Poetry Battle: Undangan Persahabatan

Wednesday, 28 December 2011

dalam pagi menjelang pukul batu berjejer delapan
apakah kau datang dalam kenangan kebersamaan 4 tahun yang lalu?

sederet rupa hampir hilang
akan terkejar waktu yang fana, kemudian kita bersua
 tak adakah sepincuk surat bersinyal menghampirimu
? (dalam tanyaku)

ataukah kau tak bersinyal sekarang
adalah berupa deretan huruf dalam hape
sinyal itu, membuat bergetar ingin bersua
terima kasih bertubi mengingatkan
deru langkah menyertai perjalanan kisah kita, temanteman
gelak tawa kita tertinggal dan terukir disana sobat
beranda depan basah
sehabis hujan kemaren
bertandang irama kisah
persahabatan tiada yang lain
pelangi senja baru membuat langit biru
kisah kasih sahabat membuatku haru
dalam diam terhenyak, tibatiba muncul sekelebat bayang
wajah teman disana apa kabarnya?
mereka
tentu saja entah apa mereka
aik berjasad atau berbayang
kita ada di sang pemikir dan perasa mereka

Ruang Maya, 24 Desember 2011

Bembi (tegak) - Ekohm Abiyasa (miring)

*dalam sebuah chat fb
Selengkapnya: Poetry Battle: Undangan Persahabatan

(Esai) Esai Tentang Dunia: Puisi dan Iman

Puisi dan Iman

Oleh Mashuri*

“Tapi aku tidak bisa menulis puisi kalau engkau menjamu tuhan dengan membunuh yang lain”

Afrizal Malna, dalam puisi Taman Bahasa

Puisi jelas berbeda dengan iman, tapi kadang juga bertemu dalam sebuah perjumpaan mesra. Tapi jangan andaikan pertemuan itu seperti sendok dan garpu di sebuah piring di meja makan, karena pertemuan itu kadang bisa berupa ngengat dan kertas, paku dan kayu, bahkan bisa serupa minyak dan air. Meski bisa pula bertemu seperti sepasang kekasih di ranjang pengantin. Tentu semua itu terkendali dalam ruang kemanusiaan. Tertemali oleh perspektif: kita ingin memanfaatkan puisi atau ingin membebaskannya dari pesan iman. Atau, kita ingin berpuisi dalam tudung iman. Kiranya, di situlah akar masalahnya ketika kita berhasrat memahami puisi-puisi modern yang berkumpar dan berpusat pada manusia.

Dalam konteks pemikiran modern, berpuisi adalah laku subyektif terhadap dunia, sebagaimana iman yang laku subyektif terhadap Tuhan. Keduanya adalah rentetan peluru yang berdesing dalam diri manusia yang sulit ditampik-musnahkan, karena keduanya mengandung jejak rekam dinamika kejiwaan yang menyusun psike manusia. Keduanya terselip dalam arketipe yang kadang jumbuh/saling tolak di dasar jiwa, yang kadang bisa berganti rupa begitu lewat ambang sadar dan kontrol diri.

Puisi Subversif Terhadap Iman?

Meski demikian, dalam sejarah manusia, pertemuan puisi dan iman adalah pertemuan yang indah. Kitab suci agama-agama besar begitu sastrawi dan puitis. Kisah-kisah yang teruntai dalam narasi pun termetrum dalam puisi. Bhagavad Gita, Al Kitab dan Alquran adalah contoh-contoh bagaimana Tuhan mengomunikasikan sabda lewat bahasa-bahasa puitis. Tuhan yang Jamal (Sang Maha Indah) itu telah merepresentasikan kalamnya dengan indah pula. Fakta tekstual atau meta tekstual ini kadang memang bisa menepis anggapan bahwa puisi itu bersifat subversif terhadap iman. Dalam Islam, hubungan iman dan puisi bergrafik naik-turun.

Watak subversif puisi terhadap iman-tauhid Islam itu bisa terdeteksi pada awal kemunculan Islam di Jazirah Arab. Pada masa-masa itu, perkembangan puisi pra Islam di Arab memang sudah taraf yang luar biasa. Penyair disebut-sebut sebagai Nabi tanpa wahyu yang bisa menjadi penghubung ‘langit’ dan alam raya. Festival puisi pra Islam di sekitar Ka’bah tahunan adalah bukti betapa maraknya puisi di jaman itu. Kemunculan Alquran yang puitis pun dianggap mengancam keberadaan mereka dan sampai kini pun disebut sebagai kitab syair terbesar. Kehadiran Alquran pun ‘mengancam’ eksistensi para penyair itu.

Bahkan dalam surat Asy-Syuara, Alquran dengan lantang menabuh genderang perang terhadap para penyair. Terdapat peringatan yang sangat tegas bagi para penyair yang menyimpang dari jalan Tuhan. Dengan sebuah ancaman yang tidak main-main, bahwa penyair itu bakal mendapatkan siksa.

Bagi kalangan formalis yang memegang syariat Islam secara doktriner, pehamanan pada beberapa data dan ayat yang mengacu pada kebebasan kreasi itu pun ditafsirkan secara harfiah. Artinya, tafsir yang berlaku adalah tafsir tunggal tanpa berusaha meruyak kembali adanya wacana dan konteks jaman yang berlaku. Mereka menganggap bahwa apa yang sudah di-nash (meski kadarnya mutasyabbihat) dan tidak bisa diganggu gugat, sebagai dalil yang sudah terabsahkan. Hanya saja, kesadaran itu terlalu normatif, padahal pada batas-batas tertentu wilayah sastra tidak melulu berwatak normatif. Kadangkala sastra juga berwatak subversif ketika menghadapi kemapanan yang membusuk. Ia juga memberi nilai lebih pada sisi manusia. Dengan kata lain, sastra sebagaimana pemikiran dan tafsir lain yang bersumber pada agama adalah hasil dari pemikiran dan olah pikir manusia.

Hanya saja, ketika hal itu ditarik pada tafsir kekinian dengan mengaitkannya pada konteks jaman, maka tidak bisa dipungkiri bahwa harus ada beberapa tahapan dalam penafsiran. Apalagi, dalam perkembangannya sastra juga menempati posisi sentral daalam hubungannya dengan iman (Islam). Apalagi jika menengok sejarah sastra sufi di negara-negara Islam, terutama Persia. Maka perlu ada pembacaan ulang terhadap konstruksi sastra-iman dalam konteks kekinian agar sastra tidak terjebak khotbah dan menghilangkan manusia dari sastra.

Pertemuan Puisi dan Iman

Dalam khasanah sastra dunia, genre sastra sufi adalah sebuah genre yang mengakar kuat dalam studi kesastraan Timur, baik yang dilakukan oleh para orientalis, maupun orang Timur sendiri. Di dalamnya, juga termaktub pernyataan munajat, atau ‘ungkapan’ ektase kepada Sang Khalik. Dalam masa-masa inilah pertemuan antara sastra dan iman terjadi dengan karib dan mesra.

Seorang sufi biasa mendendangkan ungkapan-ungkapan/ekspresi ke-Tuhanannya dalam bentuk syair. Maulana Jalaludin Rumi, Faridudin Atthar dan lainnya, adalah sebagian contoh untuk itu. Hanya saja, dalam hal ini, posisi mereka tidak bisa langsung vis a vis dengan penyair umumnya. Pasalnya, ungkapan ektase atau fana’ itu bukan ditujukan untuk bersyair, meski kapasitasnya adalah syair, karena mereka mengungkapkannya sebagai kerinduan seorang makhluk pada Sang Khalik dan menganggap syair sebagai dzikr. Selain itu, jika untaian ungkapan itu diungkap lewat syair, karena dengan kebertataan bahasa yang indah bisa menyentuh dan luruh ke sukma. Bukankah Alquran juga mengandung nilai sastra dan syair yang tinggi? Sejarah telah mencatat, para sufi telah melahirkan begitu banyak puisi. Tentu ini berbeda dengan penyair yang nyufi.

Dalam dunia sufi juga dikenal dengan karya berbentuk syair, baik itu matsnawi, rubaiyat, baik dalam bentuk ghazal atau diwan. Namun, harus dipahamu, bahwa syair tersebut sebagai sebuah dzikir. Menurut Muhammad Isa Waley, penggunaan syair untuk menyokong zikir didokumentasikan cukup baik, tentu dalam konteks sama’ (mendengar suara ilahi secara bersama). Contoh yang paling dikenal adalah karya Jalaludin Rumi (1207-1273) yakni Diwan Syamsi Tabriz. Syair disusun secara berirama dalam beberapa naskah, ‘tentu saja untuk memudahkan dan mensistematisasikan untuk digunakan dalam sama’.” Bahkan, penggunaan syair tunggal sebagai metode dzikr dengan mengasingkan diri sangat tidak lazim, juga sempat terekam dalam jejak sufi kembara, seperti kasus wali besar khurasan Abu Said bin Abi Khoir (w. 1049).

Syairnya yang terkenal adalah:
‘Tanpa-Mu, wahai kekasih, aku tak dapat tenang;
Kebaikanmu terhadapku tiada terhingga banyaknya
Sekalipun setiap rambut dalam tubuhku menjadi lidah,
Ribuan syukur ke atas-Mu tidaklah akan mampu menyebutkannya’
Abu Said senantiasa mengulang syair itu. Dan ia berkata: “Atas keberkahan yang terkandung dalam syair tersebut, jalan menuju Tuhan terbuka lebar pada masa kanak-kanakku”.

Terkait dengan masalah doa dalam bentuk puisi dalam dunia sufi, Anemarie Schimmel menegaskan, gagasan bahwa doa adalah karunia Tuhan dapat dipahami dengan tiga cara yang berbeda, sesuai dengan konsep tauhid yang dianut dan dilaksanakan oleh sang sufi: a. Tuhan Sang Pencipta telah menakdirkan setiap kata doa; b. Tuhan yang bersemayam di hati manusia, menyapa dia dan mendorong supaya dia supaya menjawab; atau c. Tuhan Sang Wujud Tunggal adaah tujuan doa dan kenangan dan juga subyek yang mendoa dan mengenang. Perasaan bahwa memang doa itu diilhami oleh Tuhan, agaknya amat berkesan di antara generasi-generasi sufi yang pertama. Sangat dimungkinkan bila dalam hageografi sufi, terdapat kisah-kisah yang memuat bagaimana doa khusus itu langsung diajarkan oleh malaikat kepada seorang sufi/wali bersangkutan.

Bertumpu pada Spirit

Terkait dengan hubungan sastra dan iman (Islam), yang menarik adalah apa yang diungkapkan Sayyed Hossein Nasr, seorang pemikir Iran terkemuka. Secara implisit, ia menegaskan, seni Islam merupakan seni yang tumbuh dan berkembang di beberapa kawasan Islam, yang menggambarkan bagaimana kedalaman dan ketinggian spiritual Islam. Ada unsur yang melekat di dalamnya yaitu unsur spiritualitas. Seni ini jumbuh dan membaur dalam rangka sublimitas dari sebuah kerangka pendalaman dan penghayatan beragama. Sang Khalik sendiri sudah me-nash diri sebagai Al Jamal (Yang Maha Indah), sehingga dalam menyapanya juga seyogyanya dengan bahasa yang indah.

Tentu keindahan yang dimaksudkan adalah keindahan yang berdarah-daging sebagaimana manusia sebagai makhluk historis. Agar ketakutan yang diungkap oleh Afrizal Malna dalam tulisan ini tidak terejawantahkan dalam hidup kita kini, ketika tafsir Tuhan itu demikian parsial dan bermuara pada tafsir tunggal.
Wallahu muwafiq ila aqwamit thariq! 

* Tulisan ini pernah dimuat di Surabaya Post.

Selengkapnya: (Esai) Esai Tentang Dunia: Puisi dan Iman

(Fiksimini) Bertemu Teman di Suatu Majlis

Thursday, 15 December 2011


"Hey pelan-pelan!," ucap temanku.
"Yah, didepan kencang, ga bisa ngikutin ntar"

Sesampainya ditempat majlis, memilih tempat duduk. Banyak orang. Tentram kupandang. Baliho besar terpampang didepan. Dipanggung kehormatan.

"Hey, Ko..!," sapa seorang teman lama. "Hey, disini juga ternyata kamu?"

Percakapan hening. Merapikan penat sampai ditujuan nanti ya. Kami pulang ke beranda masing-masing.

Karanganyar, 12 Desember 2011

* Maryoto aka Othot. Seorang teman kurus kering. Giat bekerja. Bertemu kembali saya dan dia. Minggu akhir ini sering muncul kelebat bayang dia. Ya akhirnya ketemu. Bukan permainan otak. Nice!
Selengkapnya: (Fiksimini) Bertemu Teman di Suatu Majlis

Ibu, Kasih yang Tak Ternilai (Perfect World Indonesia: Event Terima Kasih Ibu, 24 Desember 2011 )

Wednesday, 7 December 2011

Pic from here
Ibu,
namamu berdenyut dalam nadiku
membakar rindu dimalam sunyi
mengalir butiran air mata menuntun kaki

Ibu,
derita mana yang lebih perih dari pengorbananmu
segala ucap dan keringat selama ini
tak mampu hanya kukagumi

Ibu,
serupa apa kasih yang kau beri padaku
tak ternilai kiranya, tak terbalas apa yang kauberi
namun ijinkan aku membuatmu tersenyum suatu saat nanti

Karanganyar, 7 Desember 2011

*) Ekohm Abiyasa

Masuk 3 besar Perfect World Indonesia: Event Terima Kasih Ibu

Selengkapnya: Ibu, Kasih yang Tak Ternilai (Perfect World Indonesia: Event Terima Kasih Ibu, 24 Desember 2011 )

Poetry Battle: Seperti Lelaguan

Sunday, 4 December 2011

mencintaimu, seperti mencintai sebuah lelaguan yang kusuka
ada geletar apa didalam darah
berdebardebar memunculkan gairah
tentang kerinduan yang terpendam ingin bersua

kadang dirimu terlalu asing
dan dalam hati tak yakin
seperti mengejar layanglayang yang terputus oleh persaingan
kapan rindu berkesudahan ?

mungkin kamu memang layang-layang itu
yang terputus.. kukejar.. dan ingin kumainkan kembali..
mungkin rindu itu sendiri adalah jelmaan lain dari layang-layang..
ditarik ulur..
kadang muncul.. kadang menghilang

aku hanya ingin berucap kata sederhana saja
"pulangkah engkau malam ini?"
keping rindu yang kau titipkan kemarin senja
belum tuntas kurenda tanpa ada kau disini


kemana lagi aku akan berpulang bila bukan pada dekapan tanganmu?
dalam waktu-waktu aku terus saja sibuk menduga-duga
apakah telah kau bentangkan tanganmu lebar-lebar menyambutku pulang?
karena rindu yang bertepuk sebelah tangan seperti kesepian kan?
 

malam siap menyambut kepulanganmu
begitu sunyi sesunyi hutan belantara
cekam yang ada, mengganggu tidur pulasku

dengan tangan terbuka pula ku rengkuh keringatmu
begitu redam rerinduan yang kurenda
tenggelam dalam hangat pelukmu
 

dan hujan yang turun membasahi halaman
turut menyaksikan keheningan malam yang kita buat
malam yang sunyi, malam yang hangat
kita resapkan rerinduan dalam mimpi yang berpagutan
 

Karanganyar, 4 Desember 2011

*) Uchie (tegak) -  Ekohm Abiyasa  (miring)

Taken from my facebook.
Selengkapnya: Poetry Battle: Seperti Lelaguan

Poetry Battle: Jam yang Retak (Detak yang Retak)

Saturday, 26 November 2011


/1/
.
"tak"
...
"tak"
...
"tak"

mengentak
meruak
rata..

aku terjebak
aku terhenyak

ini apa?

...
"tak"
..
"tak"
..
"tak"

Semakin banyak!

Ruang Maya,
Nov 26, '11 5:52 AM

*) Zelva Wardi

/2/
kukira retak
hanya menggertak
dalam sepihak

kukira tak
hanya mengertak
denyut berdetak
jam retak

Ruang Maya, 26 November 2011

*) Ekohm Abiyasa

Taken from multiply.
Selengkapnya: Poetry Battle: Jam yang Retak (Detak yang Retak)

Poetry Battle: Segala Tentangmu

segala tentangmu / menjelma puisi / pahit yang legit

sunyi yang kau beri
tak sesunyi rona pelangi
diambang mimpi, yang terputus arteri


Ruang Maya, 26 November 2011

*) Nana Podungge (tegak) - Ekohm Abiyasa (miring)

Taken from note's multiply.
Selengkapnya: Poetry Battle: Segala Tentangmu

Poetry Battle: Sepotong Senja di Pagi Hari

Monday, 31 October 2011

engkau mengirimiku sepotong senja di pagi hari
saat kaca jendela mobil yang kutumpangi masih di bekasi
embun dan jejak gerimis disepanjang jalan

dan kita bisa menikmati bersama
memesan senja diufuk hati
berguling dalam keindahan rona jingga
memendam ketiadaan dalam kerenyahan tawatawa yang melupa sunyi


alangkah indahnya jika setelah fajar menapak pagi
kemudian tenggelam menjadi senja dalam waktu yang satu
bukankan mereka sama-sama jingga?
sama-sama awal dari segala waktu yang menyembunyi sunyi?

adakalanya senyum buat seseorang yang dirundung kelabu
dimalamnya yang sesunyi kapas dia merenggut sarisari bunga
ditenggelamkan dalam kesedihan yang menyatu
pesanpesan dalam botol masa lalu kita, masihkah kau mengingatnya?


tentu saja aku masih ingat pesanpesan yang pernah kita buat
saat kita berjalan tanpa kepala dan napasnapas kita tercekat di dalam botol menunggu lepas
hei, engkau yang membicara senja menjelang tiga pagi, ini malam kita masih tanpa kepala
berjalan bersama menuju hampa

 sepasang kepak sayap cahaya diatas sana
turun membelai angin lembut mengitari atas kepala kita
menarinari kita dibuatnya
berapa senja ini kita melupa setiup napas yang hilang dari riwayat lelaguan
berlepasan sendiri pasirpasir menuju tempat terbuang
mengapung mempertimbangkan pesanpesan berlepasan


 Ruang Maya, 31 Oktober 2011

*) Jee Asha (Tegak) - Ekohm Abiyasa (Miring)

Taken from here. 

Next http://siteruterubozu.wordpress.com/2011/11/04/dalam-episode-perjalanan/
Selengkapnya: Poetry Battle: Sepotong Senja di Pagi Hari

Poetry Battle: Senja di Kotamu

aku masih ingat semburat jingga yang menembus kacakaca jendela di dalam bus yang kita tumpangi
engkau duduk di sebelahku,
hanya diam mengeja letih di balik kedua kelopak matamu yang tertutup
dan aku hanya tersenyum menikmati senjakala sambil menghitung waktu dan jarak
ah, senja di kotamu selalu penuh kisah ya

semburat memainkan kata atau jemari di kaca jendela rumah
kian tenggelam rona jingga
dia tetap setia pada lelaguan amarah
yang tertimbun dalam dada

Ruang Maya, 31 Oktober 2011

*) Jee(tegak) - Ekohm Abiyasa(miring)

From here.
Selengkapnya: Poetry Battle: Senja di Kotamu

Poetry Battle: Kesetiaan dan Pencundang

Sunday, 30 October 2011

aku ingin kau menemaniku hingga tuhan memanggil
walau usia berjarak asia dan afrika
namun aku tetap setia..

setia yang berjarak atau bertepi
luka menganga tiada peduli
pada apa diri membasah hati
ditemaram senja yang menyeret birahi


hingga pulau berkembang biak dan gunung tumbuh dewasa

meski pula menelan pil pahit
segalanya kadang terasa rumit
waktu-waktu yang terserat membunuh pelan
siapa pencundang?


nurani yang mengerti hati yang tahu siapapun itu kehidupan akan menjawabnya

seperti keterasingan adanya

mereka tak tahu siapa sesungguhnya sunyi
kita tawar menawar atau berkelana
suatu keindahan tersendiri menyelami semburat hati

Ruang Maya, 30 Oktober 2011

*) Catur Mulyadi (Tegak) - Ekohm Abiyasa (Miring)

From here.
Selengkapnya: Poetry Battle: Kesetiaan dan Pencundang

Poetry Battle: Cinta Bagiku

Saturday, 15 October 2011

bagiku cinta sederhana saja
melihatmu tersenyum bagaimanapun caranya
itu cukup

dan akupun punya cara yang sederhana pula
menuliskan namamu dalam lembar kertaskertas sudah cukup rasanya
namun apakah kita hanya cukup berdiam menuntut angin yang berlalu lalang membawa butirbutir cinta
sementara kita hanya tersenyum dalam keengganan meraihnya

apakah cinta masih harus disampaikan
jika lambaian tangan sudah pasti dia berikan
cintaku adalah doa yang tak putus-putus
cintaku adalah diam
melihat dari kejauhan
itu cukup

kadang pula kita harus melempar dadu
tapi
kadang pula kita berdiam menganyam yang kita cintai dengan haru

di sini
lewat kediaman ini
aku sedang membangun syarat-syarat
kediamanku harus ditukar dengan sesuatu yang paling kuinginkan
kebahagianmu
tidak ada yang lain
itu saja cukup

dan jalan kita membentang luas
namun tetap meyakini akan satu hal
bahwa cinta dapat disemat dalam hati yang merindu hujan desember dua belas
keyakinan mengurai jalanjalan terjal

Ruang Maya, 15 Oktober 2011

*) Uchi(tegak) - Ekohm Abiyasa(miring)

Selengkapnya: Poetry Battle: Cinta Bagiku

(Fiksimini) Nenek Penjual Gethuk

Thursday, 6 October 2011

Pagi-pagi benar simbah itu berjalan menuju pasar. Berbekal seperangkat tengggok dan gethuk made in sendiri. Aku menelan lidah sendiri. Berasa tertimpa benda besar dan berat kepala ini. Betapa hidup berjalan tiada henti.

Karanganyar, 6 Oktober 2011

*) Ekohm Abiyasa
Selengkapnya: (Fiksimini) Nenek Penjual Gethuk

Kumpulan Kutipan Pramoedya Ananta Toer

Tuesday, 4 October 2011

"Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya." (Minke, 202) Sumber.

"Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai." (Magda Peters, 233) Sumber.

Lebih lengkap:
https://www.goodreads.com/author/quotes/101823.Pramoedya_Ananta_Toer
http://contoh.org/kumpulan-kutipan-pramoedya-ananta-toer-terbaik.html
http://quotetokoh.blogspot.com/search/label/Pramoedya%20Ananta%20Toer
Selengkapnya: Kumpulan Kutipan Pramoedya Ananta Toer

Poetry Battle: Jurang dan Kesetiaan

Sunday, 2 October 2011

jangan dekat-dekat jurang
aku takut bila kamu jatuh terlalu dalam aku tak bisa lagi menarikmu keluar
Uchi

ya biarkan saja
Musayka

bila aku membiarkannya, aku akan kehilangan dia selamanya
Uchi

butuh waktu lama untuk mengeluarkan aku dari jurang itu
kau tahu? apa makna kesetiaan?

ya kau tahu, tapi semua berubah ketika negara api menyerang..
Ekohm

kau tidak seharusnya jatuh kalau begitu
Uchi

maka kaupun memegang erat tangannya
tak ingin dia pergi untuk selamanya
bukankah hati ini akan terlalu risau bila harus mengenangmu
ketika hujan senja sayup menemani riak hati
Ekohm

Ruang Maya, 2 Oktober 2011

From multiply.
Selengkapnya: Poetry Battle: Jurang dan Kesetiaan

Poetry Battle: Kalaulah Galau

Wednesday, 28 September 2011

galau
Uchi

kalaulah galau, meratap pisau diujung pena
tinta bercucuran
berhenti pada titik hijau, sang lelah menangkup kata
pemberhentian pada lingkaran yang berputarputar mengasingkan
Ekohm

bebunyian ini terlalu bising
denyut-denyut terlalu kuat menari di kepalaku
galaaaauuuu
Uchi

galaumu mengangkasa
ditampih petir jatuh menggelepar
menjadi abu lalu hilang terembus air hujan

Cakrawala tak hanya diam membisu
Hutan tak pernah rela disembilu
Air, udara, daun dan akar adalah satu
dihisap dirinya
diperkosa wujudnya
lalu dibunuh begitu saja
Musayka

andai penghisapan bisa menyerap semua ampas dan sisa yang berkelebat di kepala
andai setan-setan yang bergentayangan dalam dada bisa dibunuh secara massal.
aku pastilah telah bersujud dalam agung ketenangan.
Uchi

gemuruh suarasuara memenuh seisi ruang kepala
tak terhitung berapa debu menghinggap
filter sedang rusak, aduh kemana perginya senja
mengental keraslah ruangan disegala mata yang kuserap
Ekohm

Ruang Maya, 27 September 2011

From here

Para pemain Uchi, Musayka dan Ekohm Abiyasa 
Selengkapnya: Poetry Battle: Kalaulah Galau

(Fiksimini) Seorang Nenek

Wednesday, 7 September 2011

Seorang nenek berjalan dipinggir jalan dan seorang bapak mengasah pisau didepan toko bambu miliknya. Matahari memeluk keringat mereka.

Bekonang, 7 September 2011 

*) Ekohm Abiyasa
Selengkapnya: (Fiksimini) Seorang Nenek

Taman Telah Sunyi (SOLOPOS, 15 Mei 201)

Wednesday, 18 May 2011

menghitung deru napasmu
berhamburan setiupsetiup seperti semerbak bunga taman
beterbangan diudara
penuh seluruh memandang

tak ada lagi ceritacerita tentangmu
yang seperti drama sinetron, katamu

kutunggu deru jejak di jalan itu
yang sering kita lewati bersama ketika senja menghangat

detikdetik habis pula kisah
taman telah sunyi
tiada lagi kudengar napasmu menggelora ditelingaku
senja telah menggigil
pada ruh yang terpanggil
tak ada perkabungan
tak ada bunga kamboja sebagai pemisah jarak antara aku dan hasratmu

Karanganyar, 30 Oktober 2010


*) Ekohm Abiyasa

** Dimuat SOLOPOS
Edisi : Minggu, 15 Mei 2011 , Hal.IV
Selengkapnya: Taman Telah Sunyi (SOLOPOS, 15 Mei 201)

Prasasti Abjad (SOLOPOS, 15 Mei 2011)

meredup cahaya senja
lampulampu menyala
waktu makan malam telah tiba
tersaji diatas meja

sendok berubah pena
piring menjadi kertas yang siap menampung katakata

temaram cahaya
hurufhuruf beterbangan diatas kepala
berjejal mengantri begitu lama
memahatkan diri pada rindu menjadi prasastiprasasti abjad

habis sisa perjamuan
hurufhuruf hilang musnah kemana entah
berderetderet kata dan kalimat memenuhi ruang
mencatatkan diri pada sejarah

sendok masih menjadi pena
dan piring telah membatu menjadi prasastiprasasti indah

Karanganyar, 5 April 2011

*) Ekohm Abiyasa

** Dimuat SOLOPOS
Edisi : Minggu, 15 Mei 2011 , Hal.IV
Selengkapnya: Prasasti Abjad (SOLOPOS, 15 Mei 2011)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas