aku adalah sepi yang disayat maut cinta
biarkan aku, menerkam tubuh malam
aku adalah ranting yang rapuh
terjatuh
biarkan aku, melumat diri menjadi
tanah meriuh
aku adalah buih di luap laut
biarkan aku, terombang ambing dalam bisu
aku adalah kapas yang terbang
bebas
biarkan aku, mengurai bersama
sengal napas
aku adalah kamu,
puisi!
Karanganyar, 2014
Stargaze
I
pada pukul sebelas malam
jarum jam memberat di mata
dunia segera beranjak
ke lipatan lipatan mimpi yang tertunda
melengkapi beberapa potongan, kaca kaca rabun
usia yang embun
aku terpaku, membujur bisu
di ranjang kematianlah segala lalu
II
keclap tiga bintang turun ke bumi
menggeser jemari mengaitkan
dengan sebatang kematian
gemuruh tubuh meriap
dentam jam terasa berat
dua pasang senyum
menutup gelap
tempat aku dulu berbagi bunga
di rumah-Mu aku singgah
Karanganyar, 2014
Catatan Akhir Tahun
apa yang kautahu dari harapan yang kaucatat di buku harian?
segala mimpi dan angan itu, menguap diterpa angin masa lalu
apa yang kaupedulikan
di tahun tahun murung yang kaupesan
dari doa dan air mata?
tahun tahun berlari dari langkah kakimu
lebih cepat dan gesit menggigit sepi
di pundakmu
impian apa yang kaubangun?
dari kamar kosong, dari retakan masa lalu
yang lesap meninggalkan bayanganmu di depan cermin
waktu tak pernah berkompromi
dengan apa aku
dengan siapa aku
Kau?!
Surakarta, 2015
Segelas Kopi Malam Ini
masih tentang
seikat sepi yang panjang
di atas dipan
kekosongan merebah
—derai tawa
para kurcaci
mengalirkan dongeng dan legenda
di sepanjang malam
di sepanjang sepi
para kurcaci itu,
berlarian pada angin
membujuk sepiku
dan masih tentang
segelas kopi yang remang ditancapkan
di jantung perjalanan
di atas kengerian akhir cerita
—jurang kemalangan
hitamku merekah!
Surakarta, 2014
Teka-teki Silang, 2
Ombak laut menurunkan kenangan asin
angin merentangkan sayapnya
ke ujung terjauh masa depan
—silau diri
Diaspora rindu rindu kita yang rumit
tak mampu terlayarkan,
kata kata habis dan tenggelam
—terbuang
Elang terbang datar, menukik
kemudian mencabik
—sisa sisa perjalanan prematur
Nyalakanlah sumbu sumbu ini
mari berpesta api
—biar saja layar terkatung
Nyalakanlah dunia yang menyalak nyalak
mengisi kekosongan hati kita yang berlubang
—yang gagal menemu jawaban
Surakarta, 2015
Kamar 272 dan 275
: di hotel Alexander
I
di sana ada
berpasang binar bola mata setelah makan malam
kami bertemu di lobi, tentu saja puisi ini makin subur
di persemaian dua ladang
II
lalu di kamar lantai dua, kami bertiga menghabiskan waktu
mengumbar kekonyolan dan memencet tombol remote
televisi
kami sedikit kesal, gambarnya kepyur seperti mata
kaca dihujani abu gunung
apakah pertemuan ini begitu takdir?
III
kami segera beranjak memulai perjalanan yang lain
dengan bibit puisi di kantong baju dan celana
Tegal, 2014
Labirin yang Tertinggal
biarkan saya mengetuk pintu
lebih keras dan lama
sudah beberapa lama
saya tidak mendengkur di labirin waktu
yang dahulu menemani dengkuran manja
biarkan saya menarik selimut lebih erat dan tahan
seberapa jauh memimpikan rasa hangat dari baju malam
biarkan saya tertidur lebih dalam
Surakarta, 2014
Seri dokumentasi sastra antologi puisi Pendhapa 17
Diterbitkan oleh Taman Budaya Jawa Tengah (April, 2015)
Bersama 10 penyair muda Soloraya lainnya.
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)