Adakah mereka yang baru belajar menulis langsung pintar menulis? So
pasti tak ada, bukan? Disebut orang berbakat sekali pun, tetap saja
hambatan menulis itu bakal muncul. Maka, tak ada jalan lain selain
mengatasi hambatan itu dengan menemukan solusinya. Jika dibiarkan,
faktor penghambat itu bakal mematikan keinginan seseorang menjadi
penulis. Untuk itu, mari kita kenali kesulitan yang jamak dialami para
calon penulis dan menemukan cara mengatasinya.
Pertama, menulis tentang apa?
Ini mengenai ide tulisan. Jawaban terbaiknya adalah dengan membaca
buku, koran, majalah, dan sumber informasi lainnya. Dengan rajin
membaca, gagasan untuk bahan tulisan akan mudah didapat. Selagi kita
membaca sebuah buku atau koran, misalnya, bisa saja tiba-tiba pikiran
kita memunculkan ide tertentu yang cocok untuk ditulis. Begitu ide itu
muncul, segera ambil sehelai kerta, tulis ide utamanya. Setelah itu, kembangkan menjadi artikel yang lengkap.
Kedua, tulisanku nggak layak! Ini kendala psikologis yang acap menyerang batin sang calon penulis yang merasa tulisannya tak layak di-upload atau dimuat oleh sebuah media. Kelihatannya
rendah hati, tapi harus hati-hati. Kalau dibiarkan berarti vonis mati
bagi karier penulisan seseorang. Kelayakan atau ketidaklayakan sebuah
tulisan ditentukan oleh redaksi sebuah media. Kewajiban kita hanyalah
menulis sebaik yang kita bisa, lalu mengirimkannya ke media. Biarlah
media yang kita kirimi tulisan itu yang menilai.
Ketiga, nantilah kalau aku sudah banyak ilmu. Banyak calon penulis yang enggak pede saat memulai menulis. Dia merasa ilmunya belum cukup untuk menjadi penulis. Dalihnya, “nanti sajalah setelah pengetahuanku lebih luas, lebih banyak.” Mengatasi hal ini, terapkan saja jurus learning by process,
belajar dengan mengerjakannya. Dengan begitu, tak perlu kita menunggu
menjadi “orang berilmu tinggi” terlebih dahulu baru menulis.
Keempat, malas melakukan editing. Hal ini termasuk kendala yang jamak terjadi dengan alasan toh redaksi
yang akan mengeditnya. Gara-gara malas melakukan editing atau koreksi,
tulisan yang terkirim akhirnya masih mengandung sejumlah kesalahan.
Alhasil, tulisan kita ditolak oleh redaksi media. Seyogianya, sebelum
dikirim, kita harus memastikan bahwa artikel itu adalah hasil terbaik yang kita bisa lakukan. Jadi, nggak bisa sekadar editing. Kunci keberhasilan sebuah karya terletak pada aspek koreksian ini. Dengan
mengoreksi secara cermat dan berulang-ulang membuat sebuah artikel kian
bersih dari kesalahan, kian bernas, dan kian membuka peluang bagi
pemuatannya.
Kelima, bosan mencoba, nggak kunjung dimuat. Keadaan
ini biasa dialami oleh mereka yang baru masuk ke dunia penulisan.
“Berkali-kali saya mengirim tulisan ke koran, tapi tetap saja tidak
dimuat. Saya bosan, bosan sekali. Saya jadi malas menulis.” Sepert
itulah keluhan yang acapkali terdengar. Memang, menulis pun memerlukan
daya juang yang tinggi dengan proses belajar yang panjang dan konsisten.
Kebosanan menulis bisa menjadi godaan untuk berhenti.
Maka, sebaiknya jangan dituruti. Istirahat saja sejenak, dan setelah
itu, bangkit lagi, menulis lagi dan lagi.
Keenam, nggak bakat.
Ketika tulisan ditolak redaksi sebuah media beberapa kali, timbul
keluhan yang mempertanyakan diri sendiri. “Kayaknya saya nggak berbakat
menulis deh. Tuh buktinya, artikel saya ditolak terus,” begitu
mungkin keluhan itu. Sejatinya persoalan bakat atau tak berbakat tidak
banyak mempengaruhi apakah seseorang berhasil atau tidak berhasil
menjadi penulis. Yang terpenting adalah kesediaan untuk berlatih secara
berkesinambungan. Menulis adalah proses pembelajaran. Jadi, kita mesti belajar dengan berlatih dan menambah wawasan dari waktu ke waktu. Tak ada jalan pintas.
Salam menulis.
( I Ketut Suweca , 20 Desember 2011).
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)