MENGUNGKAP RAHASIA KEINDAHAN PUISI
Oleh: Huda M. Elmatsani
“Puisi, bagi saya, adalah hasil upaya manusia untuk menciptakan
dunia kecil dan sepele dalam kata, yang bisa dimanfaatkan untuk
membayangkan, memahami dan menghayati dunia yang lebih besar dan lebih
dalam.”
– Sapardi Djoko Damono.
Sebagai sebuah karya seni, puisi
tentulah sebuah keindahan yang bisa dinikmati. Ia merekam semangat dari
subjek dan membangkitkan emosi. Keindahan yang dapat memukau jiwa
pembacanya. Sebuah keharuan. Acep Zamzam Noor menyebutnya, puisi yang
membuat bulu kuduk berdiri, disebutnya teori bulu kuduk. Perasaan
tersentuh, hati bergetar. Ook Nugroho mengiaskannya sebagai virus yang
menularkan wabah.
Lalu, apa yang membuat puisi indah?
Sementara orang bilang: puisi dapat mewakili ribuan kata, maka puisi indah hanya mewakili satu kata saja: “Wow!”
Keindahan puisi tercipta dari paduan
harmonis: pesan yang ingin disampaikan, permainan kata, permainan bunyi,
permainan imaji, kesederhanaan dan kedalaman.
Pesan yang ingin disampaikan: Puisi
adalah sebuah lukisan kecil dalam bentuk kata-kata. Puisi bagus adalah
puisi yang berisi sebuah pesan dan ditulis dengan bahasa yang tertata
indah. Pesan bisa berupa pernyataan, kesan, atau ungkapan emosi. Puisi
indah tanpa mengandung pesan, hanyalah sebuah dekorasi. Puisi berisi
pesan saja tanpa mengandung keindahan hanyalah sebuah curhat. Puisi, menurut Pradopo, adalah karya estetis yang bermakna, yang mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna.
Pesan butuh sebuah subjek. Tentang apa
yang ingin anda sampaikan. Itu bisa saja berupa seorang yang kita
kenal, pemandangan, atau gagasan abstrak seperti cinta dan ketuhanan.
Kita menyusun pesan dengan memasukkan bagian kedua, yakni konteks,
seringkali berupa latar. Konteks memberikan relevansi, keberadaan,
lokasi subjek, atau minat lainnya, sehingga pesan dapat secara baik
tersampaikan. Pesan adalah kombinasi dua elemen subjek dan konteks,
yang menceriterakan pesan tersebut.
Permainan Kata: Sapardi
Djoko Damono mengatakan bahwa seni adalah sebuah permainan, dan puisi
itu sebenarnya adalah permainan yakni bermain dengan kata-kata. Inti
dari permainan kata adalah diksi atau pemilihan kata, termasuk di
dalamnya gaya bahasa. Diksi berfungsi, pertama untuk memberikan pengungkapan yang tepat sehingga pesan dapat tersampaikan dengan baik dan benar, kedua untuk menemukan pengungkapan yang cocok dengan subjek dan tulisan secara keseluruhan.
Unsur utama puisi adalah kata, maka
diksi berkaitan dengan bagaimana memilih kata paling tepat dan paling
sesuai, karena itu penguasaan kosa kata dan maknanya sangat penting
dalam menulis puisi, kekayaan akan perbendaharaan kata dan pemahaman
mendalam akan maknanya membantu kita dalam membuat diksi yang unik dan
khas. Menurut Rendra, penyair harus membedah makna kata hingga
tulang-tulangnya. Pisau naluri yang tajam akan menghasilkan kata-kata
dan makna yang tajam pula.
Kata-kata adalah segala-galanya dalam
puisi, demikian ungkap Sapardi Djoko Damono. Lanjutnya, kata-kata yang
berserakan di sekeliling kita dengan artinya yang umum harus
menyesuaikan diri dengan pengalaman puitik kita yang khusus. Pengabdian
total terhadap kata-kata yang sudah ada, tanpa usaha menundukkannya
hanya akan menghasilkan puisi-puisi yang mentah dan membosankan.
Selanjutnya Agus R Sarjono memberikan
resep agar puisi tidak mentah dan membosankan, yaitu dengan menghindari
musuh-musuh puisi, seperti: (1) bahasanya umum, tidak unik, tidak khas;
(2) bahasanya gampangan, makna kata dan kalimat tidak digali secara
mendalam, tidak ada penghayatan; (3) bahasanya seperti pengumuman atau
reklame, tidak ada sentuhan rasa dan estetika; (4) bahasanya klise atau
sudah janda, ungkapan-ungkapan usang, kata-kata yang sudah sering
digunakan bahkan sudah dicerai; (5) bahasanya menggurui, seolah segurat
ayat dalam kitab suci.
Ada pun mengenai gaya bahasa, bahasa
figuratif atau majas, MS Hutagalung mengatakan ia memberikan andil yang
besar untuk konsentrasi dan intensifikasi puisi, membuat baris-baris
puisi menjadi padat arti dan imaji, sekaligus memberi warna emosional
pada imaji tersebut.
Permainan Bunyi: Salah
satu elemen estetika paling penting dalam puisi adalah bunyi. Merupakan
elemen puisi untuk menciptakan keindahan musik dan kekuatan ekspresif,
untuk membangkitkan suasana dan memperdalam makna. Tanpa permainan
bunyi, sebuah puisi kehilangan separuh nyawanya. Goenawan Mohamad
mengatakan bahwa puisi tidak cuma kata, tak cuma kalimat. Ia juga nada,
bunyi, bahkan keheningan.
Faktor permainan bunyi – selain semiotik
dan ekstrinsik – merupakan salah satu faktor yang membuat puisi tidak
mungkin bisa diterjemahkan. Hanya bisa disadur. Hanya bisa ditulis ulang
ke dalam gaya bahasa penerjemahnya. Walau maknanya mungkin masih utuh,
namun nilai rasanya bisa jadi tak lagi menyentuh.
Permainan bunyi meliputi asonansi dan
aliterasi (pengulangan bunyi dalam kata berurutan), rima (persajakan)
dan irama (tinggi rendah, panjang pendek dan keras lembut pengucapan).
Keteraturan dan keselarasan dalam
memainkan bunyi tersebut menghasilkan nilai estetika, yang oleh ahli
matematik bernama George David Birkhoff, dirumuskan dengan M = O/C.
Di mana M adalah nilai estetika yang terukur, O adalah keteraturan
estetika, dan C adalah kompleksitas. Nilai estetika sebuah puisi akan
terukur tinggi apabila sebuah rangkaian kalimatnya mengandung lebih
banyak asonansi, aliterasi dan rima dibandingkan dengan jumlah katanya
(kompleksitas).
Namun sekali lagi, untuk memaksimalkan
potensi estetika puisi melalui permainan bunyi, penguasaan
perbendaharaan kata dan maknanya sangatlah penting. Agar puisi tidak
sekedar serangkaian bunyi-bunyian.
Permainan Imaji:
Perasaan-perasaan yang Menyusun Sendiri Petualangannya, demikian Gunawan
Maryanto memberi judul kumpulan puisinya. Sebuah puisi adalah imaji
atau citra itu sendiri. Yang menggambarkan dirinya di alam pikiran
penyairnya, dalam bentuk ilham atau lamunan. Penyair menularkan
pengalamannya kepada pembaca. Pembaca yang terinveksi, diharapkan
mengalami pencitraan yang dialami penyair, agar membayangkan hal yang
sama, merasakan hal yang sama, bahkan tidak menutup kemungkinan, pembaca
mengalami pengalaman yang jauh berbeda. Lebih seru dan haru. Lebih
manis dan dramatis.
Menulis puisi adalah merekontruksi citra
tersebut ke dalam bentuk rangkaian kata, dengan menggunakan kata-kata
kongkret, gaya bahasa personifikasi dan metafora, juga dengan permainan
bunyi. Sehingga angin terasa hembusannya, air terdengar gemericiknya,
jantung terasa degupnya. Psikolog mengidentifikasikan ada tujuh citra
mental – pemandangan, suara, rasa, bau, sentuhan, kesadaran tubuh dan
ketegangan otot. Semua dapat dieksplorasi penyair untuk memperkuat makna
dan keyakinan akan kebenaran yang diungkapkan penyairnya.
Keberhasilan membangun citra sangat
berhubungan erat dengan pengalaman nyata penyairnya, baik yang terjadi
di dalam kehidupannya maupun pergulatan di dalam batin dan alam
pikirannya. Penyair tidak akan berhasil membangun citra sesuatu yang ia
tidak terlibat di dalamnya, apakah itu keterlibatan fisik atau mental.
Karena itu, Yevgeny Yevtushenko menyebut, otobiografi penyair adalah
puisinya, yang lain hanya catatan kaki.
Di sisi lain, keberhasilan membangun
citra akan meninggalkan kesan yang indah atau mengharukan pada diri
pembacanya. Jika puisi tidak meninggalkan kesan apa-apa, bisa jadi tidak
ada citra yang membekas dalam pikiran pembacanya. Lalu, ke mana
sampainya pesan yang ingin disampaikan secara indah kepada pembaca?
Kesederhanaan: Kesederhanaan dalam puisi juga
dikenal dengan sebutan pemadatan kata, atau lebih tepatnya pemadatan
nilai, yakni dalam serangkaian kata yang sederhana terkandung kedalaman
makna, kandungan imaji yang menggugah pikiran dan nilai estetika yang
menyentuh perasaan.
Secara teknis, kederhanaan berarti mengeliminasi semua elemen atau
detail yang tidak perlu yang tidak ada kontribusinya pada semangat
komposisi secara keseluruhan. Terlalu sederhana yang dapat menghilangkan
efek-efek puitis juga perlu dihindari. Kita harus menjaga keselarasan
dan keseimbangan dalam komposisi untuk menciptakan efek puitis.
Kedalaman: Kedalaman
puisi mempunyai arti apa yang tersirat lebih dalam dan luas daripada
yang apa yang tersurat. Meliputi kedalaman emosi, pikiran, imaji, makna
dan elemen-elemen puisi yang lainnya, yang membuat penikmat puisi tidak
bisa berhenti membaca, tidak bisa berhenti merasakan, tidak bisa
berhenti berpikir, walaupun puisi sudah berakhir. Seakan maknanya terus
menusuk ke dalam jantung pembacanya, hanyut ke dalam alam bawah
sadarnya.
Kadang-kadang penyairnya tak menyadari kedalaman dan keluasan makna dari apa yang ditulisnya sendiri. Kadang baru ngeh ketika pembaca mendiskusi atau mengapresiasinya. Sebab penyair, kata Bakdi Sumanto, hanya perantara saja bagi lahirnya puisi.
Untuk mencapai kedalaman, puisi tidak
bisa ditulis sepintas lalu. Perlu pengendapan, lalu endapannya digali,
lalu diendapkan lagi, digali lebih dalam lagi. Terus dan terus. Itu
sebabnya puisi tak pernah selesai, seperti ungkapan Paul Valery, puisi
tak pernah selesai, hanya ditinggalkan.
Kedalaman puisi tidak lepas dari faktor
ekstrinsik seperti budaya, agama, kejiwaan, lingkungan, zaman, atau
politik yang mempengaruhi secara mengakar penyairnya. Faktor
ekstrinsiklah yang mengilhami dan memaknai puisi-puisi tersebut. Karena
itu, seorang sufi seperti Rumi begitu fasih dan indah mengucapkan
puisi-puisi ketuhanan.
Kepiawaian kita memadukan kata, bunyi,
imaji dalam kesederhanaan dan kedalaman mengungkap cita rasa seni kita.
Kita dapat menentukan bagian mana yang perlu diperkuat untuk menegaskan
pesan kita. Pilihan-pilihan ini bersifat unik dari satu penyair ke
penyair lainnya, sangat dipengaruhi kepribadian dan kehidupan
penyairnya. Menciptakan gaya penulisan khas seorang penyair. Sebuah
puisi dapat dikenali siapa penyairnya dari gaya pengungkapannya. Maka
kita bisa tahu puisi indah siapa, kita bisa tahu dia ngikut gaya siapa …