(Dimuat di Majalah Arti, Edisi 021/November
2009)
Teks dan
Foto Wayan Sunarta
“Bagaimana
kabar? Masih terus menulis?” sapa Jean Couteau ramah, saat saya berkunjung ke
rumahnya yang bersahaja di tepi sungai Ayung di kawasan Denpasar Utara.
“Kabar
baik, Pak Jean. Menulis jalan teruslah,” ujar saya.
“Ehm,
bagus ya. Meski kita tahu menjadi penulis harus siap tetap miskin,” seloroh
Jean sembari ketawa. Saya juga ketawa, tentu dengan hati miris.
Ehm, mau bagaimana lagi, menjadi penulis adalah sebuah pilihan sadar yang mesti tetap dijalani. Jean Couteau pun dengan setia tetap melakoni profesinya sebagai penulis sejak bertahun-tahun lampau. Jean senang menulis berbagai hal yang berkaitan dengan kesenian, pariwisata, sosial dan budaya.
Karier kepenulisan telah dirintisnya sejak mahasiswa. Dia telah banyak menghasilkan tulisan kuratorial dan pengantar pameran seni rupa, tulisan-tulisan lepas di berbagai media massa dalam dan luar negeri, makalah-makalah seminar atau pun tulisan utuh dalam bentuk buku tentang proses kreatif dan pencapaian karya beberapa seniman.
Banyak perupa muda berbakat asal Bali menjadi tenar dan laris manis di pasar seni rupa salah satunya karena tulisan-tulisannya. Namun kehidupan Jean Couteau tetap saja bersahaja, seakan kemewahan jauh dari garis tangannya. Hal itu menjadi sangat ironis jika dibandingkan dengan pelukis-pelukis yang pernah diorbitkannya hidup dalam gelimang kemewahan.
Jean telah menetap di Bali lebih dari 27 tahun. Bergaul akrab dengan banyak seniman dan intelektual Bali. Dia sangat fasih berbahasa Bali dan Indonesia. Dia memperoleh gelar master dalam bidang Sosiologi dari Universitas Sorbonne, Perancis. Sedangkan gelar doktor diperolehnya dari EHESS (cabang Sorbonne) dengan disertasi mengenai ikonografi gambar Bali.
Sore itu,
kami ngobrol-ngobrol di bawah rindang pohon suar. Air sungai Ayung gemericik
melewati celah bebatuan. Kurator dan kritikus seni rupa tersohor asal Perancis
itu hanya mengenakan kaos oblong putih dan celana pendek. Wajahnya yang pucat
nampak lelah, meski senyumnya tetap hangat bersahabat.
Kami ngobrol tentang wacana seni rupa Indonesia mutakhir. Jean menilai perupa Indonesia, terutama perupa muda, seakan tidak punya pijakan yang kuat di tengah arus globalisasi dan wacana kontemporer. Misalnya, perupa muda banyak yang ikut trend seni rupa Cina.
Ikut-ikutan trend seni rupa yang laris di pasaran tentu berdampak pada kurangnya menggarap kedalaman karya dan mandegnya kreativitas. Jean mengatakan perupa muda terlalu terpukau pada ikon-ikon global, lupa pada unsur-unsur lokal dan ikon-ikon budaya sendiri. “Pasar terlalu kuat dibandingkan dengan ekspresi diri,” katanya.
Problem terbesar seni rupa Indonesia, menurut Jean, adalah tidak adanya museum seni rupa yang representatif. Sudah saatnya Indonesia memiliki museum seni rupa yang terstruktur yang memajang karya-karya seniman Indonesia secara komplit. Museum sangat berperan untuk membentuk sejarah seni rupa Indonesia. “Tentu kurasi museum juga harus jelas dan terstruktur,” ujarnya.
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)