Lomba Penulisan Karya Puisi Memperingati Hari Pahlawan 10 November 2013 Dewan Kesenian Balikpapan | Deadline 31 Oktober 2013

Tuesday, 29 October 2013

Lomba Penulisan Karya Puisi memperingati hari Pahlawan 10 November 2013 untuk siswa SMP, SMA/SMK serta mahasiswa dan masyarakat umum.

Juara 1 total hadiah 5 juta
Juara 2 total hadiah 4 juta
Juara 3 total hadiah 3 juta

-Lombanya Se-Indonesia. Masyarakat di luar Balikpapan bisa ikut.
-Karya Puisi dikirim melalui email : dewankesenianbpn@gmail.com beserta biodata diri.
-Subject email Lomba Karya Tulis Puisi SeIndonesia 2013 
-Tema puisi bebas. Maksimal 3 judul.
-Karya puisi yang dikirim boleh lebih dari 1
-Pengumuman Pemenang Lomba Karya Puisi akan dibacakan pada tanggal 19 November 2013 dalam acara Lintas Khatulistiwa.

Deadline 31 Oktober 2013

Sumber twitter Dewan Kesenian Bpn
Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh..
Selengkapnya: Lomba Penulisan Karya Puisi Memperingati Hari Pahlawan 10 November 2013 Dewan Kesenian Balikpapan | Deadline 31 Oktober 2013

Berpuisi secara Filosofis atau Berfilsafat secara Puitis

Wednesday, 16 October 2013

Oleh Misbahus Surur

FILSAFAT sering menyusup ke dalam puisi. Karena ungkapan-ungkapan dalam puisi kerap mulanya dilatari oleh pikiran dan kegamangan yang jamak direnungkan-jalani dalam aktivitas (ber)filsafat.

Bisa jadi pula kegundahan manusia, terasa menjenuhkan atau tak nyaman, bila harus ditulis dalam bentuk traktat. Setali tiga uang, keintenan puisi dalam menatah kata-kata; menyibak, memilih, mempertimbangkan, mengendapkan, dan memadatkan secara neurotik hingga dianggap subtil, sebelum kemudian mendedahkannya ke pembaca, kerap dibangun melalui anasir-anasir serta karakteristik yang khas filsafat.

Belum lagi, selain juga hasrat menggambarkan (dunia) realitas, bahasa dalam puisi adalah manifestasi ungkapan perasaan dan pikiran manusia yang selain spontan, mulanya adalah reflektif. Karena itu, penyair dengan media bahasa itu kerap tak hanya fokus pada cara menuturkan: untuk melawan struktur dan mekanisme bahasa pada satu sisi, dan memenuhi unsur (juga syarat) puisi, pada sisi lain.

Tetapi juga tercurah pada urusan serumit dan sebanal (?) ”meditasi simbolik”: menggoretnya secara tepat dan terpilih (akurasi dan harapan). Meski bilik ini pula yang kerap menyusahkan, serta tak jarang menyeret penulis dalam kerja yang terlalu berkenes dengan kata-kata.
Rudolf Carnap dalam The Rejection of Metaphysics, pernah membedakan dua fungsi bahasa: fungsi ekspresif dan fungsi kognitif atau representatif. Fungsi pertama sering merupakan pernyataan-pernyataan mengenai perasaan, ucapan-ucapan linguistik yang disadari atau tidak, telak menggambarkan keadaan jiwa/mood, sesuatu yang akrab dengan puisi (sastra). Di ranah ini, bahasa memang kerap bernalar metaforik dengan daya imajinatifnya yang besar.

Sedang fungsi bahasa yang kedua, adalah yang identik dengan filsafat. Dari sudut pandang empiris (filsafat) misalnya, segala pernyataan mestilah harus dapat diverifikasi kebenarannya lewat pengalaman; dalam arti kebenaran dari pernyataan itu mesti dapat diuji dengan pengalaman. Di sini, ungkapan kata itu biasa dinamai proposisi (statement). Dengan syarat membawa ungkapan yang mesti logis. Jika tak terpenuhi, sama halnya melanggar bukti empiris atau aturan-aturan ketat dalam logika sintaksis. Jadilah bahasa dalam filsafat dibuat seolah menjadi semata bernalar empirik dengan daya mereduksi yang terasa semakin akut.

Namun, adakalanya ”kebenaran” dalam puisi justru diperoleh dari pengalaman dan sensasi indrawi, sebagaimana dilakukan filsafat. Tapi tujuan puisi bukan ketepatan atau kebenaran ojektif, melainkan subjektivitas, pluralitas rasa (menemukan cara yang dapat diterima oleh semua), serta ketakterdugaan. Berbeda dengan empirisme dan rasionalisme (filsafat) yang melakukannya lewat pengamatan (rumusan) dan logika (organisasi pikiran) untuk tujuan yang semata logis. Puncak dari rasionalisme kelak adalah idealis dengan sistem menalarnya yang semakin ketat, meninggalkan laku positivis. Puisi (sastra) kerap melakukan sejumlah abstraksi–tepatnya mendayakan inspirasi–melalui intuisi. Sesuatu yang sangat tak bi(a)sa dilakukan filsafat, karena filsafat melakukannya lewat logika atau rasio.

Sebagaimana ketika ada pernyataan-pernyataan metafisika sebagai bagian dari ekspresi bahasa, kerap tak mampu diverifikasi filsafat: di mana kebenarannya juga tak begitu saja dapat diuji dengan nyali pengalaman atau kekuatan struktural bahasa. Meski daerah ini sesekali masih disentuh metafisika (filsafat).

Namun, intuisi malah kerap dihidupi puisi, sering menjadi bagian dari pengetahuan langsung yang –meski mulanya hasil dari persepsi indrawi atau juga pemikiran sadar (rasio)–dapat menjembatani dunia imajinasi untuk menemukan, kemudian membiakkan pengetahuan-pengetahuan baru dengan daya bayang dan jelajahnya yang nyaris tak terbatas.

Lalu sejauh mana hubungan, setidaknya kaitan, antara intuisi (pengetahuan umum) dan imajinasi (puisi, sastra), untuk membedakannya dengan rasio dan juga indra empirik. Sartre pernah berkata, imaji sangat ditentukan oleh intensinya. Karenanya, kita akan menguji seberapa jauh imaji menyerap realita untuk–setidaknya dihipotesiskan alias dijadikan pengetahuan sementara. Pada waktu intensi itu mula-mula diambil, sesaat setelah intensi itu baru muncul dari laku yang spontan, kata Sartre, intensi tersebut sudah mengimplikasikan sebuah pengetahun tertentu.

Lebih jauh, di dalam kesadaran imajinatif, katakanlah dalam hal ciri pengetahuan dan intensi, kata Sartre, dapat dibedakan dengan abstraksi. Bahkan, katanya, pengetahuan merupakan struktur aktif sebuah imaji. Jadi, pengetahuan bukan sesuatu yang ditambahkan pada imaji yang sudah terbentuk, untuk mengklarifikasi imaji. Meski juga sebuah imajinasi tak dapat eksis tanpa pengetahuan yang membentuknya.

Barangkali saja sebuah imaji memang semacam daya atau modus susastra individual: pemberian suatu sensasi–bukan hanya representasi–kepada apa yang dipikirkan pada sebuah benda, entitas atau objek yang dipandang.
Daya imajinasi–dengan mengambil Al-Farabi dalam Mabâdi Arâ Ahl al-Madînah al-Fâdlilah (Khudori Soleh, 2010)–sesungguhnya adalah perantara bagi akal dan juga objek-objek rasional yang bersifat potensial untuk dibuat menjadi akal/intelek serta objek yang aktual dalam daya pikir kita. Daya pikir kita sendiri mulanya memperoleh pengetahuan, secara tak langsung, dari ”intelek aktif”, yang dipengantari atau dirangsang sebelumnya oleh imajinasi. Di sini, daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah), masih kata Al-Farabi, menerima aktualisasinya dari intelek aktif yang kemudian mentransmisikannya kepada daya pikir, baik dalam bentuk praktis maupun teoretis.

Ini mirip analogi matahari yang memberi penyinaran pada mata yang menyebabkan mata menjadi penglihatan yang aktual, dari keadaan sebelumnya yang bersifat potensial sehingga objek-objek yang berpotensi untuk dilihat mata pun menjadi tampak.

Matahari adalah gambaran dari intelek aktif, sedang mata gambaran bagi intelek potensial. Melalui intelek aktif inilah sesungguhnya imajinasi dengan salah satu domainnya, yakni puisi, justru kerap membangunkan kembali potensi pemikiran-pemikiran filosofis yang seolah telah buntu dan beku itu, untuk satu langkah (di) awal, menjadi berdenyut kembali.

Lalu bagaimana filsafat dan sastra memperlakukan bahasa? Mulanya filsafat, menawarkan atau mendekati bahasa lebih ke langage daripada ke langue-nya–untuk meminjam de Saussure–karena unsur logika (langage) dan aspek struktur serta sistemiknya. Adapun sastra membuatnya jadi relatif (langue), bahkan melampauinya (parole) dengan imajinasi dan unsur poetika. Justru relativitas itu membuat sastra lebih terbuka lagi persuasif untuk tujuan melunakkan bahasa dan eksperimentasi. Sebab, seperti kata Octavio Paz, takdir penyair mestinya adalah untuk menjebol kata-kata dari kungkungan bahasa keseharian dan membawanya menuju kelahiran puisi. Dengan menciptakan semacam dialog atau medan komunikasi baru, yang berpeluang melawan bahasa keseharian.

Di posisi inilah, puisi, meminjam kata-kata Paz, melompat dari yang dikenali menuju yang belum dikenali. Sementara kolonialisme gramatika dan penjajahan bahasa sehari-hari seperti yang kita saksikan banyak dipraktikkan dalam filsafat, membuat ungkapan puitik (disinyalir) tak lagi diakrabi atau mati suri.

Puisi memilih dan mengambil bentuknya sendiri yang spesifik, seolah menjauh dari semua bentuk-bentuk bahasa yang akrab dengan konsensus serta yang (pernah) kita temui dalam percakapan sehari-hari. Belum lagi, puisi akan selalu berubah ke dalam pertimbangan-pertimbangan dan tuntutan selera (taste) dan estetika zamannya. Maka, bisa jadi juga puisi yang baik adalah–bukan yang takluk pada pertimbangan, penilaian, dan tuntutan zaman–melainkan yang mampu bertahan dari tuntutan dan watak zaman yang terus berubah dan berhasrat menggeser selera bentuk dan isinya itu.

Puisi seperti itu pun kita tak tahu bisa dikategorikan seperti apa. Barangkali memang tak pernah bisa diringkus oleh rantai "pembakuan”. Mungkin karena itu jugalah kenapa Paz berkata: ”....puisi selalu sedikit, kendati banyak...” Suatu hal yang sinkron dengan ikhtiar atau pendapat Pere Gimferrer juga dalam konteks perpuisian modern (dalam Oktavio Paz, The Other Voice: 114): ”ketetapan hatinya untuk terus menjadi sebuah seni bagi minoritas.”

Kini sastra barangkali bukan lagi sebuah arcane knowledge “pengetahuan yang tak banyak orang tahu”, atau pengetahuan yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu atau bersifat elitis, dan cenderung terisolasi. Tapi telah menjadi produksi sekaligus konsumsi publik, bahkan secara masal. Adapun filsafat di abad modern ini dianggap purna. Kalau mau hidup kajian ini perlu masuk ke dalam tubuh kajian lain. Dalam arti, pada dirinya sendiri filsafat telah tak bernyali.

Kehidupan baru filsafat ada pada interdisipliner, kata Verhaar: sebuah jalan yang juga pernah diistilahkannya sebagai ”deprofesionalisasi” filsafat. Di lain pihak, tugas-tugas yang dulu banyak ditanggung atau diemban filsafat, kini juga sering dikerjakan–salah satunya–oleh sastra. Pun sejumlah filsuf akademik, di antaranya seperti Foucault, Derrida, Barthes, Richard Rorty dan masih banyak lagi, sejak lama juga melakukan deprofesionalisasi filsafat (St. Sunardi, 2012). Dari situlah Verhaar yakin bahwa filsafat sudah tua dan uzur. Yang tertinggal hanya fungsinya yang telah diambil, di antaranya, oleh sastra (dengan salah satu variannya, puisi). Namun filsafat berakhir bukan berarti ia lenyap, akan tetapi karena kegiatannya seolah mengalir kembali ke muasalnya. Karena dulunya filsafat hidup dalam berbagai bidang disiplin ilmu dan pengetahuan itu. Barangkali sebab itulah kegiatan berfilsafat hari ini tak lagi harus dilakukan seorang filsuf, tapi juga oleh sastrawan, penyair, dan sejenis mereka yang lain, hanya agar jantung filsafat terus berdetak.

Misbahus Surur, menulis esai dan sesekali puisi, staf pengajar di Fakultas Humaniora UIN Maliki, Malang

Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 September 2013
Sumber http://cabiklunik.blogspot.com/2013/09/berpuisi-secara-filosofis-atau.html
Selengkapnya: Berpuisi secara Filosofis atau Berfilsafat secara Puitis

Lima Puisi Ekohm Abiyasa di Koran Merapi edisi Minggu Kliwon, 13 Oktober 2013

Sunday, 13 October 2013

*Scan menyusul

Menunggu Hujan

ada yang memanggil
sebuah aroma asing
aku mengunci kedua telinga

tercium pada gigil
dan rindu yang gagal

jam dinding berkata kepadaku
"kau sedang menunggu siapa?"

aku menunggu hujan
supaya hilang ingatan
dan aroma-aroma ini

22 Juli 2013


Keping Waktu

pada keping waktu ke sekian
kau tabur wajah bulan
hujan yang menuntun langkah kaki

pada almanak dan labirin kenakalan
kau berjalan; pada arah yang kita hafal
jalan sunyi menuju pulang matahari

14 Juli 2013


Ingatan

kau mengalirkan ingatan-ingatan hilang
ke muara air dukamu itu
mengendap di kepala
kemudian kau menghilang
menghilang lagi

huh!

Juli 2013


Diary Pedih

beberapa kalimat
di kertas-kertas putih
menyalin darah di tubuh

ada yang hilang
seruas rindu
di hati

malam yang tak usai merapikan catatan-catatan dosa
di lembah getir; dadaku

beberapa malam tumpas oleh kalimat-kalimat itu
masih berkisah tentang pedih
hidup dan sunyi
bersama sungai-sungai nafsu

awan tak pernah berhasil memburu
detik hujan malam-malamku

Surakarta, 11 Juli 2013


Benar-benar Gila

terkadang aku menjadi gila
mengatakan embun
itu salju
menyukai bunga
itu duri
menulis puisi
itu kematian

tidak,
aku benar-benar gila

Surakarta, September 2013
Selengkapnya: Lima Puisi Ekohm Abiyasa di Koran Merapi edisi Minggu Kliwon, 13 Oktober 2013

(Tokoh Kita) Sosiawan Leak, Majalah Jaya Baya edisi Minggu Oktober 2013

Tokoh kita bulan ini.
Tulisan iki mono, kamot ana Majalah Jaya Baya Surabaya
Nomer 6 Minggu I, Oktober 2013 dengan cover majalah bergambar wayang Dewi Sri.

Sumber Facebook PMK (Aming Aminoedhin)

http://gerakanpuisimenolakkorupsi.blogspot.com/2013/10/tokoh-kita-sosiawan-leak-majalah-jaya.html
Selengkapnya: (Tokoh Kita) Sosiawan Leak, Majalah Jaya Baya edisi Minggu Oktober 2013

Membaca Puisi Sesuai Porsi

Saturday, 12 October 2013

Membaca puisi di depan audiens tentu tidak sama dengan membaca puisi di dalam kamar apa lagi dibaca dalam hati. Karena ranahnya masuk pada ranah pertunjukan. Sejauh ini masyarakat mengenalnya dengan nama ‘deklamasi’. Deklamasi berasal dari bahasa Latin yang maksudnya declamare atau declaim yang berarti membaca hasil sastra yang berbentuk puisi dengan lagu atau gerak tubuh sebagai alat bantu. Umumnya deklamasi berkaitan dengan puisi, tetapi membaca sebuah cerpen dengan lagu atau gerak tubuh juga bisa dikatakan mendeklamasi. Mendeklamasikan puisi atau cerpen bermakna membaca, tetapi membaca tidak sama dengan maksud mendeklamasi.

Sebenarnya penyebutan itu tidak pas, dikarenakan pembacaan karya sastra khususnya puisi memiliki dua jenis yang tentunya pembacanya juga disebut dengan sebutan yang berbeda. Berikut barangkali perlu dipaparkan mengenai kedua jenis pembacaan puisi di hadapan audiens:

1.    Deklamasi
Membaca puisi dengan cara deklamasi dilakukan tanpa membawa teks. Gaya atau ekspresi berdeklamasi lebih bebas dibandingkan poetry reading. Saya pribadi tidak pernah menggunakan teknik ini, disebabkan tidak mau menghafal teks puisi. Meski penampilan teknik deklamasi lebih maksimal. Karena tidak perlu direpotkan oleh teks yang harus dipegang. Risiko yang mungkin dihadapi adalah lupa di atas panggung, jika itu terjadi tamatlah! Keuntungan teknik ini adalah penjiwaan yang total, disebabkan tidak perlu berulang-ulang melihat tek, apa lagi dalam ruang dengan pencahayaan yang kurang. Deklamasi ini bagi beberapa orang cocok untuk pementasan puisi non-perlombaan. Tetapi untuk perlombaan dianggap tidak cocok karena ada syarat dan ketentuan yang mengikat. Tetapi sejauh pengamatan saya, syarat dan ketentuan tidak spesifik. Hanya soal mimik, ekspresi, intonasi, penguasaan panggung dan hal-hal berbau teknis biasa lainnya. Artinya anggapan tersebut dapat disebut masih anggapan sepihak.

2.    Poetry Reading
Membaca puisi dengan gaya ini dilakukan dengan membawa dan langsung membaca teks (tidak dihafal). Maka salah jika ada panitia yang membuat lomba membaca puisi tetapi mewajibkan pesertanya harus menghafal. Mestinya nama lomba adalah mendeklamasikan puisi, baru itu teks, konteks, dan juklak, serta juknis selaras. Keuntungan teknik ini, terhindar dari lupa teks. Sedangkan kekurangannya adalah teks yang dibawa kadang menganggu gerak juga penjiwaan. Jenis pembacaan ini yang konon paling pas untuk perlombaan, maka jangan heran jika melihat juara perlombaan puisi dari tingkat regional hingga nasional memiliki gaya yang monoton dengan intonasi yang tidak jauh berbeda. Saya jadi mengkiaskan, jika pembacaan puisi diamini sekaku itu apa jadinya jika penulisan puisi juga dibuat demikian? Puisi-puisi yang tercipta tentu gaya-gaya lama.

Selain kedua jenis tersebut, belakangan ini muncul wacana yang saya temukan dari beberapa perlombaan dan beberapa pertemuan penyair. Ada dua pengelompokan jenis puisi lagi, yakni pembacaan puisi ‘murni’ dan pembacaan puisi ‘teatrikal’. Pengelompokan jenis pembacaan ini berbeda dengan pengelompokan antara ‘deklamasi’ dan ‘poetry reading’. Pengelompokan dilihat dari gaya pembacaan secara menyeluruh. Pembacaan puisi murni adalah saat si pembaca tidak banyak melakukan gerak yang berlebih dan ekspresi yang juga berlebih. Yang lebih ditekankan pada pembacaan puisi jenis ini adalah aksentuasi. Ada anggapan bahwa pembacaan puisi dengan gerak berlebihan dan mimik melampaui kewajaran akan merusak teks puisi secara total.

Tentu saja lain anggapan bagi pembacaan puisi teatrikal yang memfungsikan secara maksimal semua anggota tubuh saat membaca teks puisi terutama yang menyangkut kinesik (gerak anggota tubuh). Bagi pembaca puisi teatrikal memanggungkan puisi berarti melepaskan diri dari teks yang mati dengan menghidupkan ruh, pesan, dan kesan melaui berbagai gerak, ekspresi, dan instrument-intrument pendukung lainnya. Menarik memang, pembaca puisi teatrikal mengesahkan semua tindakan di atas panggung asalkan mampu menghidupkan suasana tanpa mengesampingkan ruh dan pesan dari teks puisi. Termasuk menggumam, melanggang, bernyanyi, menghantak-hentakkan kaki sebelum memulai pembacaan atau lain sebagainya. Konsep yang bertambarakan antara pembacaan puisi murni dan teatrikal ini kerap menimbulkan polemik dalam kegiatan perlombaan pembacaan puisi. Ada saja dewan juri yang protes bahwasanya pembacaan puisi tidak memerlukan gumaman, langgam, atau nyanyian sebelum membaca puisi, apa lagi gerak yang berlebih dianggap sangat menganggau. Di sisi lain peserta akan protes keras bahwasanya selama tidak mengganggu muatan puisi itu sah saja.

Dari kasus tersebut baiknya memang harus dilakukan rapat penentuan jenis pembacaan puisi dalam perlombaan. Sayangnya, hingga saat ini semua mengambang begitu saja. Lagi pula namanya kesusastraan jika dilombakan memang hanya melahirkan dosa. Terutama dosa dewan juri, dari mana munculnya angka-angka dalam draft penilaian semisal 7.5, 8.0, 4.0, dan sebagainya? Apakah kesenian berubah jadi angka-angka pasti dalam dunia eksakta? Meski demikian, perlombaan kesusastraan masih dinilai perlu untuk memberi stimulus kepada masyarakat agar mau mengenali sastra dan jika bisa mencintai sastra. Soal dinamika dalam perlombaan sudah hal lumrah, jika datar-datar saja tidak menarik.

Keberhasilan Pembaca Puisi
Keberhasilan pembacaan puisi sangat ditentukan oleh kemampuan menyampaikan pesan teks puisi dan tidak kalah penting, adalah membentuk ruh puisi dalam ruang pembacaan baik berupa panggung, kelas, gedung, atau lapangan terbuka. Dikarenakan pentingnya penyampaian pesan teks puisi maka yang perlu dilakukan pertama kali adalah melakukan penafsiran atau interpretasi.

Harus dipahami bersama, interpretasi ini sifatnya sangat pribadi. Tidak ada penafsiran yang salah. Hal ini disebabkan karena puisi memiliki ciri ‘prismatis’. Tidak terang benderang sebagaimana berita di Koran. Tidak juga gelap seperti ruang tanpa penerangan. Sehingga memungkinkan terbukanya pemaknaan yang beragam. Tetapi mempribadinya proses penafsiran harus mempunyai alasan yang tepat dan logis, serta didukung oleh instrument-intrumen bahasa yang memadai. Semisal ada larik begini dalam sebuah puisi: “Kekasih, malam menabuh sunyi hingga gugur nyayi dari langit yang menyendiri”. Sebagian orang bisa menafsirkan ‘Kekasih’ di dalam puisi tersebut ditujukan kepada manusia yang dikasihi. Tetapi tidak menutup kemungkinan sebagian lagi menafsirkan bahwa ‘Kekasih’ ditujukan kepada Tuhan alam semesta.  Penafsiran ‘kekasih’ sebagai manusia atau penafsiran ‘kekasih’ sebagai Tuhan keduanya adalah sah. Melalui penafsiran pembaca dapat menemukan emosi di dalam teks puisi. Sehingga saat membacakannya benar-benar menjiwai. Tidak sekadar membaca dan selesai. Teknik jeda dan pemenggalan kata juga akan sangat tergantung pada proses ini.

Setelahnya barulah berbicara teknis, sebenarnya teknik pembacaan puisi sudah menjadi pembahasan yang lapuk, karena semenjak Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas materi itu sepertinya menjadi menu wajib dalam Lembar Kerja Siswa. Tetapi baiklah, tak ada salahnya mengulas kembali. Teknik utama yang harus dimiliki oleh pembaca puisi atau deklamator puisi (walau sebutan ini tidak pas mengingat ada dua jenis pembacaan puisi di depan audiens yang saya paparkan sebelumnya) adalah ‘olah vokal’.  Karena sangat berpengaruh pada ‘artikulasi’ dan ‘intonasi’.  Artikulasi atau pengucapan kata yang jelas dan tegas menunjang sampainya pesan ke audiens. Jika artikulasi payah, jangankan pesan, kata perkatanya saja terdengar tidak karuan. Apa lagi makna dari puisi yang dibacakan?

Banyak cara melatih artikulasi, memperbanyak senam muka, melafalkan huruf-huruf vokal dan konsonan secara berkala dan teratur dengan intensitas yang cukup (biasanya kelompok-kelompok teater melakukan olah vokal dan tubuh secara teratur). Ada pula yang berpendapat cara sederhana dengan menyelam dalam kolam dan melafalkan huruf sekeras-kerasnya (bagian ini pengalaman di pesantren, setiap pagi teriak-teriak di dalam kolam agar suaranya panjang dan artikulasi bagus), dan masih banyak lagi cara. Tetapi saya punya tips tersendiri, pelajarilah makharijul harfi dan tajwid dalam membaca Al-Qur’an, maka artikulasi tidak lagi menjadi masalah. Karena orang-orang yang mahfum dengan makharijul harfi dan tajwid tahu benar bagaimana mengucapkan huruf yang teratur dan tidak saling menyandung.

Selanjutnya ‘intonasi’; merupakan tekanan-tekanan  yang diberikan pada kata. Baik ‘Dinamika’ (keras-lemah),  ‘Nada’ (tinggi-rendah), maupun ‘Tempo’ (cepat-lambat). Jika olah vokal seseorang kurang niscahya akan kesulitan menurunkan dan menaikkan suara, bahkan bisa jadi saat suara sudah naik susah sekali untuk menurunkan sehingga kesannya seperti orang teriak-teriak, bukan membaca puisi. Pada keadaan tertentu tak jarang pembaca puisi mengeraskan suaranya terlampau keras bahkan seperti orang teriak-teriak tidak karuan. Tanpa disadari oleh pembaca puisi betapa teriakannya itu membuat telinga audiens sakit. Atau datar luar biasa seperti papan selancar sehingga tidak memberikan dinamika sama sekali. Hal ini bisa membunuh teks puisi, karena sejatinya teks puisi tidak mungkin datar. Ia menyajikan dinamika dan bunyi-bunyi baik yang dominan ataupun tidak.

Tetapi meski sudah memiliki teknik vokal yang baik,  tidak akan berhasil tanpa didampingi oleh ‘kontrol emosi’ yang mumpuni. Ada fenomena yang kerap saya temui ketika menjadi juri di beberapa lomba pembacaan puisi. Banyak pembaca yang menangis sejadi-jadinya—tersedu-sedulah si pembaca. Barangkali jika dikaji dari aspek totalitas akan ada anggapan bahwa menangis sejadi-jadinya adalah bagian dari totalitas, benarkah begitu? Menangis bukan hal yang ‘haram’ dalam pembacaan puisi, selama sesuai dengan teks dan konteks. Akan tetapi harus juga diperhatikan pelafalan kata perkatanya. Kebanyakan saat menangis kata yang keluar tak berwujud, semacam igauan dan isakan saja.

Kasus lain adalah si tukang teriak—teriakan berlebih (lepas kontrol) selain disebabkan oleh olah vokal yang kurang juga dipengaruhi emosi yang tidak stabil bahkan boleh dibilang labil. Dikarenakan meluap-luapnya emosi pembaca, katakanlah saat membaca puisi-puisi protes sosialnya Rendra atau Wiji Thukul, si pembaca dari awal hingga akhir hanya teriak. Ini sejenis dengan pembaca yang datar. Karena sejatinya sama-sama pada nada yang serupa. Bedanya, teriakan bisa membuat pembaca memilih pulang sebab telinganya sakit.

Manusia selalu berurusan dengan ruang, maka saat membaca puisi juga harus memperhatikan ruang. Dalam dunia akademik hal ini lebih dikenal dengan penguasaan panggung. Akan tetapi melihat kenyataan pembacaan puisi tidak selalu di atas panggung atau di dalam gedung saja. Tidak jarang pembacaan puisi di lapangan terbuka semisal dalam acara Jambore Pramuka, atau di atas gunung yang digelar oleh para pecinta alam. Maka harus paham benar tempat di mana membaca puisi. Jika tempat membaca puisi adalah lapangan terbuka, dan panitia sengaja tidak menyediakan alat pengeras suara, maka bersiap-siaplah mengoptimalkan suara. Supaya tidak tertelan oleh riuhnya audiens dan luasnya medium. Pada keadaan ini, baiknya kita membaca dengan keras; keras di sini bukan berarti ‘teriak’ melainkan untuk memastikan audiens bisa mendengar, minimal jarak beberapa meter dari tempat berdiri.

Jika bertempat di gedung yang tidak seberapa besar dengan konsep bangunan tanpa pengedap suara sehingga mudah menimbulkan gaung, sedangkan panitia mewajibkan pembaca menggunakan pengeras suara, bagaimana mensiasatinya?  Teknik penggunaan pengeras suara pada keadaan ini sangat dibutuhkan. Karena jika terlalu dekat terutama saat suara naik akan mengaburkan aksentuasi. Maka saat menaikkan suara ambil jarak yang cukup antara mulut dengan pengaras suara. Saat menurunkan suara bergegaslah mendekati pengeras suara. Perpindahan posisi dari pengeras suara juga harus dilakukan dengan baik. Agar tidak tampak sekali perpindahannya. Repot, memang. Tetapi dengan latihan yang cukup tidak akan jadi kendala yang berarti.

Hal lain yang kadang luput dari perhatian pembaca puisi adalah waktu pembacaan. Jika waktu pembacaan siang hari dan di luar ruangan tantangannya adalah matahari yang terlalu silau (berbeda jika hujan, acara bisa dihentikan panitia). Maka cari tempat yang tidak terkena cahaya matahari secara langsung agar tidak mengganggu proses pembacaan. Bagaimana jika malam hari? Tantangannya adalah penataan lampu. Jika lampu berada di depan panggung, jangan coba-coba maju dan berdiri membelakangi lampu. Karena yang terjadi, pembaca tidak akan terlihat jelas. Baiknya ambil langkah mundur beberapa langkah, tepatnya di tengah panggung. Dengan begitu audiens akan melihat pembaca dengan pencahayaan yang proporsional.

Salah satu aspek yang saling berikatan dengan penguasaan ruang adalah ‘penguasaan audiens’. Pembaca yang baik harus melakukan orientasi audiens beberapa saat sebelum membaca. Bayangkan jika harus membaca di depan anak Sekolah Dasar yang senang bermain-main, gaduh, dan tidak begitu memperhatikan. Terlebih pembacaan dilakukan di lapangan sekolah sebagaimana yang saya lakukan beberapa waktu lalu. Dengan penonton yang tersebar ke berbagai sudut dan ketidakfokusan audiens, yang dilakukan adalah membaca puisi sambil berjalan mendekati berbagai sudut, jika sudut kiri mulai tidak fokus beralihkan ke kiri untuk mengalihkan pandangan, begitu pula berlaku untuk beberapa sudut lainnya. Hal ini efektif, sebab meski masih Sekolah Dasar, saat anak-anak itu merasa diperhatikan mereka akan berbalik memperhatikan pembaca. Ini sudah menjadi hukum alam. Dan banyak lagi kemungkinan-kemungkinan yang mengharuskan pembaca secerdik mungkin menghadapi audiens.

Penguasaan audiens juga sangat berpengaruh pada pembawaan; tenang/tidak canggung (ketenangan saat di hadapan audiens menunjukkan mental yang bagus), gerak-gerik yang wajar (over acting bukan hal yang mengesankan, bahkan sebaliknya; memberi kesan membosankan atau membuat audiens mual), dan pemetaan fokus mata yang tepat (mata adalah alat bicara selain mulut, maka saat membaca puisi gunakan mata sebagai alat transformasi makna). Orientasi audiens juga mempengaruhi mood pembacaan, sebab jika tanpa orientasi pembaca tidak tahu respon apa yang akan terjadi, dan jika respon kurang menggembirakan dapat membuat pembaca badmood dan tentu pembacaan jadi tidk maksimal. Hal yang perlu diperhatikan juga adalah teks puisi yang dibawa. Jangan sampai teks puisi menutupi wajah karena diangkat sejajar dengan wajah. Jika itu terjadi sudah pasti pembaca tidak melihat pembaca melainkan hanya kertas.

Pada dasarnya pembacaan puisi kurang lebih sama dengan penulisan puisi. Ada kebebasan yang ditawarkan di sana. Penguasaan teori pembacaan puisi memang diperlukan. Akan tetapi hati-hati dengan dampak yang mungkin ditimbulkan. Bisa saja pembacaan yang semula dianggap akan jadi baik sebab sudah mengikuti teori-teori yang ada dan menguasai tekniknya. Akhirnya jadi sangat kaku dan membosankan. Karena bukan jiwanya yang membaca melainkan logika. Semua sudah paham, karya tanpa jiwa sama dengan kematian. Alangkah malangnya jika kita berkarya hanya dengan logika? Toh, saat kita mengimani adanya Tuhan tidak semua dapat dilogikakan. Semisal logika Nabi Musa yang meminta bertemu Tuhan di bukit Thursina yang akhirnya tidak sanggup atau logika Nabi Ibrahim yang sempat menganggap bulan dan matahari sebagai Tuhan yang akhirnya memahami keesaan-Nya. Demikian sedikit sekali paham saya, semoga bermanfaat. Salam Merdeka Jiwa dan Badan.

Cilegon. 09.10.2013

Ditulis: Muhammad Rois Rinaldi
Ketua Komite Sastra Cilegon

Selengkapnya: Membaca Puisi Sesuai Porsi

Ekstasi Puisi

Thursday, 10 October 2013

Oleh Saut Situmorang

Di saat sedang membaca puisi, terutama kalau puisi yang sedang saya baca itu mampu menimbulkan apa yang oleh si pemikir Junani Kuno Aristoteles disebut sebagai “katharsis”, yaitu semacam rasa nikmat ekstasi-tekstual, atau tekstasi, saya selalu dikonfrontasi oleh sebuah pertanyaan: Kenapa bisa timbul tekstasi tersebut? Apa yang menyebabkannya?

Tapi perlu saya tambahkan buru-buru bahwa “rasa nikmat ekstasi-tekstual” atau “tekstasi” itu tidak terjadi karena saya kebetulan membaca puisi seorang penyair yang sudah terkenal. Maksud saya, terkenal-tidaknya “nama” seorang penyair, bagi saya, tidak otomatis menimbulkan katarsis dalam peristiwa pembacaan yang saya lakukan. Reputasi biografis seorang penyair terkenal paling-paling cuma menambah rasa suspense, atau harapan-untuk-kejutan, yang lebih besar saja bagi kemungkinan terjadinya sebuah katarsis. Bahkan tidak jarang banyak sajak para penyair terkenal ternyata hanya mampu untuk tidak menimbulkan respon apa-apa pada diri saya, kecuali rasa mual tekstual, setelah membacanya, sehingga membuat saya heran kok sajak beginian bisa keluar dari imajinasi seorang yang terkenal. Malah sangat sering membuat saya menggerutu, apa sebenarnya yang membuat si penyair bisa terkenal. Sebaliknya, tidak jarang ada sajak penyair keroco, penyair sekedar, bahkan penyair pemula yang justru membuat saya terangsang secara tekstual, dan menimbulkan katarsis tadi. Jadi, belajar dari pengalaman, ternyata dalam dunia kepenyairan, dalam dunia kang-ouw puisi, nama bukanlah merek yang bisa menjamin atau menentukan mutu, seperti di dunia kapitalisme konsumer. Kembali ke pertanyaan di awal esei saya ini, lantas apa yang menyebabkan sebuah puisi bisa menimbulkan katarsis setelah membacanya?

Jawaban akademis yang biasanya diberikan adalah apa yang dalam teori sastra disebut sebagai faktor “kesastraan” (literariness) sebuah teks sastra. Faktor kesastraan sebuah teks sastra, puisi misalnya, tak lebih tak kurang adalah unsur-unsur linguistik yang diyakini merupakan elemen-elemen paling penting dalam anatomi teks, yakni pola-pola bunyi dan sintaksisnya seperti repetisi, aliterasi, rima, irama dan bentuk-bentuk stanzanya, termasuk juga kadar sering munculnya kata-kata kunci atau imaji-imaji tertentu. Inilah yang disebut sebagai “alat artistik” (bahasa) puisi itu yang fungsinya bukan sebagai hiasan-tambahan bagi makna puisi, tapi justru menyebabkan perombakan total bahasa di tingkat semantik, bunyi dan sintaksisnya. Singkatnya, faktor kesastraan inilah yang membuat bahasa teks sastra seperti puisi dianggap unik, berbeda, dari bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari manusia. Atau dalam kata lain, inilah bedanya bahasa puitis dari bahasa prosais itu.

Bagi saya sendiri, kesastraan bahasa puisi seperti yang diungkapkan kaum Formalis Rusia di atas masih belum cukup untuk membuat sebuah puisi berhasil menjadi puisi, mampu menciptakan katarsis. Ada faktor lain di luar faktor linguistik (pola persajakan/versifikasi, misalnya) yang juga memiliki fungsi artistik yang tidak kalah pentingnya dalam membuat “sebuah sajak menjadi” (dalam istilah Chairil Anwar). Faktor lain ini adalah apa yang oleh kaum Kritik Baru (New Criticism) Amerika disebut sebagai “relasi timbal-balik yang kompleks antara aspek-aspek ironi, paradoks, dan metafor dari makna bahasa sebuah karya, serta pengorganisasian ketiganya di sekitar sebuah ‘tema’ kemanusiaan yang penting”. Kombinasi dari kedua pandangan inilah, bagi saya, yang menjadi “kesastraan” sebuah puisi, yang memungkinkannya untuk menimbulkan ekstasi-tekstual pada pembacanya. Paling tidak, di sisi lain, kedua definisi “kesastraan” puisi ini mesti disadari seseorang yang ingin melakukan sebuah close-reading atas puisi, sebuah pembacaan yang mendetil dan jelas atas kompleksitas antar-relasi dan ambiguitas dari unsur-unsur yang membangun sebuah karya.

Kombinasi kedua pandangan di atas biasanya akan kita temukan dalam sajak yang menjadi. Dan sajak yang menjadi ini biasanya adalah sajak yang bercerita, sajak yang memiliki sebuah topik pembicaraan, bisa tentang percintaan, kelahiran, kematian, matahari dan bulan, atau ketuhanan, yaitu pokok-pokok yang berulang-ulang telah mengharukan si seniman, mengutip Chairil lagi, dan tidak sekedar berindah-indah dengan permainan kata atau dengan musikalitas kesamaan bunyi kata. Bagi selera saya sendiri, semua sajak Chairil dan sajak-sajak Rendra dalam kumpulan Blues untuk Bonnie adalah sajak-sajak bercerita yang menjadi.

Kematangan penguasaan bahasa (dalam phrasing diksi dan irama metrikalnya) dan intensitas penghayatan pengalaman hidup merupakan dua hal yang tak dapat ditawar-tawar bagi seseorang yang ingin menjadi seorang penyair yang menjadi. Kemampuan teknis yang matang untuk menceritakan pengalaman hidup yang dengan intens dihayati adalah ciri utama puisi Chairil dan puisi Rendra di atas. Inilah sebenarnya yang disebut sebagai imajinasi itu. Satu saja dari kedua persyaratan utama untuk menjadi penyair yang menjadi ini tidak dimiliki, maka apa yang kita hadapi bukanlah sebuah imajinasi tapi khayalan kosong belaka. Dan penyair yang bisanya hanya berkhayal belaka bukanlah seorang penyair yang menjadi, tapi cuma seseorang yang menjadi penyair sekedar, malah mungkin, tanpa disadarinya sendiri, cuma seseorang yang menjadi penyair gagal.

Karena, seperti yang diyakini Chairil sendiri:
“Sebuah sajak yang menjadi adalah suatu dunia. Dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair. Diciptakannya kembali, dibentukkannya dari benda (materi) dan rohani, keadaan (ideeel dan visueel) alam dan penghidupan sekelilingnya, dia juga mendapat bahan dari hasil-hasil kesenian lain yang berarti bagi dia, berhubungan jiwa dengan dia, dari pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat orang lain, segala yang masuk dalam bayangannya (verbeelding), anasir-anasir atau unsur-unsur yang sudah ada dijadikannya, dihubungkannya satu sama lain, dikawinkannya menjadi suatu kesatuan yang penuh (indah serta mengharukan) dan baru, suatu dunia baru, dunia kepunyaan penyair itu sendiri.

Jalan, ketumbuhan, proses dari penciptaan kembali ini, datangnya, keluarnya, tersemburnya dari konsepsi si penyair, penglihatannya (visie), cita-citanya (ideaal-ideaal), perasaan dan pergeseran hidupnya, pandangan hidupnya, dasar pikirannya. Semua cabang-cabang dan ranting-ranting dari bahan pokok yang besar ini haruslah sesuatu yang dialami, dijalani (dalam jiwa, cita, perasaan, pikiran atau pengalaman hidup sendiri) oleh si penyair, menjadi sebagian dari dia, suka dan dukanya sendiri kepunyaannya, kepunyaan rohaninya sendiri. Dan ditambah lagi dengan tenaga mencipta, tenaga membentuk, yang mengatur dengan pikir serta rasa, dengan pertimbangan dan pikiran sehingga terjadilah suatu kehidupan, suasana, kehidupan dan tokoh (gestalte).”

Kalau kita perhatikan pernyataan kredo puisi Chairil yang sengaja saya kutip dengan panjang itu maka terlihatlah betapa bagi Chairil penghayatan kehidupan yang intens (alam dan penghidupan sekeliling, hasil-hasil seni lain, pikiran-pikiran orang lain) merupakan unsur utama sajak yang menjadi itu. Begitu juga dengan kematangan teknik, yang dengan khas disebut Chairil sebagai “tenaga mencipta, tenaga membentuk, yang mengatur dengan pikir serta rasa, dengan pertimbangan dan pikiran”. Hidupnya istilah-istilah yang dipakai Chairil dalam kutipan di atas, tidak bisa tidak, menunjukkan betapa bagi dirinya sebuah sajak yang menjadi itu bukanlah sebuah sajak yang asal-jadi. Intensitas adalah segalanya. Itulah sebabnya bagi dia sebuah sajak yang menjadi adalah suatu dunia, suatu dunia baru, yang indah serta mengharukan, dan dunia itu menjadi kepunyaan penyair itu sendiri. Dan memang intensitas penghayatan kehidupan dan kematangan berbahasalah yang kita alami setiap kali kita membaca puisi Chairil. Pengalaman pembacaan macam inilah yang menimbulkan katarsis, tekstasi, atau rasa yang indah serta mengharukan itu.

Sumber boemipoetra
Selengkapnya: Ekstasi Puisi

Foto-foto Diskusi BePe #2 "Malam Sekopi Sunyi" | Kudus, 29 September 2013

Tuesday, 8 October 2013

Kudus bagiku semacam kota yang Keramat. Entah mengapa itu meletup di kepala. Barangkali kemarin malamlah yang menjawab pernyataan itu. Tanggal 28 launching buku puisi buat Gus Dur kemudian berlanjut tanggal 29 diskusi kecil buku kumpulan puisiku, "Malam Sekopi Sunyi" di PKM STAIN Kudus.

Diskusi buku Malam Sekopi Sunyi berlangsung meriah. Ini merupakan suatu apresiasi yang patut saya catat sendiri. Peserta yang hadir begitu antusias mendengar dan menikmati yang tersaji malam itu. Begitupun saya bersyukur mendapat tanggapan dari kawan-kawan pembedah, peserta, dan panitia yang telah menyelenggarakan acara diskusi. Saya bersyukur, puisiku dibedah meski tidak setajam "silet". Hehe. Muhammad Rois Rinaldi (Penyair Cilegon), Dimas Indiana Senja (Penyair Brebes-Purwokerto), dan Bagus Burham (Penyair Kudus), mereka pembedahnya. Acara yang dimoderatori secara dadakan oleh Gus Arafat AHC (Penyair Demak) berlangsung khidmat dan memberi kesan bagi saya. Meski secara sederhana, namun percakapan dan waktu berjalan mengalir. Tidak ada ketegangan.

Dihadiri sekitar 20-an orang. Ada komunitas jeNANG Kudus, komunitas Saung Tawon (Kudus), Teater Satoesh (STAIN Kudus), komunitas LAH (Kudus), Saptorenggo dan lain-lain. Diantara peserta yang hadir, ada satu cewek "terselip". Arini dari "KIAS" (Semarang) membacakan dua puisiku.

Diakhir acara, saya membacakan dua puisi, "Kesunyian Ini Abadi", dengan memakai backsound ambient milik Stargate (Missing Plateu) dari handphone sebagai musik pengiring. Kemudian disusul puisi "Ruh Tubuh" menandai acara diskusi telah selesai.

Sehabis acara, saya berkesempatan untuk jalan-jalan sejenak bersama Gus Dimas dan Gus Arafah AHC ke makam Sunan Kudus. Kira-kira pukul satu pagi kami sampai di sana. Namun Menara Kudus dan makam Sunan Kudus tidak dibuka. Hanya waktu-waktu tertentu saja  (malam Jumat). Meninggalkan jejak dengan sholat. Kemudian kami beranjak pulang ke rumah Gus Arafat AHC melewati jalan-jalan terjal. "Duh, kok dilewatne dalan elek to Gus!" 

Kudus-Jepara-Demak. Melewati rumah penyair Jepara, Asyari Muhammad. Sampai di rumah Gus Arafat AHC pukul dua lebih. Istirah.
BePe #2 Malam Sekopi Sunyi

Performance:
- Ali Reagge (Teater Komunitas Teater Satoesh)
- LPM Paradigma
- Arafat Ahc
- Sholichudin Al-Gholany
- Ullyl Ch
- Fahrudin
- Virgo Chan (Arini Septian Irawati)
- Muhammad Rois Rinaldi
- Ekohm Abiyasa (Pemain Malam yang kopi dan Sunyi)

Pembibir:
- Bagus Burham
- Dimas Indianto S
- M. Rois Rinaldi

Moderator: Arafat AHC

Presented By:
Komunitas jeNANG
Komunitas Saung Tawon
Teater Satoesh
LPM Paradigma

Thank's To:
Chipz Mirza Sastroatmodjo
Komunitas LAH
Dewan Kesenian Cilegon
Pondok Pena "Purwokerto"
KIAS IKIP PGRI "Semarang"
dan seluruh Pembaca yang Sunyi

terkhusus untuk STAIN Kudus

Sumber foto facebook Arafat AHC



Foto terkait launching buku puisi buat Gus Dur.
Selengkapnya: Foto-foto Diskusi BePe #2 "Malam Sekopi Sunyi" | Kudus, 29 September 2013

Pentingnya Sastra di Sebuah Bangsa oleh Dorothea Rosa Herliany

Sunday, 6 October 2013

                        Frankfurt Book Fair merupakan pemeran buku terbesar di dunia, juga salah satu event budaya peling penting di Eropa. Diselenggarakan sekali setahun, pada bulan Oktober (9-13 Oktober). Pameran ini menjadi perhatian ribuan media dan publik di negara-negara berbahasa Jerman, juga di seluruh Eropa, bahkan dunia internasional. Ribuan penerbit dan perusahaan media dari seluruh dunia menghadirinya. Jumlah pengunjung sampai ratusan ribu. Pameran buku paling bersejarah (mulai menjadi tradisi sejak 500 tahun lalu ketika Johanes Gensfleisch zur Laden zum Gutenberg, penemu mesin cetak, menjual bukunya yang pertama Gutenberg Bible di pameran Buku Frankfurt tahun 1456) itu merupakan tempat bertemunya ribuan agen, pustakawan, penerjemah, penerbit, pencetak, wartawan, budayawan, seniman, sarjana, dan tentu saja sastrawan dari seluruh dunia. Sastra akan menjadi fokus utama pameran buku ini.
                Mengapa sastra yang menjadi fokus utama di sana? Karena dunia mengukur peradaban sebuah bangsa itu melalui novel yang ditulis para sastrawan. High level culture is high level novel. Mengapa? Sebab melalui bacaan itulah orang dari berbagai negara bisa mengetahui watak dan jati diri manusia dalam sebuah bangsa secara lebih jujur dan utuh. Ada watak dan peristiwa di dalamnya, juga pembaca bisa menenggalamkan diri ke dalam jiwa dan batin manusia Indonesia yang nyata. Di dalamnya ada cita-cita manusianya, perjuanganya, cinta, iman, tanggung jawab, persahabatan, kebebasan, kehormatan, dan lain-lain. Hal ini tidak bisa ditemukan pada bacaan lain semisal buku politik, sejarah, bahkan antropologi atau buku seni lain. Melalui novel, segala permasalahan kemanusiaan yang lebih dalam daln lebih kompleks akan mampu diketahui oleh pembaca dengan tenang dan jernih.
                Puisi juga ada dalam posisi yang sama. Bahkan, isi puisi lebih menampilkan semangat, spirit, keindahan bahasa, dan kreativitas manusia dalam sebuah bangsa. Hanya bedanya, puisi itu dimana saja di dunia ini, ia hanya bisa dinikmati oleh sedikit orang saja. Lain dengan novel yang lebih banyak orang bisa menikmatinya. Oleh karena itu, novellah akhirnya yang menjadi primadona. Film atau teater bisa saja mengambil peran yang sama dalam konteks ini, tapi ia tidak bisa dibolak-balik, dibaca-baca ulang dengan mudah bagian-bagian pentingnya untuk direnungkan, sebagaimana watak sebuah buku. Sayangnya di Indonesia sastra sepertinya hanya dipandang dengan sebelah mata saja.

Tamu Kehormatan

                Bulan Juni 2013 sudah diputuskan Indonesia akan menjadi tamu kehormatan dalam Frankfurt Book Fair 2015. Kesepakatan tentang kerja sama itu sudah ditandatangani antara pihak Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan pihak Jerman yang diwakili oleh Direktur Frankfurt Book Fair Juergen Boos. Bagaimana Indonesia menyiapkan hal ini semua? Saya, kebetulan sedang di Berlin, sudah ditanya banyak pihak Jerman tentang hal ini. Sebab, berdasarkan Road Map to Indonesia as Guest of Honour at the Frankfurt Book Fair 2015, Indonesia seharusnya sudah membuat beberapa kegiatan, seperti menyiapkan program utama menyangkut penulis, penerjemah, seniman, dan penerbit pada sejumlah acara. Kemudian menerjemahkan buku dan membuat acara peluncuran pada Frankfurt Book Fair, mengundang penulis Indonesia ke Frankfurt Book Fair 2013 dan 2014.
                Indonesia juga harus menyajikan buku yang telah diterjemahkan dari bahasa Indonesia ke bahasa Jerman, menyiapkan dana untuk program terjemahan buku sastra Indonesia, baik untuk keperluan pameran buku itu dan mungkin juga di berbagai kota Jerman, dengan melibatkan sastrawan Indonesia. para penulis juga mengunjungi pameran buku Leipzig atau pameran lain di Berlin yang berhubungan festival sastra Jerman untuk menjajaki kemungkinan bagaimana bisa menampilkan para  penulis Indonesia, menyiapkan acara peluncuran buku disertai dengan acara seperti pembacaan karya.
                Saya kira yang paling penting dan mendesak untuk dikerjakan Pemerintah Indonesia adalah menerjemahkan novel Indonesia kontemporer karena pengerjaanya akan memakan waktu. Karena itu harus dikerjakan sekarang! Sementara itu untuk bisa tampil di FBF 2015 minimal 30 judul novel sudah harus diterjemahkan dalam bahasa Jerman. Tak hanya itu, juga perlu dicari sejak sekarang kontak kerja sama dengan penerbit di Jerman. Penerbit mana yang kiranya akan sedia menerbitkan terjemahan itu. Penerjemah sastra dari bahasa Indonesia ke bahasa Jerman saja hanya sedikit. Bisa disebutkan yang paling aktif dan sudah menjadi sahabat para sastrawan Indonesia bertahun-tahun, Berthold Damshauser yang selama ini utamanya menerjemahkan puisi. Lalu Peter Sternagel yang menerjemahkan novel Saman dan Laskar Pelangi. Juga ada Katrin Bandel yang bisa banyak diharapkan karena dia bermukim di Indonesia atau Silke Behl di Jerman dan Dudy Angawi yang tinggal di Jerman, tapi ulang-alik Indonesia. Selebihnya diluar itu? Susah menyebutkan penerjemah sastra lain.
                Lalu setelah diterjemahkan, buku itu harus diterbitkan penerbit di Jerman. Tidak bisa diterbitkan sendiri oleh penerbit Indonesia lalu diboyong ke Jerman karena kaitanya dengan distribusi di negara-negara berbahasa Jerman (selain Jerman, juga Swiss dan Autria) atau Eropa pada umumnya. Manakah kiranya penerbit di Jerman yang mau menerbitkan buku sastra Indonesia hasil terjemahan itu nanti? Mungkin Horlemann yang selama ini memang fokus ke Asia Tenggara dan sudah cukup banyak juga menebitkan karya-karya sastra Indonesia, seperti Armijn Pane, Moctar Lubis, Rendra, Pramoedya Ananta Toer, dan Ahmad Tohari. Bisa pula penerbit yang masih baru mulai merintis terbitan buku Asia, Regiospectra atau Union Publisher, penerbit berbahasa Jermandi Swiss yang menerbitkan lebih banyak lagi buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Syukur kalau bisa diterbitkan Hanser Berlin, penerbit besar yang menerbitkan Laskar Pelangi yang di Indonesia belakangan kemenangannya di ajang Internationale Tourismus-Borse (ITB) Berlin 2013 sempat memancing perdebatan di media Indonesia. Hanya itu kemungkinannya. Tapi, kalau saja biaya penerjemahan (dengan standar tarif Jerman) ditanggung Pemerintah Indonesia RI, semuanya bisa cukup mudah, bisa kerja sama sebagaimana selayaknya juga terjadi di Indoensia.
                Frankfurt Book Fair jelas akan menjadi ajang pertukaran budaya Indonesia di Jerman. Eslandia, negara kecil dengan jumlah penduduk hanya 300.000 dan luas wilayah 100.000 kilometer persegi, sebuah negara bersalju dengan banyak gunung merapi, serta negara perikanan dan pertanian yang mengalami masalah ekonomi (mirip Indonesia), telah mempersiapkan diri dengan sangat baik saat tampil sebagai  tamu kehormatan FBF 2011. Pameran buku benar-benar dikemas bernuansa buku, budaya, dan tradisi membaca di Eslandia. Sontak semua pengunjung menaruh perhatian pada Eslandia. Bagaimana sebetulnya masalah pertukaran budaya antara Jerman dengan Indonesia ini? Tanpa banyak diketahui umum pada tahun 1997 telah didirikan komisi Indonesia-Jerman untuk bahasa dan sastra atas petunjuk Presiden RI dan Konselir Jerman. Anggotanya antara lain lembaga kenegaran Indonesia, Departemen Luar Negeri RI, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Badan Bahasa. Sejak saat itu, pihak Jerman diwakili Goethe Institut, bisa kita lihat di pasaran buku pembaca Indonesia bisa menikmati puisi-puisi karya penyair legendaris Jerman, mulai dari Rainer Maria Rilke, Bertolt Brecht, Paul Celan, Johann Wolfgang von Goethe, Hans Magnus Enzensberger, Friedrich Nietzsche, dan penyair Austria berbahasa Jerman, Georg Trakl.
                Penerjemahan karya sastra dalam bahasa Inggris juga mengalami nasib sama. Selama lebih dari 25 tahun Yayasan Lontar dibiarkan aktif berusaha sendiri memperkenalkan sastra Indonesia ke dunia luar. Tak ada campur tangan Pemerintah dalam soal itu. Agaknya benar sastra Indonesia merupakan yatim piatu, tak terurus. Apalagi membayangkan sastra Indonesia juga diterbitkan ke dalam bahasa-bahasa dunia lain: Jepang, Mandarin, Korea, Spanyol, Rusia, dan Perancis misalnya. Lontar sudah memulai dengan bahasa Inggris. Penerjemahan ke bahasa Jerman hingga 100 judul (jika memungkinkan memang buku nonsastra lain, seperti art, nature, dan history), mungkin bisa “dipercepat” dengan “memanfaatkan” buku-buku hasil terjemahan Yayasan Lontar dalam bahasa Inggris meski itu bukan pekerjaan ideal tapi apa boleh buat? Waktu sudah tinggal sedikit dan pekerjaan masih banyak, bahkan saat ini belum dimulai.
                Frankfurt Book Fair 2015 kiranya menjadi titik tolak bagi Pemerintah Indonesia untuk lebih agresif memperkenalkan sastra Indonesia kepada dunia. Memang selama ini sudah ada langkah-langkah menyebarkan budaya Indonesia di berbagai negara dengan misalnya menyajikan tarian, musik gamelan, angklung, wayang kulit, dan seterusnya yang lebih merupakan budaya tradisional dan budaya lisan. Perlulah diperkenalkan bahwa Indonesia tak hanya itu, tapi juga merupakan bangsa yang telah berhasil mengembangkan budaya aksara modern, seperti telah lama terbukti melalui Kesusastraan Indonesia Modern.

DOROTHEA ROSA HERLIANY
Sastrawan
______________________
Dikutip dari kolom SENI – FRANKFURT BOOK FAIR
KOMPAS, MINGGU, 06 OKTOBER 2013
Sumber di sini.
Selengkapnya: Pentingnya Sastra di Sebuah Bangsa oleh Dorothea Rosa Herliany

Deadline atau Dateline?

Saturday, 5 October 2013

Yang benar Deadline.

Kata 'dateline' yang dimaksudkan mungkin adalah 'time limit' atau 'batas waktu'. Sedangkan menurut google terjemah, arti dari kata 'deadline' adalah 'BATAS WAKTU'. Sedangkan untuk kata 'date line' artinya adalah "garis penanggalan''.

Dan menurut encarta dictionary, adalah:
DATELINE itu artinya line giving date and location: a line at the head of a newspaper article or similar item giving the date and place of writing

Dalam bahasa Indonesia berarti: baris yang menyebutkan tanggal dan tempat: baris pada judul artikel koran atau item sejenis yang menyebutkan tanggal dan tempat penulisan

sedangkan,

DEADLINE itu artinya time limit: the time by which something must be done or completed

Dalam bahasa Indonesia berarti: batas waktu: waktu dimana sesuatu (pekerjaan) harus dilakukan atau diselesaikan.

Referensi,
https://www.facebook.com/permalink.php?id=249558331766469&story_fbid=337595119629456
http://motorbiru.wordpress.com/2012/03/08/dateline-atau-deadline/
http://bahasa.kompasiana.com/2010/05/23/dateline-atau-deadline-147825.html
Selengkapnya: Deadline atau Dateline?

Inilah Alasan Mengapa Aku Tak Tertarik Mengikuti Lomba Berbayar

Friday, 4 October 2013


Sudah lumrah adanya jika sebuah penerbit, lembaga, media atau perseorangan mengadakan lomba. Lomba sudah pasti menjadi ajang kompetisi menjadi yang terbaik, dinilai oleh juri yang kompeten di bidangnya. Lazimnya sebuah lomba, si peserta pasti menginginkan hadiah dari kemenangannya. Hadiah ini  bagi sebagian orang bukan hanya puncak dari sebuah perlombaan, tentu saja kemenangan menjadi bukti bahwa ia unggul di bidang lomba yang ia ikuti.

Belakangan ini saya seringkali menemukan pengumuman lomba menulis. Cara lomba dan hadiahnya bermacam-macam. Lomba menulis novel, puisi, cerpen, esai, atau karya ilmiah dengan reward diterbitkan menjadi buku itu lumrah. Selain sebagai cara sebuah penerbit mencari naskah bagus, perlombaan semacam ini juga wajar bagi sebuah penerbit yang mungkin sedang kesusahan mencari penulis atau naskah yang bagus. Dalam ajang seperti ini, penerbit sering bermurah hati dengan menambahkan hadiah lomba, selain memberikan kontrak terbit sebuah naskah. Ada juga pernerbit yang tidak memberikan hadiah, namun menambahkan reward si pemenang dengan tambahan jumlah royalti, atau pembayaran sebagian royalti di awal penerbitan naskah. Menyenangkan, tentu saja bagi si pemenang. Lomba berskala besar menjadi sebuah jalan pintas pengakuan keunggulan.

Ada lomba yang berhadiah besar dari penyelenggara (kadang dengan dukungan sponsor), atau ada lomba menulis—yang bagi saya agak aneh—dengan hadiah hanya berupa beberapa eksemplar naskah buku yang ditebitkan. Tidak ada tambahan royalti apalagi hadiah, juga tidak ada penghitungan bagaimana jika naskah (para) pemenang  dicetak masal. Lomba semacam ini paling banter hanya menambahkan diskon pembelian buku bagi pemenang. Aneh sekali. Parahnya, sebelum mengikuti lomba, calon peserta diminta membayar uang pendaftaran.  Menurut saya, lomba sejenis ini adalah lomba yang ganjil. Anehnya, lomba inilah yang sering saya temukan di beberapa pengumuman. Terutama di jejaring sosial facebook.

Lomba berbayar sebenarnya bisa  dimaklumi. Asalkan masih dalam batas wajar. Tidak terlalu mahal, dan hadiah yang dijanjikan ditepati sesuai dengan apa yang tercantum dalam pengumuman lomba. Tentu saja hadiahnya proporsional. Jika hadiahnya terlalu kecil, sementara uang pendaftarannya mahal, maka lomba semacam itu harus dipertanyakan dan dikritisi ulang.

Untuk mempermudah menganalisa, saya akan coba urai kasus lomba ini menjadi dua poin sebagai berikut:
Sistem Lomba Curang Pertama: Pada dasarnya, sebuah lomba diadakan untuk menyaring naskah, bukan mengumpulkan semua naskah. Kalau ada lomba menulis berbayar—ambil saja contohnya dengan biaya pendaftaran Rp.50.000,- —lalu   semua naskah yang masuk diterbitkan, itu artinya penyelenggara sedang mengumpulkan penulis lalu mencetak bukunya dan mengembalikan Rp.50.000,- dalam bentuk buku. Ini jelas bukan lomba, tapi arisan penulisan karya. Di mana kurasi naskahnya? Di mana penilaiannya? Di mana lombanya?  Sistem lomba dengan semua peserta menang atau nyaris semuanya menang ini mungkin sedikit lebih baik (meskipun tetap buruk) dibandingkan model lomba lain yang hanya memilih beberapa pemenang, lalu sisa peserta lain dana pendaftarannya hangus. Tapi, kasus inipun bisa kita lanjutkan dengan hitungan yang lebih teliti. Sebuah buku yang harganya Rp.50.000,- sudah pasti diproduksi lebih murah. Bahkan jika diproduksi dalam jumlah  yang banyak, harga produskinya bisa 1/5 dari harga itu.  Celah selisih harga ini dimanfaatkan oleh penyelenggara untuk bisnis lomba dan mengakumulasi nilai lebih uang pendaftaran.

Sistem Lomba Curang Kedua: Peserta yang ikut disaring dan dipilih oleh dewan juri—anggap saja yang daftar 100 orang—maka pihak lomba sudah mengumpulkan Rp.5.000.000,- dari ‘bisnis’ lombanya itu. Dalam kalkulasi cetak mencetak yang wajar, dana sebanyak itu sudah bisa dipakai untuk mencetak 1000 eksemplar buku (dengan standar buku yang tidak terlalu tebal dan tidak banyak variasi). Kalaupun dipilih 20 orang (anggaplah ini 20 karya terbaik), lalu hadiah lombanya hanya beberapa eksemplar buku,  (misalnya pemenang dapat 5 eksemplar buku, maka 5×20=100 buku),  ke mana sisa 900 buku lainnya? Apakah peserta yang namanya terdaftar di dalam buku dapat royalti, hak atas karyanya yang dimuat dan diperjual belikan?

Kalau perlombaan semacam ini hanya bertujuan untuk membuat sebuah antologi karya penulis, lomba semacam ini tidak layak disebut lomba. Lebih tepat disebut “Proyek Menulis dan Menerbitkan Bersama”, sebab sesungguhnya para penulis yang bergabung sedang melakukan patungan dana untuk mencetak bukunya. Sama sekali bukan berlomba! Mereka harusnya berhak membagi jumlah buku yang dicetak dari total dana yang terkumpul. Itu baru adil.

Bagaimana kalau penerbit atau pihak lomba sebenarnya sedang melakukan bisnis? Pihak lomba sah-sah saja menjadikan dirinya penerbit/percetakan, tapi setidaknya harus dijelaskan mekanisme pasti tentang lomba tersebut. Misalnya, berapa biaya cetak buku, berapa pembagian keuntungan penerbit dan penulis. Agar buku dan tulisan bukan hanya jadi bisnis jual beli semata. Mencari keuntungan lewat proyek semacam ini sah-sah saja, asalkan info yang diberikan lebih terang. Tak ada masalah jika kegiatan semacam ini dinamakan penyelenggara sebagai proyek penerbitan, datangkan kurator yang kompeten, bukan menyebutnya lomba, padahal hanya arisan atau bisnis belaka.

Akan susah rasanya membedakan lomba ini dengan kuis sms yang marak di tv. Sama saja. Jika di tv orang-orang diminta mengirim sms dengan tarif premium yang lebih mahal, lalu nomer mereka diacak dan serpihan akumulasi dana premium yang masuk itu hanya dibagi pada beberapa orang yang beruntung. Apa bedanya lomba penulisan dan sms premium ini dengan judi? Penulis yang lugu diminta menginvestasikan dana lewat uang pendaftaran, lalu yang tidak lolos diterbitkan hanya melongo, mencoba berbahagia dengan membeli buku yang berisi secuil karyanya di sana. Astaga!

Paradoks Dunia Menulis dan Sosil Media, Celah Bagi Mafia
Paradoks dunia kepenulisan dalam sosial media sebenarnya jauh sudah muncul sebelum era populernya facebook. Di era kemunculan Cyber Sastra akhir tahun 90-an. Beberapa kalangan redaktur media cetak memandang sinis karya sastra yang muncul di internet, di blog atau mailing list. Tidak adanya kurasi yang ketat, kebebasan unggah karya sana-sini membuat standar kualitas menjadi lemah dan tak bisa diadu dengan sastra mainstream seperti di koran, jurnal atau majalah. Generasi Cyber menjawabnya dengan dalih merebut hegemoni media. Sebagian melepaskan penilaian karya pada hukum alam rimba raya dunia menulis; yang bagus akan muncul ke permukaan di manapun medianya. Hukum alam berlaku, yang berkarya buruk akan tenggelam dan dilupakan. Dalam ruang kesadaran yang terbangun secara dialektis  semacam itu, Cyber Sastra memberi jawaban yang setimpal, beberapa penulis dunia maya yang tekun pada akhirnya muncul sebagai penulis handal dengan karya yang tak kalah dibandingkan media konvensional selama ini.

Facebook dengan fasilitas note di awal kemunculannya memberi ruang paradoks bagi banyak penulis: Publikasi Vs. Kualitas karya. Facebook memberi nilai positif bagi para penulis pemula memulai kariernya dengan fasilitas note dan fasilitas group. Mereka bisa berinteraksi dan membangun basis komunitas, diskusi intens sekaligus membangun basis pembacanya. Penulis bisa berinteraksi langsung. Menerima kritikan dan bisa merevisi karyanya saat itu juga.

Celakanya; dengan menulis di facebook dan diberi jempol like banyak orang, seorang penulis sudah merasa dirinya berhasil. Kebiasaan tidak mengkritik teman atau sesama komunitas baik online atau offline memperparah situasi. Padahal, memasuki dunia tulis menulis tentu tak segampang itu. Like bukan berarti bagus, dahsyat. Jumlah teman yang makin banyak juga tak berbanding lurus dengan jumlah apresian kritis yang bisa menjadi alat bantu berkembang seorang penulis. Mental instan dan kuper menjadikan makin banyak penulis baru bermunculan dan menjadi lahan empuk bagi oknum “bisnismen lomba” yang curi-curi kesempatan. Seorang bisa mengadakan lomba di sebuah komunitas tanpa modal hadiah atau modal dana sepeserpun. Hanya butuh sambungan internet. Mengumpulkan teman-temannya, mengajak ikut lomba dan membayar, lalu mengakumulasi jumlah uang untuk mencetak buku dan mengantongi selisihnya.

Penulis yang cerdas, tentunya harus kritis. Kemudahan akses masuk dunia perbukuan,  kecanggihan alat cetak semacam buain dan sogokan instan untuk menghasilkan karya yang dangkal dan instan.

Jika saja para perta lomba mau bersabar atau mau sedikit kritis, sebuah grup facebook bisa saja disulap menjadi sebuah minipenerbitan, atau divisi penerbitan melalui mekanisme yang sederhana dan tidak terlalu susah. Mengumpulkan tulisan bersama, patungan dana, lalu mencetak sendiri bukunya. Aman dan lebih elegan daripada mempercayakan nasib karya mereka pada orang-orang yang hanya bisa jualan kertas dan tinta; tidak mementingkan kelayakan karya, tidak mementingkan capaian penulis.  Update wacana penulis, analisa yang cerdik akan mencegah kekecewaan di belakang hari; kekecewaan tentang naskah yang tidak terbit padahal sudah bayar, juga menutup celah penipu-penipu kacangan yang baru belajar jadi mafia di dunia perbukuan.

@irwanbajang, Pemred Indie Book Corner.

Ijin reposting di sini.

PS: "Yang tidak berbayarpun, kalau nggak jelas dan ada indikasi semacam itu juga bisa/patut dicurigai. Ada lomba yang hadiahnya buku dicetak 5 eks sebagai hadiah, sisanya mereka jual banyak tanpa royalti penerbit. Ini juga penipuan."
Selengkapnya: Inilah Alasan Mengapa Aku Tak Tertarik Mengikuti Lomba Berbayar

Foto-foto Launching Buku Puisi Buat Gus Dur "Dari Dam Sengon ke Jembatan Panengel" | Kudus, 28 September 2013

Tuesday, 1 October 2013

Foto oleh bunda Sulis Bambang

Foto oleh Amel

Foto oleh Bagus Burham

Foto dari facebook Abdullah Mubaqi.

Foto oleh Arafat AHC

Link foto selengkapnya,
Facebook bunda Sulis Bambang
Facebook Amel
Facebook Bagus Burham
Facebook Bambang Eka Prasetya
Facebook Arafat AHC 

Sabtu, 28 September 2013
Pukul 20.00 WIB
Rumah Makan Bambu Wulung
Jl. Kudus – Pati KM.5, Ngembalrejo, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia.

Biografi Gus Dur (KH. Abdurahman Wahid)
http://id.wikipedia.org/wiki/Abdurrahman_Wahid
http://tunas63.wordpress.com/2009/12/31/biografi-gus-dur-dan-keluarga

Info berita,
http://www.wartamadani.com/2013/09/launching-puisi-dewan-kesenian-kudus.html
http://www.nu.or.id/
http://www.suaramerdeka.com/v2/index.php/read/cetak/2013/09/30/238446/Puisi-untuk-Gus-Dur-Diluncurkan
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/09/25/173292/Dewan-Kesenian-Kudus-Terbitkan-Antologi-Puisi-Gus-Dur
http://www.kompi.org/2013/10/peluncuran-puisi-buat-gus-dur_710.html
http://lukni.blogspot.com/2013/09/puisi-cinta-untuk-gus-dur-dari-dam.html
http://gampang-prawoto.blogspot.com/2013/10/puisi-untuk-gus-dur-diluncurkan.html
http://www.rimanews.com/read/20130925/118678/antologi-puisi-gus-dur-diterbitkan-dewan-kesenian-kudus
http://umk.ac.id/index.php/seputar-kudus/982-inayah-hadiri-peluncuran-buku-puisi-buat-gus-dur/982-inayah-hadiri-peluncuran-buku-puisi-buat-gus-dur

* * *
Sedikit cerita
Acara launching berjalan lancar dan sukses. Banyak yang berdatangan terutama penyair yang puisinya masuk dalam buku antologi puisi. Saya bertemu dengan kawan-kawan penyair muda yang lama tidak jumpa. Dimas Indiana Senja (Brebes-Purwokerto), Muhammad Rois Rinaldi (Cilegon), Mubaqi Abdullah (Semarang), Arafat AHC (Demak), Bagus Burham (Kudus), Sholichudin Al-Gholany (Kudus), Seruni (Solo), Niken Kinanti (Pati), Amel (Brebes), Amien Prop (Rembang), Lukni Maulana (Semarang) beberapa kawan baru Niam At-Majha, Chip dan lain-lain. Beberapa senior, Jumari HS (Kudus), Sosiawan Leak (Solo), bunda Sulis Bambang (Semarang), bu Sus (Sragen), Kidung Purnama (Ciamis), Bambang Eka Prasetya (Magelang), Puji Pistols (Pati), Asyari Muhammad (Jepara), Thomas Budi S (Kudus), Gampang Prawoto dan lain-lain.

Saya menikmati pembacaan puisi oleh penyair-penyair yang tampil. Judul buku puisi "Dari Dam Sengon ke Jembatan Panengel" adalah judul puisi pak Bambang Eka Prasetya. Beliau kemudian menceritakan awal pertemuan dengan Gus Dur kala beliau masih kecil. Ketika itu Gus Dur berusia kira-kira 25 tahunan. Semangat Gus Dur meletup-letup dengan mendirikan semacam pendidikan dan pelatihan bagi anak-anak dan pemuda di Jombang.

Inayah Wahid pun sedikit bercerita bagaimana ia diajari membaca oleh ayahnya, Gus Dur. Ia menulis puisi buat Gus Dur "Bapak Mengajari Membaca" (di sampul belakang buku) dan membacanya di malam launching. Tak ketinggalan pula "Sang Jendral PMK" Sosiawan Leak untuk tampil membawakan puisi-puisinya di akhir acara.

Wali

namamu selalu mengusik hati
para pemburu sunyi sejati
kudalami riwayat
sejengkal keramat

tubuhmu menyimpan aroma wangi
kiranya memang
seorang yang ditasbihkan
sebagai wali

seperti yang orang lihat dan katakan
setiap kata yang kau lontarkan
anekdot jenaka, penghibur hati yang gelisah
mengingatkan pada kisah para sufi
jalan-jalan sunyi Ilahi

entah dari mana ilham itu
sudah jelas bagi orang-orang percaya

tubuhmu menyimpan misteri
kau bawa mati
bersama wangi melati
barangkali memang kau seorang wali
hanya perlu mengamini

Juli 2013
Selengkapnya: Foto-foto Launching Buku Puisi Buat Gus Dur "Dari Dam Sengon ke Jembatan Panengel" | Kudus, 28 September 2013

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas