Membaca Puisi Sesuai Porsi

Saturday 12 October 2013

Membaca puisi di depan audiens tentu tidak sama dengan membaca puisi di dalam kamar apa lagi dibaca dalam hati. Karena ranahnya masuk pada ranah pertunjukan. Sejauh ini masyarakat mengenalnya dengan nama ‘deklamasi’. Deklamasi berasal dari bahasa Latin yang maksudnya declamare atau declaim yang berarti membaca hasil sastra yang berbentuk puisi dengan lagu atau gerak tubuh sebagai alat bantu. Umumnya deklamasi berkaitan dengan puisi, tetapi membaca sebuah cerpen dengan lagu atau gerak tubuh juga bisa dikatakan mendeklamasi. Mendeklamasikan puisi atau cerpen bermakna membaca, tetapi membaca tidak sama dengan maksud mendeklamasi.

Sebenarnya penyebutan itu tidak pas, dikarenakan pembacaan karya sastra khususnya puisi memiliki dua jenis yang tentunya pembacanya juga disebut dengan sebutan yang berbeda. Berikut barangkali perlu dipaparkan mengenai kedua jenis pembacaan puisi di hadapan audiens:

1.    Deklamasi
Membaca puisi dengan cara deklamasi dilakukan tanpa membawa teks. Gaya atau ekspresi berdeklamasi lebih bebas dibandingkan poetry reading. Saya pribadi tidak pernah menggunakan teknik ini, disebabkan tidak mau menghafal teks puisi. Meski penampilan teknik deklamasi lebih maksimal. Karena tidak perlu direpotkan oleh teks yang harus dipegang. Risiko yang mungkin dihadapi adalah lupa di atas panggung, jika itu terjadi tamatlah! Keuntungan teknik ini adalah penjiwaan yang total, disebabkan tidak perlu berulang-ulang melihat tek, apa lagi dalam ruang dengan pencahayaan yang kurang. Deklamasi ini bagi beberapa orang cocok untuk pementasan puisi non-perlombaan. Tetapi untuk perlombaan dianggap tidak cocok karena ada syarat dan ketentuan yang mengikat. Tetapi sejauh pengamatan saya, syarat dan ketentuan tidak spesifik. Hanya soal mimik, ekspresi, intonasi, penguasaan panggung dan hal-hal berbau teknis biasa lainnya. Artinya anggapan tersebut dapat disebut masih anggapan sepihak.

2.    Poetry Reading
Membaca puisi dengan gaya ini dilakukan dengan membawa dan langsung membaca teks (tidak dihafal). Maka salah jika ada panitia yang membuat lomba membaca puisi tetapi mewajibkan pesertanya harus menghafal. Mestinya nama lomba adalah mendeklamasikan puisi, baru itu teks, konteks, dan juklak, serta juknis selaras. Keuntungan teknik ini, terhindar dari lupa teks. Sedangkan kekurangannya adalah teks yang dibawa kadang menganggu gerak juga penjiwaan. Jenis pembacaan ini yang konon paling pas untuk perlombaan, maka jangan heran jika melihat juara perlombaan puisi dari tingkat regional hingga nasional memiliki gaya yang monoton dengan intonasi yang tidak jauh berbeda. Saya jadi mengkiaskan, jika pembacaan puisi diamini sekaku itu apa jadinya jika penulisan puisi juga dibuat demikian? Puisi-puisi yang tercipta tentu gaya-gaya lama.

Selain kedua jenis tersebut, belakangan ini muncul wacana yang saya temukan dari beberapa perlombaan dan beberapa pertemuan penyair. Ada dua pengelompokan jenis puisi lagi, yakni pembacaan puisi ‘murni’ dan pembacaan puisi ‘teatrikal’. Pengelompokan jenis pembacaan ini berbeda dengan pengelompokan antara ‘deklamasi’ dan ‘poetry reading’. Pengelompokan dilihat dari gaya pembacaan secara menyeluruh. Pembacaan puisi murni adalah saat si pembaca tidak banyak melakukan gerak yang berlebih dan ekspresi yang juga berlebih. Yang lebih ditekankan pada pembacaan puisi jenis ini adalah aksentuasi. Ada anggapan bahwa pembacaan puisi dengan gerak berlebihan dan mimik melampaui kewajaran akan merusak teks puisi secara total.

Tentu saja lain anggapan bagi pembacaan puisi teatrikal yang memfungsikan secara maksimal semua anggota tubuh saat membaca teks puisi terutama yang menyangkut kinesik (gerak anggota tubuh). Bagi pembaca puisi teatrikal memanggungkan puisi berarti melepaskan diri dari teks yang mati dengan menghidupkan ruh, pesan, dan kesan melaui berbagai gerak, ekspresi, dan instrument-intrument pendukung lainnya. Menarik memang, pembaca puisi teatrikal mengesahkan semua tindakan di atas panggung asalkan mampu menghidupkan suasana tanpa mengesampingkan ruh dan pesan dari teks puisi. Termasuk menggumam, melanggang, bernyanyi, menghantak-hentakkan kaki sebelum memulai pembacaan atau lain sebagainya. Konsep yang bertambarakan antara pembacaan puisi murni dan teatrikal ini kerap menimbulkan polemik dalam kegiatan perlombaan pembacaan puisi. Ada saja dewan juri yang protes bahwasanya pembacaan puisi tidak memerlukan gumaman, langgam, atau nyanyian sebelum membaca puisi, apa lagi gerak yang berlebih dianggap sangat menganggau. Di sisi lain peserta akan protes keras bahwasanya selama tidak mengganggu muatan puisi itu sah saja.

Dari kasus tersebut baiknya memang harus dilakukan rapat penentuan jenis pembacaan puisi dalam perlombaan. Sayangnya, hingga saat ini semua mengambang begitu saja. Lagi pula namanya kesusastraan jika dilombakan memang hanya melahirkan dosa. Terutama dosa dewan juri, dari mana munculnya angka-angka dalam draft penilaian semisal 7.5, 8.0, 4.0, dan sebagainya? Apakah kesenian berubah jadi angka-angka pasti dalam dunia eksakta? Meski demikian, perlombaan kesusastraan masih dinilai perlu untuk memberi stimulus kepada masyarakat agar mau mengenali sastra dan jika bisa mencintai sastra. Soal dinamika dalam perlombaan sudah hal lumrah, jika datar-datar saja tidak menarik.

Keberhasilan Pembaca Puisi
Keberhasilan pembacaan puisi sangat ditentukan oleh kemampuan menyampaikan pesan teks puisi dan tidak kalah penting, adalah membentuk ruh puisi dalam ruang pembacaan baik berupa panggung, kelas, gedung, atau lapangan terbuka. Dikarenakan pentingnya penyampaian pesan teks puisi maka yang perlu dilakukan pertama kali adalah melakukan penafsiran atau interpretasi.

Harus dipahami bersama, interpretasi ini sifatnya sangat pribadi. Tidak ada penafsiran yang salah. Hal ini disebabkan karena puisi memiliki ciri ‘prismatis’. Tidak terang benderang sebagaimana berita di Koran. Tidak juga gelap seperti ruang tanpa penerangan. Sehingga memungkinkan terbukanya pemaknaan yang beragam. Tetapi mempribadinya proses penafsiran harus mempunyai alasan yang tepat dan logis, serta didukung oleh instrument-intrumen bahasa yang memadai. Semisal ada larik begini dalam sebuah puisi: “Kekasih, malam menabuh sunyi hingga gugur nyayi dari langit yang menyendiri”. Sebagian orang bisa menafsirkan ‘Kekasih’ di dalam puisi tersebut ditujukan kepada manusia yang dikasihi. Tetapi tidak menutup kemungkinan sebagian lagi menafsirkan bahwa ‘Kekasih’ ditujukan kepada Tuhan alam semesta.  Penafsiran ‘kekasih’ sebagai manusia atau penafsiran ‘kekasih’ sebagai Tuhan keduanya adalah sah. Melalui penafsiran pembaca dapat menemukan emosi di dalam teks puisi. Sehingga saat membacakannya benar-benar menjiwai. Tidak sekadar membaca dan selesai. Teknik jeda dan pemenggalan kata juga akan sangat tergantung pada proses ini.

Setelahnya barulah berbicara teknis, sebenarnya teknik pembacaan puisi sudah menjadi pembahasan yang lapuk, karena semenjak Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas materi itu sepertinya menjadi menu wajib dalam Lembar Kerja Siswa. Tetapi baiklah, tak ada salahnya mengulas kembali. Teknik utama yang harus dimiliki oleh pembaca puisi atau deklamator puisi (walau sebutan ini tidak pas mengingat ada dua jenis pembacaan puisi di depan audiens yang saya paparkan sebelumnya) adalah ‘olah vokal’.  Karena sangat berpengaruh pada ‘artikulasi’ dan ‘intonasi’.  Artikulasi atau pengucapan kata yang jelas dan tegas menunjang sampainya pesan ke audiens. Jika artikulasi payah, jangankan pesan, kata perkatanya saja terdengar tidak karuan. Apa lagi makna dari puisi yang dibacakan?

Banyak cara melatih artikulasi, memperbanyak senam muka, melafalkan huruf-huruf vokal dan konsonan secara berkala dan teratur dengan intensitas yang cukup (biasanya kelompok-kelompok teater melakukan olah vokal dan tubuh secara teratur). Ada pula yang berpendapat cara sederhana dengan menyelam dalam kolam dan melafalkan huruf sekeras-kerasnya (bagian ini pengalaman di pesantren, setiap pagi teriak-teriak di dalam kolam agar suaranya panjang dan artikulasi bagus), dan masih banyak lagi cara. Tetapi saya punya tips tersendiri, pelajarilah makharijul harfi dan tajwid dalam membaca Al-Qur’an, maka artikulasi tidak lagi menjadi masalah. Karena orang-orang yang mahfum dengan makharijul harfi dan tajwid tahu benar bagaimana mengucapkan huruf yang teratur dan tidak saling menyandung.

Selanjutnya ‘intonasi’; merupakan tekanan-tekanan  yang diberikan pada kata. Baik ‘Dinamika’ (keras-lemah),  ‘Nada’ (tinggi-rendah), maupun ‘Tempo’ (cepat-lambat). Jika olah vokal seseorang kurang niscahya akan kesulitan menurunkan dan menaikkan suara, bahkan bisa jadi saat suara sudah naik susah sekali untuk menurunkan sehingga kesannya seperti orang teriak-teriak, bukan membaca puisi. Pada keadaan tertentu tak jarang pembaca puisi mengeraskan suaranya terlampau keras bahkan seperti orang teriak-teriak tidak karuan. Tanpa disadari oleh pembaca puisi betapa teriakannya itu membuat telinga audiens sakit. Atau datar luar biasa seperti papan selancar sehingga tidak memberikan dinamika sama sekali. Hal ini bisa membunuh teks puisi, karena sejatinya teks puisi tidak mungkin datar. Ia menyajikan dinamika dan bunyi-bunyi baik yang dominan ataupun tidak.

Tetapi meski sudah memiliki teknik vokal yang baik,  tidak akan berhasil tanpa didampingi oleh ‘kontrol emosi’ yang mumpuni. Ada fenomena yang kerap saya temui ketika menjadi juri di beberapa lomba pembacaan puisi. Banyak pembaca yang menangis sejadi-jadinya—tersedu-sedulah si pembaca. Barangkali jika dikaji dari aspek totalitas akan ada anggapan bahwa menangis sejadi-jadinya adalah bagian dari totalitas, benarkah begitu? Menangis bukan hal yang ‘haram’ dalam pembacaan puisi, selama sesuai dengan teks dan konteks. Akan tetapi harus juga diperhatikan pelafalan kata perkatanya. Kebanyakan saat menangis kata yang keluar tak berwujud, semacam igauan dan isakan saja.

Kasus lain adalah si tukang teriak—teriakan berlebih (lepas kontrol) selain disebabkan oleh olah vokal yang kurang juga dipengaruhi emosi yang tidak stabil bahkan boleh dibilang labil. Dikarenakan meluap-luapnya emosi pembaca, katakanlah saat membaca puisi-puisi protes sosialnya Rendra atau Wiji Thukul, si pembaca dari awal hingga akhir hanya teriak. Ini sejenis dengan pembaca yang datar. Karena sejatinya sama-sama pada nada yang serupa. Bedanya, teriakan bisa membuat pembaca memilih pulang sebab telinganya sakit.

Manusia selalu berurusan dengan ruang, maka saat membaca puisi juga harus memperhatikan ruang. Dalam dunia akademik hal ini lebih dikenal dengan penguasaan panggung. Akan tetapi melihat kenyataan pembacaan puisi tidak selalu di atas panggung atau di dalam gedung saja. Tidak jarang pembacaan puisi di lapangan terbuka semisal dalam acara Jambore Pramuka, atau di atas gunung yang digelar oleh para pecinta alam. Maka harus paham benar tempat di mana membaca puisi. Jika tempat membaca puisi adalah lapangan terbuka, dan panitia sengaja tidak menyediakan alat pengeras suara, maka bersiap-siaplah mengoptimalkan suara. Supaya tidak tertelan oleh riuhnya audiens dan luasnya medium. Pada keadaan ini, baiknya kita membaca dengan keras; keras di sini bukan berarti ‘teriak’ melainkan untuk memastikan audiens bisa mendengar, minimal jarak beberapa meter dari tempat berdiri.

Jika bertempat di gedung yang tidak seberapa besar dengan konsep bangunan tanpa pengedap suara sehingga mudah menimbulkan gaung, sedangkan panitia mewajibkan pembaca menggunakan pengeras suara, bagaimana mensiasatinya?  Teknik penggunaan pengeras suara pada keadaan ini sangat dibutuhkan. Karena jika terlalu dekat terutama saat suara naik akan mengaburkan aksentuasi. Maka saat menaikkan suara ambil jarak yang cukup antara mulut dengan pengaras suara. Saat menurunkan suara bergegaslah mendekati pengeras suara. Perpindahan posisi dari pengeras suara juga harus dilakukan dengan baik. Agar tidak tampak sekali perpindahannya. Repot, memang. Tetapi dengan latihan yang cukup tidak akan jadi kendala yang berarti.

Hal lain yang kadang luput dari perhatian pembaca puisi adalah waktu pembacaan. Jika waktu pembacaan siang hari dan di luar ruangan tantangannya adalah matahari yang terlalu silau (berbeda jika hujan, acara bisa dihentikan panitia). Maka cari tempat yang tidak terkena cahaya matahari secara langsung agar tidak mengganggu proses pembacaan. Bagaimana jika malam hari? Tantangannya adalah penataan lampu. Jika lampu berada di depan panggung, jangan coba-coba maju dan berdiri membelakangi lampu. Karena yang terjadi, pembaca tidak akan terlihat jelas. Baiknya ambil langkah mundur beberapa langkah, tepatnya di tengah panggung. Dengan begitu audiens akan melihat pembaca dengan pencahayaan yang proporsional.

Salah satu aspek yang saling berikatan dengan penguasaan ruang adalah ‘penguasaan audiens’. Pembaca yang baik harus melakukan orientasi audiens beberapa saat sebelum membaca. Bayangkan jika harus membaca di depan anak Sekolah Dasar yang senang bermain-main, gaduh, dan tidak begitu memperhatikan. Terlebih pembacaan dilakukan di lapangan sekolah sebagaimana yang saya lakukan beberapa waktu lalu. Dengan penonton yang tersebar ke berbagai sudut dan ketidakfokusan audiens, yang dilakukan adalah membaca puisi sambil berjalan mendekati berbagai sudut, jika sudut kiri mulai tidak fokus beralihkan ke kiri untuk mengalihkan pandangan, begitu pula berlaku untuk beberapa sudut lainnya. Hal ini efektif, sebab meski masih Sekolah Dasar, saat anak-anak itu merasa diperhatikan mereka akan berbalik memperhatikan pembaca. Ini sudah menjadi hukum alam. Dan banyak lagi kemungkinan-kemungkinan yang mengharuskan pembaca secerdik mungkin menghadapi audiens.

Penguasaan audiens juga sangat berpengaruh pada pembawaan; tenang/tidak canggung (ketenangan saat di hadapan audiens menunjukkan mental yang bagus), gerak-gerik yang wajar (over acting bukan hal yang mengesankan, bahkan sebaliknya; memberi kesan membosankan atau membuat audiens mual), dan pemetaan fokus mata yang tepat (mata adalah alat bicara selain mulut, maka saat membaca puisi gunakan mata sebagai alat transformasi makna). Orientasi audiens juga mempengaruhi mood pembacaan, sebab jika tanpa orientasi pembaca tidak tahu respon apa yang akan terjadi, dan jika respon kurang menggembirakan dapat membuat pembaca badmood dan tentu pembacaan jadi tidk maksimal. Hal yang perlu diperhatikan juga adalah teks puisi yang dibawa. Jangan sampai teks puisi menutupi wajah karena diangkat sejajar dengan wajah. Jika itu terjadi sudah pasti pembaca tidak melihat pembaca melainkan hanya kertas.

Pada dasarnya pembacaan puisi kurang lebih sama dengan penulisan puisi. Ada kebebasan yang ditawarkan di sana. Penguasaan teori pembacaan puisi memang diperlukan. Akan tetapi hati-hati dengan dampak yang mungkin ditimbulkan. Bisa saja pembacaan yang semula dianggap akan jadi baik sebab sudah mengikuti teori-teori yang ada dan menguasai tekniknya. Akhirnya jadi sangat kaku dan membosankan. Karena bukan jiwanya yang membaca melainkan logika. Semua sudah paham, karya tanpa jiwa sama dengan kematian. Alangkah malangnya jika kita berkarya hanya dengan logika? Toh, saat kita mengimani adanya Tuhan tidak semua dapat dilogikakan. Semisal logika Nabi Musa yang meminta bertemu Tuhan di bukit Thursina yang akhirnya tidak sanggup atau logika Nabi Ibrahim yang sempat menganggap bulan dan matahari sebagai Tuhan yang akhirnya memahami keesaan-Nya. Demikian sedikit sekali paham saya, semoga bermanfaat. Salam Merdeka Jiwa dan Badan.

Cilegon. 09.10.2013

Ditulis: Muhammad Rois Rinaldi
Ketua Komite Sastra Cilegon

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas