Tentang Puisi-puisi Chairil Anwar

Wednesday, 29 April 2015

Tengsoe Tjahjono:
Kata-kata puisi Chairil itu cenderung konkret sehingga lebih mudah membangun imaji di benak pembacanya. Selain itu, Chairil cenderung memilih kata-kata yang lazim dipakai sehari-hari. Bagiku kekuatan Chairil justru pada level sintaksis. Dia mampu merangkai kata menjadi kalimat yang penuh daya. Misalnya: cemara menderai sampai jauh, aku ini binatang jalang, sepi menekan mendesak, dll. Penyair Pujangga Baru sebelumnya sibuk memilih kata indah dan ritmis sehingga terkesan monoton...

Djoko Saryono:
Chairil bisa menggunakan diksi arkaik (seperti Pujangga Baru) dengan sangat efektif dan fungsional dibanding Amir Hamzah atau STA: beta, datu, pagut, Radjawane dll. Tak heran, larik dan baris puisi CA lebih bertenaga. Pujangga Baru terlalu konfrontatif terhadap tradisi, tapi Chairil lebih inklusif terhadap tradisi. Tak benar CA sangat berorientasi Barat: ia memungut, menjemput, dan mematut semua sumber menjadi racikan baru.

Tengsoe Tjahjono:
Racikan baru itulah kekuatan Chairil. Ia tak terjebak pada pola melodi klasik saat ingin membangun irama dalam puisinya. Relasi sintaksis yang lingual dan bunyi yang paralingual mampu disenyawakan dengan baik. Baris beta patirajawane misalnya memperlihatkan tautan dua elemen linguistik itu...

Tengsoe Tjahjono:
Originalitas bagiku senyawa antara potensi diri dan dunia baca (teks/dunia). Chairil memiliki garis tangan atau potensi bahasa yang tinggi dan kemauan membaca yang tidak main-main. Perkenalannya dengan banyak penulis dunia itulah yang pada akhirnya melahirkan sosok Chairil yang kita kenal: menciptakan revolusi dalam puitika puisi...

Djoko Saryono:
Kalau buatku, Chairil justru tak mengejar orisinalitas yang nyatanya banyak kejebak pada konservatisme dan revivalisme puitik, linguistik, dan tematik. Chairil justru menemukan otentisitas yang dihasilkan dari daya ciptanya yang hebat dalam memanfaatkan bahan apa pun dan dari mana pun.

Sumber: Facebook Denny Mizhar.
Selengkapnya: Tentang Puisi-puisi Chairil Anwar

Dua Puisi Ekohm Abiyasa di Buletin JEJAK edisi 49 Khusus Puisi

Tuesday, 28 April 2015

Edisi khusus puisi dalam rangka ulang tahun ke-4 FSB (Forum Sastra Bekasi)

Capung

I
aku sudah muak menerima
kekalahan. debu menumpuk di mata
enyahlah kebohongan ini. enyahlah!

aku bersembunyi
di antara gelap malam: cahaya redup dan hingar matamu.
akulah, mata mata gelap tanpa kau ketahui
tanpa perlu tahu.

II
menyembunyikan rahasia rahasia
sudah bukan waktu
hidup ngembara
terbanglah bersama liuk hujan sendu yang sekarat!

Surakarta, 2014


Uban

seperti mata kaca
membelah ragu ketika hujan
meniris air mata tuhan

di dasar laut sembunyi akar akar pilu
di atas langit doa sepucat kapas

seperti keping puzzle melubang teka teki
merunut garis waktu
sepanjang sungai bengawan solo

di dasar hati bermukim sajadah puisi
di atas kepala lingkaran sunyi denyut mengibas
: terlepas

Surakarta, 2014

Download pdf-nya di sini.
Selengkapnya: Dua Puisi Ekohm Abiyasa di Buletin JEJAK edisi 49 Khusus Puisi

Seorang Penulis Harus Cerdas

Seorang penulis harus cerdas, penulis yang tidak cerdas hanya akan memiliki khayalan.

Penulis harus mencari data untuk mengetahui lebih jauh apa yang akan ditulis maka cara pandang penulis akan lebih luas.

Mulailah menulis dengan membedakan mana yang khayalan dan mana yang imajinasi. Imajinasi adalah syarat utama yang harus dimiliki penulis, ciri imajinasi adalah kreatif.

Penulis lahir dari istiqomah, bukan dari trik-trik atau workshop menulis.

Jika kemampuan menulis tidak sebanding dengan imajinasi yang dimiliki, kuncinya adalah latihan.

Orang yang mengirim cerpennya 40 kali akan lebih baik dari yang hanya 3 atau 4 kali ditolak lalu menyerah . 


(Joni Ariadinata. Redaktur Majalah Sastra Horison dan Jurnal Cerpen Indonesia)

Foto oleh: Mas @Dwi Suwikyo
Kutipan oleh: @radiobuku


Sumber: Facebook Penerbit DIVA Press.
Selengkapnya: Seorang Penulis Harus Cerdas

Tujuh Puisi Ekohm Abiyasa di Antologi Puisi "Jendela dari Koloni"

Saturday, 25 April 2015


Aku adalah Kamu

aku adalah sepi yang disayat maut cinta
biarkan aku, menerkam tubuh malam

aku adalah ranting yang rapuh terjatuh
biarkan aku, melumat diri menjadi tanah meriuh

aku adalah buih di luap laut
biarkan aku, terombang ambing dalam bisu

aku adalah kapas yang terbang bebas
biarkan aku, mengurai bersama sengal napas

aku adalah kamu,
puisi!

Karanganyar, 2014


Stargaze

I
pada pukul sebelas malam
jarum jam memberat di mata
dunia segera beranjak
ke lipatan lipatan mimpi yang tertunda

melengkapi beberapa potongan, kaca kaca rabun
usia yang embun
aku terpaku, membujur bisu
di ranjang kematianlah segala lalu

II
keclap tiga bintang turun ke bumi
menggeser jemari mengaitkan
dengan sebatang kematian

gemuruh tubuh meriap
dentam jam terasa berat

dua pasang senyum
menutup gelap
tempat aku dulu berbagi bunga
di rumah-Mu aku singgah

Karanganyar, 2014


Catatan Akhir Tahun

apa yang kautahu dari harapan yang kaucatat di buku harian?
segala mimpi dan angan itu, menguap diterpa angin masa lalu

apa yang kaupedulikan
di tahun tahun murung yang kaupesan
dari doa dan air mata?
tahun tahun berlari dari langkah kakimu
lebih cepat dan gesit menggigit sepi
di pundakmu

impian apa yang kaubangun?
dari kamar kosong, dari retakan masa lalu
yang lesap meninggalkan bayanganmu di depan cermin
waktu tak pernah berkompromi
dengan apa aku
dengan siapa aku
Kau?!

Surakarta, 2015


Segelas Kopi Malam Ini

masih tentang
seikat sepi yang panjang

di atas dipan
kekosongan merebah
—derai tawa
para kurcaci
mengalirkan dongeng dan legenda
di sepanjang malam
di sepanjang sepi

para kurcaci itu,
berlarian pada angin
membujuk sepiku

dan masih tentang
segelas kopi yang remang ditancapkan
di jantung perjalanan
di atas kengerian akhir cerita
—jurang kemalangan
hitamku merekah!

Surakarta, 2014


Teka-teki Silang, 2

Ombak laut menurunkan kenangan asin
angin merentangkan sayapnya
ke ujung terjauh masa depan
—silau diri

Diaspora rindu rindu kita yang rumit
tak mampu terlayarkan,
kata kata habis dan tenggelam
—terbuang

Elang terbang datar, menukik
kemudian mencabik
—sisa sisa perjalanan prematur

Nyalakanlah sumbu sumbu ini
mari berpesta api
—biar saja layar terkatung

Nyalakanlah dunia yang menyalak nyalak
mengisi kekosongan hati kita yang berlubang
—yang gagal menemu jawaban

Surakarta, 2015


Kamar 272 dan 275
: di hotel Alexander

I
di sana ada berpasang binar bola mata setelah makan malam
kami bertemu di lobi, tentu saja puisi ini makin subur
di persemaian dua ladang

II
lalu di kamar lantai dua, kami bertiga menghabiskan waktu
mengumbar kekonyolan dan memencet tombol remote televisi
kami sedikit kesal, gambarnya kepyur seperti mata kaca dihujani abu gunung

apakah pertemuan ini begitu takdir?

III
kami segera beranjak memulai perjalanan yang lain
dengan bibit puisi di kantong baju dan celana

Tegal, 2014



Labirin yang Tertinggal

biarkan saya mengetuk pintu
lebih keras dan lama
sudah beberapa lama
saya tidak mendengkur di labirin waktu
yang dahulu menemani dengkuran manja

biarkan saya menarik selimut lebih erat dan tahan
seberapa jauh memimpikan rasa hangat dari baju malam
biarkan saya tertidur lebih dalam

Surakarta, 2014



Seri dokumentasi sastra antologi puisi Pendhapa 17
Diterbitkan oleh Taman Budaya Jawa Tengah (April, 2015)

Bersama 10 penyair muda Soloraya lainnya.
Selengkapnya: Tujuh Puisi Ekohm Abiyasa di Antologi Puisi "Jendela dari Koloni"

Your Eyes, Poem by Saut Situmorang

Thursday, 23 April 2015

YOUR EYES

Your eyes are ancestral forests cut down for palm-oil plantations and pulp mills
Your eyes are sacred mountains dissected for gold and tin
Your eyes are fertile lands stolen for cement factories
Your eyes are mist-covered blue lake transformed into a giant pigsty
Your eyes are beautiful peaceful neighbourhoods cursed into foreign-name hotels
Your eyes are floodings and traffic jams haunting your mornings and nights
Your eyes are children crying starving not enough money to buy imported rice and salt
Your eyes are gas tanks exploded in the kitchen when you are making love with your wife
Your eyes are petrol price raised every time you ride your credit motorbike to work
Your eyes are the television programs showing how the rich live and do their shopping overseas
Your eyes are members of parliament who complain how low their salaries are while driving brand new mercedes
Your eyes are the police who shoot protesting students calling them anarchists and terrorists
Your eyes are the thugs dressed in religious clothings beating up students who are discussing book calling them communists
Your eyes are the president who keeps saying, "Sorry, it's none of my business"
Your eyes are the media who made you elect the president
Your eyes are the outspoken poet reported to the police accused of "defamation, libel and verbal sexual violence" in Facebook
Your eyes are old women imprisoned for using the tree branches in their own property for firewood
Your eyes are state officials smiling on television after being arrested for corruption
Your eyes are nomadic indigenous tribes forced by the state to live in permanent villages and be civilized
Your eyes are supermalls and supermarkets mushrooming replacing the traditional markets all over your poor Third World country
Your eyes are the poor being refused emergency health care by hospitals all over your country
Your eyes are sick and tired brown eyes of million angry poor brown people waiting for a bloody brown revolution to explode like a long dead supervolcano
Your eyes are everywhere

Taken from Notes Facebook Saut Situmorang.

***

SEPASANG MATAMU

Sepasang matamu adalah hutan belantara leluhur yang dibabat demi perkebunan kelapa sawit dan pabrik kertas Sepasang matamu adalah gunung-gunung suci yang dikeruk demi emas dan timahnya
Sepasang matamu adalah lahan-lahan subur yang dirampas pabrik-pabrik semen
Sepasang matamu adalah danau biru berkabut yang disulap menjadi kandang babi raksasa
Sepasang matamu adalah lingkungan damai nan asri yang dikutuk menjadi hotel-hotel dengan nama yang asing
Sepasang matamu adalah banjir dan kemacetan yang menghantui pagi dan malammu
Sepasang matamu adalah anak yang menangis kelaparan karena tak cukup uang untuk membeli beras dan garam impor
Sepasang matamu adalah tabung-tabung gas yang meledak di dapur ketika kau dan istrimu bersenggama
Sepasang matamu adalah harga bensin yang terus melambung tiap kali kau berangkat kerja dengan motor kreditanmu
Sepasang matamu adalah program-program televisi yang menyajikan gaya hidup Si Kaya dan kegiatan belanja mereka di luar negeri
Sepasanga matamu adalah anggota-anggota parlemen yang mengeluh betapa rendah gaji mereka saat sedang mengendarai Mercedes terbarunya
Sepasang matamu adalah polisi yang menembaki para demonstran mahasiswa sembari meneriaki mereka anarkis dan teroris
Sepasang matamu adalah bandit-bandit berjubah suci yang memukuli mahasiswa yang sedang mendiskusikan buku sembari menyebut mereka komunis
Sepasang matamu adalag presiden yang terus berkata ,” Maaf, itu bukan urusan saya”
Sepasang matamu adalah media yang memaksamu memilih presiden
Sepasang matamu adalah penyair blak-blakan yang dilaporkan ke polisi dengan tuduhan” pencemaran nama baik, fitnah, dan kekerasan seksual verbal” di Facebook
Sepasang matamu adalah para perempuan renta yang dibui karena mengambil tiga dahan untuk kayu bakar di tanah mereka sendiri
Sepasang matamu adalah para pejabat negara yang memamerkan senyum di televisi saat ditahan dengan tuduhan korupsi
Sepasang matamu adalah suku-suku asli nomaden yang dipaksa negara untuk menetap permanen di desa-desa agar tampak beradab
Sepasang matamu adalah supermall dan supermarket bak cendawan yang menggantikan pasar tradisional di berbagai penjuru negeri dunia ketigamu yang miskin
Sepasang matamu adalah orang-orang miskin di berbagai penjuru negeri yang ditolak kartu jamkesmasnya
Sepasang matamu adalah sepasang mata coklat belekan yang letih dari jutaan orang-orang berkulit coklat yang marah menanti meledaknya revolusi coklat yang bersimbah darah layaknya ledakan gunung berapi yang telah lama mati suri
Sepasang matamu ada dimana-mana

*Diterjemahkan oleh Dwicipta dari versi bahasa Inggris.

21 April 2015

Sumber: http://literasi.co/SEPASANG-MATAMU
Selengkapnya: Your Eyes, Poem by Saut Situmorang

Jadwal "Bincang Sastra" bulan Mei 2015 di Radio Solopos FM

Tuesday, 21 April 2015

Sumber
Simak "Penyair Muda Solo Bicara Puisi" dalam Bincang Sastra di Solopos FM
Minggu, 26 April 2015 Pkl. 16.00 WIB

Streaming: http://www.soloposfm.com atau http://www.jogjastreamers.com
Selengkapnya: Jadwal "Bincang Sastra" bulan Mei 2015 di Radio Solopos FM

Proses Berkarya

Monday, 30 March 2015

Ketika ingin belajar menulis puisi, kita sering mengalami mati ide. Berikut ada beberapa tips dan trik.

1. Tulis saja dahulu, edit kemudian
Pertama yang perlu dilakukan adalah tulis saja yang ada di kepala. Tulis saja kata-kata yang ada di otak. Sesingkat mungkin. Tulis kata-kata yang didapat lalu dirangkai sedemikian rupa. Kalau sudah selesai, kita edit/teliti lagi. Kata mana yang kiranya perlu pengembangan atau tambahan. Jadilah puisi!

2. Pemilihan kata yang sesuai
Pada tahap selanjutnya, saya sarankan untuk membuat puisi dengan pemilihan kata yang sesuai dengan tema agar semakin jelas dan terarah. Setiap kata punya banyak sekali makna. Kita bedah itu. Misal "batu". Batu punya makna keras, hitam, ada keterkaitan dengan air, sungai, laut dll. Dari eksplorasi makna kata itulah kita bisa mengembangkannya.

3. Memakai konsep
Pada saat kita sudah berada pada tingkatan yang lebih tinggi, saya sarankan untuk memakai konsep atau tema yang lebih spesifik agar tulisan (puisi) lebih terarah maknanya. Jika konsep itu dirasa membebani, maka jangan terlalu dihiraukan konsep itu. Lebih baik menulis sesuai kemampuan atau yang ada di kepala. Namun saya anjurkan untuk memakai konsep. Kita pakai konsep 10%, sisanya mengalir saja dari kepala.

4. Bergabung dalam komunitas sastra
Nah, ketika kita sudah merasa berada pada level setingkat lebih tinggi lagi, kita hendaknya menimba ilmu pada orang yang lebih luas pengalamannya. Kepada siapa sajapun kita juga bisa belajar menimba pengetahuan. Karena kita tidak mungkin kan berada pada level yang sama dari dahulu sampai kini?. Hadirilah acara-acara sastra di kota terdekat. Ikutlah bergabung dalam suatu komunitas sastra. Dengan begitu akan membuat kita semakin kaya pengetahuan dan tentunya menambah teman sehobi. Dengan begitu pula kita bisa mengembangkan karya berikutnya.

Banyak referensi yang perlu kita ketahui, minimal tahu saja sudah cukup. Dengan banyak berhubungan atau berkumpul dengan orang-orang yang sehobi atau sejalur dengan yang kita minati, tentu secara tidak langsung maupun langsung akan mempengaruhi kinerja kita dalam berproses/berpuisi. Ini sangat penting. Sebab kalau tidak, kita akan mati dan tenggelam. Tidak ada karya lagi yang akan terlahir dari jemari kita, dari keyboard laptop maupun komputer kita.

5. Pertajam naluri dan hati nurani
Ketika sudah berjalan tahap-tahap diatas, kita sering melupakan satu ini, melihat diri, yaitu menulis tentang diri kita sendiri, lingkungan dan sekitarnya. Kita sering mengangkat tema-tema besar di luar sana. Kita sering mengkritik habis-habisan orang lain. Namun kita luap mengkritik diri sendiri. Kita kdang-kadang melupakan naluri dan nurani hati sendiri. Inilah yang penting juga untuk diperhatikan. Kalau dalam bahasa lain orang menyebut "kemunafikan diri".

Pelajaran puisi pada tingkat sekolah baik SD, SMP maupun SMA hanyalah formalitas. Lebih jauh dan luas ditemukan di luar sekolah itu. Banyak orang yang menekuni dunia puisi dan hendaknya kita menimba ilmu pada mereka. Tentunya yang sesuai dengan minat kita.

Hingga pada akhirnya kita merasa pada tingkatan yang matang. Punya nama yang diperhitungkan dalam dunia sastra(puisi) di Indonesia. Orang-orang menyebut kita ""sastrawan".

Jakal KM 14 Jogja, 16 Nopember 2012

Selengkapnya: Proses Berkarya

Kata-kata dalam Sajak: Masalah Logis dan Tidak Logis

Oleh : Dasril Ahmad

SEORANG penyair berada dalam kata, di luar bahasa, kata Wiratmo Soekito dalam bukunya "Kesusastraan dan Kekuasan" (1984). Dalam menyair, penyair lebih akrab atau mengakrabi efektifitas penggunaan tenaga puitik (power puitic) yang terkandung dalam kata. Justru itu, kalau dilakukan studi khusus tentang penggunaan kata-kata dalam sajak dari beberapa penyair, maka bukan mustahil kita akan menemukan ciri pembeda yang merupakan warna khas sajak setiap penyair. Misalnya, penggunaan kata-kata yang dilakukan penyair Chairil Anwar, akan menunjukkan kekuatan sajaknya sendiri dan menjadi warna khas sajaknya itu. Ini akan berbeda dengan sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Hamid Jabbar, Rusli Marzuki Saria, dan lain-lain.

Dengan melakukan studi terhadap penggunaan kata-kata dalam sajak, berarti kita telah menyediakan (membuka) diri untuk menggumuli “jiwa” yang terkandung di dalam sajak tersebut. Kesempatan ini mengharuskan kita untuk menelusuri daya imaji, emosi dan ide-ide yang ditampilkan penyair lewat sajaknya itu. Sebab, penyair menggunakan kata-kata dalam bermacam-macam kombinasi untuk menampilkan imaji, menyampaikan ide-ide, dan untuk mencetuskan atau melahirkan emosi, kata B.P. Situmorang (1981). Dalam hubungan ini pula, kelak kita akan berurusan dengan masalah diksi (pilihan kata) yang dipergunakan penyair dalam sajaknya. Meski sering diungkapkan (malah secara vokal) oleh masyarakat umumnya, bahwa penggunaan kata-kata dalam sajak sering rancu dan tak beraturan, hingga menyulitkan upaya memperoleh pemahaman, namun sebetulnya ungkapann itu tidaklah selalu benar. Seorang Coleridge, misalnya, dengan tegas menyatakan, “Poetry equalie the best words in the best order” (Puisi sama dengan kata-kata terbaik dalam tata tertib/aturan yang terbaik).


Sungguhpun demikian, keluh-kesah masyarakat dalam memahami sajak selalu saja bergema. Salah satu penyebab timbulnya kondisi itu adalah sulitnya merebut makna dari kata-kata yang ditampilkan penyair dalam sajaknya. Pengertian sulit di sini menjurus kepada tindakan memaknai sebuah kata (secara denotatif) yang sering tak relevan (dan juga tak koherensi) dengan makna kata-kata yang mengikutinya di dalam setiap larik sajak. Kendala seperti ini, terkadang tak sulit dicarikan pemecahannya, asalkan kita mampu memaknai kata-kata yang dianggap sulit itu secara konotatif. Dalam hal ini kita akan akrab bergelut dengan masalah symbol, lambang, kias, dan sejenisnya yang diemban oleh kata-kata tersebut terhadap dunia nyata (realitas) yang sering kita temukan dalam hidup dan kehidupan kita sehari-hari.

Pada titik ini, sampailah kita pada pengertian bahwa upaya memahami sajak –untuk merebut makna yang dikandungnya— merupakan suatu upaya untuk memahami sekaligus mengarifi diri terhadap persoalan-persoalan hidup dan kehidupan yang realis. Di dalam proses ini pula kelak orang sering menghubungkan pengertian-pengertian yang diungkapkan lewat kata-kata ataupun kelompok kata (frasa) di dalam sajak, dengan kenyataan-kenyataan yang lumrah ditemui, dialami dalam kehidupan sehari-hari yang realis itu. Lewat kaca-banding ini pula kemudian masyarakat (minoritas) penikmat sajak, akan bersua dengan masalah logis dan tidak logisnya pengertian kata-kata dan frasa di dalam sajak dengan realitas keseharian. Sering pula lahir pendapat, kalau makna kata-kata dalam sajak relevan dengan kenyataan hidup keseharian, maka sajak itu tergolong baik, dan begitu pula sebaliknya.  


Mencari hubungan/kaitan logis dan tidak logisnya makna kata-kata/frasa yang digunakan dalam sajak dengan realitas objektif, merupakan suatu tindakan yang kurang menguntungkan untuk dipelihara. Sikap dan tindakan begini kurang lebih berarti mempersempit ruang-gerak pemahaman sebuah sajak yang hakiki; apalagi untuk menjatuhkan vonis baik atau jeleknya sajak tersebut. Adalah tidak menguntungkan kalau sebuah sajak Sitor Situmorang berjudul “Malam Lebaran” yang hanya terdiri dari satu larik, yaitu: “Bulan di atas kuburan”, dinyatakan tidak baik; kalau cuma ditilik dari segi ketidaklogisan pengertian dari ungkapannya dengan realitas objektif keseharian. Sebab, mana pula ada bulan berada di atas kuburan pada malam lebaran? Bukankah realisnya di setiap malam lebaran bulan cuma muncul (kecil) di sore atau menjelang senja hari? Tetapi apabila kita berusaha memaknai kata bulan dan kuburan secara konotatif, maka kita setidaknya akan dapat memahami makna hakiki dari sajak itu. Untuk itu, kita mesti menggeluti dunia simbol-simbol atau perlambangan; bulan adalah lambang kebahagiaan, sedangkan kuburan adalah lambang kesedihan. Jadi di malam lebaran ternyata ada kebahagiaan terletak di atas kesedihan!

Begitu juga, dua buah sajak karya Armeynd Sufhasril yang dimuat di RMI Harian Haluan tgl. 14 Juni 1987 yang lalu, masing-masingnya berjudul “Sepanjang Jalan Setapak di Dusun-Dusun” dan “Sansai”, ditemukan juga beberapa ungkapan yang tidak logis, misalnya ungkapan “pelangi muncul pagi hari/ azan tak terdengar lagi/ surau-surau lengang” (dalam sajak “Sepanjang Jalan Setapak di Dusun-Dusun”) Kemudian ungkapan “sungai keruh kering” (dalam sajak “Sansai”) 


Memang tidak logis kalau dinyatakan, “pelangi muncul pagi hari”, karena lazimnya pelangi muncul adalah pada waktu sore hari. Tetapi, ia menjadi logis kalau kita memaknai kata “pelangi” sebagai simbol dari keindahan, sehingga pengertiannya menjadi “keindahan muncul pagi hari”. Memang juga dirasa tidak logis kalau di dusun (kampung) dinyatakan, “adzan tak terdengar lagi/ surau-surau lengang”. Sebab, lazimnya kehidupan di dusun (apalagi di Minangkabau) suara adzan selalu mewarnai kehidupan masyarakatnya, dan surau pun selalu ramai sebagai tempat beribadah oleh masyarakat yang mayoritas taat beribadah itu. Tapi larik sajak itu menyatakan keadaan yang paradoksal dari kenyataan hidup keseharian masyarakat tersebut. Ini jelas tidak logis. Tetapi ia akan jadi (dan diterima) logis, kalau kita bermurah hari menerima tawaran persoalan yang diungkapkan oleh penyair (lazimnya penyair/sastrawan lewat karyanya selalu menawarkan alternatif dari sekian banyak persoalan hidup) bahwa begitulah suasana hidup dan kehidupan yang terjadi di tengah masyarakat di dusun-dusun dewasa ini. Suatu warna kehidupan yang tengah dilanda “krisis”.

Begitu juga ungkapan “sungai keruh kering” jelas tidak logis bila dikaitkan dengan realitas hidup sehari-hari. Mana pula ada sungai (pengertian kongkrit) berair keruh dan kering pula. Tetapi pengertiannya akan jadi logis, kalau kita mengaitkan dengan pengertian yang dikandung oleh judul sajak itu sendiri yaitu “Sansai” (Sangsai?). “Judul puisi mengemukakan suatu ide tentang sesuatu. Boleh tentang sesuatu yang terjadi, boleh nama orang, boleh nama tempat, boleh suatu benda atau boleh juga suatu waktu dan suatu massa (B.P. Situmorang, 1981 : 27). Nah, dengan judul “Sansai” berarti sajak ini mengemukakan sesuatu keadaan yang sedang terjadi, yaitu kehidupan yang nestapa tengah melanda masyarakat. Dengan ini pulalah, maka pengertian “sungai keruh kering” terkiaskan secara logis, yaitu sungai (sumber kehidupan) ternyata telah kering, dan terlihat tanah dasarnya yang keruh. Ini menandakan bahwa kehidupan memang betul-betul sengsara, karena sungai tak lagi digenangi air untuk kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari. 



Perlukah masalah logis dan tidak logisnya pengertian kata-kata dalam sajak dipersoalkan? Agaknya ini sebuah pertanyaan yang menarik untuk dikemukakan. Tetapi sebelumnya kita jangan lupa, bahwa penyair Sitor Situmorang pernah mengakui, bahwa perkara logis atau tidak logis baginya bukanlah persoalan. Kemudian, penyair Rusli Marzuki Saria berkomentar, bahwa bagi pernyair, logis atau tidak logisnya pengertian kata-kata dalam sajak bukanlah persoalan esensial. Tetapi hal itu akan menjadi persoalan bagi para kritikus sastra. Sedang, penyair hanya bergumul dengan kata-kata; dengan makna denotasi dan konotasi dari kata-kata tersebut. 
Padang, 26 Juni 2013

- Dasril Ahmad, penulis tinggal di Padang

Sumber: Facebook Dasril Ahmad.   
Selengkapnya: Kata-kata dalam Sajak: Masalah Logis dan Tidak Logis

Rainer Maria Rilke: Surat untuk Penyair Muda

Wednesday, 25 March 2015

Rainer Maria Rilke. Sumber wikipedia.
Rainer Maria Rilke: Surat untuk Penyair Muda

(Diterjemahkan oleh: Sutardji Calzoum Bachri dari Letters To A Young Poet karya penyair Jerman, Rainer Maria Rilke)

Kau tanyakan apakah sajak-sajakmu bagus. Kau tanyakan padaku. Sebelumnya kau pun telah bertanya pada yang lain. Kau kirim sajak-sajakmu itu ke berbagai majalah. Kau banding-bandingkan dengan sajak-sajak yang lain. Dan kau pun jadi terganggu ketika ada redaktur yang menolak upayamu itu. Kini, (karena kau izinkan aku menasehati kau), aku minta kau jangan lagi melakukan semua ikhtiar semacam itu. Kau melihat ke luar, dan dari segala-galanya itulah yang kini harus tidak boleh kau lakukan.

Tidak ada orang yang bisa menasehati dan menolongmu, tak seorang pun. Hanya satu-satunya cara yang ada: Pergilah masuk ke dalam dirimu. Temukan sebab atau alasan yang mendorongmu menulis: Perhatikan apakah alasan itu menumbuhkan akar yang di dalam ceruk-ceruk hatimu. Bikinlah pengakuan pada dirimu sendiri, apa kau harus mati jika sekiranya kau dilarang menulis. Pertama-tama tanyakan dirimu dalam ketenangan malam: haruskah aku menulis? Menukiklah ke dalam lubuk dirimu agar kau mendapat jawaban yang dalam. Dan jika jawabannya ya, jika pertanyaan yang khidmat tadi dijawab dengan sederhana dan mantap ”aku harus”, maka binalah dirimu sesuai dengan keharusan itu. Hidupmu, baik pada saat-saat yang paling remeh dan sepele sekalipun, haruslah merupakan bukti dan kesaksian dari dorongan menulis itu.

Kemudian cobalah dekati alam. Lantas usahakan seakan-akan kau adalah salah seorang dari orang-orang pertama yang mengatakan apa yang kau lihat dan apa yang kau alami, yang kau cintai dan kehilangan-kehilanganmu. Jangan tulis sajak cinta. Jauhi dahulu bentuk-bentuk yang sangat familiar dan biasa itu. Karena bentuk yang semacam itu adalah yang paling sulit.

Di dalam tradisi yang bertaburan dengan karya bagus dan sebagian cemerlang itu, diperlukan kekuatan besar dan penuh dewasa untuk bisa memberi sumbangan individual. Maka itu, dari tema-tema umum, berpalinglah pada apa yang diberikan oleh kehidupanmu sehari-hari; Lukislah dukacita dan keinginan-keinginanmu. Pikiran-pikiran yang melintas dalam dirimu. dan keyakinanmu dalam suatu keindahan tertentu. Lukiskan semuanya itu dengan sepenuh hati, sungguh-sungguh, rendah hati dan ikhlas. Gunakanlah benda-benda di sekitarmu, imaji-imaji dirimu dan kenangan-kenanganmu untuk mengekspresikan dirimu.

Jika kehidupanmu sehari-hari terasa miskin dan gersang, jangan sesalkan dirimu, katakanlah pada dirimu, kepenyairanmu tidak cukup untuk dapat menggali kekayaan dirimu. Karena bagi setiap pencipta tidak ada kegersangan dan tidak ada tempat yang penting dan gersang. Bahkan jika kau sekiranya berada dalam penjara dengan tembok-temboknya yang menjauhkan kau dari suara dunia,—bukankah kau tetap masih memiliki masa kanak-kanakmu sebagai gudang khazanah kenangan yang kaya raya? Perhatikanlah itu. Cobalah bangkitkan kembali sensasi-sensasi yang tenggelam dari masa lampau yang jauh itu. Kepribadianmu akan lebih kuat tumbuhnya, kesunyianmu akan berkembang menjadi tempat tinggal yang temaram di mana suara-suara yang lain lewat di kejauhan.

Dan jika dari menengok ke dalam ini, dari menyelam ke dalam ini, dari menyelam ke dalam dunia pribadimu ini, akan muncul sajak-sajak. Tidak usah kau tanyakan pada siapapun apa sajakmu itu sajak yang baik. Juga tak perlu kau upayakan agar majalah dan koran-koran menaruh perhatian terhadap karya-karyamu itu. Karena karyamu itu adalah milikmu yang sejati dan berharga, suatu bagian dan suara dari kehidupanmu. Suatu karya seni menjadi baik jika tumbuh dari kebutuhan yang wajar. Dari cara ia berasal. Di situlah letaknya. Penilaian yang benar: tidak ada cara lain. Maka itu, aku tidak bisa memberi nasihat kecuali ini: pergilah masuk kedalam dirimu, galilah sampai ke dasar tempat kehidupanmu berasal; pada sumbernya itu, kau akan mendapatkan jawaban apakah kau memang harus mencipta. Dengarkan suaranya, tanpa terlalu cerewet menyimak kata-kata.

Barangkali memang sudah merupakan panggilan bahwa kau harus jadi seniman. Maka terimalah takdirmu itu, tanggungkan naik bebannya maupun kebesarannya, tanpa minta-minta penghargaan dari luar dirimu. Karena seorang pencipta haruslah menjadi sebuah dunia bagi dirinya sendiri, dan menemukan segala-galanya di dalam dirinya sendiri, serta di dalam Alam tempat dirinya berada.

Namun setelah masuk ke dalam diri dan ke dalam kesendirianmu, mungkin kau harus melepaskan keinginanmu untuk menjadi penyair; (bagi saya, seseorang bisa hidup tanpa harus menulis daripada samasekali berspekulasi untuk itu). Meskipun demikian, upaya memusatkan perhatian ke dalam diri sendiri yang kuanjurkan itu, tidaklah sia-sia. Bagaimanapun juga hidupmu sejak itu akan menemukan jalannya sendiri. dan kuharapkan hidupmu menjadi baik dan kaya serta tinggi pencapaiannya lebih dari apa yang bisa aku ucapkan.

Apa lagi yang harus kukatakan? Rasanya segala telah mendapat tekanan yang wajar. Akhirnya aku ingin menasehati agar mau menumbuhkan dirimu secara serius. Tidak ada cara yang lebih ganas menghalangi pertumbuhanmu kecuali dengan melihat ke luar, dan upaya mengharapkan jawaban dari luar, terhadap pertanyaan-pertanyaanmu yang agaknya hanya perasaanmu yang paling dalam dan saat-saatmu yang paling hening bisa menjawabnya”. (*)

Catatan Kecil:
Bagian kedua dari sepuluh seri kumpulan surat Surat-surat Rainer Maria Rilke untuk seorang penyair muda merupakan dokumentasi otobiografi yang luar biasa. Sebuah bacaan di mana, di luar keindahan fondasinya sendiri, telah memfasilitasi pengertian yang lebih jernih akan pandangan dan teknik puitik seorang Rilke. Surat kedua Rilke untuk seorang penyair muda itu berhubungan dengan penggunaan ironi sebagai suatu teknik puitik. Sarannya dalam hal ini adalah untuk tidak menggunakannya terlalu banyak, khususnya dalam kondisi-kondisi yang tidak kreatif.

Penyair-penyair modern menggunakan ironi secara ekstensif dan menganggapnya sebagai suatu bagian penting dari teknik puitik yang tidak dapat dilepas oleh penyair. Ironi mengarah kepada sebuah dunia yang jelas-jelas telah pasti –dengan melihat dari sisi yang berlandaskan pada ketidakpercayaan akan suatu sistem. Nada dari puisi juga digambarkan secara luas dari persepsi yang (cenderung) menghakimi dalam konteks turbulensi sosio-politik di masa itu.

Penyair-penyair modern yang datang setelahnya juga menggunakan ironi secara luas untuk menciptakan pernyataan puitik mereka. Sebagai salah satu contoh klasik adalah The Waste Land karya T. S. Eliot. Eliot secara efektif menggunakan ironi untuk menggambarkan kesengsaraan pasca perang dengan sumber daya ilustrasi yang kaya akan mitos-mitos Kristiani dan Oriental, sekaligus. Mitos-mitos menghadirkan sekumpulan kesadaranan akan hal-hal kemanusiaan dan memiliki simbol-simbol efektif yang secara ekstrim memiliki fungsi dalam semua bentuk seni penciptaan ironi.

Puisi Rilke menandai ketibaan penting akan tradisi puitik dalam suatu masa di mana ia menggerakkan sebuah genre puisi yang berisikan pernyataan puitik yang tajam:

“… Jadi, selamatkanlah dirimu dari tema-tema umum ini dan tuliskan apa saja yang keseharian hidup telah berikan kepadamu; gambarkan kesedihan dan kebahagiaanmu, pikiran-pikiran yang melintasi benakmu, dan keyakinanmu akan suatu keindahan– gambarkan semua ini dengan kepekaan hati, kepasrahan penuh. Dan saat engkau menyatakan dirimu sendiri, gunakan benda-benda di sekitarmu, imaji-imaji dari mimpi-mimpimu, dan obyek-obyek yang kau ingat …” (Surat-surat untuk Seorang Penyair Muda – Bagian Pertama)

Rilke jelaslah tidak secara keseluruhan menghindari penggunaan ironi dalan puisi. Ia hanya menyarankan si penyair muda itu untuk menghindari penggunaan ironi itu dalam kondisi-kondisi yang tidak kreatif. Puisi kemudian dialihkan menjadi permainan intelektual, permainan dari pernyataan diri seseorang secara puitik, di mana akan mengasingkan para pembaca dari dunia pengalaman pribadi yang intens dari sang penyair – “emosi-emosi dikumpulkan dalam keharmonisan”. (*)

Sumber: Facebook Remmy Novaris DM

Baca juga: http://fiksilotus.com/2012/06/21/rainer-maria-rilke-surat-untuk-penulis-muda-1
Selengkapnya: Rainer Maria Rilke: Surat untuk Penyair Muda

Semacam Tips Belajar Menjadi Penulis dari M Aan Mansyur

Wednesday, 18 March 2015

Semacam tips belajar menjadi penulis dari M Aan Mansyur

1. Bacalah buku sebanyak mungkin.
2. Tentukan beberapa penulis yang paling sering membuatmu marah kepada diri sendiri dan cemburu kepada mereka.
3. Cari tahu dan bacalah semua buku yang membuat mereka bisa menulis lebih bagus daripada kamu.
4. Bacalah juga buku-buku yang membuat penulis yang mereka kagumi bisa dikagumi oleh para penulis yang kamu kagumi.
5. Jika mampu, bacalah semua buku yang dibaca oleh penulis yang dikagumi oleh penulis yang dikagumi oleh penulis yang kamu kagumi.
6. Menulislah sampai kamu kehabisan kata dan jangan sampai kamu kehabisan kata.
7. Menulis ulanglah sesering mungkin dan editlah tulisanmu sesadis mungkin.
8. (Kamu bisa menambahkan hal-hal lain di sini)

Diambil dari: https://medium.com/@hurufkecil/terima-kasih-eka-kurniawan-e4c43c4e770d
Selengkapnya: Semacam Tips Belajar Menjadi Penulis dari M Aan Mansyur

47 Tahun Persada Studi Klub: Berguru pada Umbu

Friday, 13 March 2015

Selengkapnya: 47 Tahun Persada Studi Klub: Berguru pada Umbu

Kunci-kunci Haiku

Tuesday, 10 March 2015

1. Kesenangan/pertaruhan/penyajian realitas baru atau penemuan realitas baru/epifani. (Ini umum dan dasar setiap puisi sebenarnya)
2. Elemen "di mana", "apa", dan "kapan" disusun ketat dalam 5-7-5 yang diambil dari stanza-stanza pembukaan bentuk puisi yang lebih panjang dalam Zen.
3. Penggunaan imaji/citraan
4. Kuge, pranata musim--di Jawa pun pranata musim menggunakan citraan/gambar)
5. Kireji, pemotongan kata, menjadi penanda stop atau jedah, sesuatu yang mungkin dalam bahasa Indonesia seperti lah tah kah pun (apakah lah tah kah pun itu pengaruh bahasa Jepang atau bukan?)
6. Jukstaposisi
7. 5-7-5 jika digandeng tak membentuk 1 kalimat


Sumber: Facebook Malkan Junaidi
Selengkapnya: Kunci-kunci Haiku

ASEAN Literary Festival (ALF) 2015: Persembahan untuk Sitor Situmorang

Monday, 9 March 2015

Selengkapnya: ASEAN Literary Festival (ALF) 2015: Persembahan untuk Sitor Situmorang

Membaca itu..

"Membaca itu seperti berpikir, seperti berdoa, seperti berbicara dengan seorang teman, seperti mengekspresikan ide-idemu, seperti mendengarkan ide-ide orang lain, seperti mendengarkan musik, seperti melihat pemandangan, seperti berjalan-jalan di pantai." (Roberto Bolano, 2666)

Sumber: Facebook Gambang.
Selengkapnya: Membaca itu..

Kutipan dari Prof. Dr. Priguna Sidharta Tentang Guru

Friday, 27 February 2015

"Kini sudah tidak berlaku lagi bahwa seorang guru merupakan sumber mutlak suatu pengetahuan. Seorang guru tetap berfungsi sebagai guru dalam arti luhur, jika ia dapat menghibahkan cara berpikir, cara belajar dan cara bersikapnya kepada anak didik dengan anjuran untuk pada gilirannya meneruskan apa yang telah diterimanya kepada generasi muda."

(Dari buku "Seorang Dokter dari Losarang: Sebuah Otobiografi Priguna Sidharta" Hal. 211. Terbitan PT Temprint tahun 1993) Dari Facebook Ekohm Abiyasa

"Seorang guru yang baik dalam ilmu bukanlah guru yang akan membuat anak didiknya menjadi duplikat dari pribadinya, tetapi adalah guru yang dapat melimpahkan cara berpikirnya kepada anak didiknya, di mana pada waktu anak didik ini akan menjadi penerus, dan seterusnya. Guru bukanlah satu-satunya sumber ilmu, namun guru lebih mengarahkan dan menunjukkan mana yang baik dan berhasil bila dipelajari dengan tekun. Untuk itu kamu harus membentuk dirimu sendiri yang sesuai dengan perilaku kehidupanmu sendiri ketimbang mengagungkan pribadi gurunya yang mungkin tak sesuai dengan kehidupan dirimu sendiri. Menetapkan disiplin belajar adalah keharusan, namun bagaimana kamu melaksanakannya adalah kesadaran dan kelincahanan dirimu sendiri. Dari guru sekarang ini bolehlah ditimba pengalamannya dan pengetahuan praktisnya."

Ujar Dr. Sie Pek Giok alias Dr. Priguna Sidharta kepada muridnya, Dr. Santoso Sumorahardjo.
(Dari buku "Seorang Dokter dari Losarang: Sebuah Otobiografi Priguna Sidharta" Hal. 357. Terbitan PT Temprint tahun 1993) Dari Facebook Ekohm Abiyasa

Wikipedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Priguna_Sidharta 
Paper: https://sciencescape.org/author/84465864
Selengkapnya: Kutipan dari Prof. Dr. Priguna Sidharta Tentang Guru

Puisi Seharusnya

Thursday, 26 February 2015

"Puisi (seharusnya) mampu mengangkat keindahan lebih tinggi di atas kebenaran."

Sakutaro Hagiwara (1886-1942)

Sumber: Facebook Sofyan RH Zaid
Selengkapnya: Puisi Seharusnya

Tiga Puisi di Halaman Sastra Kalimalang Radar Bekasi (Sabtu, 21/02/15)

Saturday, 21 February 2015

Musim Giling Tebu

pukul sepuluh malam
telinga kecil merekam
bunyi mesin sebuah pabrik tebu
berjarak lapisan kenangan

musim penggilingan tebu
malam-malam itu

pukul sepuluh malam
nasib menyeru kami para pekerja
lembur mengguyur dapur kristal-kristal keringat

suara itu mendentam telinga
sampai usia kelewat amis
raga-raga pucat
meniup asap-asap hitam dalam lubang
corong penebar bau tak sedap

hidup bertanjak dingin
demi hari esok

musim penggilingan tebu
malam-malam itu

Surakarta, 2014


Dadu

kedua kakiku membeku
dikepung dingin

sebeku inikah hatimu?

aku tak pandai merayu
memilikimu seperti melempar sebuah dadu
angka-angka mujur sulit dipilih
angka-angka memilih tanpa tebang pilih

langkah-langkah tersesat!

Surakarta, 2014


Derita Tiada Habis

1
sepasang kaki mengitari halaman basah di musim meranggas
sepasang mata meliuk angkuh pada pukul sepuluh malam

2
kaki sudah tak tahan lagi pada panas pasir
lagu-lagu hanya sesaat mengayun pelan
di telinga tanpa masuk lebih dalam dan singgah lebih lama di jiwa
bukan,
semisal musim kering telah tuntas namun masih saja
terasa sama musim-musim berikutnya

Surakarta, 2014

Sumber: Facebook Zaeni Boli.
Selengkapnya: Tiga Puisi di Halaman Sastra Kalimalang Radar Bekasi (Sabtu, 21/02/15)

Foto-foto Ultah PAWON Sastra ke-8

Selengkapnya: Foto-foto Ultah PAWON Sastra ke-8

Baca Puisi di Ultah PAWON Sastra ke-8

Friday, 20 February 2015



 Bareng Mbak Ary S, kawan blogger Multiply. Enam tahun baru bertemu! Link foto.




Foto-foto oleh: Ary Sri Setyani
Selengkapnya: Baca Puisi di Ultah PAWON Sastra ke-8

Puisi dan Pantun buat PAWON Sastra Solo: Sewindu Perjalanan

Sewindu sudah perjalanan Pawon Sastra Solo. Seperti filosofi angka '8' yang tak putus-putus garisnya, tak putus-putus energi semangat beraksara. Semoga ini menjadi awal langkah yang lebih baik lagi di tahun-tahun berikutnya.

Biji Bertunas Tak Habis-habis

1)
turunlah kau, hujan yang angkuh
tenggelamkan manusia manusia congkak
saat ini tak lebih dari ujian perjalanan
yang sarat kerikil dan bebatu gunung
yang menggelinding menancap di punggung punggung

nyanyilah kau, kecoa kecoa kesepian
bareng bau tak sedap di sekelilingmu
tetaplah melenggang di lorong lorong sengang kota
jejak jejak miskin rasa bagi orang orang yang tak mengerti
sesungguhnya engkau ada di antara ketiadaan

2)
burung burung arungi waktu
sayap sayap yang tak letih mengepak
kenangan dan aksara tetap abadi
mengudara di angkasa labirin

kaki kaki kami melangkah lebih pelan dari sayap sayapnya
tangan tangan kami tak lebih cekatan dari patukan patukannya
namun, biarlah pergulatan ini menjadi penanda nanti bahwa
kami ada untuk dikenang
kami ada untuk dipertimbangkan!


Sewindu Perjalanan

perjalanan tak akan berhenti di sini
selayaknya biji biji yang terus bertunas di kebun teh atau kopi
dipetik orang orang yang merasa kesepian
dipetik anak cucu yang hampir kehilangan arah tujuan

pergulatan tak akan berakhir di sini
selayaknya hujan yang tak sudah sudah basahi kenangan
didekap keriangan aksara
digegap sewindu: tahun tahun suka duka!


Delapan Pantun Buat Pawon

1)
ada alun alun
di depan keraton
selamat ulang tahun
sastra pawon

2)
makan tomat di angkringan
minumnya teh botol sosro
sugeng milad ke delapan
pawon sastra solo

3)
mendung mendung enaknya ngopi
di angkringan kota solo
habis mandi dandan rapi
ada tumpengan di balai soedjatmoko

4)
pak rebo tetangganya pak kliwon
kuda lumping goyang goyang
sugeng ambal warso sastra pawon
maju terus dan berumur panjang

5)
sore sore dengar lagunya katy perry
habis itu walang kekek-nya waldjinah
pawon sastra semangat memberi
semoga berkah semoga berkah

6)
jalan jalan ke grojogan sewu
mampir beli apel di pasar tawangmangu
selamat menapak usia sewindu
sukses dan berjaya untukmu

7)
ingat ingat nasihat simbah
jangan tidur sore sore
ingat ingat hari ini pawon sastra ultah
makin dewasa dan makin kece

8)
awan hitam awan mendung
sebuah payung siap sedia
bila adik duduk termenung
tulis tulislah sesuatu buat buletin pawon sastra

Surakarta, 18 Februari 2015

Link: Facebook Ekohm Abiyasa
 
Foto: Yudhi Herwibowo
Link: http://pawonsastra.blogspot.com/2015/02/puisi-buat-pawon-sewindu-perjalanan.html
Selengkapnya: Puisi dan Pantun buat PAWON Sastra Solo: Sewindu Perjalanan

Kenduri Rindu, Tribute to Vanera el-Arj

Tuesday, 10 February 2015

Seorang kawan penyair yang lebih dulu berpulang kepada Ilahi.
http://www.scienamadani.org/2015/01/kenduri-rindu-mengenang-40-hari.html
http://www.scienamadani.org/2015/02/kenduri-rindu-cinta-kasih-dan-asmara.html

Acara bertajuk:
KENDURI RINDU, CINTA, KASIH, DAN ASMARA
(Mengenang 40 Hari Kepulangan Vanera el-Arj)
Kamis, 5 Februari 2015
Di Gubuk Jetak PeSaN-ALiD (Jl. Kauman Baqin 01/05, Gg. Gandul, Kp. Genius No. 147 desa Jetak, Wedung, Demak) 



Foto-foto lengkapnya: Facebook Sciena Madani dan Aloeth Pathi.

Berita:
KENDURI RINDU - KORAN WAWASAN. Sabtu, 7 Februari 2015. Hlm: 22
Portal NU 
http://radarsemarang.com/jawa-tengah-jogja/demak/kenduri-budaya-jalin-ikatan-persaudaraan/
Selengkapnya: Kenduri Rindu, Tribute to Vanera el-Arj

Cerita Dibalik MASASTRO

Sunday, 1 February 2015

Masastro
Malam Sastra Solo

30 Januari 2015 | Gerobak Cokelat Surakarta
https://www.youtube.com/watch?v=fbphqFz4QME
Selengkapnya: Cerita Dibalik MASASTRO

(GRATIS) UNDANGAN NEGERI POCI 6: NEGERI LAUT Jadilah bagian dari penyair!

Wednesday, 21 January 2015

Komunitas Negeri Poci/ Radja Ketjil mengundang para Penyair—termasuk alumnus penyair Dari Negeri Poci—di seluruh Nusantara, untuk ikut bergabung dalam sebuah antologi puisi Dari Negeri Poci 6yang direncanakan terbit pada 15 Agustus 2015. 

Dari Negeri Poci, adalah serial antologi puisi yang diterbitkan sejak tahun 1993, yang menghimpun dan memotret karya-karya puisi para penyair Indonesia mutakhir secara lintas generasi, lintas gender dan genre.

Persyaratan umum:
1. Siapa saja, segala usia, baik pria maupun perempuan, berdomisili di mana saja
2. Para penyair dipersilakan mengirim sebanyak 10 (sepuluh) puisi, beserta foto dan biodata terbaru, alamat, e-mail, dan nomor telepon untuk memudahkan komunikasi
3. Foto, biodata, alamat, no telepon/HP, email ditulis dalam lembar tersendiri/terpisah
4. Nama penyair dan 10 judul puisi ditulis dalam huruf besar
5. Cantumkan nama penyair di setiap puisi
6. Salah satu puisi bertema maritim/kelautan/bahari. Lainnya bertema bebas.
7. Panjang setiap puisi maksimal 40 baris (atau cukup dicetak 1 halaman dalam buku)
8. Puisi harus karya terbaru tahun 2014 – 2015 dan  tidak/ belum pernah dimuat dalam media sosial/massa mana pun.
9. Kesepuluh puisi ditulis dalam lembaran, tidak dipisah-pisah
10. Silakan kirim karya terbaik Anda, ke email: antologidnp6@gmail.com, mulai 1 Januari 2015  dan paling lambat sudah harus diterima pada 31 April 2015
11. Tidak diadakan surat-menyurat atau pun kontak lainnya.

Lain-lain:
1. Puisi-puisi yang masuk akan diseleksi oleh tim kurator/ editor yang ditunjuk.
2. Tidak ada pungutan apa pun bagi keikutsertaan dalam antologi ini, termasuk bagi mereka yang puisinya terpilih.
3.Mengingat penerbitan buku ini tidak untuk keperluan komersial, para penyair yang karyanya dimuat, tidak memperoleh honorarium/royalti.
4. Setiap penyair yang karyanya terpilih dan dimuat akan mendapat  1 (satu) eks. buku sebagai nomor bukti.
5. Buku puisi akan diberikan kepada setiap penyair yang hadir pada acara peluncuran buku Negeri Laut, 15 Agustus 2015 di Tegal, Jawa Tengah
6.Bagi  penyair yang tidak hadir, nomor bukti akan dikirimkan melalui jasa ekspedisi Pos Indonesia atau Tiki, atau JNE dengan mengganti ongkos kirim sebanyak Rp 50.000, per buku.

Salam sastra!

Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto
Komunitas Radja Ketjil/Komunitas Negeri Poci

Panitia Penerbitan:
Prof. Hendrawan Supratikno,
Prof. Prijono Tjiptoherijanto,
dr. Handrawan Nadesul,
Adri Darmadji Woko
Kurniawan Junaedhie


PS: Antologi Negeri Laut (Dari Negeri Poci 6) adalah kelanjutan dari:
-          Negeri Langit (Dari Negeri Poci 5, 153  Penyair, Ed. Adri Darmadji Woko dan  Kurniawan Junaedhie, 2014)
-          Negeri Abal-Abal (Dari Negeri Poci 4, 99 Penyair, Ed. Adri Darmadji Woko dan Kurniawan Junaedhie, 2013)
-          Dari Negeri Poci 3 (Ed. Adri Darmadji Woko, Handrawan Nadesul, dan Kurniawan Junaedhie,  49 Penyair, 1996)
-          Dari Negeri Poci 2 (Ed. F. Rahardi, 45 Penyair, 1994)
-          Dari Negeri Poci (1993, 12 Penyair)

Undangan ini terbuka untuk umum!

Sumber: Facebook Penerbit Kosakatakita.
Selengkapnya: (GRATIS) UNDANGAN NEGERI POCI 6: NEGERI LAUT Jadilah bagian dari penyair!

Dua Puisi di Halaman Sastra Kalimalang Radar Bekasi (Sabtu, 17/01/15)

Saturday, 17 January 2015

Mencuri Lupa

setiap salju yang kuranggaskan
mencukil satu persatu lubang ingatan
menguburnya ke dalam lembah gelap

salju itu mencair
sebelum jingga waktu mengupasnya
aku lebih dulu menggugurkan pelangi
yang bertengger di kepala

setiap hujan yang kutampung
menggigil subuh lebih lekas
ketimbang hangat matahari
menyeret embun-embun
aku lebih giat mencairkan kenangan
yang terbingkai celana usang

salju itu mencair
menggenangi kuburan musim
segenap warna tumpah
beberapa potong episode menjadi abu

Surakarta, 2013



Keping Waktu

pada keping waktu ke sekian
kautabur wajah bulan
hujan yang menuntun langkah kaki

pada almanak dan labirin kenakalan
kau berjalan; pada arah yang kita hafal
jalan sunyi menuju pulang matahari

2013

*foto capture koran oleh Aru.
Selengkapnya: Dua Puisi di Halaman Sastra Kalimalang Radar Bekasi (Sabtu, 17/01/15)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas