Kata-kata dalam Sajak: Masalah Logis dan Tidak Logis

Monday 30 March 2015

Oleh : Dasril Ahmad

SEORANG penyair berada dalam kata, di luar bahasa, kata Wiratmo Soekito dalam bukunya "Kesusastraan dan Kekuasan" (1984). Dalam menyair, penyair lebih akrab atau mengakrabi efektifitas penggunaan tenaga puitik (power puitic) yang terkandung dalam kata. Justru itu, kalau dilakukan studi khusus tentang penggunaan kata-kata dalam sajak dari beberapa penyair, maka bukan mustahil kita akan menemukan ciri pembeda yang merupakan warna khas sajak setiap penyair. Misalnya, penggunaan kata-kata yang dilakukan penyair Chairil Anwar, akan menunjukkan kekuatan sajaknya sendiri dan menjadi warna khas sajaknya itu. Ini akan berbeda dengan sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Hamid Jabbar, Rusli Marzuki Saria, dan lain-lain.

Dengan melakukan studi terhadap penggunaan kata-kata dalam sajak, berarti kita telah menyediakan (membuka) diri untuk menggumuli “jiwa” yang terkandung di dalam sajak tersebut. Kesempatan ini mengharuskan kita untuk menelusuri daya imaji, emosi dan ide-ide yang ditampilkan penyair lewat sajaknya itu. Sebab, penyair menggunakan kata-kata dalam bermacam-macam kombinasi untuk menampilkan imaji, menyampaikan ide-ide, dan untuk mencetuskan atau melahirkan emosi, kata B.P. Situmorang (1981). Dalam hubungan ini pula, kelak kita akan berurusan dengan masalah diksi (pilihan kata) yang dipergunakan penyair dalam sajaknya. Meski sering diungkapkan (malah secara vokal) oleh masyarakat umumnya, bahwa penggunaan kata-kata dalam sajak sering rancu dan tak beraturan, hingga menyulitkan upaya memperoleh pemahaman, namun sebetulnya ungkapann itu tidaklah selalu benar. Seorang Coleridge, misalnya, dengan tegas menyatakan, “Poetry equalie the best words in the best order” (Puisi sama dengan kata-kata terbaik dalam tata tertib/aturan yang terbaik).


Sungguhpun demikian, keluh-kesah masyarakat dalam memahami sajak selalu saja bergema. Salah satu penyebab timbulnya kondisi itu adalah sulitnya merebut makna dari kata-kata yang ditampilkan penyair dalam sajaknya. Pengertian sulit di sini menjurus kepada tindakan memaknai sebuah kata (secara denotatif) yang sering tak relevan (dan juga tak koherensi) dengan makna kata-kata yang mengikutinya di dalam setiap larik sajak. Kendala seperti ini, terkadang tak sulit dicarikan pemecahannya, asalkan kita mampu memaknai kata-kata yang dianggap sulit itu secara konotatif. Dalam hal ini kita akan akrab bergelut dengan masalah symbol, lambang, kias, dan sejenisnya yang diemban oleh kata-kata tersebut terhadap dunia nyata (realitas) yang sering kita temukan dalam hidup dan kehidupan kita sehari-hari.

Pada titik ini, sampailah kita pada pengertian bahwa upaya memahami sajak –untuk merebut makna yang dikandungnya— merupakan suatu upaya untuk memahami sekaligus mengarifi diri terhadap persoalan-persoalan hidup dan kehidupan yang realis. Di dalam proses ini pula kelak orang sering menghubungkan pengertian-pengertian yang diungkapkan lewat kata-kata ataupun kelompok kata (frasa) di dalam sajak, dengan kenyataan-kenyataan yang lumrah ditemui, dialami dalam kehidupan sehari-hari yang realis itu. Lewat kaca-banding ini pula kemudian masyarakat (minoritas) penikmat sajak, akan bersua dengan masalah logis dan tidak logisnya pengertian kata-kata dan frasa di dalam sajak dengan realitas keseharian. Sering pula lahir pendapat, kalau makna kata-kata dalam sajak relevan dengan kenyataan hidup keseharian, maka sajak itu tergolong baik, dan begitu pula sebaliknya.  


Mencari hubungan/kaitan logis dan tidak logisnya makna kata-kata/frasa yang digunakan dalam sajak dengan realitas objektif, merupakan suatu tindakan yang kurang menguntungkan untuk dipelihara. Sikap dan tindakan begini kurang lebih berarti mempersempit ruang-gerak pemahaman sebuah sajak yang hakiki; apalagi untuk menjatuhkan vonis baik atau jeleknya sajak tersebut. Adalah tidak menguntungkan kalau sebuah sajak Sitor Situmorang berjudul “Malam Lebaran” yang hanya terdiri dari satu larik, yaitu: “Bulan di atas kuburan”, dinyatakan tidak baik; kalau cuma ditilik dari segi ketidaklogisan pengertian dari ungkapannya dengan realitas objektif keseharian. Sebab, mana pula ada bulan berada di atas kuburan pada malam lebaran? Bukankah realisnya di setiap malam lebaran bulan cuma muncul (kecil) di sore atau menjelang senja hari? Tetapi apabila kita berusaha memaknai kata bulan dan kuburan secara konotatif, maka kita setidaknya akan dapat memahami makna hakiki dari sajak itu. Untuk itu, kita mesti menggeluti dunia simbol-simbol atau perlambangan; bulan adalah lambang kebahagiaan, sedangkan kuburan adalah lambang kesedihan. Jadi di malam lebaran ternyata ada kebahagiaan terletak di atas kesedihan!

Begitu juga, dua buah sajak karya Armeynd Sufhasril yang dimuat di RMI Harian Haluan tgl. 14 Juni 1987 yang lalu, masing-masingnya berjudul “Sepanjang Jalan Setapak di Dusun-Dusun” dan “Sansai”, ditemukan juga beberapa ungkapan yang tidak logis, misalnya ungkapan “pelangi muncul pagi hari/ azan tak terdengar lagi/ surau-surau lengang” (dalam sajak “Sepanjang Jalan Setapak di Dusun-Dusun”) Kemudian ungkapan “sungai keruh kering” (dalam sajak “Sansai”) 


Memang tidak logis kalau dinyatakan, “pelangi muncul pagi hari”, karena lazimnya pelangi muncul adalah pada waktu sore hari. Tetapi, ia menjadi logis kalau kita memaknai kata “pelangi” sebagai simbol dari keindahan, sehingga pengertiannya menjadi “keindahan muncul pagi hari”. Memang juga dirasa tidak logis kalau di dusun (kampung) dinyatakan, “adzan tak terdengar lagi/ surau-surau lengang”. Sebab, lazimnya kehidupan di dusun (apalagi di Minangkabau) suara adzan selalu mewarnai kehidupan masyarakatnya, dan surau pun selalu ramai sebagai tempat beribadah oleh masyarakat yang mayoritas taat beribadah itu. Tapi larik sajak itu menyatakan keadaan yang paradoksal dari kenyataan hidup keseharian masyarakat tersebut. Ini jelas tidak logis. Tetapi ia akan jadi (dan diterima) logis, kalau kita bermurah hari menerima tawaran persoalan yang diungkapkan oleh penyair (lazimnya penyair/sastrawan lewat karyanya selalu menawarkan alternatif dari sekian banyak persoalan hidup) bahwa begitulah suasana hidup dan kehidupan yang terjadi di tengah masyarakat di dusun-dusun dewasa ini. Suatu warna kehidupan yang tengah dilanda “krisis”.

Begitu juga ungkapan “sungai keruh kering” jelas tidak logis bila dikaitkan dengan realitas hidup sehari-hari. Mana pula ada sungai (pengertian kongkrit) berair keruh dan kering pula. Tetapi pengertiannya akan jadi logis, kalau kita mengaitkan dengan pengertian yang dikandung oleh judul sajak itu sendiri yaitu “Sansai” (Sangsai?). “Judul puisi mengemukakan suatu ide tentang sesuatu. Boleh tentang sesuatu yang terjadi, boleh nama orang, boleh nama tempat, boleh suatu benda atau boleh juga suatu waktu dan suatu massa (B.P. Situmorang, 1981 : 27). Nah, dengan judul “Sansai” berarti sajak ini mengemukakan sesuatu keadaan yang sedang terjadi, yaitu kehidupan yang nestapa tengah melanda masyarakat. Dengan ini pulalah, maka pengertian “sungai keruh kering” terkiaskan secara logis, yaitu sungai (sumber kehidupan) ternyata telah kering, dan terlihat tanah dasarnya yang keruh. Ini menandakan bahwa kehidupan memang betul-betul sengsara, karena sungai tak lagi digenangi air untuk kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari. 



Perlukah masalah logis dan tidak logisnya pengertian kata-kata dalam sajak dipersoalkan? Agaknya ini sebuah pertanyaan yang menarik untuk dikemukakan. Tetapi sebelumnya kita jangan lupa, bahwa penyair Sitor Situmorang pernah mengakui, bahwa perkara logis atau tidak logis baginya bukanlah persoalan. Kemudian, penyair Rusli Marzuki Saria berkomentar, bahwa bagi pernyair, logis atau tidak logisnya pengertian kata-kata dalam sajak bukanlah persoalan esensial. Tetapi hal itu akan menjadi persoalan bagi para kritikus sastra. Sedang, penyair hanya bergumul dengan kata-kata; dengan makna denotasi dan konotasi dari kata-kata tersebut. 
Padang, 26 Juni 2013

- Dasril Ahmad, penulis tinggal di Padang

Sumber: Facebook Dasril Ahmad.   

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas