Musuh atau Hal yang Perlu Dihindari dalam Menulis Puisi

Tuesday 13 May 2014

...
Bahwa setiap langkah yang harus ditempuh oleh profesi apa pun, termasuk penyair, memerlukan proses yang panjang, salah satunya adalah proses refleksi, kontemplasi, perenungan, baik mengenai materi yang akan ditulis, maupun bentuk setelah jadi tulisan (setelah jadi puisi). Puisi yang hari ini ditulis, ketika esok hari dibaca lagi, ternyata banyak diksi yang tidak pas, banyak kata yang harus dibuang. Itulah sebabnya Chairil Anwar perlu keranjang sampah untuk mewadahi kertas yang diremas, yang berisi puisi yang gagal.

Puisi adalah karya imajinasi penyair dalam bentuk larik-larik yang bermakna. Puisi adalah bahasa yang padat, mampat. Puisi adalah dunia penuh makna, bahkan menurut Abdul Hadi WM dalam Ayat-ayat Sastra (Junaedhie, 2013) puisi merupakan sarana untuk mencari kebenaran atau memahami hidup. Ia juga merupakan sarana ekspresi atau media untuk mewujudkan hidup, suatu hal yang hakiki bagi manusia. Di dalam puisi, sebagaimana di dalam ilmu dan seni yang lain, tercakup cita-cita manusia akan kebenaran, akan kehidupan. Puisi juga bisa merupakan tanggapan terhadap secara batiniah, lanjut Abdul Hadi WM. Karena itu puisi juga merupakan katarsis, upaya bersih diri dari bentuk-bentuk kehidupan profan dengan nilai-nilai yang transendental. Puisi bisa menjadi sarana ibadah, pernyataan baru, dan cinta yang mendalam dan personal. Puisi menjadikan yang baru tetap baru, yang aktual tetap aktual, karena berurusan dengan hal-hal yang fundamental. Puisi bukan upaya untuk menyulap misteri.

Menulis puisi melibatkan banyak hal yang cukup kompleks : pengalaman, kedalaman, kejujuran, kecerdasan, dan sedikit kegilaan (Sarjono, 2010). Semua dasar kepenyairan bermuara pada keterampilan teknis di satu sisi dan wawasan sang penyair di sisi lain. Mengingat kompleksitas urusan menulis puisi, puisi yang “baik” tidak mungkin lahir dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. 

Ada lima musuh puisi yang harus dihindari agar menghasilkan puisi yang yahud menurut Agus R Sarjono. Kelima musuh puisi itu adalah : keumuman, simplifikasi, propaganda dan reklame, klise, dan nasihat. Hindarkan kelima hal tersebut dari puisi anda, jika puisi anda ingin mencapai predikat puisi yahud.

Musuh pertama dalam puisi adalah keumuman. Puisi anti pandangan yang umum. Keumuman harus dihindari. Sebagai contoh, pandangan umum mengenai sosok ibu adalah perempuan yang mengandung 9 bulan, pemberi ASI, mulia, lembut, penuh cinta kasih, penuh pengabdian, dan seterusnya. Jika anda menulis puisi tentang ibu dengan pandangan umum itu, niscaya puisi anda tidak akan menarik. 

Musuh kedua dalam puisi adalah simplifikasi, yang artinya penyederhanaan yang banyak hubungannya dengan kebiasaan menggeneralisir atau menggebyah-uyah.  Pandangan yang menggebyah-uyah, menggeneralisir sangat dekat juga dengan keumuman di atas. Cara pandang yang memukul-rata. Ini tidak akan melahirkan puisi yahud. Bahwa pengemis itu pasti kumal, jorok, kotor. Bahwa guru ngaji itu pasti lurus, saleh, suci. Bahwa Barat itu pasti TOP. Bahwa pacaran itu pasti ada dengan adegan-adegan cinta mesra. Dan seterusnya.

Musuh ketiga dalam puisi adalah propaganda dan reklame. Mengapa propaganda dan reklame menjadi musuh dalam menulis puisi, karena kedua hal tersebut sering lepas dari hubungan personal dengan manusia. Ada indoktrinasi. Ada intimidasi. Sudah pasti, hal ini bertentangan dengan bahasa puisi yang ingin memagut hati, ingin bersunyi dengan hati.

Musuh keempat dalam puisi adalah klise, artinya puisi yang menggunakan kata-kata klise bukan puisi yahud. Kata, frasa, klausa, ungkapan, kalimat klise artinya kata, frasa, klausa, ungkapan, atau kalimat yang sudah ribuan kali digunakan sehingga tidak menimbulkan suasana baru lagi. Penyair yang baik akan menciptakan ungkapan-ungkapan baru sehingga puisinya segar, tidak klise. Beberapa ungkapan klise misalnya wajahmu seperti bulan, matamu seperti bintang timur, pipimu bak pauh dilayang, bibirmu merah delima, dan lain-lain. Di dunia iklan dikenal beberapa ungkapan baru seperti senyum pepsodent, minum makanan bergizi.

Musuh kelima ialah nasihat, maksudnya puisi yang berisi nasihat sangat riskan karena orang yang menasihati jika belum melaksanakan isi nasihat tersebut akan dijuluki orang yang jarkoni, bisa ngajar tetapi tidak bisa nglakoni.  

Musuh keenam (tambahan) adalah rumitisme. Puisi yang dibuat rumit dengan alih-alih agar tidak umum padahal tidak sampai pada makna yang dikehendaki.

Disarikan dari esai "PUISI-PUISI EKO SUSANTO : SEBUAH KRITIK REFLEKTIF" Oleh Esti Ismawati.

2 Komentar:

Anonymous said...

salam

Anonymous said...

salam

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas