(Esai) Tirani dan Benteng

Monday, 9 January 2012



Blog Entry Membaca Kembali Tirani dan Benteng Dalam Realitas Kekinian Kita


SALEMBA

Alma Mater, janganlah bersedih
Bila arakan ini bergerak perlahan
Menuju pemakaman
Siang ini 
Anakmu yang berani
Telah tersungkur ke bumi
Ketika melawan tirani
Taufiq Ismail [Tirani dan Benteng], 1966

Membaca sajak ini membuat saya teringat tragedi melawan orde baru yang dialami para mahasiswa menuju era reformasi salah satu di antaranya  adalah dari kampus perjuangan Trisakti di bulan Mei tahun 1998. Enam kuntum muda berjaket alma mater biru tua yang bersimbah darah gugur di halaman kampusnya sendiri, ditembus peluru ’karet’ yang pastinya sangat tajam hingga dada-dada para pemuda harapan bangsa itu penuh darah dan roboh sebagai pahlawan. 
Anakmu yang berani
Telah tersungkur ke bumi
Ketika melawan tirani

Sejarah yang senantiasa berulang, begitulah adanya kisah itu diputar kembali melalui sajak yang ditulis Taufiq Ismail yang ditulisnya pada era perlawanan mahasiswa melawan orde lama, melawan kemiskinan yang menjepit rakyat, melawan tirani. Sejarah kembali diputar dengan lakon-lakon berbeda nama. Sekali lagi melawan tirani, meski dengan sikap itu para mahasiswa itu harus tersungkur ke bumi.

Buku kumpulan puisi Tirani dan Benteng ini sendiri adalah buku yang ’terselamatkan’ dengan itikad baik sahabat Taufiq yakni Arief Budiman melalui edisi khusus majalah Gema Psicology. Ada kutipan dialog mengenai hal ini pada kata pengantar buku puisi ini yang diberi judul ’Sehabis Jam Malam di Stasiun Gambir’.

”Hei Fiq, biar aku terbitkan puisi-puisimu ini!” bujuknya. ”Tunggu dulu” jawab Taufiq, ”Jangan cepat-cepat. Biar aku endapkan dulu dan biasanya aku revisi. Ini ditulis masih seperti snapshot saja, belum diamplas. Belum sempat dihaluskan. Biar aku bawa dulu ke Pekalongan, besok aku mau pulang ambil batik dagangan.” 

Arief tidak mau melepaskan puisi-puisi taufiq itu dari tangannya dan bersikeras menerbitkannya, hingga akhirnya Taufiq mengalah.

Esoknya ketika di stasiun Gambir sedang menawar becak untuk pergi ke Pal Putih 6, bungkusan batik dan ransel yang berisi naskah naskah puisi tulisan tangan dalam map semuanya hilang dicuri orang. Keterkejutan dan kesedihan Taufiq itu menjadi rasa syukur ketika ia mengingat bahawa ada sebagian naskah puisinya yang sempat dibawa Arief Budiman dan sekarang terangkum dalam buku Tirani dan Benteng ini. Alhamdulillah, Alhamdulillah...gumam Taufiq. Dan inilah dia naskah yang selamat itu buku kumpulan puisi Tirani dan Benteng yang mengalami 3 kali penerbitan yakni oleh Penerbit Faset [judulnya Benteng], kemudian kumpulan itu disatukan dan ditambahkan 32 puisi yang ditulis antara 1960-1965 [Puisi-puisi menjelang Tirani dan Benteng] dan terakhir oleh Yayasan Indonesia, 2005.

Puisi-puisi yang sarat dengan tema sosial ini berisi kecemasan, kesangsian, kebebasan, harapan dan angan-angan, cita-cita dan tekad, setidaknya begitulah menurut Taufiq.
 
Ia yang memang mengalami masa-masa demonstrasi ini mengabadikan sejarah itu melalui puisi-puisinya dalam buku ini.
Coba bisa simak puisi berikut ini : 
BENDERA 
Mereka yang berpakaian hitam
Telah berhenti di depan sebuah rumah
Yang mengibarkan bendera duka
Dan masuk dengan paksa 
Mereka yang berpakaian hitam
Telah menurunkan bendera itu
Di hadapan seorang ibu yang tua
”Tidak ada pahlawan meninggal dunia!” 
Mereka yang berpakaian hitam
Dengan hati yang kelam
Telah meninggalkan rumah itu
Tergesa-gesa
Kemudian ibu tua itu
Perlahan menaikkan kembali
Bendera yang duka
Ke tiang yang duka
 
                                    1966 
Terasa sekali ini puisi ini adalah sebuah kesaksian terhadap kegalauan suasana politik yang terjadi ketika itu, sebuah kesaksian terhadap kedukaan seorang ibu yang boleh jadi juga mewakili seluruh negri ini karena sekumpulan mereka liris yang berpakaian hitam itu telah mengibarkan sekaligus menurunkan bendera duka itu sambil mengatakan dengan congkak bahwa ”Tidak ada pahlawan yang meninggal dunia!”, yang pergi dengan tergesa-gesa. Kemudian ditutup dengan paragraf terakhir yang begitu mendung, kemudian Ibu tua itu/ perlahan menaikkan kembali/ Bendera yang duka/ Ke tiang yang duka.
 
Bangsa yang kembali berduka atas tragedi kemanusiaan, kemiskinan dan situasi politik yang panas pada masa peralihan orde lama ke orde baru. Sebagaimana kini menjadi sangat aktual dengan kenyataan hari ini setelah era reformasi yang masih menyisakan banyak masalah meski untuk melewatinya kita telah mengorbankan 6 nyawa para mahasiswa di ujung peluru dalam kasus Semanggi 1 pada Mei 1998 dan sampai kini masih saja terkatung-katung kasus peradilannya padahal sudah 4 presiden berganti-ganti. 

Dari penguasa ke penguasa, hal-hal mendasar yang menjadi hak rakyat samakin sulit untuk dijangkau oleh rakyat negri kita. Hari ini barang-barang kebutuhan pokok kembali melonjak, rakyat sebagaimana ibu tua dalam puisi Taufiq itu seperti ’dipaksa’ lagi untuk menaikkan kembali bendera yang duka ke tiang yang duka.

Yang menarik, Taufiq yang mantan ketua senat mahasiswa FKHP UI pada tahun 1960 -   1961, Wakil Ketua Dewan Mahasiswa UI  (1961-1962) ini dikenal juga sebagai salah satu pendiri majalah sastra Horison yang paling lama bertahan di negri ini dan sampai hari ini masih eksis, dalam kumpulan buku ini membuat sebuah puisi dengan judul yang sama dengan majalah sastra yang didirikannya sebagai penanda semangat yang harus terus dipupuk meski semua badai riuh menghadang negri ini.

HORISON

Kami tidak bisa dibubarkan
Apalagi dicoba dihalaukan
Dari gelanggang ini 
Karena ke kemah kami
Sejarah sedang singgah
Dan mengulurkan tangannya yang ramah 
Tidak ada lagi sekarang waktu
Untuk merenung panjang, untuk ragu-ragu
Karena jalan masih jauh
Karena Arif telah gugur
Dan luka-luka duapuluh satu
                                                1966 
Puisi ini juga menyelipkan catatan tentang kematian Arif Rahman Hakim yang telah menjadi semacam tumbal bagi buah perjuangan yang harus ditegakkan dan menjadi sejarah yang akan terus dicatat untuk terus diingat bahwa kami tidak bisa dibubarkan/ apalagi dihalaukan/ dari gelanggang ini.

Buku ini juga dilengkapi dengan foto-foto yang juga menjadi saksi sejarah masa itu melalui jasa baik Dr. Suroso Soerojo dan Dr. Rushdy Husein dan konon pernah juga dipamerkan dalam pameran foto Kebangkitan Generasi Muda di Universitas Indonesia [Ismid Hadad dari Biro Penerangan KAMI Pusat yang mengkoordinir], dengan perancang artistiknya kawan-kawan mahasiswa Seni Rupa ITB.
 
Puisi terkadang memang terlalu sulit untuk dilepaskan dari kehidupan pengarang pada zamannya. Melalui 63 sajaknya dalam Tirani dan Benteng, Taufiq telah memberikan tanda penting kepada kita bahwa melalui sastra kita juga memberikan kontribusi bagi bangsa, bukan hanya dengan mengolah karya berkesenian atau bahkan sekedar merekam sejarah, akan tetapi juga mengobarkan semangat berjuang, melawan ketertindasan dan kezaliman penguasa dengan caranya sendiri yakni melalui sastra. Tidak sedikit karya sastra yang bisa menjadi abadi dengan keberaniannya menerjemahkan cita-cita banyak orang untuk bangkit dari berbagai persoalan yang menghadangnya. Sebagaimana ajakannya dalam baris-baris Salemba dengan mengatakan Alma Mater janganlah bersedih/ Bila arakan ini bergerak perlahan/ Menuju pemakaman/ Siang ini. Atau baris-baris bernada kuat dalam Horison bahwa Kami tidak bisa dibubarkan/ Apalagi dicoba dihalaukan/ Dari gelanggang ini/ Karena ke kemah kami/ Sejarah sedang singgah.

Bukankah saat ini kita juga tak boleh dibubarkan begitu saja dengan berbagai tekanan dan kondisi hari ini? Bukankah saat ini, di gelanggang inilah waktunya kita tak boleh ragu-ragu melawan segala bentuk kesewenang-wenangan Tirani dan para antek-anteknya yang jelas tidak punya nurani dengan mempertontonkan ketidakpeduliannya terhadap rakyat dengan masih sempatnya seorang mentri dan pejabat menonton konser ’Diana Rose’ bertiket puluhan juta di barisan depan sementara rakyatnya sulit makan, tak mampu beli minyak tanah dan harga-harga kebutuhan pokok terus melambung serta anak-anak berwajah pucat satu persatu mati kelaparan didera busung lapar di setiap sudut negrinya ?

Saya yakin dalam kondisi sekarang ini, Taufiq sepakat dengan rekannya sesama penyair yang ’hilang’ tak jelas rimbanya pada orde baru dengan goresan puisi terkenalnya, ”Hanya satu kata, Lawan!”. Sebuah puisi yang juga menjadi abadi karena diniatkan melawan Tirani yang membelenggunya.

”Apakah anda masih mau ambil bagian bersama dengan para penyair itu sekarang?”
”Bukankah boleh jadi sejarah sedang singgah ke kemah kita? dan anda para mahasiswa dan siapapun kaum intelektual negri yang besar ini, sedang ditantang menjadi pelaku dari sejarah itu sendiri? 



Wallohu ’alam bissawab.

Epri Tsaqib, Penyair
Maret 2008
Judul : Tirani dan Benteng, Dua Kumpulan Puisi
Penulis : Taufiq Ismail
Penerbit : Yayasan Indonesia
Cetakan : I, 2005
Tebal : 172 halaman
________________________________________________
Info : Anda tertarik mengoleksi buku ini? Caranya? Silahkan pesan melalui toko buku online dengan mengklik  http://epriabdurrahman.multiply.com/photos/album/58

Testimoni Andre Hardjana di belakang buku ini, ”Sebagai penyair dia tidak tergelincir pada slogan-slogan ”demi Ampera, demi revolusi, demi rakyat dan lain-lain. Di dalam pengungkapannya ia berhasil melahirkan suatu bahasa sederhana yang segar sehingga orisinilnya kemilau lantaran adanya daya penciptaan yang kuat.” [Majalah Basis, Juni 2006]

Harga Rp 30.000,-

Rantaikata :
http://epriabdurrahman.multiply.com/journal/item/135

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas