Inilah Alasan Mengapa Aku Tak Tertarik Mengikuti Lomba Berbayar

Friday, 4 October 2013


Sudah lumrah adanya jika sebuah penerbit, lembaga, media atau perseorangan mengadakan lomba. Lomba sudah pasti menjadi ajang kompetisi menjadi yang terbaik, dinilai oleh juri yang kompeten di bidangnya. Lazimnya sebuah lomba, si peserta pasti menginginkan hadiah dari kemenangannya. Hadiah ini  bagi sebagian orang bukan hanya puncak dari sebuah perlombaan, tentu saja kemenangan menjadi bukti bahwa ia unggul di bidang lomba yang ia ikuti.

Belakangan ini saya seringkali menemukan pengumuman lomba menulis. Cara lomba dan hadiahnya bermacam-macam. Lomba menulis novel, puisi, cerpen, esai, atau karya ilmiah dengan reward diterbitkan menjadi buku itu lumrah. Selain sebagai cara sebuah penerbit mencari naskah bagus, perlombaan semacam ini juga wajar bagi sebuah penerbit yang mungkin sedang kesusahan mencari penulis atau naskah yang bagus. Dalam ajang seperti ini, penerbit sering bermurah hati dengan menambahkan hadiah lomba, selain memberikan kontrak terbit sebuah naskah. Ada juga pernerbit yang tidak memberikan hadiah, namun menambahkan reward si pemenang dengan tambahan jumlah royalti, atau pembayaran sebagian royalti di awal penerbitan naskah. Menyenangkan, tentu saja bagi si pemenang. Lomba berskala besar menjadi sebuah jalan pintas pengakuan keunggulan.

Ada lomba yang berhadiah besar dari penyelenggara (kadang dengan dukungan sponsor), atau ada lomba menulis—yang bagi saya agak aneh—dengan hadiah hanya berupa beberapa eksemplar naskah buku yang ditebitkan. Tidak ada tambahan royalti apalagi hadiah, juga tidak ada penghitungan bagaimana jika naskah (para) pemenang  dicetak masal. Lomba semacam ini paling banter hanya menambahkan diskon pembelian buku bagi pemenang. Aneh sekali. Parahnya, sebelum mengikuti lomba, calon peserta diminta membayar uang pendaftaran.  Menurut saya, lomba sejenis ini adalah lomba yang ganjil. Anehnya, lomba inilah yang sering saya temukan di beberapa pengumuman. Terutama di jejaring sosial facebook.

Lomba berbayar sebenarnya bisa  dimaklumi. Asalkan masih dalam batas wajar. Tidak terlalu mahal, dan hadiah yang dijanjikan ditepati sesuai dengan apa yang tercantum dalam pengumuman lomba. Tentu saja hadiahnya proporsional. Jika hadiahnya terlalu kecil, sementara uang pendaftarannya mahal, maka lomba semacam itu harus dipertanyakan dan dikritisi ulang.

Untuk mempermudah menganalisa, saya akan coba urai kasus lomba ini menjadi dua poin sebagai berikut:
Sistem Lomba Curang Pertama: Pada dasarnya, sebuah lomba diadakan untuk menyaring naskah, bukan mengumpulkan semua naskah. Kalau ada lomba menulis berbayar—ambil saja contohnya dengan biaya pendaftaran Rp.50.000,- —lalu   semua naskah yang masuk diterbitkan, itu artinya penyelenggara sedang mengumpulkan penulis lalu mencetak bukunya dan mengembalikan Rp.50.000,- dalam bentuk buku. Ini jelas bukan lomba, tapi arisan penulisan karya. Di mana kurasi naskahnya? Di mana penilaiannya? Di mana lombanya?  Sistem lomba dengan semua peserta menang atau nyaris semuanya menang ini mungkin sedikit lebih baik (meskipun tetap buruk) dibandingkan model lomba lain yang hanya memilih beberapa pemenang, lalu sisa peserta lain dana pendaftarannya hangus. Tapi, kasus inipun bisa kita lanjutkan dengan hitungan yang lebih teliti. Sebuah buku yang harganya Rp.50.000,- sudah pasti diproduksi lebih murah. Bahkan jika diproduksi dalam jumlah  yang banyak, harga produskinya bisa 1/5 dari harga itu.  Celah selisih harga ini dimanfaatkan oleh penyelenggara untuk bisnis lomba dan mengakumulasi nilai lebih uang pendaftaran.

Sistem Lomba Curang Kedua: Peserta yang ikut disaring dan dipilih oleh dewan juri—anggap saja yang daftar 100 orang—maka pihak lomba sudah mengumpulkan Rp.5.000.000,- dari ‘bisnis’ lombanya itu. Dalam kalkulasi cetak mencetak yang wajar, dana sebanyak itu sudah bisa dipakai untuk mencetak 1000 eksemplar buku (dengan standar buku yang tidak terlalu tebal dan tidak banyak variasi). Kalaupun dipilih 20 orang (anggaplah ini 20 karya terbaik), lalu hadiah lombanya hanya beberapa eksemplar buku,  (misalnya pemenang dapat 5 eksemplar buku, maka 5×20=100 buku),  ke mana sisa 900 buku lainnya? Apakah peserta yang namanya terdaftar di dalam buku dapat royalti, hak atas karyanya yang dimuat dan diperjual belikan?

Kalau perlombaan semacam ini hanya bertujuan untuk membuat sebuah antologi karya penulis, lomba semacam ini tidak layak disebut lomba. Lebih tepat disebut “Proyek Menulis dan Menerbitkan Bersama”, sebab sesungguhnya para penulis yang bergabung sedang melakukan patungan dana untuk mencetak bukunya. Sama sekali bukan berlomba! Mereka harusnya berhak membagi jumlah buku yang dicetak dari total dana yang terkumpul. Itu baru adil.

Bagaimana kalau penerbit atau pihak lomba sebenarnya sedang melakukan bisnis? Pihak lomba sah-sah saja menjadikan dirinya penerbit/percetakan, tapi setidaknya harus dijelaskan mekanisme pasti tentang lomba tersebut. Misalnya, berapa biaya cetak buku, berapa pembagian keuntungan penerbit dan penulis. Agar buku dan tulisan bukan hanya jadi bisnis jual beli semata. Mencari keuntungan lewat proyek semacam ini sah-sah saja, asalkan info yang diberikan lebih terang. Tak ada masalah jika kegiatan semacam ini dinamakan penyelenggara sebagai proyek penerbitan, datangkan kurator yang kompeten, bukan menyebutnya lomba, padahal hanya arisan atau bisnis belaka.

Akan susah rasanya membedakan lomba ini dengan kuis sms yang marak di tv. Sama saja. Jika di tv orang-orang diminta mengirim sms dengan tarif premium yang lebih mahal, lalu nomer mereka diacak dan serpihan akumulasi dana premium yang masuk itu hanya dibagi pada beberapa orang yang beruntung. Apa bedanya lomba penulisan dan sms premium ini dengan judi? Penulis yang lugu diminta menginvestasikan dana lewat uang pendaftaran, lalu yang tidak lolos diterbitkan hanya melongo, mencoba berbahagia dengan membeli buku yang berisi secuil karyanya di sana. Astaga!

Paradoks Dunia Menulis dan Sosil Media, Celah Bagi Mafia
Paradoks dunia kepenulisan dalam sosial media sebenarnya jauh sudah muncul sebelum era populernya facebook. Di era kemunculan Cyber Sastra akhir tahun 90-an. Beberapa kalangan redaktur media cetak memandang sinis karya sastra yang muncul di internet, di blog atau mailing list. Tidak adanya kurasi yang ketat, kebebasan unggah karya sana-sini membuat standar kualitas menjadi lemah dan tak bisa diadu dengan sastra mainstream seperti di koran, jurnal atau majalah. Generasi Cyber menjawabnya dengan dalih merebut hegemoni media. Sebagian melepaskan penilaian karya pada hukum alam rimba raya dunia menulis; yang bagus akan muncul ke permukaan di manapun medianya. Hukum alam berlaku, yang berkarya buruk akan tenggelam dan dilupakan. Dalam ruang kesadaran yang terbangun secara dialektis  semacam itu, Cyber Sastra memberi jawaban yang setimpal, beberapa penulis dunia maya yang tekun pada akhirnya muncul sebagai penulis handal dengan karya yang tak kalah dibandingkan media konvensional selama ini.

Facebook dengan fasilitas note di awal kemunculannya memberi ruang paradoks bagi banyak penulis: Publikasi Vs. Kualitas karya. Facebook memberi nilai positif bagi para penulis pemula memulai kariernya dengan fasilitas note dan fasilitas group. Mereka bisa berinteraksi dan membangun basis komunitas, diskusi intens sekaligus membangun basis pembacanya. Penulis bisa berinteraksi langsung. Menerima kritikan dan bisa merevisi karyanya saat itu juga.

Celakanya; dengan menulis di facebook dan diberi jempol like banyak orang, seorang penulis sudah merasa dirinya berhasil. Kebiasaan tidak mengkritik teman atau sesama komunitas baik online atau offline memperparah situasi. Padahal, memasuki dunia tulis menulis tentu tak segampang itu. Like bukan berarti bagus, dahsyat. Jumlah teman yang makin banyak juga tak berbanding lurus dengan jumlah apresian kritis yang bisa menjadi alat bantu berkembang seorang penulis. Mental instan dan kuper menjadikan makin banyak penulis baru bermunculan dan menjadi lahan empuk bagi oknum “bisnismen lomba” yang curi-curi kesempatan. Seorang bisa mengadakan lomba di sebuah komunitas tanpa modal hadiah atau modal dana sepeserpun. Hanya butuh sambungan internet. Mengumpulkan teman-temannya, mengajak ikut lomba dan membayar, lalu mengakumulasi jumlah uang untuk mencetak buku dan mengantongi selisihnya.

Penulis yang cerdas, tentunya harus kritis. Kemudahan akses masuk dunia perbukuan,  kecanggihan alat cetak semacam buain dan sogokan instan untuk menghasilkan karya yang dangkal dan instan.

Jika saja para perta lomba mau bersabar atau mau sedikit kritis, sebuah grup facebook bisa saja disulap menjadi sebuah minipenerbitan, atau divisi penerbitan melalui mekanisme yang sederhana dan tidak terlalu susah. Mengumpulkan tulisan bersama, patungan dana, lalu mencetak sendiri bukunya. Aman dan lebih elegan daripada mempercayakan nasib karya mereka pada orang-orang yang hanya bisa jualan kertas dan tinta; tidak mementingkan kelayakan karya, tidak mementingkan capaian penulis.  Update wacana penulis, analisa yang cerdik akan mencegah kekecewaan di belakang hari; kekecewaan tentang naskah yang tidak terbit padahal sudah bayar, juga menutup celah penipu-penipu kacangan yang baru belajar jadi mafia di dunia perbukuan.

@irwanbajang, Pemred Indie Book Corner.

Ijin reposting di sini.

PS: "Yang tidak berbayarpun, kalau nggak jelas dan ada indikasi semacam itu juga bisa/patut dicurigai. Ada lomba yang hadiahnya buku dicetak 5 eks sebagai hadiah, sisanya mereka jual banyak tanpa royalti penerbit. Ini juga penipuan."

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas