Oleh: Wayan Sunarta
Setelah lebih dari 30 puisi saya menumpuk di meja
Umbu, akhirnya dimuat hanya satu biji puisi yang berdampingan dengan karya
beberapa penyair belia seangkatan saya. Tentu saya sangat girang dengan
pemuatan perdana tersebut. Setelah perjuangan dan penantian yang meletihkan,
akhirnya puisi saya diakui juga oleh Umbu. Saya pun merasa telah menjadi
seorang penyair karena puisi saya dimuat Umbu, meski masih kelas penyair
“Kompetisi.”
Saya menjulurkan tangan agak ragu sambil
memperkenalkan nama saya. Tak lupa saya tambahkan bahwa puisi saya pernah
dimuat di rubriknya, tentu dengan harapan dia mengingat saya. Tapi Umbu hanya
menjabat tangan saya sekilas dan ngloyor
pergi bersama temannya, meninggalkan saya yang terbengong-bengong sendiri. Saya
pikir dia akan mengajak saya berbincang-bincang agak lama perihal proses
kreatif saya, menanyakan sejak kapan menulis puisi, apa ada puisi baru, dan
berbagai pertanyaan basa-basi lainnya, sebagaimana umumnya perkenalan pertama.
Sejak itu pupuslah impian saya untuk ngobrol panjang lebar dengannya, dan
kekaguman saya pada Umbu tiba-tiba saja menguap entah ke mana. Kesan pertama
saya benar-benar berantakan tentang Umbu.
Umbu menggunakan berbagai cara untuk menggugah
kepercayaan diri penyair Bali, salah satunya Umbu pernah mencantumkan
besar-besar slogan “Posbud = Horison” di ruang sastranya. Artinya
puisi-puisi
yang berhasil masuk kelas Posbud kualitasnya dianggap sama dengan
puisi-puisi
yang dimuat Majalah Sastra Horison. Tapi efeknya pada era itu karya
penyair Bali jarang yang muncul di media nasional karena mereka
sudah merasa puas setelah menembus Posbud di ruang Umbu. Belakangan
muncul
kelas “Solo Run” bagi penyair yang karyanya ditampilkan tunggal dalam
satu
halaman penuh koran. Dan tentu saja ini kelas yang sangat sulit ditembus
penyair.
Jauh sebelum Umbu memindahkan “pusat
pemerintahan” ke padepokan Intens-Beh, Umbu dikenal sebagai penyair yang
berumah di atas angin. Tak seorang pun tahu di mana tempat tinggal tetapnya. Di
mana Umbu suka, di situlah rumah baginya. Dia jarang mau datang ke acara-acara
kesenian, meski diundang secara khusus. Tapi dia akan muncul tiba-tiba ketika
acara itu menarik perhatiannya, atau hanya mengamati jalannya acara dari jarak
yang jauh atau dari balik kegelapan. Pernah seorang kawan penyair mencoba
membuntuti Umbu berharap menemukan tempat persembunyiannya, tapi kawan itu
kehilangan jejak ketika Umbu tiba-tiba membelok di sebuah tikungan. Dia seperti
tahu sedang dibuntuti. Kebiasaan Umbu ini tercermin dalam salah satu baris
puisinya: sewaktu-waktu mesti berjaga dan
pergi, membawa langkah ke mana saja.
Umbu memang termasuk orang yang susah ditemui
dan dilacak jejaknya. Dia akan segera menghilang jika ada tamu istimewa yang
mencarinya. Emha Ainun Najib beberapa kali gagal bertemu Umbu, padahal Emha
adalah murid kesayangan Umbu saat di Yogya. Umbu menghindari Emha adalah semata-mata
untuk menjaga rasa kangennya dengan Emha dan Yogya. Taufik Ismail pun gagal
bertemu Umbu ketika penyair Horison itu berkunjung ke Bali.
Pendek kata, banyak sastrawan berkelas nasional yang ingin bertemu Umbu, tapi
Umbu selalu menghilang, menghindari pertemuan. Pertemuan akan terjadi hanya
karena dua sebab: Umbu memang ingin bertemu dan Umbu dijebak.
(Desa Ababi, Karangasem, Bali, 30 Maret 2007)
(Umbu Landu Paranggi) |
Pertemuan pertama saya dengan Umbu Landu
Paranggi merupakan sebuah pertemuan yang sangat menjengkelkan sekaligus menggelikan,
yang terus membekas dalam kenangan. Namun pertemuan-pertemuan selanjutnya merupakan
anugerah tak ternilai yang ikut mempengaruhi perjalanan hidup saya, terutama
ketika bergesekan dengan dunia puisi.
Pada sebuah petang yang cerah di bulan Agustus
1993, ketika saya masih kelas tiga sekolah menengah atas, saya diajak oleh
seorang kawan menonton pertunjukan teater di sebuah sanggar di Sanur, Denpasar.
Kata kawan saya, Umbu pasti datang dalam acara itu. Kata dia lagi, kesempatan
bertemu Umbu sangat langka, maka sangat rugi kalau saya tidak datang.
Ya, memang rugi kalau saya tidak ketemu Umbu,
sebab pada waktu itu saya memang sedang tergila-gila ingin bertemu mantan
“Presiden Malioboro” itu, sejak beberapa penyair senior di Bali “meracuni” otak
saya dengan cerita-cerita nyleneh
tentang Umbu. Pada waktu itu saya baru belajar menulis puisi dan baru mencicipi
pergaulan sastra di Sanggar Minum Kopi (SMK), tempat kongkow penyair Denpasar, seperti Tan Lioe Ie, Warih Wisatsana, GM
Sukawidana, Putu Fajar Arcana, K. Landras Syailendra dan banyak lagi. Umbu
sekali waktu suka mampir ke SMK yang bekas toko klontong itu.
Tapi ketika itu saya belum pernah bersua dengan
Umbu di SMK. Maka ketika kawan saya mengabarkan Umbu akan hadir di acara pentas
teater itu, saya mempersiapkan diri untuk pertemuan yang bagi saya akan sangat
bersejarah dalam karier awal kepenyairan saya. Sebelumnya saya sudah beberapa
kali mengirim puisi (hampir setiap minggu) ke Bali Post yang gawang redaksinya
dijaga ketat oleh Umbu.
(Umbu Landu Paranggi, 1979) |
Saya datang ke acara pentas teater itu dengan
mengayuh sepeda. Kawan saya yang sudah lebih dulu di sana menarik tangan saya dan dengan wajah
gembira mengabarkan Umbu benar-benar datang pada acara itu. Tentu saja saya
penasaran dan clingak-clinguk
mencari-cari orang yang bernama Umbu itu. Dalam bayangan saya, Umbu
berperawakan tinggi besar, agak gemuk, wajah sedikit brewok. Tapi perkiraan itu
sedikit meleset setelah kawan saya menunjukkan orang yang bernama Umbu.
Umbu tidak gemuk, meski tubuhnya memang tinggi
besar dan berotot. Wajahnya bersih, tidak ada bulu sedikit pun, hidungnya besar
dan mancung, sorot matanya tajam namun menyejukkan, bibirnya lebar tapi jarang
menyunggingkan senyum. Umbu nampak berwibawa di bawah naungan topi yang tidak
pernah lepas dari kepalanya. Bertahun-tahun kemudian saya tahu kalau topi itu
memang sengaja dipakai untuk menutupi rambutnya yang rontok dan mulai botak.
Umbu termasuk lelaki modis. Dia suka mengenakan
t-shirt yang dipadu kemeja jeans dengan lengan digulung. Celana yang dipakainya
juga kebanyakan jeans, kadang dengan variasi kantong di lutut. Pada kesempatan
lain dia suka memakai baju lurik khas Yogya, sorjan. Rambutnya panjang sebahu. Dia suka memakai sendal semi
sepatu sebagai alas kaki. Di pergelangan tangan kirinya melingkar gelang akar
bahar hitam. Kadangkala lehernya dilingkari syal.
Dia punya banyak koleksi topi yang secara bergantian dipakainya, mungkin juga
disesuaikan dengan warna baju yang dikenakannya. Namun yang agak ganjil, kalau
bepergian dia suka jalan kaki sambil menenteng tas kresek yang entah berisi
apa. Kata seorang kawan, tas kresek itu mungkin berisi puisi-puisi yang akan dieksekusi
sambil minum kopi di suatu warung di sudut pedesaan Bali.
Dada saya berdebar ketika Umbu lewat di depan
saya. Kawan saya menyuruh saya segera menghampirinya dan memperkenalkan diri.
Tapi jangankan memperkenalkan diri, menyapa dia saja saya kehabisan kata-kata.
Pesonanya begitu kuat bagi jiwa remaja saya yang terlanjur mengaguminya
gara-gara mitos yang ditanamkan ke benak saya. Dari kejauhan saya melihat dia
asyik menerima salam dari para seniman senior yang hadir di sana.
Umbu nampak takzim dan sesekali senyum tipis
mendengar ocehan seniman-seniman yang banyak lagak itu. Pada mulanya saya hanya
memperhatikan gerak-geriknya dari kejauhan. Tapi kesempatan tidak datang dua
kali, pikir saya. Maka dengan menghimpun segenap keberanian, saya mendatangi
Umbu yang lagi asyik ngobrol sambil berdiri dengan seorang seniman yang tidak
saya kenal.
(Umbu, Zawawi Imron, Tan Lioe Ie, 1996) |
Belakangan kemudian saya tahu, Umbu bukanlah
tipe orang yang suka basa-basi dan memang terkesan dingin bila berhadapan
dengan orang yang baru dikenalnya. Tapi sebenarnya Umbu termasuk tipe lelaki
pemalu. Kalau berbicara dengan Umbu, jangan harap dia mau menatap mata kita, apalagi
dengan orang yang baru dikenalnya. Biasanya kalau diajak bicara, dia akan
mengalihkan pandangan dari wajah lawan bicaranya.
Namun di balik semua kesan dinginnya, Umbu
seorang pemerhati yang sangat hangat. Dia tidak jarang mengunjungi seorang
calon penyair yang dianggapnya berbakat. Kadangkala dia datang membawa sejumlah
buku puisi sebagai kado ulang tahun calon penyair itu. Pada kesempatan lain dia
datang hanya untuk mengajak calon-calon penyair main kartu dan makan pisang
rebus. Umbu memiliki cara tersendiri, seringkali tidak terduga, untuk
memotivasi calon-calon penyair yang dianggapnya berbakat besar.
Mengenai hal itu saya pernah punya pengalaman
diberi hadiah nasi bungkus oleh Umbu yang diistilahkannya sebagai nasi bungkus
“Republika.” Pada waktu itu, tahun 1994, puisi saya untuk pertama kalinya
dimuat koran nasional, Republika, bersama beberapa penyair senior Bali. Umbu sangat senang dengan pemuatan itu dan
mendatangi saya secara khusus di SMK sekitar jam sepuluh, malam Minggu. Kebetulan
waktu itu saya sedang asyik diskusi puisi dengan Tan Lioe Ie, Warih Wisatsana
dan beberapa kawan lain, Umbu tiba-tiba muncul di pintu sanggar dan menjulurkan
sebuah tas kresek kecil pada saya. “Jengki, ini nasi Republika, nasi khusus
untuk kamu! Makanlah!” ujarnya sambil ketawa senang.
Tentu saja saya kaget dengan hadiah mendadak
itu, apalagi yang memberikan orang sekaliber Umbu yang telah menjadi mitos itu.
Teman-teman lain yang sudah paham kebiasaan Umbu hanya ketawa-ketawa kecil.
Pembicaraan pun beralih pada puisi-puisi yang dimuat Republika itu. Belakangan
saya tahu kalau nasi bungkus itu merupakan jatah makan malam Umbu dari Bali
Post yang memang khusus dibawakan untuk saya karena berhasil menembus media
nasional. Biasanya Umbu setiap hari Sabtu bekerja hingga malam di Bali Post
untuk mempersiapkan rubrik sastra yang terbit setiap Minggu. Di luar hari Sabtu
itu kami tidak pernah tahu Umbu berada di mana. Dia punya banyak tempat
persinggahan yang selalu dirahasiakannya.
(Umbu baca puisi di Fakultas Sastra, Unud, 1996) |
Lelaki yang bernama lengkap Umbu Wulang Landu
Paranggi itu merupakan cucu salah seorang raja Sumba.
Umbu dilahirkan di Kananggar, Waingapu, Sumba Timur, Nusa
Tenggara Timur, 10 Agustus 1943. Yogyakarta merupakan tempat kelahiran kedua bagi Umbu.
Kota Yogya telah membuat Umbu jatuh hati, yang dalam istilahnya, seakan rata
dengan tanah. Jalan Malioboro dan barisan pohon cemara di depan kampus UGM
adalah tempat yang paling berkesan bagi Umbu selama di Yogya. Sejak
meninggalkan tanah kelahirannya di Sumba, Umbu
ingin melanjutkan sekolah di Taman Siswa Yogya, tapi terlambat karena
pendaftaran telah ditutup. Akhirnya Umbu meneruskan sekolah di SMA Bopkri 1 Yogyakarta.
Ketika bersekolah di SMA Bopkri itulah
kebiasaannya menulis puisi tumbuh subur dan seringkali menelantarkan pelajaran
lainnya. Di sekolah Bopkri itu pula Umbu menemukan seorang guru yang baginya ikut mempengaruhi
jalan hidupnya kemudian, Ibu Lasia Sutanto, guru Bahasa Inggris. Setiap kali ada pelajaran guru itu, Umbu suka
diam-diam menulis puisi. Umbu sendiri tidak mengerti, yang istilah Umbu entah
setan atau dewa apa yang menyebabkannya begitu. Padahal Umbu sudah ditegur
beberapa kali karena dianggap mengganggu jalannya pelajaran dan konsentrasi
teman-temannya di kelas.
Akhirnya karena jengkel dengan ulah Umbu, kawan-kawannya
mendesak Ibu Lasia agar menghukum Umbu membaca puisi di depan kelas. Ibu Lasia berpikir
dan merenung, kemudian memutuskan bahwa nanti kalau puisi Umbu sudah dimuat koran,
baru dikritik. Ibu guru yang pernah menjadi Menteri Peranan Wanita pertama RI itu
kemudian memasukkan puisi Umbu ke laci mejanya, dan pelajaran pun kembali berjalan.
Tapi Ibu Lasia penasaran juga dengan apa yang ditulis Umbu, puisi itu
dikeluarkan lagi dari laci mejanya, dimasukkan lagi, dikeluarkan lagi, begitu
seterusnya. Mungkin saat itu Umbu berpikir bahwa Ibu Lasia berminat pada
karyanya dan memberikan angin segar bagi proses kreatifnya. Sebab semestinya
Umbu pantas dihukum karena sudah beberapa kali melanggar aturan kelas. Sejak
itulah Umbu rajin menulis puisi dan kemudian dimuat di beberapa koran.
Tamat dari Bopkri, ibunya menginginkan Umbu
melanjutkan kuliah ke fakultas Kedokteran Hewan, tapi Umbu menolak dengan
alasan dia lemah dalam pelajaran Ilmu Alam. Diam-diam Umbu kemudian melanjutkan
kuliah di Fisipol UGM jurusan Ilmu Sosiatri dan di Universitas Janabadra
jurusan Sosiologi.
(Umbu sedang menunjukkan calon antologi puisinya) |
Di
Yogya, sejak tahun 1950-an, Umbu sudah menulis puisi dan esai. Tetapi puisinya jarang
yang menonjol dan menarik perhatian para kritikus sastra. Perannya dalam
perkembangan puisi Indonesia modern adalah sebagai bidan bagi kelahiran
penyair-penyair muda yang kelak menguasai dunia perpuisian mutakhir di
Indonesia. Pada tahun 1968, di Yogya,
bersama penyair Suwarna Pragolapati, Iman Budi Santosa,
dan Teguh Ranusastra Asmara, Umbu membidani
dan mengasuh Persada Studi Klub (PSK) yang menguasai rubrik puisi di Mingguan
Pelopor Yogya. Komunitas sastra itu kemudian melahirkan nama-nama besar,
seperti Emha Ainun Najib, Korie Layun Rampan, Linus Suryadi AG, Yudistira Adi
Nugraha. Umbu pun dikenal sebagai Presiden Malioboro dan penyair yang punya
bakat mendidik.
Di Yogya-lah Umbu mengawali petualangan
batinnya. Dia seperti kuda Sumba yang gampang-gampang
susah dikendalikan. Keyakinannya pada puisi seperti angin sabana, mengalir
terus tanpa ada yang mampu menahannya. Darah petualang, puisi dan angin sabana
pula yang membuat Umbu terdampar di Tanah Dewata, yang mungkin menjadi tujuan
terakhir pengembaraannya.
Umbu yang menetap di Bali
sejak tahun 1979 selalu punya cara-cara unik untuk menggairahkan dunia
perpuisian dan membangkitkan gairah apresiasi sastra. Dia membuat jadwal
pertemuan rutin, kunjungan ke semua kabupaten untuk mengadakan apresiasi puisi,
atau dengan sentuhan-sentuhan pribadi yang membuat anak-anak muda merasa berada
dalam sebuah ikatan keluarga besar.
Di Bali, pada era 1980-an dan 1990-an Umbu
mengklasifikasikan puisi-puisi yang dimuat di ruang sastranya ke dalam 4 kelas,
yakni: kelas “Pawai” bagi pemula yang baru belajar menulis puisi, kelas
“Kompetisi” bagi penyair yang cukup gigih mengirim puisi ke gawangnya dan siap
diadu dengan penyair lain yang selevel, kelas “Kompro” atau “Kompetisi Promosi”
bagi penyair yang telah lolos dalam sejumlah babak kompetisi dan siap diadu di
luar kandang, kelas “Posbud” atau “Pos Budaya” bagi penyair yang telah dianggap
handal menggoreng dan menendang bola kata-kata ke gawangnya hingga gol.
(Umbu dan Kartu Kehidupan) |
Sistem yang dibuat Umbu itulah yang bikin para
penyair muda Bali “mabuk kepayang” dan tergila-gila
menulis puisi. Apalagi pada setiap kesempatan pemuatan puisi-puisi kelas Pawai
dan Kompetisi, Umbu rajin mengontak dan menggoda para penyair muda lewat
kata-kata yang membakar semangat untuk berkarya lebih bagus. Seringkali
dibarengi dengan pemuatan foto para penyair yang dikontak Umbu lewat kolom
kecil bertajuk “Stop Press.” Anak muda yang awalnya tidak suka puisi pun jadi
ikut-ikutan menulis puisi, mungkin karena ada keinginan fotonya dimuat Umbu.
Bahkan kelas Pawai dan Kompetisi pun terbagi menjadi sejumlah angkatan yang
beranggotakan 5-10 penyair muda. Saya masuk dalam penyair “Kompetisi Angkatan
Ke-17”.
Kegemaran Umbu menonton sepak bola
mengilhaminya membuat sistem unik untuk ruang sastranya, seperti konsep pos pawai,
kompetisi, solo-run. Sistem seperti itu ternyata berhasil menggugah anak-anak
muda di Bali untuk bersastra dan berkompetisi
menunjukkan karya yang paling unggul. Apalagi Umbu juga memuat esai-esai dan
kritik puisi dari para penulis muda itu. Rubrik sastra Umbu yang unik dan
meriah itu pun menjadi ruang polemik sastra (puisi) di antara mereka. Penyair A
mengomentari karya penyair B, penyair C membantai puisi penyair D, penyair E
membela penyair D, begitu seterusnya. Saya rasa pada era itu ada seratusan
penyair di Bali yang berebutan menendang bola
kata-kata ke gawang Umbu. Dan Umbu adalah penjaga gawang yang bertangan dingin
menangkap bola demi bola kata itu.
(Umbu sedang memberikan apresiasi sastra di SMA 2 Amlapura, 2009) |
Pada era 2000-an, Umbu mengubah konsep
rubriknya menjadi “Posis” atau “Pos Siswa” sebagai ruang untuk menampung
tulisan-tulisan dari para siswa, “Posmas” atau “Pos Mahasiswa” bagi
tulisan-tulisan dari mahasiswa, dan “Pos Solo Run” bagi penulis yang tampil
tunggal. Umbu juga menyediakan ruang bagi para guru yang suka menulis esai-esai
pendek. Terkadang sejumlah puisi dan prosa berbahasa Bali
pun dimuat di rubriknya sebagai bentuk perhatiannya pada sastra daerah.
Pada Agustus 1995, SMK bubar karena suatu
permasalahan intern. Saat itu SMK menjelang perayaan ulang tahun ke-10. Banyak
anggota SMK yang merasa kehilangan tempat berkumpul. Mereka tercerai-berai dan
tenggelam dengan kesibukan masing-masing. Umbu yang suka menyambangi para
penyair yang berkumpul di SMK juga merasa terpukul dan kehilangan. Sanggar yang
berlokasi di jantung Kota Denpasar itu merupakan tempat yang ideal dan romantis
bagi Umbu karena berdekatan dengan Pasar Kumbasari yang buka 24 jam. Mungkin
Umbu terkenang Pasar Beringharjo di Yogya saat dia dulu mengembalakan
penyair-penyair muda Yogya.
Di pasar
Kumbasari itulah Umbu suka mengajak para penyair muda Denpasar menyelami
kehidupan yang sebenarnya dan membuka hati pada rakyat kecil yang bekerja
membanting tulang hingga dinihari. Umbu suka memperhatikan kesibukan ibu-ibu
pedagang sayur, gadis-gadis buruh junjung, pedagang nasi jenggo, kusir dokar
dan kegiatan rakyat jelata lainnya. Kadangkala Umbu mengajak penyair-penyair
muda pesta soto babad di sudut pasar itu sambil ngobrol ngarol-ngidul dan
memperhatikan kesibukan pasar. Apalagi kalau purnama bercahaya indah menghiasi
langit malam Denpasar, Umbu akan terkenang lagu “Denpasar Moon” yang
dinyanyikan Maribeth. Umbu memang penyair romantis. Pernah suatu kali dia
mengajak saya dan beberapa kawan penyair melihat bulan terbit di tepi sawah di
ujung timur Kota Denpasar sambil nongkrong di warung kopi tepi jalan. Dia berseru
kegirangan ketika bulan bulat merah muncul perlahan dari sawah yang berbatasan
dengan laut Sanur itu. Kami duduk berlama-lama di sana sampai bulan merambat tinggi.
Setahun
setelah SMK bubar, kami menggunakan sebuah rumah kecil di Jalan Bedahulu, di
sudut utara Kota Denpasar, sebagai markas. Pada awalnya rumah itu ditempati
oleh Nuryana Asmaudi, Raudal Tanjung Banua dan Riki Dhamparan Putra atas
kemurahan hati seorang anggota keluarga Puri Kesiman yang memiliki rumah itu.
Saat itu Raudal dan Riki baru setahun tinggal di Bali.
Saya sering berkunjung ke rumah itu bersama kawan-kawan seniman, ngobrol ngarol
ngidul hingga menjelang dinihari.
Di depan rumah itu ada tegalan tak terurus yang
ditumbuhi rumpun bambu, di sebelahnya ada sungai kecil dan masih dekat dengan
persawahan. Seringkali angsa-angsa peliharaan tetangga memecah keheningan malam
dengan lengking suaranya. Suatu kali Umbu datang ke sana dan langsung jatuh cinta dengan tempat
itu. Umbu memberi nama tempat itu “Intens-Beh”
yang merupakan akronim dari “Institut Tendangan Sudut Bedahulu”.
Umbu mengkavling sebuah kamar kosong yang kadang-kadang
saja ditempatinya. Seniman-seniman muda suka berkumpul di sana, diskusi, ngobrol kebudayaan, baca-baca
puisi, merayakan ulang tahun teman, main gitar, pacaran, ngrumpi. Di tempat
itulah saya mengenal Umbu lebih dekat dan akrab, mendengar petuah-petuahnya,
konsep-konsepnya tentang dunia perpuisian.
(Umbu dan Kuda Putih, 1999) |
Umbu memiliki banyak tempat persinggahan di Bali. Hampir di setiap kabupaten ada kawan akrab Umbu
yang menyediakan ruang khusus bagi tempat semayamnya. Umbu suka muncul
tiba-tiba di tempat-tempat persinggahannya itu dan biasanya dia akan diladeni
secara khusus. Kalau sudah begitu Umbu benar-benar mirip seorang raja yang
sedang melakukan kunjungan ke bawahannya. Biasanya kawan yang dikunjungi Umbu
merasa mendapat kehormatan menjamu tamu istimewa itu.
Sejumlah anak muda yang tertarik pada puisi
kemudian berkumpul di tempat itu dan dengan takzim mendengar petuah-petuahnya
tentang dunia puisi dan pentingnya puisi bagi pertumbuhan mereka. Tidak hanya
itu, Umbu juga memotivasi mereka akan pentingnya komunitas sastra yang mampu
mewadahi aspirasi dan kreativitas mereka. Maka bermunculanlah sanggar-sanggar
sastra dan kelompok-kelompok teater yang dimotivasi Umbu. Kota Negara di
Jembrana dan Singaraja pernah ramai dengan komunitas-komunitas kecil dan
kegiatan sastra dan teater yang tidak bisa dilepaskan dari peranan Umbu.
Umbu juga menggairahkan kehidupan bersastra di
sejumlah pelosok desa di Bali, seperti Desa
Marga di Tabanan. Biasanya Umbu bekerjasama dengan seniman-seniman yang
dipercayainya di tempat itu untuk membuat kegiatan-kegiatan apresiasi sastra
dan sebagainya. Dan tentu saja Umbu tidak pernah kekurangan orang untuk
melakukan kerja-kerja kesenian kayak itu, meski tanpa bayaran. Mereka dengan
senang hati dan terhormat mengikuti petunjuk-petunjuk Umbu.
Umbu bukan tipe redaktur sastra yang hanya
duduk di belakang meja. Dia menjalankan konsep “turba” atau “turun ke bawah”
dengan senang hati dan keyakinannya pada jalan puisi. Yang paling membahagiakan
jiwanya adalah puisi mampu merasuki jiwa generasi muda dan bisa menjadi
pelengkap hidup mereka. Tidak ada keinginan Umbu mencetak mereka menjadi pasukan
penyair, sebab dunia kepenyairan adalah pilihan sadar dalam kehidupan. Yang
terpenting bagi Umbu adalah membekali generasi muda dengan puisi sehingga lahir
dokter yang berwawasan puisi, insinyur yang paham puisi, dan sebagainya.
Sebab puisi bagi Umbu adalah empati dan simpati
pada kehidupan dalam maknanya yang sangat luas. Bagi Umbu, puisi adalah
kehidupan dan kehidupan adalah puisi. Penyair Bali generasi 1980-an, 1990-an,
2000-an, rata-rata pernah bergesekan dengan vibrasi Umbu, meski tidak semuanya
lantas menjadi penyair yang dikenal di tingkat nasional. Cara Umbu
memperkenalkan mereka pada puisi dan juga kesenian kini seringkali menjadi klangenan dalam obrolan para mantan
penyair yang kebanyakan telah menjadi orang penting di Bali.
(Wayan Sunarta, Umbu, Phalayasa Sukmakarsa) |
Jika Umbu ingin bertemu dia akan mengontak
orang itu secara khusus lewat telepon atau lewat kurir kepercayaannya dan
tempat pertemuan pun telah disiapkan. Atau Umbu akan datang tiba-tiba nyamperin orang yang ingin ditemuinya.
Pertemuan juga bisa terjadi secara terpaksa karena Umbu dijebak. Ada cerita menarik tentang
hal ini. Karena kebelet ingin bertemu
Umbu, Emha pernah menjebak Umbu di rumah Hartanto, seorang kawan dekat Umbu.
Hartanto tidak tega melihat Emha yang uring-uringan
ingin ketemu gurunya itu dalam sebuah kunjungannya ke Bali.
Hartanto kemudian memancing Umbu keluar dari sarangnya dengan umpan sop ikan
kesukaan Umbu. Tentu dengan senang hati Umbu datang ke rumah Hartanto. Di meja
makan Emha telah menunggu dengan rasa kangen yang amat sangat. Umbu pun tidak
bisa lari. Mungkin pintu ruangan juga telah dikunci dari luar oleh Hartanto.
Konon, Emha dan Umbu hanya saling berdiam diri, masing-masing seperti mengukur
dan menakar perasaan.
Pergaulan di Tensut-Beh menjadi kenangan
tersendiri bagi saya, terutama ketika berhadapan dengan sosok Umbu. Meski Umbu
lebih suka berdiam diri dan hening, dia termasuk sosok pribadi yang sederhana
dan hangat. Pada masa-masa Umbu betah di Tensut-Beh, kami biasa berdiskusi
berbagai macam persoalan, mulai dari dunia kesenian, mutu puisi mutakhir,
persoalan politik bangsa, hasil pertandingan bola, kegiatan mahasiswa, sampai
persoalan remeh temeh lainnya, seperti gosip penyair, pacar penyair, menu
masakan dan merek rokok kesukaannya.
Biasanya Umbu akan bicara atau berkomentar jika
dipancing duluan. Dan ada saja di antara kami yang memancing Umbu bicara
tentang suatu pokok persoalan. Biasanya kami ngobrol sambil menunggu makan
malam disiapkan oleh penghuni tetap Tensut-Beh, yakni Mas Nuryana. Mas Nur, begitu
panggilan Nuryana, selain sebagai penulis dikenal juga jago masak. Dia paling
banyak tahu masakan kesukaan Umbu, seperti sayur daun pepaya, daun singkong, jukut (sayur) gonde, nasi beras merah.
Dan kami tidak pernah kekurangan makanan. Ada
saja yang membawa oleh-oleh buat Umbu. Beras merah dan sayur gonde dibawa dari
Marga, Tabanan, oleh seorang kawan dari sana.
Daun pepaya dan singkong dipetik langsung dari kebun belakang rumah. Habis
makan malam obrolan kembali sambung menyambung ditemani kopi dan rokok, bahkan
sering sampai dinihari.
Umbu sangat kuat merokok, sama kuatnya dengan
kebiasaannya duduk berjam-jam beralaskan kardus bekas plat koran yang dibawanya
dari Bali Post. Dia hanya akan berdiri jika mau kencing atau masuk kamarnya.
Dengan beralaskan kardus itu pula kami merebahkan diri di lantai karena mata
letih. Masing-masing penghuni Tensut-Beh memiliki satu lembar kardus yang
dihadiahi Umbu, lengkap dengan memo dan tanda tangannya. Biasanya ada saja
kawan yang mampu menemani Umbu ngobrol sampai dinihari, sementara kawan-kawan
lain tergeletak dan ngorok di lantai.
(Umbu dan penulis sedang menikmati bir) |
Umbu suka minum bir. Biasanya ada saja kawan
yang membawakan bir untuknya. Kemudian bir itu dibagi-bagikan kepada kami.
Seorang kawan pecinta sastra yang bekerja sebagai bar tender kadangkala juga
membawakan sisa-sisa minuman mahal untuk Umbu dan kami. Di Tensut-Beh kami
seperti keluarga besar dengan Umbu sebagai “God Father”-nya. Ada
saja tamu-tamu yang datang khusus untuk menemui Umbu di sana. Kalau Umbu tidak berkenan bertemu biasanya
dia akan ngumpet seharian di kamarnya,
tentu sambil menahan kencing. Dia akan nongol
lagi jika tamu itu sudah pergi, kadangkala sambil menenteng botol bekas yang
berisi air seni.
Kamar Umbu di Tensut-Beh tidak pernah terbuka
lebar, selalu tertutup. Kordennya juga ditutup rapat-rapat. Karena penasaran,
saya pernah mengintip kamarnya dari kisi-kisi lubang angin. Luar biasa! Samar-samar
saya melihat seni instalasi. Lembaran kardus bekas plat koran dan tikar bersusunan
membentuk kasur. Di samping kasur-kardus, koran bekas bertumpuk-tumpuk seperti
benteng. Di sela-sela “benteng koran” itu, kertas-kertas yang mungkin berisi berkas-berkas
puisi dan catatan-catatan kecil juga bersusunan. Umbu suka bersila berlama-lama
di depan berkas-berkas itu sampai tiba jam makan. Botol-botol plastik kosong
bekas air mineral berjejer rapi di pinggir dinding kamar Umbu. Yang menggelikan
kamar yang berukuran kira-kira 3 x 4 meter itu dibelah oleh seutas tali nilon
tempat Umbu menggantung pakaian-pakaiannya dan tas-tas kresek yang entah berisi
apa. Umbu menata kamarnya dengan sangat rapi dan unik.
Umbu sangat memperhatikan kesehatan. Setiap
bangun tidur, hanya mengenakan sarung dan kaos oblong, topi pet dipakai
terbalik, dia akan langsung ke belakang sambil menggigit tangkai sikat gigi.
Umbu paling cemas dan menjadi sangat pemurung jika mendengar kabar kematian, apalagi
yang menimpa sahabat-sahabat dekatnya. Bahkan dia sangat cemas berboncengan dengan
sepeda motor. Saya pernah memboncengnya dengan motor butut Suzuki RC 80 yang
doyan mogok. Karena badannya yang berat tentu saja motor saya oleng
memboncengnya. Dengan nada suara cemas dia wanti-wanti mengingatkan saya agar
pelan-pelan dan hati-hati. Dalam hati saya tertawa geli, saya tidak sadar kalau
sedang membonceng seorang keturunan raja yang sangat dihormati dalam dunia
perpuisian.
Sebagai penyair, karya-karya Umbu tidak terlalu
banyak dan tidak begitu dikenal luas. Dia lebih dikenal sebagai seorang pendidik,
guru puisi, motivator, “provokator kegiatan sastra”, pencari bakat penyair,
sahabat dan ayah yang tulus. Dia sangat jarang mempublikasikan karya dan terkesan
menghindar dari publisitas. Pernah pengurus salah satu penerbit besar di Jakarta datang menemuinya ke Bali
karena ingin mengumpulkan dan membukukan seratus puisinya. Umbu menyanggupi.
Tapi sampai sekarang Umbu tidak pernah menyetorkan puisi-puisinya ke penerbit
tersebut.
(Umbu sedang merenungi puisi di tepi jalan di Denpasar, 2007) |
Sepertinya, Umbu menulis puisi hanya untuk
dirinya sendiri. Puisi-puisi tersebut tersimpan rapi dalam map-mapnya dan
mungkin tak seorang pun pernah melihatnya. Segelintir puisi Umbu hanya bisa
ditemui dalam beberapa buku kumpulan puisi bersama, seperti “Tonggak” yang
dieditori Linus Suryadi AG, “Bonsai’s Morning”, “Teh Ginseng.” Dalam rangka memasyarakatkan puisi-puisi
Umbu, penyair Tan Lioe Ie yang juga seorang mantan penyanyi kafe mengaransemen
sejumlah puisi Umbu menjadi karya musikalisasi puisi dan telah terkumpul dalam
sebuah album sederhana berjudul “Kuda Putih.”
Pembicaraan mengenai sosok Umbu tidak akan
pernah habis. Hampir setiap seniman yang pernah bersentuhan dengan Umbu, akan
mempunyai kenangan dan cerita tersendiri tentang Umbu. Kalau cerita-cerita itu
dikumpulkan tentu akan menjadi sebuah buku yang cukup tebal. Umbu memang sosok
manusia yang langka dan unik. Kecintaannya pada dunia puisi seakan melebihi
segalanya. Hal itu tercermin dalam salah satu baris puisinya yang berjudul
“Melodia”: cintalah yang membuat diri
betah untuk sesekali bertahan, karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah
kehidupan.***
(Desa Ababi, Karangasem, Bali, 30 Maret 2007)
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)