The founding fathers, Bung Karno dan Bung
Hatta, pernah dipenjara. Pramoedya Ananta Toer, juga pernah dipenjara.
Para tokoh itu pernah dipenjara dengan berbagai sebab yang berbeda.
Tapi, selama di penjara, para tokoh itu, tak pernah putus asa atau
mengakhiri perjuangan dan idealismenya. Sebaliknya, mereka tetap tegar,
dan sehat-sehat saja, begitu keluar dari penjara. Mengapa? Karena,
selama di penjara mereka tetap memiliki pengharapan.
Selama
di penjara, mereka tak berdiam diri. Mereka membaca buku, juga menulis
buku. Begitu mereka keluar dari penjara, mereka telah menghasilkan satu
atau lebih buku untuk negeri ini. Bung Karno menghasilkan Indonesia Menggugat saat berada di penjara Sukamiskin. Bung Hatta melahirkan buku Krisis Ekonomi dan Kapitalisme di samping sejumlah karangan lainnya saat di penjara Glodok tahun 1934. Pramoedya Ananta Toer menciptakan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dan Bumi Manusia,
dan lainnya. Luar biasa! Badan boleh dipenjara, tapi jiwa tak bisa.
Jiwa para tokoh yang kuat, berani, dan dipenuhi oleh rasa cinta kepada
tanah air, tak surut hanya oleh penjara, betapapun menyedihkan
penderitaan yang dialami.
Apa artinya semua itu bagi kita? Selalulah memiliki harapan. Membaca memberi jiwa dan pikiran berada dalam state of mind — pinjam
isitilah Bung Karno — kendati tubuh dalam keadaan terkurung atau cacat
sekalipun. Orang berhasil “melupakan” kepedihan yang dialami dengan
terus membaca. Orang juga mampu menjalani hari-hari yang berat, dengan
menulis. Sikap asketik tampak jelas di sini. Sikap asketik diwujudkan
dengan kecintaan kepada dunia ilmu pengetahuan, kecintaan kepada negeri
yang disertai pengharapan untuk lebih baik, dan kecintaan terhadap
kegiatan tulis-menulis, yang diekspresikan dengan menulis. Itulah yang dilakukan oleh sejumlah tokoh bangsa ini di masa lalu.
Kini,
generasi kita telah diberi banyak sekali kemudahan oleh kemajuan di
berbagai bidang. Untuk bisa produktif, banyak fasilitas di sekitarnya
yang bisa kita manfaatkan. Kalau ingin mendapatkan ilmu pengetahuan,
sudah ada buku yang melimpah, juga ada majalah, koran, dan sumber
informasi lainnya. Kalau ingin menulis, kini sudah ada komputer atau
laptop. Tak perlu menulis dengan mesin ketik jadul… tak tik tak tik,
atau dengan pena. Kalau ingin mengirim naskah, tak perlu mengutus
seseorang sebagai kurir berkuda agar tulisan kita sampai di alamat. Kita
bisa minta bantuan ke kantor pos terdekat. Dan, lebih praktis lagi
dengan mengirim artikel via e-mail. Murah dan sangat praktis. Sekarang
dikirim, sekarang sampai. Teknologi sudah mengantarkan kita untuk hidup
lebih mudah yang mendorong kita (seharusnya) menjadi lebih produktif.
Dengan
berbagai kemudahan, yuk kita menulis dan menulis terus dari waktu ke
waktu. Dengan menulis, kita bisa berbagi. Jangan lupa, dengan menulis
kita memberikan pengharapan kepada diri sendiri. Cobalah perhatikan,
setelah memposting tulisan di kompasiana, kita bisa berharap ada yang
segera membaca, juga berharap ada yang berkomentar. Ketika menulis untuk
koran atau majalah, kita berharap bisa dimuat. Kita berharap agar
tulisan kita dibaca oleh para penikmat koran/majalah itu. Jadi, agar
hidup selalu dipenuhi dengan pengharapan, maka marilah menulis. Harapan
itu menjadikan kita bergairah menjalani hidup. Harapan memberikan kita
tujuan yang menguatkan. Dan, harapan pula mengantarkan kita untuk lebih
produktif dari hari ke hari, tak terkecuali dalam dunia penulisan.
Pancangkan harapan dan menulislah. Menulislah dan pacakkan harapan akan
masa depan yang lebih baik.
Semoga
dengan demikian, kita bisa membuktikan diri telah dan akan terus
berkontribusi untuk perubahan dan pertumbuhan yang positif bagi umat
manusia, sebisa kita, kecil sekalipun. Selamat berkarya, sahabat.
( I Ketut Suweca , 14 februari 2012).
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)