(Esai) Sastra Telah Mati?

Monday 9 January 2012

Edisi : Minggu, 12 Juli 2009 , Hal.VIII

Tidak. Sastra tidak mati.
Yang mati itu adalah sastrawan yang tidak mempunyai arti.” Barangkali jawaban seperti itulah yang saya terima ketika mengirim beberapa pesan pendek untuk beberapa kawan yang masih intens dalam pergerakan sastra. Namun jika dipahami lebih mendalam dari sekelumit percakapan di atas yang tak tuntas, apakah itu sebuah kebenaran?

Bisa ya. Bisa juga tidak. Dalam kenyataan sehari-sehari, sastra di negeri ini memang dalam keadaan timbul tenggelam. Enggan hidup tetapi takut mati. Bagi para pelaku sastra kenyataan itu memang sungguh menyakitkan. Namun bagi sebagian yang lain, kenyataan bahwa sastra semakin tersungkur dalam gerak kehidupan tidak memiliki arti apa-apa. Tanpa sastra toh dunia tetap berputar. Kehidupan akan terus berjalan karena sastra tak relevan dengan pembangunan. Mungkinkah? Mungkin saja. Siapa tahu.

Sebenarnya sastra memiliki arti penting dalam mengolah dan ikut campur dalam setiap laku dan gerak hidup manusia sejak dari berabad-abad lalu. Sastra diklaim dapat membawa inspirasi, pencerahan pola pikir, serta pembawa pesan moral walau hanya sebatas beberapa larik aksara.

Dan akhir-akhir ini (tentunya selepas dari tekanan rezim Soeharto), sastra di Indonesia sedikit mendapat angin segar. Buku-buku sastra membanjiri pasar, tetapi dapatkah itu bukti atau tolok ukur bahwa sastra di negeri ini sudah mulai bangkit dari kubur? Belum.

Tentu pembaca masih ingat booming-nya buku Laskar Pelangi yang belum lama berlalu. Orang-orang di kantor-kantor, sekolah-sekolah ramai membicarakan buku tersebut. Tetapi itu adalah berita bagusnya. Ada fakta yang tak pernah terbaca (kecuali oleh orang-orang yang menghabiskan hidupnya dengan buku) oleh khalayak umum bahwa buku itu tidak akan menjadi booming jika tidak diiklankan melalui sebuah acara favorit di salah satu stasiun televisi swasta. Begitupun oleh buku novel Ayat-ayat Cinta, jika tidak didukung oleh kekuatan sebuah jaringan tertentu, yang saya sebut lebih mirip seperti MLM. Lantas apakah booming-nya buku-buku tersebut dapat menjadi acuan bahwa sastra telah memamerkan kembali taringnya?

Perang idealisme
Dalam hidup, nilai itu bersifat relatif. Pada waktu-waktu ini, sastra(wan) menjadi kehilangan nilai dan hakikat seperti pada awal penciptaan. Sastra(wan) seperti lupa pada tugasnya dalam memberi pesan moral dalam hidup (terlepas dari kesan menggurui) melalui karya-karyanya. Para sastrawan lebih sibuk berperang pendapat, dan lewat fenomena akhir-akhir ini saya lihat mereka lebih mirip politisi yang saling berebut lapak kekuasaan lewat acara-acara temu sastra, dengan berdebat tentang idealisme mengenai apa dan siapa yang pantas dijadikan kiblat dalam berkarya.

Mereka sibuk mengumbar kata-kata atau lebih tepatnya adu urat syaraf daripada melihat kenyataan (atau mungkin ini bentuk rasa frustrasi para sastrawan?) bahwa sastra dalam kehidupan sehari-hari itu tidak berarti apa-apa. Sastra seperti sepintas angin lalu yang cepat hilang dan tidak meninggalkan suara. Mengapa?

Seharusnya kita tidak boleh lupa bahwa daya baca rakyat Indonesia masih sangat rendah. Pernah suatu kali, ketika saya mengikuti sebuah acara yang diadakan oleh Depdiknas di Ungaran, Semarang, bahwa daya baca rakyat Indonesia baru mencapai 0,5% (betapa sungguh memprihatinkan!) saja.

Dan, itu juga dapat dikatakan bahwa rakyat Indonesia nol buku dalam kehidupannya. Fakta itu baru yang membaca dan belum yang menulis. Lantas, adakah hubungannya dengan sastra? Tentu ada.

Sastra bersifat tekstual, sebuah buku dapat laku karena dibaca. Bukan dipergunjingkan apalagi diperdebatkan karena tidak sesuai dengan patokan idealisme para kritikus dan atau komunitas-komunitas tertentu.

Lalu, sudahkah sastra di negeri ini mencapai tahapan seperti itu? Masih jauh. Buku di negeri ini baru bernasib menjadi sebatas koleksi atau laku karena tren. Lantas, perlukah sastrawan berdebat dan adu urat syaraf tentang bentuk-bentuk ideal dalam sastra? Berdebat bagaimana bagusnya cara membaca puisi? Berdebat bagaimana bentuk Cerpen yang bagus? Perlukah menyombongkan kelompok-kelompok dan diri sendiri? Perlukah? Pentingkah? Tidak sama sekali. Nonsense.

Seharusnya, daripada energi orang-orang yang mengklaim dirinya sastrawan dibuang percuma untuk berdebat, akan lebih baik jika energi itu digunakan untuk mencari jalan mengapa sastra kita selalu bernasib tragis dan getir.

Mencari jalan mengapa buku-buku sastra tidak pernah menjadi pilihan utama baik oleh pembaca dan terlebih lagi oleh pihak penerbitan. Mencari jalan bagaimana cara rakyat Indonesia untuk menumbuhkan minat baca.

Menurut saya, sudah saatnya kita ambil bagian dari beberapa masalah di atas. Bisa saja dengan membangun rumah baca atau taman bacaan masyarakat, minimal untuk lingkungan sekitar tempat di mana kita tinggal.

Dengan demikian, kita ikut membangun sebuah pondasi awal di bidang pergerakan sastra yaitu salah satunya membaca. Jadi diharapkan untuk langkah ke depan, sastra tidak lagi berlari sendirian dan selalu terpinggirkan oleh zaman.

Sastra tidak lagi autis yang sibuk dengan dunianya sendiri dan sepi. Mungkinkah seorang sastrawan dapat ikut menanggung beban dan mengambil bagian dari tugas-tugas itu? Mungkin saja, siapa tahu. Karena itu hanya tentang masalah keberanian untuk mengambil sikap dan kepedulian dalam diri sendiri. Sastra tidak sebanding dengan ilmu Fisika, Kimia atau ilmu-ilmu lainnya. Akan tetapi bagi saya, sastra lebih tepatnya adalah ilmu hidup, agama dan Tuhan. o

*) Anusapati Wisanggeni
Bergiat di komunitas sastra Mejabolong, Solo, Komunitas Sastra Alit (Solo), Himpunan Pengarang Karanganyar (HPK), Lingkaran Seni dan Budaya Rakyat (Libat) Jakarta.

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas