paling liar, pacu laju
Jangan tambatkan pada siang dan malam

Kenakalan dan keliaran semacam itu juga muncul saat Chairil menggambarkan perasaan dan hasrat birahi yang menggebu-gebu, yang diungkapkannya secara terus terang:

Lagu Biasa

Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Baru berkenalan. Cuma berpandangan
Sungguhpun samudera jiwa sudah selam berselam
Masih saja berpandangan
………..
Ia mengerling. Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlari
Ketika orkes memulai Ave Maria
Kuseret ia ke sana…….

Keterusterangan yang gamblang dalam menggambarkan hasrat seksual semacam di atas, juga muncul dalam puisi-puisinya yang lain, seperti pada ”Tuti Artic”:
…../Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa/…ketika kita bersepeda kuantar kau pulang…/panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara/.

Di antara puisi-puisi Chairil yang bersinggungan dengan wanita dan cinta seperti di atas, ada dua buah puisi cinta Chairil yang sangat menggetarkan hati dan paling terindah yang dipersembahkannya untuk seorang gadis yang bernama Sumirat. Konon gadis ini adalah gadis yang paling mencintai dan dicintai. Namun sayang keluarga Sumirat, yang tinggal di Paron, sebuah desa kecil di Ngawi, tak menghendaki Chairil jadi menantunya.

Salah satu puisi itu berjudul ”Mirat Muda, Chairil Muda” yang ditulis Chairil pada tahun kematiannya yang disebut-sebut sebagai penggambaran seksualitas dalam kedekatannya dengan maut, yang berarti juga seksualitas sebagai dorongan daya hidup yang terus menyala sampai maut merenggut. Inilah puisi itu selengkapnya:

Mirat Muda, Chairil Muda

Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,
Menatap lama ke dalam pandangnya
Coba memisah matanya menantang
Yang satu tajam dan jujur yang sebelah
Ketawa diadukannya giginya pada
Mulut Chairil; dan bertanya: Adakah, adakah
Kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahukah di kini, bisa katakan
Dan tunjukkan dengan pasti di mana
Menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-jiwa saling berganti. Dia
Rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati;
Hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras,
Menuntut tinggi tidak setapak berjarak
Dengan mati.

Dalam puisi di atas tampak sekali cinta yang dalam pada diri Chairil pada Sumirat, gadis yang dikaguminya itu. Dan bagi Chairil, Sumirat menjadi semangat pendorong cita-citanya untuk terus berkarya; seperti tertulis pada suratnya untuk HB Jassin pada bulan Maret 1944: ”Orang selalu saja salah sangka, tapi mereka akan menyesal di hari kemudian, karena aku akan sanggup membuktikan bahwa karya-karyaku ini bermutu dan berharga tinggi. Jangan kita putus asa Mirat, aku akan terus berjuang untuk memberi bukti”.

Cinta Chairil dan Mirat memang abadi dalam sajak, tapi mereka tak pernah berhasil menikah. Chairil juga berhasil membuktikan kepada Mirat bahwa karya-karya bermutu dan berharga tinggi. Mirat atau Sumirat yang berpisah karena perang kemerdekaan, akhirnya mendengar semuanya tentang bagaimana ia beristri, punya anak, dan mati muda, juga bagaimana namanya menjadi besar, menjadi mitos. Dan, Sumirat, gadis yang pernah dicintai dan mencintai Chairil habis-habisan itu bertutur (Intisari; Juni 1971):

…Kini Cril tiada lagi. Cril, penyair yang sepanjang hidupku kukagumi dan kudambakan, sebagai seorang penyair besar dari zamannya. Dia benar, Cril membuktikan dirinya orang besar, seperti selalu dikatakannya kepadaku. Dia meninggalkan seorang istri dan anak perempuan. Ingin aku bisa menjumpai mereka, bagaimanapun aku pernah mengenal baik dengan almarhum”.

Puisinya yang lain, yang juga dipersembahkan buat Sumirat sangat menampakkan romantisme, harapan, dan sanjungan yang luar biasa dan menggetarkan dari gelombang jiwa seorang Chairil. Puisi ini boleh dikatakan paling romantis, paling indah dan mewakili estetika yang lain. Estetika yang romantis, indah, lembut, dan menggetarkan ini menyajikan warna yang lain di samping warna puisi Chairil yang meledak-ledak; liar, dan ekspresif; yang melengkapi kedahsyatan kepenyairan Chairil Anwar. Saya kutipkan puisi itu untuk mengakhiri tulisan ini:


Sajak Putih
Buat tunanganku Mirat

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagimu menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak membelah……
Buat Miratku, Ratuku! Kubentuk dunia sendiri
Dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini!
Kecuplah aku terus, kecuplah
Dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku….***

* Penulis adalah penyair yang tinggal di Ngawi.
Selengkapnya: Puisi-puisi Cinta Chairil Anwar yang Menggetarkan

Dengar (Solopos, 2006)

Dimuat Solopos, 2006

jangan biarkan hati melapuk
tinggalkan diriku biarkan merayu
kau buat goresan yang belum jadi
lalu tersentak matamu mulai redup
ingatkan diriku terkenanglah dia
tak ingin ku ulang lagi tentang masalahku
-tentang semua

dengar !
inikah hati yang rapuh
mendengar risaunya bulan
menyayat sang panas
jangan biarkan, otak mulai meredam
tinggalkan masalah dahulu
senyum yang lupa terbawa entah kemana ?
biarkan diriku mengingat yang hilang-tentang dia
dengar !
mata memendam gunungnya rindu
daundaun tertanggalkan
membuat pita jadi hitam
tak ingin melapuk lebih dini
tak ingin merapuh lebih dini

dengarkanlah !

Karanganyar, 081106
Selengkapnya: Dengar (Solopos, 2006)

Aku Belum Tahu (Solopos, 2006)

Dimuat Solopos, 2006

seteguk rasa aku berikan 
siapa gadis dibalik ruang? 
menggetarkan jala pandang 
nantikan sua 
:secerah rupa senyum mengembang 
serasa lembut sentuhan banyu 
merayurayu mencemaskanku 
:untuk siapa ?
 

aduhai kawan dia tercipta
tapi siapa yang belum  tahu
disini menanti ragu 
segera usai perjalanan itu 
:walau sedetik ada yang rupa
setelah daundaun berguguran 
menyapu keraguan 
ada seteguk rasa yang tertukar

Karanganyar, 081106
Selengkapnya: Aku Belum Tahu (Solopos, 2006)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas