Oleh Misbahus SururFILSAFAT sering menyusup ke dalam puisi.
Karena ungkapan-ungkapan dalam puisi kerap mulanya dilatari oleh pikiran
dan kegamangan yang jamak direnungkan-jalani dalam aktivitas
(ber)filsafat.
Bisa jadi pula kegundahan manusia, terasa
menjenuhkan atau tak nyaman, bila harus ditulis dalam bentuk traktat.
Setali tiga uang, keintenan puisi dalam menatah kata-kata; menyibak,
memilih, mempertimbangkan, mengendapkan, dan memadatkan secara neurotik
hingga dianggap subtil, sebelum kemudian mendedahkannya ke pembaca,
kerap dibangun melalui anasir-anasir serta karakteristik yang khas
filsafat.
Belum lagi, selain juga hasrat menggambarkan (dunia)
realitas, bahasa dalam puisi adalah manifestasi ungkapan perasaan dan
pikiran manusia yang selain spontan, mulanya adalah reflektif. Karena
itu, penyair dengan media bahasa itu kerap tak hanya fokus pada cara
menuturkan: untuk melawan struktur dan mekanisme bahasa pada satu sisi,
dan memenuhi unsur (juga syarat) puisi, pada sisi lain.
Tetapi
juga tercurah pada urusan serumit dan sebanal (?) ”meditasi simbolik”:
menggoretnya secara tepat dan terpilih (akurasi dan harapan). Meski
bilik ini pula yang kerap menyusahkan, serta tak jarang menyeret penulis
dalam kerja yang terlalu berkenes dengan kata-kata.
Rudolf Carnap
dalam The Rejection of Metaphysics, pernah membedakan dua fungsi bahasa:
fungsi ekspresif dan fungsi kognitif atau representatif. Fungsi pertama
sering merupakan pernyataan-pernyataan mengenai perasaan, ucapan-ucapan
linguistik yang disadari atau tidak, telak menggambarkan keadaan
jiwa/mood, sesuatu yang akrab dengan puisi (sastra). Di ranah ini,
bahasa memang kerap bernalar metaforik dengan daya imajinatifnya yang
besar.
Sedang fungsi bahasa yang kedua, adalah yang identik
dengan filsafat. Dari sudut pandang empiris (filsafat) misalnya, segala
pernyataan mestilah harus dapat diverifikasi kebenarannya lewat
pengalaman; dalam arti kebenaran dari pernyataan itu mesti dapat diuji
dengan pengalaman. Di sini, ungkapan kata itu biasa dinamai proposisi
(statement). Dengan syarat membawa ungkapan yang mesti logis. Jika tak
terpenuhi, sama halnya melanggar bukti empiris atau aturan-aturan ketat
dalam logika sintaksis. Jadilah bahasa dalam filsafat dibuat seolah
menjadi semata bernalar empirik dengan daya mereduksi yang terasa
semakin akut.
Namun, adakalanya ”kebenaran” dalam puisi justru
diperoleh dari pengalaman dan sensasi indrawi, sebagaimana dilakukan
filsafat. Tapi tujuan puisi bukan ketepatan atau kebenaran ojektif,
melainkan subjektivitas, pluralitas rasa (menemukan cara yang dapat
diterima oleh semua), serta ketakterdugaan. Berbeda dengan empirisme dan
rasionalisme (filsafat) yang melakukannya lewat pengamatan (rumusan)
dan logika (organisasi pikiran) untuk tujuan yang semata logis. Puncak
dari rasionalisme kelak adalah idealis dengan sistem menalarnya yang
semakin ketat, meninggalkan laku positivis. Puisi (sastra) kerap
melakukan sejumlah abstraksi–tepatnya mendayakan inspirasi–melalui
intuisi. Sesuatu yang sangat tak bi(a)sa dilakukan filsafat, karena
filsafat melakukannya lewat logika atau rasio.
Sebagaimana
ketika ada pernyataan-pernyataan metafisika sebagai bagian dari ekspresi
bahasa, kerap tak mampu diverifikasi filsafat: di mana kebenarannya
juga tak begitu saja dapat diuji dengan nyali pengalaman atau kekuatan
struktural bahasa. Meski daerah ini sesekali masih disentuh metafisika
(filsafat).
Namun, intuisi malah kerap dihidupi puisi, sering
menjadi bagian dari pengetahuan langsung yang –meski mulanya hasil dari
persepsi indrawi atau juga pemikiran sadar (rasio)–dapat menjembatani
dunia imajinasi untuk menemukan, kemudian membiakkan
pengetahuan-pengetahuan baru dengan daya bayang dan jelajahnya yang
nyaris tak terbatas.
Lalu sejauh mana hubungan, setidaknya
kaitan, antara intuisi (pengetahuan umum) dan imajinasi (puisi, sastra),
untuk membedakannya dengan rasio dan juga indra empirik. Sartre pernah
berkata, imaji sangat ditentukan oleh intensinya. Karenanya, kita akan
menguji seberapa jauh imaji menyerap realita untuk–setidaknya
dihipotesiskan alias dijadikan pengetahuan sementara. Pada waktu intensi
itu mula-mula diambil, sesaat setelah intensi itu baru muncul dari laku
yang spontan, kata Sartre, intensi tersebut sudah mengimplikasikan
sebuah pengetahun tertentu.
Lebih jauh, di dalam kesadaran
imajinatif, katakanlah dalam hal ciri pengetahuan dan intensi, kata
Sartre, dapat dibedakan dengan abstraksi. Bahkan, katanya, pengetahuan
merupakan struktur aktif sebuah imaji. Jadi, pengetahuan bukan sesuatu
yang ditambahkan pada imaji yang sudah terbentuk, untuk mengklarifikasi
imaji. Meski juga sebuah imajinasi tak dapat eksis tanpa pengetahuan
yang membentuknya.
Barangkali saja sebuah imaji memang semacam
daya atau modus susastra individual: pemberian suatu sensasi–bukan hanya
representasi–kepada apa yang dipikirkan pada sebuah benda, entitas atau
objek yang dipandang.
Daya imajinasi–dengan mengambil Al-Farabi
dalam Mabâdi Arâ Ahl al-Madînah al-Fâdlilah (Khudori Soleh,
2010)–sesungguhnya adalah perantara bagi akal dan juga objek-objek
rasional yang bersifat potensial untuk dibuat menjadi akal/intelek serta
objek yang aktual dalam daya pikir kita. Daya pikir kita sendiri
mulanya memperoleh pengetahuan, secara tak langsung, dari ”intelek
aktif”, yang dipengantari atau dirangsang sebelumnya oleh imajinasi. Di
sini, daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah), masih kata Al-Farabi,
menerima aktualisasinya dari intelek aktif yang kemudian
mentransmisikannya kepada daya pikir, baik dalam bentuk praktis maupun
teoretis.
Ini mirip analogi matahari yang memberi penyinaran
pada mata yang menyebabkan mata menjadi penglihatan yang aktual, dari
keadaan sebelumnya yang bersifat potensial sehingga objek-objek yang
berpotensi untuk dilihat mata pun menjadi tampak.
Matahari
adalah gambaran dari intelek aktif, sedang mata gambaran bagi intelek
potensial. Melalui intelek aktif inilah sesungguhnya imajinasi dengan
salah satu domainnya, yakni puisi, justru kerap membangunkan kembali
potensi pemikiran-pemikiran filosofis yang seolah telah buntu dan beku
itu, untuk satu langkah (di) awal, menjadi berdenyut kembali.
Lalu
bagaimana filsafat dan sastra memperlakukan bahasa? Mulanya filsafat,
menawarkan atau mendekati bahasa lebih ke langage daripada ke
langue-nya–untuk meminjam de Saussure–karena unsur logika (langage) dan
aspek struktur serta sistemiknya. Adapun sastra membuatnya jadi relatif
(langue), bahkan melampauinya (parole) dengan imajinasi dan unsur
poetika. Justru relativitas itu membuat sastra lebih terbuka lagi
persuasif untuk tujuan melunakkan bahasa dan eksperimentasi. Sebab,
seperti kata Octavio Paz, takdir penyair mestinya adalah untuk menjebol
kata-kata dari kungkungan bahasa keseharian dan membawanya menuju
kelahiran puisi. Dengan menciptakan semacam dialog atau medan komunikasi
baru, yang berpeluang melawan bahasa keseharian.
Di posisi
inilah, puisi, meminjam kata-kata Paz, melompat dari yang dikenali
menuju yang belum dikenali. Sementara kolonialisme gramatika dan
penjajahan bahasa sehari-hari seperti yang kita saksikan banyak
dipraktikkan dalam filsafat, membuat ungkapan puitik (disinyalir) tak
lagi diakrabi atau mati suri.
Puisi memilih dan mengambil
bentuknya sendiri yang spesifik, seolah menjauh dari semua bentuk-bentuk
bahasa yang akrab dengan konsensus serta yang (pernah) kita temui dalam
percakapan sehari-hari. Belum lagi, puisi akan selalu berubah ke dalam
pertimbangan-pertimbangan dan tuntutan selera (taste) dan estetika
zamannya. Maka, bisa jadi juga puisi yang baik adalah–bukan yang takluk
pada pertimbangan, penilaian, dan tuntutan zaman–melainkan yang mampu
bertahan dari tuntutan dan watak zaman yang terus berubah dan berhasrat
menggeser selera bentuk dan isinya itu.
Puisi seperti itu pun
kita tak tahu bisa dikategorikan seperti apa. Barangkali memang tak
pernah bisa diringkus oleh rantai "pembakuan”. Mungkin karena itu
jugalah kenapa Paz berkata: ”....puisi selalu sedikit, kendati
banyak...” Suatu hal yang sinkron dengan ikhtiar atau pendapat Pere
Gimferrer juga dalam konteks perpuisian modern (dalam Oktavio Paz, The
Other Voice: 114): ”ketetapan hatinya untuk terus menjadi sebuah seni
bagi minoritas.”
Kini sastra barangkali bukan lagi sebuah arcane
knowledge “pengetahuan yang tak banyak orang tahu”, atau pengetahuan
yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu atau bersifat elitis, dan
cenderung terisolasi. Tapi telah menjadi produksi sekaligus konsumsi
publik, bahkan secara masal. Adapun filsafat di abad modern ini dianggap
purna. Kalau mau hidup kajian ini perlu masuk ke dalam tubuh kajian
lain. Dalam arti, pada dirinya sendiri filsafat telah tak bernyali.
Kehidupan
baru filsafat ada pada interdisipliner, kata Verhaar: sebuah jalan yang
juga pernah diistilahkannya sebagai ”deprofesionalisasi” filsafat. Di
lain pihak, tugas-tugas yang dulu banyak ditanggung atau diemban
filsafat, kini juga sering dikerjakan–salah satunya–oleh sastra. Pun
sejumlah filsuf akademik, di antaranya seperti Foucault, Derrida,
Barthes, Richard Rorty dan masih banyak lagi, sejak lama juga melakukan
deprofesionalisasi filsafat (St. Sunardi, 2012). Dari situlah Verhaar
yakin bahwa filsafat sudah tua dan uzur. Yang tertinggal hanya fungsinya
yang telah diambil, di antaranya, oleh sastra (dengan salah satu
variannya, puisi). Namun filsafat berakhir bukan berarti ia lenyap, akan
tetapi karena kegiatannya seolah mengalir kembali ke muasalnya. Karena
dulunya filsafat hidup dalam berbagai bidang disiplin ilmu dan
pengetahuan itu. Barangkali sebab itulah kegiatan berfilsafat hari ini
tak lagi harus dilakukan seorang filsuf, tapi juga oleh sastrawan,
penyair, dan sejenis mereka yang lain, hanya agar jantung filsafat terus
berdetak.
Misbahus Surur, menulis esai dan sesekali puisi, staf pengajar di Fakultas Humaniora UIN Maliki, Malang
Sumber:
Lampung Post, Minggu, 29 September 2013
Sumber
http://cabiklunik.blogspot.com/2013/09/berpuisi-secara-filosofis-atau.html