Menjadi Penulis yang Berani!

Tuesday, 10 April 2012

Seorang sahabat bertutur tentang nasib tulisannya. Ia mengaku memiliki banyak naskah, baik artikel maupun puisi, yang tak dipublikasikan. Ia bilang bahwa dia tak berani mengirim tulisan-tulisannya itu ke koran karena takut ditolak dan takut ketahuan bodo-nya. Mendapat penuturan semacam itu, lalu saya bertanya, untuk apa artikel-artikel itu ditulis? Ia jawab, disimpan saja, sambil menunggu waktu hingga keberaniannya muncul. Kapan beraninya? “Nggak tahulah,” katanya penuh keraguan.
Ketahuilah, bahwa ketakutan mengirimkan sebuah naskah ke koran/majalah atau juga ketakutan mempublikasikan tulisan ke media sosial seperti kompasiana, banyak disebabkan oleh alasan yang tidak masuk akal.
Mari kita periksa lebih jauh. Menulis dan menulis saja belumlah cukup. Sebuah tulisan perlu bertemu dengan ‘dunia luar.’ Ia butuh ‘pergaulan’. Percuma kalau kita menulis hanya demi menulis alias disimpan di dalam laci. Dengan publikasi, maka ide-ide yang kita paparkan di dalamnya bisa bertemu dengan para pembaca.
Misalnya, kita menulis di sebuah koran dan berhasil dimuat. Jumlah pembaca koran pada umumnya sangat besar. Sebut saja jumlah pembaca koran tersebut 500 ribu orang. Kalau seperempatnya saja membaca tulisan kita, itu sudah lumayan. Berarti 125 ribu orang membaca karya kita. Pengetahuan atau informasi yang kita sampaikan telah masuk ke ruang pikiran pembaca. Secara diam-diam, kita sudah mempengaruhi mereka, minimal ada perubahan : dari tidak tahu menjadi tahu. Atau, bahkan, mungkin lebih dari itu : dari tidak mau menjadi mau melakukan sesuatu, dari tidak percaya menjadi lebih percaya karena kita sudah mempersuasi mereka. Jika menulis itu dilandasi niat baik dan tulus untuk berbagi, berarti kita sudah berbuat amal-kebajikan bagi begitu banyak orang!
Jika demikian halnya, mengapa masih saja ada yang tidak kunjung mempublikasikan tulisan dan memilih menyimpannya? Bukankah menulis itu bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain?
Untuk berani mengekspose sebuah karya, bisa sulit, bisa juga gampang. Bisa sulit, kalau sang penulis diliputi perasaan khawatir yang berlebihan : bagaimana kalau ditolak atau dilempar ke bak sampah oleh redaksi? Bisa gampang, kalau mau dan ada keberanian : kirim saja ke Redaksi, mau ditolak atau dimuat, tidak usah dirisaukan. Kewajiban penulis, ya, menulis dan mengirim karyanya ke media yang diharapkan bersedia memuat.
Ketakutan yang kronis akan berbuah kegagalan. Keberanian yang serampangan pun akan berbuah kegagalan. Jadi, ketakutan yang berlebihan perlu diganti dengan keberanian yang rasional. Tidak sekadar berani, apalagi keberanian yang membabi buta. Membabi buta, maksud saya, misalnya, mengirim sebuah naskah tanpa memperhatikan media apa yang cocok untuk memuatnya, berani mengirim naskah tanpa mengedit sebelumnya, berani menjelek-jelekkan orang lain dan memperuncing SARA. Itu tentu keberanian yang sama sekali tidak diharapkan dan bakal jadi bumerang.
Lalu, bagaimana? Mari perkuat keberanian untuk menulis dengan baik, miliki pula keberanian untuk mengirimkan ke media yang diharapkan akan memuatnya: keberanian yang rasional. Jangan lagi naskah itu disimpan di dalam laci atau di laptop. Percuma. Seperti halnya kita manusia, tulisan itu pun perlu bergaul dengan ‘dunia luar.’

Nah, selamat menulis dan mempublikasikannya ke media.

( I Ketut Suweca , 21 Maret 2012).

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas