Seorang
sahabat bertutur tentang nasib tulisannya. Ia mengaku memiliki banyak
naskah, baik artikel maupun puisi, yang tak dipublikasikan. Ia bilang
bahwa dia tak berani mengirim tulisan-tulisannya itu ke koran karena
takut ditolak dan takut ketahuan bodo-nya. Mendapat penuturan
semacam itu, lalu saya bertanya, untuk apa artikel-artikel itu ditulis?
Ia jawab, disimpan saja, sambil menunggu waktu hingga keberaniannya
muncul. Kapan beraninya? “Nggak tahulah,” katanya penuh keraguan.
Ketahuilah,
bahwa ketakutan mengirimkan sebuah naskah ke koran/majalah atau juga
ketakutan mempublikasikan tulisan ke media sosial seperti kompasiana,
banyak disebabkan oleh alasan yang tidak masuk akal.
Mari kita periksa lebih jauh. Menulis dan menulis saja belumlah cukup. Sebuah tulisan perlu bertemu dengan ‘dunia luar.’ Ia butuh ‘pergaulan’. Percuma
kalau kita menulis hanya demi menulis alias disimpan di dalam laci.
Dengan publikasi, maka ide-ide yang kita paparkan di dalamnya bisa
bertemu dengan para pembaca.
Misalnya,
kita menulis di sebuah koran dan berhasil dimuat. Jumlah pembaca koran
pada umumnya sangat besar. Sebut saja jumlah pembaca koran tersebut 500
ribu orang. Kalau seperempatnya saja membaca tulisan kita, itu sudah
lumayan. Berarti 125 ribu orang membaca karya kita. Pengetahuan atau
informasi yang kita sampaikan telah masuk ke ruang pikiran pembaca.
Secara diam-diam, kita sudah mempengaruhi mereka, minimal ada perubahan :
dari tidak tahu menjadi tahu. Atau, bahkan, mungkin lebih
dari itu : dari tidak mau menjadi mau melakukan sesuatu, dari tidak
percaya menjadi lebih percaya karena kita sudah mempersuasi mereka. Jika
menulis itu dilandasi niat baik dan tulus untuk berbagi, berarti kita
sudah berbuat amal-kebajikan bagi begitu banyak orang!
Jika
demikian halnya, mengapa masih saja ada yang tidak kunjung
mempublikasikan tulisan dan memilih menyimpannya? Bukankah menulis itu
bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain?
Untuk
berani mengekspose sebuah karya, bisa sulit, bisa juga gampang. Bisa
sulit, kalau sang penulis diliputi perasaan khawatir yang berlebihan :
bagaimana kalau ditolak atau dilempar ke bak sampah oleh redaksi? Bisa gampang, kalau mau dan ada keberanian : kirim saja ke Redaksi, mau ditolak atau dimuat, tidak usah dirisaukan. Kewajiban penulis, ya, menulis dan mengirim karyanya ke media yang diharapkan bersedia memuat.
Ketakutan yang kronis akan berbuah kegagalan. Keberanian yang serampangan pun akan berbuah kegagalan. Jadi, ketakutan yang berlebihan perlu diganti dengan keberanian yang rasional. Tidak
sekadar berani, apalagi keberanian yang membabi buta. Membabi buta,
maksud saya, misalnya, mengirim sebuah naskah tanpa memperhatikan media
apa yang cocok untuk memuatnya, berani mengirim naskah tanpa mengedit
sebelumnya, berani menjelek-jelekkan orang lain dan memperuncing SARA.
Itu tentu keberanian yang sama sekali tidak diharapkan dan bakal jadi
bumerang.
Lalu,
bagaimana? Mari perkuat keberanian untuk menulis dengan baik, miliki
pula keberanian untuk mengirimkan ke media yang diharapkan akan
memuatnya: keberanian yang rasional. Jangan lagi naskah itu disimpan di
dalam laci atau di laptop. Percuma. Seperti halnya kita manusia, tulisan
itu pun perlu bergaul dengan ‘dunia luar.’
Nah, selamat menulis dan mempublikasikannya ke media.
( I Ketut Suweca , 21 Maret 2012).
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)