Sudah lumrah adanya jika sebuah penerbit, lembaga, media atau 
perseorangan mengadakan lomba. Lomba sudah pasti menjadi ajang kompetisi
 menjadi yang terbaik, dinilai oleh juri yang kompeten di bidangnya. 
Lazimnya sebuah lomba, si peserta pasti menginginkan hadiah dari 
kemenangannya. Hadiah ini  bagi sebagian orang bukan hanya puncak dari 
sebuah perlombaan, tentu saja kemenangan menjadi bukti bahwa ia unggul 
di bidang lomba yang ia ikuti.
Belakangan ini saya seringkali menemukan pengumuman lomba menulis. 
Cara lomba dan hadiahnya bermacam-macam. Lomba menulis novel, puisi, 
cerpen, esai, atau karya ilmiah dengan reward diterbitkan menjadi buku 
itu lumrah. Selain sebagai cara sebuah penerbit mencari naskah bagus, 
perlombaan semacam ini juga wajar bagi sebuah penerbit yang mungkin 
sedang kesusahan mencari penulis atau naskah yang bagus. Dalam ajang 
seperti ini, penerbit sering bermurah hati dengan menambahkan hadiah 
lomba, selain memberikan kontrak terbit sebuah naskah. Ada juga 
pernerbit yang tidak memberikan hadiah, namun menambahkan reward 
si pemenang dengan tambahan jumlah royalti, atau pembayaran sebagian 
royalti di awal penerbitan naskah. Menyenangkan, tentu saja bagi si 
pemenang. Lomba berskala besar menjadi sebuah jalan pintas pengakuan 
keunggulan.
Ada lomba yang berhadiah besar dari penyelenggara (kadang dengan 
dukungan sponsor), atau ada lomba menulis—yang bagi saya agak 
aneh—dengan hadiah hanya berupa beberapa eksemplar naskah buku yang 
ditebitkan. Tidak ada tambahan royalti apalagi hadiah, juga tidak ada 
penghitungan bagaimana jika naskah (para) pemenang  dicetak masal. Lomba
 semacam ini paling banter hanya menambahkan diskon pembelian buku bagi 
pemenang. Aneh sekali. Parahnya, sebelum mengikuti lomba, calon peserta 
diminta membayar uang pendaftaran.  Menurut saya, lomba sejenis ini 
adalah lomba yang ganjil. Anehnya, lomba inilah yang sering saya temukan
 di beberapa pengumuman. Terutama di jejaring sosial facebook.
Lomba berbayar sebenarnya bisa  dimaklumi. Asalkan masih dalam batas 
wajar. Tidak terlalu mahal, dan hadiah yang dijanjikan ditepati sesuai 
dengan apa yang tercantum dalam pengumuman lomba. Tentu saja hadiahnya 
proporsional. Jika hadiahnya terlalu kecil, sementara uang 
pendaftarannya mahal, maka lomba semacam itu harus dipertanyakan dan 
dikritisi ulang.
Untuk mempermudah menganalisa, saya akan coba urai kasus lomba ini menjadi dua poin sebagai berikut:
Sistem Lomba Curang Pertama: Pada dasarnya, sebuah lomba 
diadakan untuk menyaring naskah, bukan mengumpulkan semua naskah. Kalau 
ada lomba menulis berbayar—ambil saja contohnya dengan biaya pendaftaran
 Rp.50.000,- —lalu   semua naskah yang masuk diterbitkan, itu artinya 
penyelenggara sedang mengumpulkan penulis lalu mencetak bukunya dan 
mengembalikan Rp.50.000,- dalam bentuk buku. Ini jelas bukan lomba, tapi
 arisan penulisan karya. Di mana kurasi naskahnya? Di mana penilaiannya?
 Di mana lombanya?  Sistem lomba dengan semua peserta menang atau nyaris
 semuanya menang ini mungkin sedikit lebih baik (meskipun tetap buruk) 
dibandingkan model lomba lain yang hanya memilih beberapa pemenang, 
lalu sisa peserta lain dana pendaftarannya hangus. Tapi, kasus inipun 
bisa kita lanjutkan dengan hitungan yang lebih teliti. Sebuah buku yang 
harganya Rp.50.000,- sudah pasti diproduksi lebih murah. Bahkan jika 
diproduksi dalam jumlah  yang banyak, harga produskinya bisa 1/5 dari 
harga itu.  Celah selisih harga ini dimanfaatkan oleh penyelenggara 
untuk bisnis lomba dan mengakumulasi nilai lebih uang pendaftaran.
Sistem Lomba Curang Kedua: Peserta yang ikut disaring dan 
dipilih oleh dewan juri—anggap saja yang daftar 100 orang—maka pihak 
lomba sudah mengumpulkan Rp.5.000.000,- dari ‘bisnis’ lombanya itu. 
Dalam kalkulasi cetak mencetak yang wajar, dana sebanyak itu sudah bisa 
dipakai untuk mencetak 1000 eksemplar buku (dengan standar buku yang 
tidak terlalu tebal dan tidak banyak variasi). Kalaupun dipilih 20 orang
 (anggaplah ini 20 karya terbaik), lalu hadiah lombanya hanya beberapa 
eksemplar buku,  (misalnya pemenang dapat 5 eksemplar buku, maka 
5×20=100 buku),  ke mana sisa 900 buku lainnya? Apakah peserta yang 
namanya terdaftar di dalam buku dapat royalti, hak atas karyanya yang 
dimuat dan diperjual belikan?
Kalau perlombaan semacam ini hanya bertujuan untuk membuat sebuah 
antologi karya penulis, lomba semacam ini tidak layak disebut lomba. 
Lebih tepat disebut “Proyek Menulis dan Menerbitkan Bersama”, sebab 
sesungguhnya para penulis yang bergabung sedang melakukan patungan dana 
untuk mencetak bukunya. Sama sekali bukan berlomba! Mereka harusnya 
berhak membagi jumlah buku yang dicetak dari total dana yang terkumpul. 
Itu baru adil.
Bagaimana kalau penerbit atau pihak lomba sebenarnya sedang melakukan bisnis?
 Pihak lomba sah-sah saja menjadikan dirinya penerbit/percetakan, tapi 
setidaknya harus dijelaskan mekanisme pasti tentang lomba tersebut. 
Misalnya, berapa biaya cetak buku, berapa pembagian keuntungan penerbit 
dan penulis. Agar buku dan tulisan bukan hanya jadi bisnis jual beli 
semata. Mencari keuntungan lewat proyek semacam ini sah-sah saja, 
asalkan info yang diberikan lebih terang. Tak ada masalah jika kegiatan 
semacam ini dinamakan penyelenggara sebagai proyek penerbitan, datangkan
 kurator yang kompeten, bukan menyebutnya lomba, padahal hanya arisan 
atau bisnis belaka.
Akan susah rasanya membedakan lomba ini dengan kuis sms yang marak di
 tv. Sama saja. Jika di tv orang-orang diminta mengirim sms dengan tarif
 premium yang lebih mahal, lalu nomer mereka diacak dan serpihan 
akumulasi dana premium yang masuk itu hanya dibagi pada beberapa orang 
yang beruntung. Apa bedanya lomba penulisan dan sms premium ini dengan 
judi? Penulis yang lugu diminta menginvestasikan dana lewat uang 
pendaftaran, lalu yang tidak lolos diterbitkan hanya melongo, mencoba 
berbahagia dengan membeli buku yang berisi secuil karyanya di sana. 
Astaga!
Paradoks Dunia Menulis dan Sosil Media, Celah Bagi Mafia
Paradoks dunia kepenulisan dalam sosial media sebenarnya jauh sudah 
muncul sebelum era populernya facebook. Di era kemunculan Cyber Sastra 
akhir tahun 90-an. Beberapa kalangan redaktur media cetak memandang 
sinis karya sastra yang muncul di internet, di blog atau mailing list. 
Tidak adanya kurasi yang ketat, kebebasan unggah karya sana-sini membuat
 standar kualitas menjadi lemah dan tak bisa diadu dengan sastra mainstream
 seperti di koran, jurnal atau majalah. Generasi Cyber menjawabnya 
dengan dalih merebut hegemoni media. Sebagian melepaskan penilaian karya
 pada hukum alam rimba raya dunia menulis; yang bagus akan muncul ke 
permukaan di manapun medianya. Hukum alam berlaku, yang berkarya buruk 
akan tenggelam dan dilupakan. Dalam ruang kesadaran yang terbangun 
secara dialektis  semacam itu, Cyber Sastra memberi jawaban yang 
setimpal, beberapa penulis dunia maya yang tekun pada akhirnya muncul 
sebagai penulis handal dengan karya yang tak kalah dibandingkan media 
konvensional selama ini.
Facebook dengan fasilitas note di awal kemunculannya memberi 
ruang paradoks bagi banyak penulis: Publikasi Vs. Kualitas karya. 
Facebook memberi nilai positif bagi para penulis pemula memulai 
kariernya dengan fasilitas note dan fasilitas group. 
Mereka bisa berinteraksi dan membangun basis komunitas, diskusi intens 
sekaligus membangun basis pembacanya. Penulis bisa berinteraksi 
langsung. Menerima kritikan dan bisa merevisi karyanya saat itu juga.
Celakanya; dengan menulis di facebook dan diberi jempol like banyak orang, seorang penulis sudah merasa dirinya berhasil. Kebiasaan tidak mengkritik teman atau sesama komunitas baik online atau offline memperparah situasi. Padahal, memasuki dunia tulis menulis tentu tak segampang itu. Like
 bukan berarti bagus, dahsyat. Jumlah teman yang makin banyak juga tak 
berbanding lurus dengan jumlah apresian kritis yang bisa menjadi alat 
bantu berkembang seorang penulis. Mental instan dan kuper menjadikan 
makin banyak penulis baru bermunculan dan menjadi lahan empuk bagi oknum
 “bisnismen lomba” yang curi-curi kesempatan. Seorang bisa mengadakan 
lomba di sebuah komunitas tanpa modal hadiah atau modal dana sepeserpun.
 Hanya butuh sambungan internet. Mengumpulkan teman-temannya, mengajak 
ikut lomba dan membayar, lalu mengakumulasi jumlah uang untuk mencetak 
buku dan mengantongi selisihnya.
Penulis yang cerdas, tentunya harus kritis. Kemudahan akses masuk 
dunia perbukuan,  kecanggihan alat cetak semacam buain dan sogokan 
instan untuk menghasilkan karya yang dangkal dan instan.
Jika saja para perta lomba mau bersabar atau mau sedikit kritis, 
sebuah grup facebook bisa saja disulap menjadi sebuah minipenerbitan, 
atau divisi penerbitan melalui mekanisme yang sederhana dan tidak 
terlalu susah. Mengumpulkan tulisan bersama, patungan dana, lalu 
mencetak sendiri bukunya. Aman dan lebih elegan daripada mempercayakan 
nasib karya mereka pada orang-orang yang hanya bisa jualan kertas dan 
tinta; tidak mementingkan kelayakan karya, tidak mementingkan capaian 
penulis.  Update wacana penulis, analisa yang cerdik akan mencegah 
kekecewaan di belakang hari; kekecewaan tentang naskah yang tidak terbit
 padahal sudah bayar, juga menutup celah penipu-penipu kacangan yang baru 
belajar jadi mafia di dunia perbukuan.
@irwanbajang, Pemred Indie Book Corner.
Ijin reposting di sini.
PS: "Yang tidak berbayarpun, kalau nggak jelas dan ada indikasi semacam itu juga bisa/patut dicurigai. Ada lomba yang hadiahnya buku dicetak 5 eks sebagai hadiah, sisanya mereka jual banyak tanpa royalti penerbit. Ini juga penipuan."
Ijin reposting di sini.
PS: "Yang tidak berbayarpun, kalau nggak jelas dan ada indikasi semacam itu juga bisa/patut dicurigai. Ada lomba yang hadiahnya buku dicetak 5 eks sebagai hadiah, sisanya mereka jual banyak tanpa royalti penerbit. Ini juga penipuan."


0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)