Tidak kunjung menulis, banyak orang berdalih karena ‘tak punya waktu’. Kesibukan
demi kesibukan dalam pekerjaan menjadi biang keladi mengapa seseorang
tidak menulis walaupun angan-angan menjadi penulis demikian besar.
Kesibukan yang demikian padat menjadi alasan yang bisa diterima dan
masuk akal, tentu saja. Yang bersangkutan menetapkan skala prioritas
pertama pada pekerjaan-pekerjaan lain selain menulis.
Ketiadaan
waktu menulis, sejatinya hanyalah sebuah persoalan komitmen. Ya,
komitmen untuk menetapkan seberapa penting aktivitas tulis-menulis itu
bagi kita. Kalau menulis kita pandang bukan hal penting, maka pantas
saja kalau kita tidak mengalokasikan waktu untuk aktivitas ini dan
berdalih tak punya waktu.
Tetapi,
kalau kita memiliki komitmen yang besar, maka kita akan jadikan
pekerjaan menulis sebagai prioritas utama dan senantiasa ada waktu untuk
menulis. Jadi, komitmenlah yang mengantar seseorang untuk menetapkan
skala prioritas terhadap pekerjaan dan mengalokasikan waktu untuk
pekerjaan itu. Jika kita memiliki komitmen menulis – untuk menjadi
penulis –, pastilah kita mampu menyisihkan waktu. Maka, tak ada istilah
‘tak punya waktu’, kecuali untuk mereka yang tak punya komitmen atau
yang berada di barisan orang-orang malas.
Bagaimana mengalokasikan waktu menulis? Pertanyaan pokoknya, pukul berapa di antara
jadwal pekerjaan kita yang bisa dialokasikan untuk menulis: pagi,
siang, sore, atau malam? Ada penulis yang memilih waktu pagi-pagi sekali
menulis artikel atau buku. Sebelum matahari terbit di ufuk timur, dia
sudah bekerja di kamar kerjanya. Alasannya menulis di pagi hari karena pagi hari udara masih bersih dan tubuh segar-bugar usai istirahat semalam. Pikiran pun dapat bekerja maksimal.
Ada
juga yang memilih menulis pada siang hari dengan alasan pada pagi hari
ia mengerjakan hal-hal lain. Seorang ibu rumah tangga yang juga seorang
penulis, memilih mulai menulis pada pukul 11 .00 setiap hari setelah
pekerjaan rumah tangganya selesai. Beda dengan ibu rumah tangga
tersebut, ada orang yang memilih menuliskan ide-idenya di malam hari.
Saat berisik hiruk-pikuk kehidupan jauh berkurang, tatkala suasana di
sekitar mulai sepi, kala itulah penulis mulai bekerja. Suasana yang
hening di malam hari membangkitkan gairahnya menciptakan gagasan-gagasan
terbaik.
Waktu
mana pun yang kita pilih, tak menjadi persoalan. Setiap orang mempunyai
waktu-waktu puncaknya, di mana dia bisa mencapai tingkat produktivitas
terbaik, baik secara kuantitas maupun kualitas. Pastikan, waktu mana yang paling pas untuk masing-masing dari kita. Temukan waktu saat Anda bisa paling produktif.
Melajulah
terus di atas rel penulisan hingga tercapai stasiun kerberhasilan.
Jangan pula kita berlama-lama di situ, karena kita harus berjalan lagi
mencapai stasiun-stasiun berikutnya. Menulis adalah pekerjaan tiada akhir: kita senantiasa berada dalam ‘proses menjadi’.
Selamat menulis sahabat-sahabatku.
( I Ketut Suweca , 8 April 2012 ).
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)