Membaca puisi di depan audiens tentu tidak sama dengan membaca puisi
di dalam kamar apa lagi dibaca dalam hati. Karena ranahnya masuk pada
ranah pertunjukan. Sejauh ini masyarakat mengenalnya dengan nama
‘deklamasi’. Deklamasi berasal dari bahasa Latin yang maksudnya
declamare atau declaim yang berarti membaca hasil sastra yang berbentuk
puisi dengan lagu atau gerak tubuh sebagai alat bantu. Umumnya deklamasi
berkaitan dengan puisi, tetapi membaca sebuah cerpen dengan lagu atau
gerak tubuh juga bisa dikatakan mendeklamasi. Mendeklamasikan puisi atau
cerpen bermakna membaca, tetapi membaca tidak sama dengan maksud
mendeklamasi.
Sebenarnya penyebutan itu tidak pas,
dikarenakan pembacaan karya sastra khususnya puisi memiliki dua jenis
yang tentunya pembacanya juga disebut dengan sebutan yang berbeda.
Berikut barangkali perlu dipaparkan mengenai kedua jenis pembacaan puisi
di hadapan audiens:
1. Deklamasi
Membaca
puisi dengan cara deklamasi dilakukan tanpa membawa teks. Gaya atau
ekspresi berdeklamasi lebih bebas dibandingkan poetry reading. Saya
pribadi tidak pernah menggunakan teknik ini, disebabkan tidak mau
menghafal teks puisi. Meski penampilan teknik deklamasi lebih maksimal.
Karena tidak perlu direpotkan oleh teks yang harus dipegang. Risiko yang
mungkin dihadapi adalah lupa di atas panggung, jika itu terjadi
tamatlah! Keuntungan teknik ini adalah penjiwaan yang total, disebabkan
tidak perlu berulang-ulang melihat tek, apa lagi dalam ruang dengan
pencahayaan yang kurang. Deklamasi ini bagi beberapa orang cocok untuk
pementasan puisi non-perlombaan. Tetapi untuk perlombaan dianggap tidak
cocok karena ada syarat dan ketentuan yang mengikat. Tetapi sejauh
pengamatan saya, syarat dan ketentuan tidak spesifik. Hanya soal mimik,
ekspresi, intonasi, penguasaan panggung dan hal-hal berbau teknis biasa
lainnya. Artinya anggapan tersebut dapat disebut masih anggapan sepihak.
2. Poetry Reading
Membaca
puisi dengan gaya ini dilakukan dengan membawa dan langsung membaca
teks (tidak dihafal). Maka salah jika ada panitia yang membuat lomba
membaca puisi tetapi mewajibkan pesertanya harus menghafal. Mestinya
nama lomba adalah mendeklamasikan puisi, baru itu teks, konteks, dan
juklak, serta juknis selaras. Keuntungan teknik ini, terhindar dari lupa
teks. Sedangkan kekurangannya adalah teks yang dibawa kadang menganggu
gerak juga penjiwaan. Jenis pembacaan ini yang konon paling pas untuk
perlombaan, maka jangan heran jika melihat juara perlombaan puisi dari
tingkat regional hingga nasional memiliki gaya yang monoton dengan
intonasi yang tidak jauh berbeda. Saya jadi mengkiaskan, jika pembacaan
puisi diamini sekaku itu apa jadinya jika penulisan puisi juga dibuat
demikian? Puisi-puisi yang tercipta tentu gaya-gaya lama.
Selain
kedua jenis tersebut, belakangan ini muncul wacana yang saya temukan
dari beberapa perlombaan dan beberapa pertemuan penyair. Ada dua
pengelompokan jenis puisi lagi, yakni pembacaan puisi ‘murni’ dan
pembacaan puisi ‘teatrikal’. Pengelompokan jenis pembacaan ini berbeda
dengan pengelompokan antara ‘deklamasi’ dan ‘poetry reading’.
Pengelompokan dilihat dari gaya pembacaan secara menyeluruh. Pembacaan
puisi murni adalah saat si pembaca tidak banyak melakukan gerak yang
berlebih dan ekspresi yang juga berlebih. Yang lebih ditekankan pada
pembacaan puisi jenis ini adalah aksentuasi. Ada anggapan bahwa
pembacaan puisi dengan gerak berlebihan dan mimik melampaui kewajaran
akan merusak teks puisi secara total.
Tentu saja lain
anggapan bagi pembacaan puisi teatrikal yang memfungsikan secara
maksimal semua anggota tubuh saat membaca teks puisi terutama yang
menyangkut kinesik (gerak anggota tubuh). Bagi pembaca puisi teatrikal
memanggungkan puisi berarti melepaskan diri dari teks yang mati dengan
menghidupkan ruh, pesan, dan kesan melaui berbagai gerak, ekspresi, dan
instrument-intrument pendukung lainnya. Menarik memang, pembaca puisi
teatrikal mengesahkan semua tindakan di atas panggung asalkan mampu
menghidupkan suasana tanpa mengesampingkan ruh dan pesan dari teks
puisi. Termasuk menggumam, melanggang, bernyanyi, menghantak-hentakkan
kaki sebelum memulai pembacaan atau lain sebagainya. Konsep yang
bertambarakan antara pembacaan puisi murni dan teatrikal ini kerap
menimbulkan polemik dalam kegiatan perlombaan pembacaan puisi. Ada saja
dewan juri yang protes bahwasanya pembacaan puisi tidak memerlukan
gumaman, langgam, atau nyanyian sebelum membaca puisi, apa lagi gerak
yang berlebih dianggap sangat menganggau. Di sisi lain peserta akan
protes keras bahwasanya selama tidak mengganggu muatan puisi itu sah
saja.
Dari kasus tersebut baiknya memang harus dilakukan
rapat penentuan jenis pembacaan puisi dalam perlombaan. Sayangnya,
hingga saat ini semua mengambang begitu saja. Lagi pula namanya
kesusastraan jika dilombakan memang hanya melahirkan dosa. Terutama dosa
dewan juri, dari mana munculnya angka-angka dalam draft penilaian
semisal 7.5, 8.0, 4.0, dan sebagainya? Apakah kesenian berubah jadi
angka-angka pasti dalam dunia eksakta? Meski demikian, perlombaan
kesusastraan masih dinilai perlu untuk memberi stimulus kepada
masyarakat agar mau mengenali sastra dan jika bisa mencintai sastra.
Soal dinamika dalam perlombaan sudah hal lumrah, jika datar-datar saja
tidak menarik.
Keberhasilan Pembaca Puisi
Keberhasilan
pembacaan puisi sangat ditentukan oleh kemampuan menyampaikan pesan
teks puisi dan tidak kalah penting, adalah membentuk ruh puisi dalam
ruang pembacaan baik berupa panggung, kelas, gedung, atau lapangan
terbuka. Dikarenakan pentingnya penyampaian pesan teks puisi maka yang
perlu dilakukan pertama kali adalah melakukan penafsiran atau
interpretasi.
Harus dipahami bersama, interpretasi ini
sifatnya sangat pribadi. Tidak ada penafsiran yang salah. Hal ini
disebabkan karena puisi memiliki ciri ‘prismatis’. Tidak terang
benderang sebagaimana berita di Koran. Tidak juga gelap seperti ruang
tanpa penerangan. Sehingga memungkinkan terbukanya pemaknaan yang
beragam. Tetapi mempribadinya proses penafsiran harus mempunyai alasan
yang tepat dan logis, serta didukung oleh instrument-intrumen bahasa
yang memadai. Semisal ada larik begini dalam sebuah puisi: “Kekasih,
malam menabuh sunyi hingga gugur nyayi dari langit yang menyendiri”.
Sebagian orang bisa menafsirkan ‘Kekasih’ di dalam puisi tersebut
ditujukan kepada manusia yang dikasihi. Tetapi tidak menutup kemungkinan
sebagian lagi menafsirkan bahwa ‘Kekasih’ ditujukan kepada Tuhan alam
semesta. Penafsiran ‘kekasih’ sebagai manusia atau penafsiran ‘kekasih’
sebagai Tuhan keduanya adalah sah. Melalui penafsiran pembaca dapat
menemukan emosi di dalam teks puisi. Sehingga saat membacakannya
benar-benar menjiwai. Tidak sekadar membaca dan selesai. Teknik jeda dan
pemenggalan kata juga akan sangat tergantung pada proses ini.
Setelahnya
barulah berbicara teknis, sebenarnya teknik pembacaan puisi sudah
menjadi pembahasan yang lapuk, karena semenjak Sekolah Dasar hingga
Sekolah Menengah Atas materi itu sepertinya menjadi menu wajib dalam
Lembar Kerja Siswa. Tetapi baiklah, tak ada salahnya
mengulas kembali. Teknik utama yang harus dimiliki oleh pembaca puisi
atau deklamator puisi (walau sebutan ini tidak pas mengingat ada dua
jenis pembacaan puisi di depan audiens yang saya paparkan sebelumnya) adalah
‘olah vokal’. Karena sangat berpengaruh pada ‘artikulasi’ dan
‘intonasi’. Artikulasi atau pengucapan kata yang jelas dan tegas
menunjang sampainya pesan ke audiens. Jika artikulasi payah, jangankan
pesan, kata perkatanya saja terdengar tidak karuan. Apa lagi makna dari
puisi yang dibacakan?
Banyak cara melatih artikulasi,
memperbanyak senam muka, melafalkan huruf-huruf vokal dan konsonan
secara berkala dan teratur dengan intensitas yang cukup (biasanya
kelompok-kelompok teater melakukan olah vokal dan tubuh secara teratur).
Ada pula yang berpendapat cara sederhana dengan menyelam dalam kolam
dan melafalkan huruf sekeras-kerasnya (bagian ini pengalaman di
pesantren, setiap pagi teriak-teriak di dalam kolam agar suaranya
panjang dan artikulasi bagus), dan masih banyak lagi cara. Tetapi saya
punya tips tersendiri, pelajarilah makharijul harfi dan tajwid dalam
membaca Al-Qur’an, maka artikulasi tidak lagi menjadi masalah. Karena
orang-orang yang mahfum dengan makharijul harfi dan tajwid tahu benar
bagaimana mengucapkan huruf yang teratur dan tidak saling menyandung.
Selanjutnya
‘intonasi’; merupakan tekanan-tekanan yang diberikan pada kata. Baik
‘Dinamika’ (keras-lemah), ‘Nada’ (tinggi-rendah), maupun ‘Tempo’
(cepat-lambat). Jika olah vokal seseorang kurang niscahya akan kesulitan
menurunkan dan menaikkan suara, bahkan bisa jadi saat suara sudah naik
susah sekali untuk menurunkan sehingga kesannya seperti orang
teriak-teriak, bukan membaca puisi. Pada keadaan tertentu tak jarang
pembaca puisi mengeraskan suaranya terlampau keras bahkan seperti orang
teriak-teriak tidak karuan. Tanpa disadari oleh pembaca puisi betapa
teriakannya itu membuat telinga audiens sakit. Atau datar luar biasa
seperti papan selancar sehingga tidak memberikan dinamika sama sekali.
Hal ini bisa membunuh teks puisi, karena sejatinya teks puisi tidak
mungkin datar. Ia menyajikan dinamika dan bunyi-bunyi baik yang dominan
ataupun tidak.
Tetapi meski sudah memiliki teknik vokal
yang baik, tidak akan berhasil tanpa didampingi oleh ‘kontrol emosi’
yang mumpuni. Ada fenomena yang kerap saya temui ketika menjadi juri di
beberapa lomba pembacaan puisi. Banyak pembaca yang menangis
sejadi-jadinya—tersedu-sedulah si pembaca. Barangkali jika dikaji dari
aspek totalitas akan ada anggapan bahwa menangis sejadi-jadinya adalah
bagian dari totalitas, benarkah begitu? Menangis bukan hal yang ‘haram’
dalam pembacaan puisi, selama sesuai dengan teks dan konteks. Akan
tetapi harus juga diperhatikan pelafalan kata perkatanya. Kebanyakan
saat menangis kata yang keluar tak berwujud, semacam igauan dan isakan
saja.
Kasus lain adalah si tukang teriak—teriakan berlebih
(lepas kontrol) selain disebabkan oleh olah vokal yang kurang juga
dipengaruhi emosi yang tidak stabil bahkan boleh dibilang labil.
Dikarenakan meluap-luapnya emosi pembaca, katakanlah saat membaca
puisi-puisi protes sosialnya Rendra atau Wiji Thukul, si pembaca dari
awal hingga akhir hanya teriak. Ini sejenis dengan pembaca yang datar.
Karena sejatinya sama-sama pada nada yang serupa. Bedanya, teriakan bisa
membuat pembaca memilih pulang sebab telinganya sakit.
Manusia selalu berurusan dengan ruang, maka saat membaca puisi juga harus memperhatikan ruang. Dalam
dunia akademik hal ini lebih dikenal dengan penguasaan panggung. Akan
tetapi melihat kenyataan pembacaan puisi tidak selalu di atas panggung
atau di dalam gedung saja. Tidak jarang pembacaan puisi di lapangan
terbuka semisal dalam acara Jambore Pramuka, atau di atas gunung yang
digelar oleh para pecinta alam. Maka harus paham benar tempat di mana
membaca puisi. Jika tempat membaca puisi adalah lapangan terbuka, dan
panitia sengaja tidak menyediakan alat pengeras suara, maka
bersiap-siaplah mengoptimalkan suara. Supaya tidak tertelan oleh riuhnya
audiens dan luasnya medium. Pada keadaan ini, baiknya kita membaca
dengan keras; keras di sini bukan berarti ‘teriak’ melainkan untuk
memastikan audiens bisa mendengar, minimal jarak beberapa meter dari
tempat berdiri.
Jika bertempat di gedung yang tidak
seberapa besar dengan konsep bangunan tanpa pengedap suara sehingga
mudah menimbulkan gaung, sedangkan panitia mewajibkan pembaca
menggunakan pengeras suara, bagaimana mensiasatinya? Teknik penggunaan
pengeras suara pada keadaan ini sangat dibutuhkan. Karena jika terlalu
dekat terutama saat suara naik akan mengaburkan aksentuasi. Maka saat
menaikkan suara ambil jarak yang cukup antara mulut dengan pengaras
suara. Saat menurunkan suara bergegaslah mendekati pengeras suara.
Perpindahan posisi dari pengeras suara juga harus dilakukan dengan baik.
Agar tidak tampak sekali perpindahannya. Repot, memang. Tetapi dengan
latihan yang cukup tidak akan jadi kendala yang berarti.
Hal
lain yang kadang luput dari perhatian pembaca puisi adalah waktu
pembacaan. Jika waktu pembacaan siang hari dan di luar ruangan
tantangannya adalah matahari yang terlalu silau (berbeda jika hujan,
acara bisa dihentikan panitia). Maka cari tempat yang tidak terkena
cahaya matahari secara langsung agar tidak mengganggu proses pembacaan.
Bagaimana jika malam hari? Tantangannya adalah penataan lampu. Jika
lampu berada di depan panggung, jangan coba-coba maju dan berdiri
membelakangi lampu. Karena yang terjadi, pembaca tidak akan terlihat
jelas. Baiknya ambil langkah mundur beberapa langkah, tepatnya di tengah
panggung. Dengan begitu audiens akan melihat pembaca dengan pencahayaan
yang proporsional.
Salah satu aspek yang saling berikatan dengan penguasaan ruang adalah ‘penguasaan audiens’.
Pembaca yang baik harus melakukan orientasi audiens beberapa saat
sebelum membaca. Bayangkan jika harus membaca di depan anak Sekolah
Dasar yang senang bermain-main, gaduh, dan tidak begitu memperhatikan.
Terlebih pembacaan dilakukan di lapangan sekolah sebagaimana yang saya
lakukan beberapa waktu lalu. Dengan penonton yang tersebar ke berbagai
sudut dan ketidakfokusan audiens, yang dilakukan adalah membaca puisi
sambil berjalan mendekati berbagai sudut, jika sudut kiri mulai tidak
fokus beralihkan ke kiri untuk mengalihkan pandangan, begitu pula
berlaku untuk beberapa sudut lainnya. Hal ini efektif, sebab meski masih
Sekolah Dasar, saat anak-anak itu merasa diperhatikan mereka akan
berbalik memperhatikan pembaca. Ini sudah menjadi hukum alam. Dan banyak
lagi kemungkinan-kemungkinan yang mengharuskan pembaca secerdik mungkin
menghadapi audiens.
Penguasaan audiens juga sangat
berpengaruh pada pembawaan; tenang/tidak canggung (ketenangan saat di
hadapan audiens menunjukkan mental yang bagus), gerak-gerik yang wajar
(over acting bukan hal yang mengesankan, bahkan sebaliknya; memberi
kesan membosankan atau membuat audiens mual), dan pemetaan fokus mata
yang tepat (mata adalah alat bicara selain mulut, maka saat membaca
puisi gunakan mata sebagai alat transformasi makna). Orientasi audiens
juga mempengaruhi mood pembacaan, sebab jika tanpa orientasi pembaca
tidak tahu respon apa yang akan terjadi, dan jika respon kurang
menggembirakan dapat membuat pembaca badmood dan tentu pembacaan jadi
tidk maksimal. Hal yang perlu diperhatikan juga adalah teks puisi yang
dibawa. Jangan sampai teks puisi menutupi wajah karena diangkat sejajar
dengan wajah. Jika itu terjadi sudah pasti pembaca tidak melihat pembaca
melainkan hanya kertas.
Pada dasarnya pembacaan puisi
kurang lebih sama dengan penulisan puisi. Ada kebebasan yang ditawarkan
di sana. Penguasaan teori pembacaan puisi memang diperlukan. Akan tetapi
hati-hati dengan dampak yang mungkin ditimbulkan. Bisa saja pembacaan
yang semula dianggap akan jadi baik sebab sudah mengikuti teori-teori
yang ada dan menguasai tekniknya. Akhirnya jadi sangat kaku dan
membosankan. Karena bukan jiwanya yang membaca melainkan logika. Semua
sudah paham, karya tanpa jiwa sama dengan kematian. Alangkah malangnya
jika kita berkarya hanya dengan logika? Toh, saat kita mengimani adanya
Tuhan tidak semua dapat dilogikakan. Semisal logika Nabi Musa yang
meminta bertemu Tuhan di bukit Thursina yang akhirnya tidak sanggup atau
logika Nabi Ibrahim yang sempat menganggap bulan dan matahari sebagai
Tuhan yang akhirnya memahami keesaan-Nya. Demikian sedikit sekali paham
saya, semoga bermanfaat. Salam Merdeka Jiwa dan Badan.
Cilegon. 09.10.2013
Ditulis: Muhammad Rois Rinaldi
Ketua Komite Sastra Cilegon
Sumber facebook Muhammad Rois Rinaldi
Disarankan untuk membaca, http://pemudabanten.blogspot.com/2013/10/teknik-membaca-puisi.html
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)