Oleh Sutardji Calzoum Bachri
ENGKAU bilang puisi adalah dunia tersendiri sambil masih bertanya apakah hubungan puisi dengan realitas. Memang ungkapan yang serasa sudah menjadi klise itu-puisi adalah sebuah dunia-cenderung bisa disalah-pahami seakan puisi dan realitas bagaikan dua dunia terpisah mutlak satu sama lainnya. Hendaklah dipahami ketika engkau sedang menulis puisi atau karya sastra lainnya engkau sedang menulis di atas tulisan. Engkau tak mungkin menulis di atas kertas kosong.
Alam, sejarah, ikhwal, kejadian sehari-hari, sudah tertulis atau sedang menulis dirinya sendiri, dan ketika engkau menulis puisi engkau menulis di atasnya.
Puisi sebagaimana halnya imajinasi adalah upaya pembeba- san dari realitas, karena itu ia membutuhkan realitas. Eksistensi imajinasi hanya mungkin bila terpaut dengan realitas. Seperti imajinasi tentang perahu, kapal, takkan mungkin bila tak ada sungai atau lautan. Imajinasi menolak dan membebaskan diri dari realitas bagaikan dayung atau baling-baling kapal menolak dan membutuhkan sungai atau lautan. Engkau tak mungkin menulis di atas kertas kosong. Engkau menulis puisi di atas tulisan.
Mana mungkin ilham menyambarmu dan imajinasi mengurai dalam bait-bait sajakmu, kalau engkau tidak berdiri di suatu realitas.
Imajinasimu bisa aneh, eksentrik, sangat defamiliar, atau bagai bohong karena ia menolak realitas, namun bagaima-napun ia bertolak dari realitas dan karena itu ia membutuh-kannya.
Bahkan imajinasi yang “bohong” sekalipun membutuhkan fakta, realitas, untuk kondisinya agar bisa disebut bohong. Karena ia membutuhkan setakat fakta, setakat realitas tertentu, imajinasi cenderung mengandung setakat kejujuran.
Jangan heran kalau penguasa zalim risau terhadap karya sastra atau puisi, walaupun itu “cuma” fiksi.
Karena menulis sastra adalah menulis di atas tulisan (realitas), maka menulis pada hakikatnya pula menyembunyikan menyimpan, mengandung, menindih, melapis realitas.
Suatu saat engkau menulis bagaikan menusir foto realitas. Engkau tebalkan garis hidungnya, engkau panjangkan janggutnya, engkau hitamkan ubannya, engkau kasarkan kumisnya, dan engkau menciptakan foto lain yang beda dari foto sebelumnya (realitas). Dan realitas sekadar membayang dari bawah tulisanmu.
Menulis pada hakikatnya kegiatan meletakkan realitas di dalam posisi di bawah tulisan. Dalam karya sastra (puisi) realitas berada dalam situasi di bawah tulisan.
Di saat lain engkau bukan sekadar menusir, bahkan lebih ekstrem engkau simpan realitas jauh di bawah tulisanmu sehingga para pembaca yang kurang peka tidak mudah menyadarinya. Mereka mungkin bilang engkau sekadar ber-aneh aneh, absurd, asyik sendiri, eksentrik, atau kurang menyadari realitas ataupun sejarah.
Apa sebenarnya yang terjadi?
Pada karya semacam itu engkau sebenarnya telah membe- kukan realitas. Realitas yang teraktualisasi mengalir dalam kenyataan sehari-hari, engkau bekukan dalam puisimu. Aktualisasi realitas dibekukan, tidak berfungsi, dikembalikan menjadi sekadar potensi, yang janin, embrional.
Puisi atau sastra cenderung mengembalikan realitas menjadi telur.
Realitas itu ayam yang menciptakan telur imajinasi (puisi), dan puisi (imajinasi) itu ayam yang menciptakan telur realitas.
Realitas yang dibekukan dalam puisi sebagai telur akan menetas dan mendapatkan kelahiran baru (metamorfose) sebagai realitas baru dan mencerahkan pada hati, pikiran dan tangan para pembacanya. Telur itulah unsur depan sadar dari puisi. Tentang depan sadar ini aku tak mau berpanjang- panjang, baca tulisan SCB beberapa bulan lalu di Bentara.
Para pembaca yang kecewa terhadap karya sastra yang dianggapnya tidak menampakkan realitas samalah halnya dengan orang yang kecewa melihat tidak ada persamaan antara sebuah telur dengan seekor ayam.
Penyair yang mendedahkan (merujuk) begitu saja realitas tanpa meletakkan secara kreatif di bawah tulisannya, sama pula halnya dengan menyuruh pembacanya menetaskan ayam di mesin penetas.
Salah satu masalah yang muskil dari penyair adalah bagai-mana memosisikan realitas di bawah lapis larik-larik sajaknya, membekukan aktualitasnya, mengembalikannya menjadi potensi (telur) untuk kelak menetas kembali menjadi realitas baru (metamorfose) pada para pembacanya.
Jika penyair dengan ungkapan atau imajinasinya mampu menanggulangi masalah telurnya ini secara baik, saya kira ia cenderung bisa berhasil melahirkan sajak-sajak yang dalam.
Link http://teaterawan.blogspot.com/2010/02/penyair-dan-telurnya.html
Google books
ENGKAU bilang puisi adalah dunia tersendiri sambil masih bertanya apakah hubungan puisi dengan realitas. Memang ungkapan yang serasa sudah menjadi klise itu-puisi adalah sebuah dunia-cenderung bisa disalah-pahami seakan puisi dan realitas bagaikan dua dunia terpisah mutlak satu sama lainnya. Hendaklah dipahami ketika engkau sedang menulis puisi atau karya sastra lainnya engkau sedang menulis di atas tulisan. Engkau tak mungkin menulis di atas kertas kosong.
Alam, sejarah, ikhwal, kejadian sehari-hari, sudah tertulis atau sedang menulis dirinya sendiri, dan ketika engkau menulis puisi engkau menulis di atasnya.
Puisi sebagaimana halnya imajinasi adalah upaya pembeba- san dari realitas, karena itu ia membutuhkan realitas. Eksistensi imajinasi hanya mungkin bila terpaut dengan realitas. Seperti imajinasi tentang perahu, kapal, takkan mungkin bila tak ada sungai atau lautan. Imajinasi menolak dan membebaskan diri dari realitas bagaikan dayung atau baling-baling kapal menolak dan membutuhkan sungai atau lautan. Engkau tak mungkin menulis di atas kertas kosong. Engkau menulis puisi di atas tulisan.
Mana mungkin ilham menyambarmu dan imajinasi mengurai dalam bait-bait sajakmu, kalau engkau tidak berdiri di suatu realitas.
Imajinasimu bisa aneh, eksentrik, sangat defamiliar, atau bagai bohong karena ia menolak realitas, namun bagaima-napun ia bertolak dari realitas dan karena itu ia membutuh-kannya.
Bahkan imajinasi yang “bohong” sekalipun membutuhkan fakta, realitas, untuk kondisinya agar bisa disebut bohong. Karena ia membutuhkan setakat fakta, setakat realitas tertentu, imajinasi cenderung mengandung setakat kejujuran.
Jangan heran kalau penguasa zalim risau terhadap karya sastra atau puisi, walaupun itu “cuma” fiksi.
Karena menulis sastra adalah menulis di atas tulisan (realitas), maka menulis pada hakikatnya pula menyembunyikan menyimpan, mengandung, menindih, melapis realitas.
Suatu saat engkau menulis bagaikan menusir foto realitas. Engkau tebalkan garis hidungnya, engkau panjangkan janggutnya, engkau hitamkan ubannya, engkau kasarkan kumisnya, dan engkau menciptakan foto lain yang beda dari foto sebelumnya (realitas). Dan realitas sekadar membayang dari bawah tulisanmu.
Menulis pada hakikatnya kegiatan meletakkan realitas di dalam posisi di bawah tulisan. Dalam karya sastra (puisi) realitas berada dalam situasi di bawah tulisan.
Di saat lain engkau bukan sekadar menusir, bahkan lebih ekstrem engkau simpan realitas jauh di bawah tulisanmu sehingga para pembaca yang kurang peka tidak mudah menyadarinya. Mereka mungkin bilang engkau sekadar ber-aneh aneh, absurd, asyik sendiri, eksentrik, atau kurang menyadari realitas ataupun sejarah.
Apa sebenarnya yang terjadi?
Pada karya semacam itu engkau sebenarnya telah membe- kukan realitas. Realitas yang teraktualisasi mengalir dalam kenyataan sehari-hari, engkau bekukan dalam puisimu. Aktualisasi realitas dibekukan, tidak berfungsi, dikembalikan menjadi sekadar potensi, yang janin, embrional.
Puisi atau sastra cenderung mengembalikan realitas menjadi telur.
Realitas itu ayam yang menciptakan telur imajinasi (puisi), dan puisi (imajinasi) itu ayam yang menciptakan telur realitas.
Realitas yang dibekukan dalam puisi sebagai telur akan menetas dan mendapatkan kelahiran baru (metamorfose) sebagai realitas baru dan mencerahkan pada hati, pikiran dan tangan para pembacanya. Telur itulah unsur depan sadar dari puisi. Tentang depan sadar ini aku tak mau berpanjang- panjang, baca tulisan SCB beberapa bulan lalu di Bentara.
Para pembaca yang kecewa terhadap karya sastra yang dianggapnya tidak menampakkan realitas samalah halnya dengan orang yang kecewa melihat tidak ada persamaan antara sebuah telur dengan seekor ayam.
Penyair yang mendedahkan (merujuk) begitu saja realitas tanpa meletakkan secara kreatif di bawah tulisannya, sama pula halnya dengan menyuruh pembacanya menetaskan ayam di mesin penetas.
Salah satu masalah yang muskil dari penyair adalah bagai-mana memosisikan realitas di bawah lapis larik-larik sajaknya, membekukan aktualitasnya, mengembalikannya menjadi potensi (telur) untuk kelak menetas kembali menjadi realitas baru (metamorfose) pada para pembacanya.
Jika penyair dengan ungkapan atau imajinasinya mampu menanggulangi masalah telurnya ini secara baik, saya kira ia cenderung bisa berhasil melahirkan sajak-sajak yang dalam.
Link http://teaterawan.blogspot.com/2010/02/penyair-dan-telurnya.html
Google books
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)