...
Bahwa setiap langkah yang harus ditempuh oleh profesi apa pun,
termasuk penyair, memerlukan proses yang panjang, salah satunya adalah
proses refleksi, kontemplasi, perenungan, baik mengenai materi yang akan
ditulis, maupun bentuk setelah jadi tulisan (setelah jadi puisi). Puisi
yang hari ini ditulis, ketika esok hari dibaca lagi, ternyata banyak
diksi yang tidak pas, banyak kata yang harus dibuang. Itulah sebabnya
Chairil Anwar perlu keranjang sampah untuk mewadahi kertas yang diremas,
yang berisi puisi yang gagal.
Puisi adalah karya
imajinasi penyair dalam bentuk larik-larik yang bermakna. Puisi adalah
bahasa yang padat, mampat. Puisi adalah dunia penuh makna, bahkan
menurut Abdul Hadi WM dalam Ayat-ayat Sastra (Junaedhie, 2013) puisi
merupakan sarana untuk mencari kebenaran atau memahami hidup. Ia juga
merupakan sarana ekspresi atau media untuk mewujudkan hidup, suatu hal
yang hakiki bagi manusia. Di dalam puisi, sebagaimana di dalam ilmu dan
seni yang lain, tercakup cita-cita manusia akan kebenaran, akan
kehidupan. Puisi juga bisa merupakan tanggapan terhadap secara batiniah,
lanjut Abdul Hadi WM. Karena itu puisi juga merupakan katarsis, upaya
bersih diri dari bentuk-bentuk kehidupan profan dengan nilai-nilai yang
transendental. Puisi bisa menjadi sarana ibadah, pernyataan baru, dan
cinta yang mendalam dan personal. Puisi menjadikan yang baru tetap baru,
yang aktual tetap aktual, karena berurusan dengan hal-hal yang
fundamental. Puisi bukan upaya untuk menyulap misteri.
Menulis
puisi melibatkan banyak hal yang cukup kompleks : pengalaman,
kedalaman, kejujuran, kecerdasan, dan sedikit kegilaan (Sarjono, 2010).
Semua dasar kepenyairan bermuara pada keterampilan teknis di satu sisi
dan wawasan sang penyair di sisi lain. Mengingat kompleksitas urusan
menulis puisi, puisi yang “baik” tidak mungkin lahir dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya.
Ada lima musuh puisi yang harus dihindari agar
menghasilkan puisi yang yahud menurut Agus R Sarjono. Kelima musuh puisi
itu adalah : keumuman, simplifikasi, propaganda dan reklame, klise, dan
nasihat. Hindarkan kelima hal tersebut dari puisi anda, jika puisi anda
ingin mencapai predikat puisi yahud.
Musuh pertama dalam puisi adalah keumuman. Puisi anti pandangan yang umum. Keumuman
harus dihindari. Sebagai contoh, pandangan umum mengenai sosok ibu
adalah perempuan yang mengandung 9 bulan, pemberi ASI, mulia, lembut,
penuh cinta kasih, penuh pengabdian, dan seterusnya. Jika anda menulis
puisi tentang ibu dengan pandangan umum itu, niscaya puisi anda tidak
akan menarik.
Musuh kedua dalam puisi adalah simplifikasi, yang
artinya penyederhanaan yang banyak hubungannya dengan kebiasaan
menggeneralisir atau menggebyah-uyah. Pandangan yang menggebyah-uyah,
menggeneralisir sangat dekat juga dengan keumuman di atas. Cara pandang
yang memukul-rata. Ini tidak akan melahirkan puisi yahud. Bahwa pengemis
itu pasti kumal, jorok, kotor. Bahwa guru ngaji itu pasti lurus, saleh,
suci. Bahwa Barat itu pasti TOP. Bahwa pacaran itu pasti ada dengan
adegan-adegan cinta mesra. Dan seterusnya.
Musuh ketiga dalam puisi adalah propaganda dan reklame.
Mengapa propaganda dan reklame menjadi musuh dalam menulis puisi,
karena kedua hal tersebut sering lepas dari hubungan personal dengan
manusia. Ada indoktrinasi. Ada intimidasi. Sudah pasti, hal ini
bertentangan dengan bahasa puisi yang ingin memagut hati, ingin bersunyi
dengan hati.
Musuh keempat dalam puisi adalah klise, artinya
puisi yang menggunakan kata-kata klise bukan puisi yahud. Kata, frasa,
klausa, ungkapan, kalimat klise artinya kata, frasa, klausa, ungkapan,
atau kalimat yang sudah ribuan kali digunakan sehingga tidak menimbulkan
suasana baru lagi. Penyair yang baik akan menciptakan ungkapan-ungkapan
baru sehingga puisinya segar, tidak klise. Beberapa ungkapan klise
misalnya wajahmu seperti bulan, matamu seperti bintang timur, pipimu bak
pauh dilayang, bibirmu merah delima, dan lain-lain. Di dunia iklan
dikenal beberapa ungkapan baru seperti senyum pepsodent, minum makanan
bergizi.
Musuh kelima ialah nasihat, maksudnya
puisi yang berisi nasihat sangat riskan karena orang yang menasihati
jika belum melaksanakan isi nasihat tersebut akan dijuluki orang yang
jarkoni, bisa ngajar tetapi tidak bisa nglakoni.
Musuh keenam (tambahan) adalah rumitisme. Puisi yang dibuat rumit dengan alih-alih agar tidak umum padahal tidak sampai pada makna yang dikehendaki.
Disarikan dari esai "PUISI-PUISI EKO SUSANTO : SEBUAH KRITIK REFLEKTIF" Oleh Esti Ismawati.
Sumber: Facebook Esti Ismawati
2 Komentar:
salam
salam
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)