Oleh : Dasril Ahmad
SEORANG penyair berada dalam kata, di luar bahasa, kata Wiratmo Soekito
dalam bukunya "Kesusastraan dan Kekuasan" (1984). Dalam menyair,
penyair lebih akrab atau mengakrabi efektifitas penggunaan tenaga puitik
(power puitic) yang terkandung dalam kata. Justru itu, kalau dilakukan
studi khusus tentang penggunaan kata-kata dalam sajak dari beberapa
penyair, maka bukan mustahil kita akan menemukan ciri pembeda yang
merupakan warna khas sajak setiap penyair. Misalnya, penggunaan
kata-kata yang dilakukan penyair Chairil Anwar, akan menunjukkan
kekuatan sajaknya sendiri dan menjadi warna khas sajaknya itu. Ini akan
berbeda dengan sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum
Bachri, Abdul Hadi WM, Hamid Jabbar, Rusli Marzuki Saria, dan lain-lain.
Dengan melakukan studi terhadap penggunaan kata-kata dalam
sajak, berarti kita telah menyediakan (membuka) diri untuk menggumuli
“jiwa” yang terkandung di dalam sajak tersebut. Kesempatan ini
mengharuskan kita untuk menelusuri daya imaji, emosi dan ide-ide yang
ditampilkan penyair lewat sajaknya itu. Sebab, penyair menggunakan
kata-kata dalam bermacam-macam kombinasi untuk menampilkan imaji,
menyampaikan ide-ide, dan untuk mencetuskan atau melahirkan emosi, kata
B.P. Situmorang (1981). Dalam hubungan ini pula, kelak kita akan
berurusan dengan masalah diksi (pilihan kata) yang dipergunakan penyair
dalam sajaknya. Meski sering diungkapkan (malah secara vokal) oleh
masyarakat umumnya, bahwa penggunaan kata-kata dalam sajak sering rancu
dan tak beraturan, hingga menyulitkan upaya memperoleh pemahaman, namun
sebetulnya ungkapann itu tidaklah selalu benar. Seorang Coleridge,
misalnya, dengan tegas menyatakan, “Poetry equalie the best words in the
best order” (Puisi sama dengan kata-kata terbaik dalam tata tertib/aturan yang terbaik).
Sungguhpun
demikian, keluh-kesah masyarakat dalam memahami sajak selalu saja
bergema. Salah satu penyebab timbulnya kondisi itu adalah sulitnya
merebut makna dari kata-kata yang ditampilkan penyair dalam sajaknya.
Pengertian sulit di sini menjurus kepada tindakan memaknai sebuah kata
(secara denotatif) yang sering tak relevan (dan juga tak koherensi)
dengan makna kata-kata yang mengikutinya di dalam setiap larik sajak.
Kendala seperti ini, terkadang tak sulit dicarikan pemecahannya, asalkan
kita mampu memaknai kata-kata yang dianggap sulit itu secara konotatif.
Dalam hal ini kita akan akrab bergelut dengan masalah symbol, lambang,
kias, dan sejenisnya yang diemban oleh kata-kata tersebut terhadap
dunia nyata (realitas) yang sering kita temukan dalam hidup dan
kehidupan kita sehari-hari.
Pada titik ini, sampailah kita
pada pengertian bahwa upaya memahami sajak –untuk merebut makna yang
dikandungnya— merupakan suatu upaya untuk memahami sekaligus mengarifi
diri terhadap persoalan-persoalan hidup dan kehidupan yang realis. Di
dalam proses ini pula kelak orang sering menghubungkan
pengertian-pengertian yang diungkapkan lewat kata-kata ataupun kelompok
kata (frasa) di dalam sajak, dengan kenyataan-kenyataan yang lumrah
ditemui, dialami dalam kehidupan sehari-hari yang realis itu. Lewat
kaca-banding ini pula kemudian masyarakat (minoritas) penikmat sajak,
akan bersua dengan masalah logis dan tidak logisnya pengertian kata-kata
dan frasa di dalam sajak dengan realitas keseharian. Sering pula lahir
pendapat, kalau makna kata-kata dalam sajak relevan dengan kenyataan
hidup keseharian, maka sajak itu tergolong baik, dan begitu pula
sebaliknya.
Mencari
hubungan/kaitan logis dan tidak logisnya makna kata-kata/frasa yang
digunakan dalam sajak dengan realitas objektif, merupakan suatu tindakan
yang kurang menguntungkan untuk dipelihara. Sikap dan tindakan begini
kurang lebih berarti mempersempit ruang-gerak pemahaman sebuah sajak
yang hakiki; apalagi untuk menjatuhkan vonis baik atau jeleknya sajak
tersebut. Adalah tidak menguntungkan kalau sebuah sajak Sitor Situmorang
berjudul “Malam Lebaran” yang hanya terdiri dari satu larik, yaitu:
“Bulan di atas kuburan”, dinyatakan tidak baik; kalau cuma ditilik dari
segi ketidaklogisan pengertian dari ungkapannya dengan realitas objektif
keseharian. Sebab, mana pula ada bulan berada di atas kuburan pada
malam lebaran? Bukankah realisnya di setiap malam lebaran bulan cuma
muncul (kecil) di sore atau menjelang senja hari? Tetapi apabila kita
berusaha memaknai kata bulan dan kuburan secara konotatif, maka kita
setidaknya akan dapat memahami makna hakiki dari sajak itu. Untuk itu,
kita mesti menggeluti dunia simbol-simbol atau perlambangan; bulan
adalah lambang kebahagiaan, sedangkan kuburan adalah lambang kesedihan.
Jadi di malam lebaran ternyata ada kebahagiaan terletak di atas
kesedihan!
Begitu juga, dua buah sajak karya Armeynd Sufhasril
yang dimuat di RMI Harian Haluan tgl. 14 Juni 1987 yang lalu,
masing-masingnya berjudul “Sepanjang Jalan Setapak di Dusun-Dusun” dan
“Sansai”, ditemukan juga beberapa ungkapan yang tidak logis, misalnya
ungkapan “pelangi muncul pagi hari/ azan tak terdengar lagi/ surau-surau
lengang” (dalam sajak “Sepanjang Jalan Setapak di Dusun-Dusun”)
Kemudian ungkapan “sungai keruh kering” (dalam sajak “Sansai”)
Memang
tidak logis kalau dinyatakan, “pelangi muncul pagi hari”, karena
lazimnya pelangi muncul adalah pada waktu sore hari. Tetapi, ia menjadi
logis kalau kita memaknai kata “pelangi” sebagai simbol dari keindahan,
sehingga pengertiannya menjadi “keindahan muncul pagi hari”. Memang
juga dirasa tidak logis kalau di dusun (kampung) dinyatakan, “adzan tak
terdengar lagi/ surau-surau lengang”. Sebab, lazimnya kehidupan di dusun
(apalagi di Minangkabau) suara adzan selalu mewarnai kehidupan
masyarakatnya, dan surau pun selalu ramai sebagai tempat beribadah oleh
masyarakat yang mayoritas taat beribadah itu. Tapi larik sajak itu
menyatakan keadaan yang paradoksal dari kenyataan hidup keseharian
masyarakat tersebut. Ini jelas tidak logis. Tetapi ia akan jadi (dan
diterima) logis, kalau kita bermurah hari menerima tawaran persoalan
yang diungkapkan oleh penyair (lazimnya penyair/sastrawan lewat karyanya
selalu menawarkan alternatif dari sekian banyak persoalan hidup) bahwa
begitulah suasana hidup dan kehidupan yang terjadi di tengah masyarakat
di dusun-dusun dewasa ini. Suatu warna kehidupan yang tengah dilanda
“krisis”.
Begitu juga ungkapan “sungai keruh kering” jelas
tidak logis bila dikaitkan dengan realitas hidup sehari-hari. Mana pula
ada sungai (pengertian kongkrit) berair keruh dan kering pula. Tetapi
pengertiannya akan jadi logis, kalau kita mengaitkan dengan pengertian
yang dikandung oleh judul sajak itu sendiri yaitu “Sansai” (Sangsai?).
“Judul puisi mengemukakan suatu ide tentang sesuatu. Boleh tentang
sesuatu yang terjadi, boleh nama orang, boleh nama tempat, boleh suatu
benda atau boleh juga suatu waktu dan suatu massa (B.P. Situmorang, 1981
: 27). Nah, dengan judul “Sansai” berarti sajak ini mengemukakan
sesuatu keadaan yang sedang terjadi, yaitu kehidupan yang nestapa tengah
melanda masyarakat. Dengan ini pulalah, maka pengertian “sungai keruh
kering” terkiaskan secara logis, yaitu sungai (sumber kehidupan)
ternyata telah kering, dan terlihat tanah dasarnya yang keruh. Ini
menandakan bahwa kehidupan memang betul-betul sengsara, karena sungai
tak lagi digenangi air untuk kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari.
- Dasril Ahmad, penulis tinggal di Padang
Sumber: Facebook Dasril Ahmad.
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)