Rainer Maria Rilke. Sumber wikipedia. |
(Diterjemahkan oleh: Sutardji Calzoum Bachri dari Letters To A Young Poet karya penyair Jerman, Rainer Maria Rilke)
Kau tanyakan apakah sajak-sajakmu bagus. Kau tanyakan padaku. Sebelumnya kau pun telah bertanya pada yang lain. Kau kirim sajak-sajakmu itu ke berbagai majalah. Kau banding-bandingkan dengan sajak-sajak yang lain. Dan kau pun jadi terganggu ketika ada redaktur yang menolak upayamu itu. Kini, (karena kau izinkan aku menasehati kau), aku minta kau jangan lagi melakukan semua ikhtiar semacam itu. Kau melihat ke luar, dan dari segala-galanya itulah yang kini harus tidak boleh kau lakukan.
Tidak ada orang yang bisa menasehati dan menolongmu, tak seorang pun. Hanya satu-satunya cara yang ada: Pergilah masuk ke dalam dirimu. Temukan sebab atau alasan yang mendorongmu menulis: Perhatikan apakah alasan itu menumbuhkan akar yang di dalam ceruk-ceruk hatimu. Bikinlah pengakuan pada dirimu sendiri, apa kau harus mati jika sekiranya kau dilarang menulis. Pertama-tama tanyakan dirimu dalam ketenangan malam: haruskah aku menulis? Menukiklah ke dalam lubuk dirimu agar kau mendapat jawaban yang dalam. Dan jika jawabannya ya, jika pertanyaan yang khidmat tadi dijawab dengan sederhana dan mantap ”aku harus”, maka binalah dirimu sesuai dengan keharusan itu. Hidupmu, baik pada saat-saat yang paling remeh dan sepele sekalipun, haruslah merupakan bukti dan kesaksian dari dorongan menulis itu.
Kemudian cobalah dekati alam. Lantas usahakan seakan-akan kau adalah salah seorang dari orang-orang pertama yang mengatakan apa yang kau lihat dan apa yang kau alami, yang kau cintai dan kehilangan-kehilanganmu. Jangan tulis sajak cinta. Jauhi dahulu bentuk-bentuk yang sangat familiar dan biasa itu. Karena bentuk yang semacam itu adalah yang paling sulit.
Di dalam tradisi yang bertaburan dengan karya bagus dan sebagian cemerlang itu, diperlukan kekuatan besar dan penuh dewasa untuk bisa memberi sumbangan individual. Maka itu, dari tema-tema umum, berpalinglah pada apa yang diberikan oleh kehidupanmu sehari-hari; Lukislah dukacita dan keinginan-keinginanmu. Pikiran-pikiran yang melintas dalam dirimu. dan keyakinanmu dalam suatu keindahan tertentu. Lukiskan semuanya itu dengan sepenuh hati, sungguh-sungguh, rendah hati dan ikhlas. Gunakanlah benda-benda di sekitarmu, imaji-imaji dirimu dan kenangan-kenanganmu untuk mengekspresikan dirimu.
Jika kehidupanmu sehari-hari terasa miskin dan gersang, jangan sesalkan dirimu, katakanlah pada dirimu, kepenyairanmu tidak cukup untuk dapat menggali kekayaan dirimu. Karena bagi setiap pencipta tidak ada kegersangan dan tidak ada tempat yang penting dan gersang. Bahkan jika kau sekiranya berada dalam penjara dengan tembok-temboknya yang menjauhkan kau dari suara dunia,—bukankah kau tetap masih memiliki masa kanak-kanakmu sebagai gudang khazanah kenangan yang kaya raya? Perhatikanlah itu. Cobalah bangkitkan kembali sensasi-sensasi yang tenggelam dari masa lampau yang jauh itu. Kepribadianmu akan lebih kuat tumbuhnya, kesunyianmu akan berkembang menjadi tempat tinggal yang temaram di mana suara-suara yang lain lewat di kejauhan.
Dan jika dari menengok ke dalam ini, dari menyelam ke dalam ini, dari menyelam ke dalam dunia pribadimu ini, akan muncul sajak-sajak. Tidak usah kau tanyakan pada siapapun apa sajakmu itu sajak yang baik. Juga tak perlu kau upayakan agar majalah dan koran-koran menaruh perhatian terhadap karya-karyamu itu. Karena karyamu itu adalah milikmu yang sejati dan berharga, suatu bagian dan suara dari kehidupanmu. Suatu karya seni menjadi baik jika tumbuh dari kebutuhan yang wajar. Dari cara ia berasal. Di situlah letaknya. Penilaian yang benar: tidak ada cara lain. Maka itu, aku tidak bisa memberi nasihat kecuali ini: pergilah masuk kedalam dirimu, galilah sampai ke dasar tempat kehidupanmu berasal; pada sumbernya itu, kau akan mendapatkan jawaban apakah kau memang harus mencipta. Dengarkan suaranya, tanpa terlalu cerewet menyimak kata-kata.
Barangkali memang sudah merupakan panggilan bahwa kau harus jadi seniman. Maka terimalah takdirmu itu, tanggungkan naik bebannya maupun kebesarannya, tanpa minta-minta penghargaan dari luar dirimu. Karena seorang pencipta haruslah menjadi sebuah dunia bagi dirinya sendiri, dan menemukan segala-galanya di dalam dirinya sendiri, serta di dalam Alam tempat dirinya berada.
Namun setelah masuk ke dalam diri dan ke dalam kesendirianmu, mungkin kau harus melepaskan keinginanmu untuk menjadi penyair; (bagi saya, seseorang bisa hidup tanpa harus menulis daripada samasekali berspekulasi untuk itu). Meskipun demikian, upaya memusatkan perhatian ke dalam diri sendiri yang kuanjurkan itu, tidaklah sia-sia. Bagaimanapun juga hidupmu sejak itu akan menemukan jalannya sendiri. dan kuharapkan hidupmu menjadi baik dan kaya serta tinggi pencapaiannya lebih dari apa yang bisa aku ucapkan.
Apa lagi yang harus kukatakan? Rasanya segala telah mendapat tekanan yang wajar. Akhirnya aku ingin menasehati agar mau menumbuhkan dirimu secara serius. Tidak ada cara yang lebih ganas menghalangi pertumbuhanmu kecuali dengan melihat ke luar, dan upaya mengharapkan jawaban dari luar, terhadap pertanyaan-pertanyaanmu yang agaknya hanya perasaanmu yang paling dalam dan saat-saatmu yang paling hening bisa menjawabnya”. (*)
Catatan Kecil:
Bagian kedua dari sepuluh seri kumpulan surat Surat-surat Rainer Maria Rilke untuk seorang penyair muda merupakan dokumentasi otobiografi yang luar biasa. Sebuah bacaan di mana, di luar keindahan fondasinya sendiri, telah memfasilitasi pengertian yang lebih jernih akan pandangan dan teknik puitik seorang Rilke. Surat kedua Rilke untuk seorang penyair muda itu berhubungan dengan penggunaan ironi sebagai suatu teknik puitik. Sarannya dalam hal ini adalah untuk tidak menggunakannya terlalu banyak, khususnya dalam kondisi-kondisi yang tidak kreatif.
Penyair-penyair modern menggunakan ironi secara ekstensif dan menganggapnya sebagai suatu bagian penting dari teknik puitik yang tidak dapat dilepas oleh penyair. Ironi mengarah kepada sebuah dunia yang jelas-jelas telah pasti –dengan melihat dari sisi yang berlandaskan pada ketidakpercayaan akan suatu sistem. Nada dari puisi juga digambarkan secara luas dari persepsi yang (cenderung) menghakimi dalam konteks turbulensi sosio-politik di masa itu.
Penyair-penyair modern yang datang setelahnya juga menggunakan ironi secara luas untuk menciptakan pernyataan puitik mereka. Sebagai salah satu contoh klasik adalah The Waste Land karya T. S. Eliot. Eliot secara efektif menggunakan ironi untuk menggambarkan kesengsaraan pasca perang dengan sumber daya ilustrasi yang kaya akan mitos-mitos Kristiani dan Oriental, sekaligus. Mitos-mitos menghadirkan sekumpulan kesadaranan akan hal-hal kemanusiaan dan memiliki simbol-simbol efektif yang secara ekstrim memiliki fungsi dalam semua bentuk seni penciptaan ironi.
Puisi Rilke menandai ketibaan penting akan tradisi puitik dalam suatu masa di mana ia menggerakkan sebuah genre puisi yang berisikan pernyataan puitik yang tajam:
“… Jadi, selamatkanlah dirimu dari tema-tema umum ini dan tuliskan apa saja yang keseharian hidup telah berikan kepadamu; gambarkan kesedihan dan kebahagiaanmu, pikiran-pikiran yang melintasi benakmu, dan keyakinanmu akan suatu keindahan– gambarkan semua ini dengan kepekaan hati, kepasrahan penuh. Dan saat engkau menyatakan dirimu sendiri, gunakan benda-benda di sekitarmu, imaji-imaji dari mimpi-mimpimu, dan obyek-obyek yang kau ingat …” (Surat-surat untuk Seorang Penyair Muda – Bagian Pertama)
Rilke jelaslah tidak secara keseluruhan menghindari penggunaan ironi dalan puisi. Ia hanya menyarankan si penyair muda itu untuk menghindari penggunaan ironi itu dalam kondisi-kondisi yang tidak kreatif. Puisi kemudian dialihkan menjadi permainan intelektual, permainan dari pernyataan diri seseorang secara puitik, di mana akan mengasingkan para pembaca dari dunia pengalaman pribadi yang intens dari sang penyair – “emosi-emosi dikumpulkan dalam keharmonisan”. (*)
Sumber: Facebook Remmy Novaris DM
Baca juga: http://fiksilotus.com/2012/06/21/rainer-maria-rilke-surat-untuk-penulis-muda-1
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)