Oleh Saut Situmorang
Di saat sedang membaca puisi, terutama kalau puisi yang sedang saya
baca itu mampu menimbulkan apa yang oleh si pemikir Junani Kuno
Aristoteles disebut sebagai “katharsis”, yaitu semacam rasa
nikmat ekstasi-tekstual, atau tekstasi, saya selalu dikonfrontasi oleh
sebuah pertanyaan: Kenapa bisa timbul tekstasi tersebut? Apa yang
menyebabkannya?
Tapi perlu saya tambahkan buru-buru bahwa “rasa nikmat
ekstasi-tekstual” atau “tekstasi” itu tidak terjadi karena saya
kebetulan membaca puisi seorang penyair yang sudah terkenal. Maksud
saya, terkenal-tidaknya “nama” seorang penyair, bagi saya, tidak
otomatis menimbulkan katarsis dalam peristiwa pembacaan yang saya
lakukan. Reputasi biografis seorang penyair terkenal paling-paling cuma
menambah rasa suspense, atau harapan-untuk-kejutan, yang lebih
besar saja bagi kemungkinan terjadinya sebuah katarsis. Bahkan tidak
jarang banyak sajak para penyair terkenal ternyata hanya mampu untuk
tidak menimbulkan respon apa-apa pada diri saya, kecuali rasa mual
tekstual, setelah membacanya, sehingga membuat saya heran kok sajak
beginian bisa keluar dari imajinasi seorang yang terkenal. Malah sangat
sering membuat saya menggerutu, apa sebenarnya yang membuat si penyair
bisa terkenal. Sebaliknya, tidak jarang ada sajak penyair keroco,
penyair sekedar, bahkan penyair pemula yang justru membuat saya
terangsang secara tekstual, dan menimbulkan katarsis tadi. Jadi, belajar
dari pengalaman, ternyata dalam dunia kepenyairan, dalam dunia kang-ouw
puisi, nama bukanlah merek yang bisa menjamin atau menentukan mutu,
seperti di dunia kapitalisme konsumer. Kembali ke pertanyaan di awal
esei saya ini, lantas apa yang menyebabkan sebuah puisi bisa menimbulkan
katarsis setelah membacanya?
Jawaban akademis yang biasanya diberikan adalah apa yang dalam teori sastra disebut sebagai faktor “kesastraan” (literariness)
sebuah teks sastra. Faktor kesastraan sebuah teks sastra, puisi
misalnya, tak lebih tak kurang adalah unsur-unsur linguistik yang
diyakini merupakan elemen-elemen paling penting dalam anatomi teks,
yakni pola-pola bunyi dan sintaksisnya seperti repetisi, aliterasi,
rima, irama dan bentuk-bentuk stanzanya, termasuk juga kadar sering
munculnya kata-kata kunci atau imaji-imaji tertentu. Inilah yang disebut
sebagai “alat artistik” (bahasa) puisi itu yang fungsinya bukan sebagai
hiasan-tambahan bagi makna puisi, tapi justru menyebabkan perombakan
total bahasa di tingkat semantik, bunyi dan sintaksisnya. Singkatnya,
faktor kesastraan inilah yang membuat bahasa teks sastra seperti puisi
dianggap unik, berbeda, dari bahasa yang dipakai dalam kehidupan
sehari-hari manusia. Atau dalam kata lain, inilah bedanya bahasa puitis
dari bahasa prosais itu.
Bagi saya sendiri, kesastraan bahasa puisi seperti yang diungkapkan
kaum Formalis Rusia di atas masih belum cukup untuk membuat sebuah puisi
berhasil menjadi puisi, mampu menciptakan katarsis. Ada faktor lain di
luar faktor linguistik (pola persajakan/versifikasi, misalnya) yang juga
memiliki fungsi artistik yang tidak kalah pentingnya dalam membuat
“sebuah sajak menjadi” (dalam istilah Chairil Anwar). Faktor lain ini
adalah apa yang oleh kaum Kritik Baru (New Criticism) Amerika disebut
sebagai “relasi timbal-balik yang kompleks antara aspek-aspek ironi,
paradoks, dan metafor dari makna bahasa sebuah karya, serta
pengorganisasian ketiganya di sekitar sebuah ‘tema’ kemanusiaan yang
penting”. Kombinasi dari kedua pandangan inilah, bagi saya, yang menjadi
“kesastraan” sebuah puisi, yang memungkinkannya untuk menimbulkan
ekstasi-tekstual pada pembacanya. Paling tidak, di sisi lain, kedua
definisi “kesastraan” puisi ini mesti disadari seseorang yang ingin
melakukan sebuah close-reading atas puisi, sebuah pembacaan yang
mendetil dan jelas atas kompleksitas antar-relasi dan ambiguitas dari
unsur-unsur yang membangun sebuah karya.
Kombinasi kedua pandangan di atas biasanya akan kita temukan dalam sajak yang menjadi. Dan sajak yang menjadi ini biasanya adalah sajak yang bercerita, sajak yang memiliki sebuah topik pembicaraan, bisa tentang percintaan, kelahiran, kematian, matahari dan bulan, atau ketuhanan, yaitu pokok-pokok yang berulang-ulang telah mengharukan si seniman, mengutip Chairil lagi, dan tidak sekedar berindah-indah dengan permainan kata atau dengan musikalitas kesamaan bunyi kata. Bagi selera saya sendiri, semua sajak Chairil dan sajak-sajak Rendra dalam kumpulan Blues untuk Bonnie adalah sajak-sajak bercerita yang menjadi.
Kematangan penguasaan bahasa (dalam phrasing diksi dan irama
metrikalnya) dan intensitas penghayatan pengalaman hidup merupakan dua
hal yang tak dapat ditawar-tawar bagi seseorang yang ingin menjadi
seorang penyair yang menjadi. Kemampuan teknis yang matang untuk
menceritakan pengalaman hidup yang dengan intens dihayati adalah ciri
utama puisi Chairil dan puisi Rendra di atas. Inilah sebenarnya yang
disebut sebagai imajinasi itu. Satu saja dari kedua persyaratan utama
untuk menjadi penyair yang menjadi ini tidak dimiliki, maka apa yang
kita hadapi bukanlah sebuah imajinasi tapi khayalan kosong belaka. Dan
penyair yang bisanya hanya berkhayal belaka bukanlah seorang penyair
yang menjadi, tapi cuma seseorang yang menjadi penyair sekedar, malah
mungkin, tanpa disadarinya sendiri, cuma seseorang yang menjadi penyair
gagal.
Karena, seperti yang diyakini Chairil sendiri:
“Sebuah sajak yang menjadi adalah suatu dunia. Dunia yang dijadikan,
diciptakan kembali oleh si penyair. Diciptakannya kembali,
dibentukkannya dari benda (materi) dan rohani, keadaan (ideeel dan visueel)
alam dan penghidupan sekelilingnya, dia juga mendapat bahan dari
hasil-hasil kesenian lain yang berarti bagi dia, berhubungan jiwa dengan
dia, dari pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat orang lain, segala yang
masuk dalam bayangannya (verbeelding), anasir-anasir atau
unsur-unsur yang sudah ada dijadikannya, dihubungkannya satu sama lain,
dikawinkannya menjadi suatu kesatuan yang penuh (indah serta
mengharukan) dan baru, suatu dunia baru, dunia kepunyaan penyair itu
sendiri.
Jalan, ketumbuhan, proses dari penciptaan kembali ini, datangnya,
keluarnya, tersemburnya dari konsepsi si penyair, penglihatannya (visie), cita-citanya (ideaal-ideaal),
perasaan dan pergeseran hidupnya, pandangan hidupnya, dasar pikirannya.
Semua cabang-cabang dan ranting-ranting dari bahan pokok yang besar ini
haruslah sesuatu yang dialami, dijalani (dalam jiwa, cita, perasaan,
pikiran atau pengalaman hidup sendiri) oleh si penyair, menjadi sebagian
dari dia, suka dan dukanya sendiri kepunyaannya, kepunyaan rohaninya
sendiri. Dan ditambah lagi dengan tenaga mencipta, tenaga membentuk,
yang mengatur dengan pikir serta rasa, dengan pertimbangan dan pikiran
sehingga terjadilah suatu kehidupan, suasana, kehidupan dan tokoh (gestalte).”
Kalau kita perhatikan pernyataan kredo puisi Chairil yang sengaja
saya kutip dengan panjang itu maka terlihatlah betapa bagi Chairil
penghayatan kehidupan yang intens (alam dan penghidupan sekeliling,
hasil-hasil seni lain, pikiran-pikiran orang lain) merupakan unsur utama
sajak yang menjadi itu. Begitu juga dengan kematangan teknik, yang
dengan khas disebut Chairil sebagai “tenaga mencipta, tenaga membentuk,
yang mengatur dengan pikir serta rasa, dengan pertimbangan dan pikiran”.
Hidupnya istilah-istilah yang dipakai Chairil dalam kutipan di atas,
tidak bisa tidak, menunjukkan betapa bagi dirinya sebuah sajak yang
menjadi itu bukanlah sebuah sajak yang asal-jadi. Intensitas adalah
segalanya. Itulah sebabnya bagi dia sebuah sajak yang menjadi adalah
suatu dunia, suatu dunia baru, yang indah serta mengharukan, dan dunia
itu menjadi kepunyaan penyair itu sendiri. Dan memang intensitas
penghayatan kehidupan dan kematangan berbahasalah yang kita alami setiap
kali kita membaca puisi Chairil. Pengalaman pembacaan macam inilah yang
menimbulkan katarsis, tekstasi, atau rasa yang indah serta mengharukan
itu.
Sumber boemipoetra
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)