Menulis, Kendala, dan Solusinya

Tuesday 10 April 2012

Adakah mereka yang baru belajar menulis langsung pintar menulis? So pasti tak ada, bukan? Disebut orang berbakat sekali pun, tetap saja hambatan menulis itu bakal muncul. Maka, tak ada jalan lain selain mengatasi hambatan itu dengan menemukan solusinya. Jika dibiarkan, faktor penghambat itu bakal mematikan keinginan seseorang menjadi penulis. Untuk itu, mari kita kenali kesulitan yang jamak dialami para calon penulis dan menemukan cara mengatasinya.
Pertama, menulis tentang apa? Ini mengenai ide tulisan. Jawaban terbaiknya adalah dengan membaca buku, koran, majalah, dan sumber informasi lainnya. Dengan rajin membaca, gagasan untuk bahan tulisan akan mudah didapat. Selagi kita membaca sebuah buku atau koran, misalnya, bisa saja tiba-tiba pikiran kita memunculkan ide tertentu yang cocok untuk ditulis. Begitu ide itu muncul, segera ambil sehelai kerta, tulis ide utamanya. Setelah itu, kembangkan menjadi artikel yang lengkap.
Kedua, tulisanku nggak layak! Ini kendala psikologis yang acap menyerang batin sang calon penulis yang merasa tulisannya tak layak di-upload atau dimuat oleh sebuah media. Kelihatannya rendah hati, tapi harus hati-hati. Kalau dibiarkan berarti vonis mati bagi karier penulisan seseorang. Kelayakan atau ketidaklayakan sebuah tulisan ditentukan oleh redaksi sebuah media. Kewajiban kita hanyalah menulis sebaik yang kita bisa, lalu mengirimkannya ke media. Biarlah media yang kita kirimi tulisan itu yang menilai.
Ketiga, nantilah kalau aku sudah banyak ilmu. Banyak calon penulis yang enggak pede saat memulai menulis. Dia merasa ilmunya belum cukup untuk menjadi penulis. Dalihnya, “nanti sajalah setelah pengetahuanku lebih luas, lebih banyak.” Mengatasi hal ini, terapkan saja jurus learning by process, belajar dengan mengerjakannya. Dengan begitu, tak perlu kita menunggu menjadi “orang berilmu tinggi” terlebih dahulu baru menulis.
Keempat, malas melakukan editing. Hal ini termasuk kendala yang jamak terjadi dengan alasan toh redaksi yang akan mengeditnya. Gara-gara malas melakukan editing atau koreksi, tulisan yang terkirim akhirnya masih mengandung sejumlah kesalahan. Alhasil, tulisan kita ditolak oleh redaksi media. Seyogianya, sebelum dikirim, kita harus memastikan bahwa artikel itu adalah hasil terbaik yang kita bisa lakukan. Jadi, nggak bisa sekadar editing. Kunci keberhasilan sebuah karya terletak pada aspek koreksian ini. Dengan mengoreksi secara cermat dan berulang-ulang membuat sebuah artikel kian bersih dari kesalahan, kian bernas, dan kian membuka peluang bagi pemuatannya.
Kelima, bosan mencoba, nggak kunjung dimuat. Keadaan ini biasa dialami oleh mereka yang baru masuk ke dunia penulisan. “Berkali-kali saya mengirim tulisan ke koran, tapi tetap saja tidak dimuat. Saya bosan, bosan sekali. Saya jadi malas menulis.” Sepert itulah keluhan yang acapkali terdengar. Memang, menulis pun memerlukan daya juang yang tinggi dengan proses belajar yang panjang dan konsisten. Kebosanan menulis bisa menjadi godaan untuk berhenti. Maka, sebaiknya jangan dituruti. Istirahat saja sejenak, dan setelah itu, bangkit lagi, menulis lagi dan lagi.
Keenam, nggak bakat. Ketika tulisan ditolak redaksi sebuah media beberapa kali, timbul keluhan yang mempertanyakan diri sendiri. “Kayaknya saya nggak berbakat menulis deh. Tuh buktinya, artikel saya ditolak terus,” begitu mungkin keluhan itu. Sejatinya persoalan bakat atau tak berbakat tidak banyak mempengaruhi apakah seseorang berhasil atau tidak berhasil menjadi penulis. Yang terpenting adalah kesediaan untuk berlatih secara berkesinambungan. Menulis adalah proses pembelajaran. Jadi, kita mesti belajar dengan berlatih dan menambah wawasan dari waktu ke waktu. Tak ada jalan pintas.

Salam menulis.

( I Ketut Suweca , 20 Desember 2011).

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas