Puisi dan Iman
Oleh Mashuri*
“Tapi aku tidak bisa menulis puisi kalau engkau menjamu tuhan dengan membunuh yang lain”
Afrizal Malna, dalam puisi Taman Bahasa
Puisi
jelas berbeda dengan iman, tapi kadang juga bertemu dalam sebuah
perjumpaan mesra. Tapi jangan andaikan pertemuan itu seperti sendok dan
garpu di sebuah piring di meja makan, karena pertemuan itu kadang bisa
berupa ngengat dan kertas, paku dan kayu, bahkan bisa serupa minyak dan
air. Meski bisa pula bertemu seperti sepasang kekasih di ranjang
pengantin. Tentu semua itu terkendali dalam ruang kemanusiaan. Tertemali
oleh perspektif: kita ingin memanfaatkan puisi atau ingin
membebaskannya dari pesan iman. Atau, kita ingin berpuisi dalam tudung
iman. Kiranya, di situlah akar masalahnya ketika kita berhasrat memahami
puisi-puisi modern yang berkumpar dan berpusat pada manusia.
Dalam
konteks pemikiran modern, berpuisi adalah laku subyektif terhadap
dunia, sebagaimana iman yang laku subyektif terhadap Tuhan. Keduanya
adalah rentetan peluru yang berdesing dalam diri manusia yang sulit
ditampik-musnahkan, karena keduanya mengandung jejak rekam dinamika
kejiwaan yang menyusun psike manusia. Keduanya terselip dalam arketipe
yang kadang jumbuh/saling tolak di dasar jiwa, yang kadang bisa berganti
rupa begitu lewat ambang sadar dan kontrol diri.
Puisi Subversif Terhadap Iman?
Meski
demikian, dalam sejarah manusia, pertemuan puisi dan iman adalah
pertemuan yang indah. Kitab suci agama-agama besar begitu sastrawi dan
puitis. Kisah-kisah yang teruntai dalam narasi pun termetrum dalam
puisi. Bhagavad Gita, Al Kitab dan Alquran adalah contoh-contoh
bagaimana Tuhan mengomunikasikan sabda lewat bahasa-bahasa puitis. Tuhan
yang Jamal (Sang Maha Indah) itu telah merepresentasikan kalamnya
dengan indah pula. Fakta tekstual atau meta tekstual ini kadang memang
bisa menepis anggapan bahwa puisi itu bersifat subversif terhadap iman.
Dalam Islam, hubungan iman dan puisi bergrafik naik-turun.
Watak
subversif puisi terhadap iman-tauhid Islam itu bisa terdeteksi pada awal
kemunculan Islam di Jazirah Arab. Pada masa-masa itu, perkembangan
puisi pra Islam di Arab memang sudah taraf yang luar biasa. Penyair
disebut-sebut sebagai Nabi tanpa wahyu yang bisa menjadi penghubung
‘langit’ dan alam raya. Festival puisi pra Islam di sekitar Ka’bah
tahunan adalah bukti betapa maraknya puisi di jaman itu. Kemunculan
Alquran yang puitis pun dianggap mengancam keberadaan mereka dan sampai
kini pun disebut sebagai kitab syair terbesar. Kehadiran Alquran pun
‘mengancam’ eksistensi para penyair itu.
Bahkan dalam surat
Asy-Syuara, Alquran dengan lantang menabuh genderang perang terhadap
para penyair. Terdapat peringatan yang sangat tegas bagi para penyair
yang menyimpang dari jalan Tuhan. Dengan sebuah ancaman yang tidak
main-main, bahwa penyair itu bakal mendapatkan siksa.
Bagi
kalangan formalis yang memegang syariat Islam secara doktriner,
pehamanan pada beberapa data dan ayat yang mengacu pada kebebasan kreasi
itu pun ditafsirkan secara harfiah. Artinya, tafsir yang berlaku adalah
tafsir tunggal tanpa berusaha meruyak kembali adanya wacana dan konteks
jaman yang berlaku. Mereka menganggap bahwa apa yang sudah di-nash
(meski kadarnya mutasyabbihat) dan tidak bisa diganggu gugat, sebagai
dalil yang sudah terabsahkan. Hanya saja, kesadaran itu terlalu
normatif, padahal pada batas-batas tertentu wilayah sastra tidak melulu
berwatak normatif. Kadangkala sastra juga berwatak subversif ketika
menghadapi kemapanan yang membusuk. Ia juga memberi nilai lebih pada
sisi manusia. Dengan kata lain, sastra sebagaimana pemikiran dan tafsir
lain yang bersumber pada agama adalah hasil dari pemikiran dan olah
pikir manusia.
Hanya saja, ketika hal itu ditarik pada tafsir
kekinian dengan mengaitkannya pada konteks jaman, maka tidak bisa
dipungkiri bahwa harus ada beberapa tahapan dalam penafsiran. Apalagi,
dalam perkembangannya sastra juga menempati posisi sentral daalam
hubungannya dengan iman (Islam). Apalagi jika menengok sejarah sastra
sufi di negara-negara Islam, terutama Persia. Maka perlu ada pembacaan
ulang terhadap konstruksi sastra-iman dalam konteks kekinian agar sastra
tidak terjebak khotbah dan menghilangkan manusia dari sastra.
Pertemuan Puisi dan Iman
Dalam
khasanah sastra dunia, genre sastra sufi adalah sebuah genre yang
mengakar kuat dalam studi kesastraan Timur, baik yang dilakukan oleh
para orientalis, maupun orang Timur sendiri. Di dalamnya, juga termaktub
pernyataan munajat, atau ‘ungkapan’ ektase kepada Sang Khalik. Dalam
masa-masa inilah pertemuan antara sastra dan iman terjadi dengan karib
dan mesra.
Seorang sufi biasa mendendangkan
ungkapan-ungkapan/ekspresi ke-Tuhanannya dalam bentuk syair. Maulana
Jalaludin Rumi, Faridudin Atthar dan lainnya, adalah sebagian contoh
untuk itu. Hanya saja, dalam hal ini, posisi mereka tidak bisa langsung
vis a vis dengan penyair umumnya. Pasalnya, ungkapan ektase atau fana’
itu bukan ditujukan untuk bersyair, meski kapasitasnya adalah syair,
karena mereka mengungkapkannya sebagai kerinduan seorang makhluk pada
Sang Khalik dan menganggap syair sebagai dzikr. Selain itu, jika untaian
ungkapan itu diungkap lewat syair, karena dengan kebertataan bahasa
yang indah bisa menyentuh dan luruh ke sukma. Bukankah Alquran juga
mengandung nilai sastra dan syair yang tinggi? Sejarah telah mencatat,
para sufi telah melahirkan begitu banyak puisi. Tentu ini berbeda dengan
penyair yang nyufi.
Dalam dunia sufi juga dikenal dengan karya
berbentuk syair, baik itu matsnawi, rubaiyat, baik dalam bentuk ghazal
atau diwan. Namun, harus dipahamu, bahwa syair tersebut sebagai sebuah
dzikir. Menurut Muhammad Isa Waley, penggunaan syair untuk menyokong
zikir didokumentasikan cukup baik, tentu dalam konteks sama’ (mendengar
suara ilahi secara bersama). Contoh yang paling dikenal adalah karya
Jalaludin Rumi (1207-1273) yakni Diwan Syamsi Tabriz. Syair disusun
secara berirama dalam beberapa naskah, ‘tentu saja untuk memudahkan dan
mensistematisasikan untuk digunakan dalam sama’.” Bahkan, penggunaan
syair tunggal sebagai metode dzikr dengan mengasingkan diri sangat tidak
lazim, juga sempat terekam dalam jejak sufi kembara, seperti kasus wali
besar khurasan Abu Said bin Abi Khoir (w. 1049).
Syairnya yang terkenal adalah:
‘Tanpa-Mu, wahai kekasih, aku tak dapat tenang;
Kebaikanmu terhadapku tiada terhingga banyaknya
Sekalipun setiap rambut dalam tubuhku menjadi lidah,
Ribuan syukur ke atas-Mu tidaklah akan mampu menyebutkannya’
Abu
Said senantiasa mengulang syair itu. Dan ia berkata: “Atas keberkahan
yang terkandung dalam syair tersebut, jalan menuju Tuhan terbuka lebar
pada masa kanak-kanakku”.
Terkait dengan masalah doa dalam bentuk
puisi dalam dunia sufi, Anemarie Schimmel menegaskan, gagasan bahwa doa
adalah karunia Tuhan dapat dipahami dengan tiga cara yang berbeda,
sesuai dengan konsep tauhid yang dianut dan dilaksanakan oleh sang sufi:
a. Tuhan Sang Pencipta telah menakdirkan setiap kata doa; b. Tuhan yang
bersemayam di hati manusia, menyapa dia dan mendorong supaya dia supaya
menjawab; atau c. Tuhan Sang Wujud Tunggal adaah tujuan doa dan
kenangan dan juga subyek yang mendoa dan mengenang. Perasaan bahwa
memang doa itu diilhami oleh Tuhan, agaknya amat berkesan di antara
generasi-generasi sufi yang pertama. Sangat dimungkinkan bila dalam
hageografi sufi, terdapat kisah-kisah yang memuat bagaimana doa khusus
itu langsung diajarkan oleh malaikat kepada seorang sufi/wali
bersangkutan.
Bertumpu pada Spirit
Terkait
dengan hubungan sastra dan iman (Islam), yang menarik adalah apa yang
diungkapkan Sayyed Hossein Nasr, seorang pemikir Iran terkemuka. Secara
implisit, ia menegaskan, seni Islam merupakan seni yang tumbuh dan
berkembang di beberapa kawasan Islam, yang menggambarkan bagaimana
kedalaman dan ketinggian spiritual Islam. Ada unsur yang melekat di
dalamnya yaitu unsur spiritualitas. Seni ini jumbuh dan membaur dalam
rangka sublimitas dari sebuah kerangka pendalaman dan penghayatan
beragama. Sang Khalik sendiri sudah me-nash diri sebagai Al Jamal (Yang
Maha Indah), sehingga dalam menyapanya juga seyogyanya dengan bahasa
yang indah.
Tentu keindahan yang dimaksudkan adalah keindahan
yang berdarah-daging sebagaimana manusia sebagai makhluk historis. Agar
ketakutan yang diungkap oleh Afrizal Malna dalam tulisan ini tidak
terejawantahkan dalam hidup kita kini, ketika tafsir Tuhan itu demikian
parsial dan bermuara pada tafsir tunggal.
Wallahu muwafiq ila aqwamit thariq!
* Tulisan ini pernah dimuat di Surabaya Post.