Twitter + Facebook
Ruang Arsip
-
▼
2015
(26)
- April 2015 (6)
- March 2015 (8)
- February 2015 (8)
- January 2015 (4)
-
►
2014
(93)
- December 2014 (2)
- October 2014 (4)
- September 2014 (1)
- August 2014 (6)
- July 2014 (9)
- June 2014 (7)
- May 2014 (4)
- April 2014 (15)
- March 2014 (6)
- February 2014 (13)
- January 2014 (26)
-
►
2013
(126)
- December 2013 (8)
- November 2013 (4)
- October 2013 (11)
- September 2013 (7)
- August 2013 (6)
- July 2013 (12)
- June 2013 (32)
- May 2013 (19)
- April 2013 (2)
- March 2013 (13)
- February 2013 (4)
- January 2013 (8)
-
►
2012
(294)
- December 2012 (18)
- November 2012 (48)
- October 2012 (117)
- September 2012 (2)
- August 2012 (1)
- July 2012 (1)
- June 2012 (3)
- May 2012 (5)
- April 2012 (42)
- March 2012 (24)
- February 2012 (5)
- January 2012 (28)
-
►
2011
(18)
- December 2011 (5)
- November 2011 (2)
- October 2011 (7)
- September 2011 (2)
- May 2011 (2)
-
►
2010
(2)
- October 2010 (2)
-
►
2009
(9)
- December 2009 (1)
- May 2009 (1)
- March 2009 (5)
- January 2009 (2)
-
►
2008
(5)
- September 2008 (1)
- August 2008 (2)
- February 2008 (2)
-
►
2007
(4)
- December 2007 (4)
Ruang Sunyi
Ruang Pengunjung
Translate
Proses Berkarya
Monday, 30 March 2015Diposkan oleh Unknown di 3/30/2015 11:20:00 pm 0 Komentar
Label tips penulisan, tips puisi
Kata-kata dalam Sajak: Masalah Logis dan Tidak Logis
SEORANG penyair berada dalam kata, di luar bahasa, kata Wiratmo Soekito dalam bukunya "Kesusastraan dan Kekuasan" (1984). Dalam menyair, penyair lebih akrab atau mengakrabi efektifitas penggunaan tenaga puitik (power puitic) yang terkandung dalam kata. Justru itu, kalau dilakukan studi khusus tentang penggunaan kata-kata dalam sajak dari beberapa penyair, maka bukan mustahil kita akan menemukan ciri pembeda yang merupakan warna khas sajak setiap penyair. Misalnya, penggunaan kata-kata yang dilakukan penyair Chairil Anwar, akan menunjukkan kekuatan sajaknya sendiri dan menjadi warna khas sajaknya itu. Ini akan berbeda dengan sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Hamid Jabbar, Rusli Marzuki Saria, dan lain-lain.
Dengan melakukan studi terhadap penggunaan kata-kata dalam sajak, berarti kita telah menyediakan (membuka) diri untuk menggumuli “jiwa” yang terkandung di dalam sajak tersebut. Kesempatan ini mengharuskan kita untuk menelusuri daya imaji, emosi dan ide-ide yang ditampilkan penyair lewat sajaknya itu. Sebab, penyair menggunakan kata-kata dalam bermacam-macam kombinasi untuk menampilkan imaji, menyampaikan ide-ide, dan untuk mencetuskan atau melahirkan emosi, kata B.P. Situmorang (1981). Dalam hubungan ini pula, kelak kita akan berurusan dengan masalah diksi (pilihan kata) yang dipergunakan penyair dalam sajaknya. Meski sering diungkapkan (malah secara vokal) oleh masyarakat umumnya, bahwa penggunaan kata-kata dalam sajak sering rancu dan tak beraturan, hingga menyulitkan upaya memperoleh pemahaman, namun sebetulnya ungkapann itu tidaklah selalu benar. Seorang Coleridge, misalnya, dengan tegas menyatakan, “Poetry equalie the best words in the best order” (Puisi sama dengan kata-kata terbaik dalam tata tertib/aturan yang terbaik).
Sungguhpun demikian, keluh-kesah masyarakat dalam memahami sajak selalu saja bergema. Salah satu penyebab timbulnya kondisi itu adalah sulitnya merebut makna dari kata-kata yang ditampilkan penyair dalam sajaknya. Pengertian sulit di sini menjurus kepada tindakan memaknai sebuah kata (secara denotatif) yang sering tak relevan (dan juga tak koherensi) dengan makna kata-kata yang mengikutinya di dalam setiap larik sajak. Kendala seperti ini, terkadang tak sulit dicarikan pemecahannya, asalkan kita mampu memaknai kata-kata yang dianggap sulit itu secara konotatif. Dalam hal ini kita akan akrab bergelut dengan masalah symbol, lambang, kias, dan sejenisnya yang diemban oleh kata-kata tersebut terhadap dunia nyata (realitas) yang sering kita temukan dalam hidup dan kehidupan kita sehari-hari.
Pada titik ini, sampailah kita pada pengertian bahwa upaya memahami sajak –untuk merebut makna yang dikandungnya— merupakan suatu upaya untuk memahami sekaligus mengarifi diri terhadap persoalan-persoalan hidup dan kehidupan yang realis. Di dalam proses ini pula kelak orang sering menghubungkan pengertian-pengertian yang diungkapkan lewat kata-kata ataupun kelompok kata (frasa) di dalam sajak, dengan kenyataan-kenyataan yang lumrah ditemui, dialami dalam kehidupan sehari-hari yang realis itu. Lewat kaca-banding ini pula kemudian masyarakat (minoritas) penikmat sajak, akan bersua dengan masalah logis dan tidak logisnya pengertian kata-kata dan frasa di dalam sajak dengan realitas keseharian. Sering pula lahir pendapat, kalau makna kata-kata dalam sajak relevan dengan kenyataan hidup keseharian, maka sajak itu tergolong baik, dan begitu pula sebaliknya.
Mencari hubungan/kaitan logis dan tidak logisnya makna kata-kata/frasa yang digunakan dalam sajak dengan realitas objektif, merupakan suatu tindakan yang kurang menguntungkan untuk dipelihara. Sikap dan tindakan begini kurang lebih berarti mempersempit ruang-gerak pemahaman sebuah sajak yang hakiki; apalagi untuk menjatuhkan vonis baik atau jeleknya sajak tersebut. Adalah tidak menguntungkan kalau sebuah sajak Sitor Situmorang berjudul “Malam Lebaran” yang hanya terdiri dari satu larik, yaitu: “Bulan di atas kuburan”, dinyatakan tidak baik; kalau cuma ditilik dari segi ketidaklogisan pengertian dari ungkapannya dengan realitas objektif keseharian. Sebab, mana pula ada bulan berada di atas kuburan pada malam lebaran? Bukankah realisnya di setiap malam lebaran bulan cuma muncul (kecil) di sore atau menjelang senja hari? Tetapi apabila kita berusaha memaknai kata bulan dan kuburan secara konotatif, maka kita setidaknya akan dapat memahami makna hakiki dari sajak itu. Untuk itu, kita mesti menggeluti dunia simbol-simbol atau perlambangan; bulan adalah lambang kebahagiaan, sedangkan kuburan adalah lambang kesedihan. Jadi di malam lebaran ternyata ada kebahagiaan terletak di atas kesedihan!
Begitu juga, dua buah sajak karya Armeynd Sufhasril yang dimuat di RMI Harian Haluan tgl. 14 Juni 1987 yang lalu, masing-masingnya berjudul “Sepanjang Jalan Setapak di Dusun-Dusun” dan “Sansai”, ditemukan juga beberapa ungkapan yang tidak logis, misalnya ungkapan “pelangi muncul pagi hari/ azan tak terdengar lagi/ surau-surau lengang” (dalam sajak “Sepanjang Jalan Setapak di Dusun-Dusun”) Kemudian ungkapan “sungai keruh kering” (dalam sajak “Sansai”)
Memang tidak logis kalau dinyatakan, “pelangi muncul pagi hari”, karena lazimnya pelangi muncul adalah pada waktu sore hari. Tetapi, ia menjadi logis kalau kita memaknai kata “pelangi” sebagai simbol dari keindahan, sehingga pengertiannya menjadi “keindahan muncul pagi hari”. Memang juga dirasa tidak logis kalau di dusun (kampung) dinyatakan, “adzan tak terdengar lagi/ surau-surau lengang”. Sebab, lazimnya kehidupan di dusun (apalagi di Minangkabau) suara adzan selalu mewarnai kehidupan masyarakatnya, dan surau pun selalu ramai sebagai tempat beribadah oleh masyarakat yang mayoritas taat beribadah itu. Tapi larik sajak itu menyatakan keadaan yang paradoksal dari kenyataan hidup keseharian masyarakat tersebut. Ini jelas tidak logis. Tetapi ia akan jadi (dan diterima) logis, kalau kita bermurah hari menerima tawaran persoalan yang diungkapkan oleh penyair (lazimnya penyair/sastrawan lewat karyanya selalu menawarkan alternatif dari sekian banyak persoalan hidup) bahwa begitulah suasana hidup dan kehidupan yang terjadi di tengah masyarakat di dusun-dusun dewasa ini. Suatu warna kehidupan yang tengah dilanda “krisis”.
Begitu juga ungkapan “sungai keruh kering” jelas tidak logis bila dikaitkan dengan realitas hidup sehari-hari. Mana pula ada sungai (pengertian kongkrit) berair keruh dan kering pula. Tetapi pengertiannya akan jadi logis, kalau kita mengaitkan dengan pengertian yang dikandung oleh judul sajak itu sendiri yaitu “Sansai” (Sangsai?). “Judul puisi mengemukakan suatu ide tentang sesuatu. Boleh tentang sesuatu yang terjadi, boleh nama orang, boleh nama tempat, boleh suatu benda atau boleh juga suatu waktu dan suatu massa (B.P. Situmorang, 1981 : 27). Nah, dengan judul “Sansai” berarti sajak ini mengemukakan sesuatu keadaan yang sedang terjadi, yaitu kehidupan yang nestapa tengah melanda masyarakat. Dengan ini pulalah, maka pengertian “sungai keruh kering” terkiaskan secara logis, yaitu sungai (sumber kehidupan) ternyata telah kering, dan terlihat tanah dasarnya yang keruh. Ini menandakan bahwa kehidupan memang betul-betul sengsara, karena sungai tak lagi digenangi air untuk kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari.
- Dasril Ahmad, penulis tinggal di Padang
Sumber: Facebook Dasril Ahmad.
Diposkan oleh Unknown di 3/30/2015 10:35:00 pm 0 Komentar
Label esai, tentang puisi
Rainer Maria Rilke: Surat untuk Penyair Muda
Wednesday, 25 March 2015
Rainer Maria Rilke. Sumber wikipedia. |
(Diterjemahkan oleh: Sutardji Calzoum Bachri dari Letters To A Young Poet karya penyair Jerman, Rainer Maria Rilke)
Kau tanyakan apakah sajak-sajakmu bagus. Kau tanyakan padaku. Sebelumnya kau pun telah bertanya pada yang lain. Kau kirim sajak-sajakmu itu ke berbagai majalah. Kau banding-bandingkan dengan sajak-sajak yang lain. Dan kau pun jadi terganggu ketika ada redaktur yang menolak upayamu itu. Kini, (karena kau izinkan aku menasehati kau), aku minta kau jangan lagi melakukan semua ikhtiar semacam itu. Kau melihat ke luar, dan dari segala-galanya itulah yang kini harus tidak boleh kau lakukan.
Tidak ada orang yang bisa menasehati dan menolongmu, tak seorang pun. Hanya satu-satunya cara yang ada: Pergilah masuk ke dalam dirimu. Temukan sebab atau alasan yang mendorongmu menulis: Perhatikan apakah alasan itu menumbuhkan akar yang di dalam ceruk-ceruk hatimu. Bikinlah pengakuan pada dirimu sendiri, apa kau harus mati jika sekiranya kau dilarang menulis. Pertama-tama tanyakan dirimu dalam ketenangan malam: haruskah aku menulis? Menukiklah ke dalam lubuk dirimu agar kau mendapat jawaban yang dalam. Dan jika jawabannya ya, jika pertanyaan yang khidmat tadi dijawab dengan sederhana dan mantap ”aku harus”, maka binalah dirimu sesuai dengan keharusan itu. Hidupmu, baik pada saat-saat yang paling remeh dan sepele sekalipun, haruslah merupakan bukti dan kesaksian dari dorongan menulis itu.
Kemudian cobalah dekati alam. Lantas usahakan seakan-akan kau adalah salah seorang dari orang-orang pertama yang mengatakan apa yang kau lihat dan apa yang kau alami, yang kau cintai dan kehilangan-kehilanganmu. Jangan tulis sajak cinta. Jauhi dahulu bentuk-bentuk yang sangat familiar dan biasa itu. Karena bentuk yang semacam itu adalah yang paling sulit.
Di dalam tradisi yang bertaburan dengan karya bagus dan sebagian cemerlang itu, diperlukan kekuatan besar dan penuh dewasa untuk bisa memberi sumbangan individual. Maka itu, dari tema-tema umum, berpalinglah pada apa yang diberikan oleh kehidupanmu sehari-hari; Lukislah dukacita dan keinginan-keinginanmu. Pikiran-pikiran yang melintas dalam dirimu. dan keyakinanmu dalam suatu keindahan tertentu. Lukiskan semuanya itu dengan sepenuh hati, sungguh-sungguh, rendah hati dan ikhlas. Gunakanlah benda-benda di sekitarmu, imaji-imaji dirimu dan kenangan-kenanganmu untuk mengekspresikan dirimu.
Jika kehidupanmu sehari-hari terasa miskin dan gersang, jangan sesalkan dirimu, katakanlah pada dirimu, kepenyairanmu tidak cukup untuk dapat menggali kekayaan dirimu. Karena bagi setiap pencipta tidak ada kegersangan dan tidak ada tempat yang penting dan gersang. Bahkan jika kau sekiranya berada dalam penjara dengan tembok-temboknya yang menjauhkan kau dari suara dunia,—bukankah kau tetap masih memiliki masa kanak-kanakmu sebagai gudang khazanah kenangan yang kaya raya? Perhatikanlah itu. Cobalah bangkitkan kembali sensasi-sensasi yang tenggelam dari masa lampau yang jauh itu. Kepribadianmu akan lebih kuat tumbuhnya, kesunyianmu akan berkembang menjadi tempat tinggal yang temaram di mana suara-suara yang lain lewat di kejauhan.
Dan jika dari menengok ke dalam ini, dari menyelam ke dalam ini, dari menyelam ke dalam dunia pribadimu ini, akan muncul sajak-sajak. Tidak usah kau tanyakan pada siapapun apa sajakmu itu sajak yang baik. Juga tak perlu kau upayakan agar majalah dan koran-koran menaruh perhatian terhadap karya-karyamu itu. Karena karyamu itu adalah milikmu yang sejati dan berharga, suatu bagian dan suara dari kehidupanmu. Suatu karya seni menjadi baik jika tumbuh dari kebutuhan yang wajar. Dari cara ia berasal. Di situlah letaknya. Penilaian yang benar: tidak ada cara lain. Maka itu, aku tidak bisa memberi nasihat kecuali ini: pergilah masuk kedalam dirimu, galilah sampai ke dasar tempat kehidupanmu berasal; pada sumbernya itu, kau akan mendapatkan jawaban apakah kau memang harus mencipta. Dengarkan suaranya, tanpa terlalu cerewet menyimak kata-kata.
Barangkali memang sudah merupakan panggilan bahwa kau harus jadi seniman. Maka terimalah takdirmu itu, tanggungkan naik bebannya maupun kebesarannya, tanpa minta-minta penghargaan dari luar dirimu. Karena seorang pencipta haruslah menjadi sebuah dunia bagi dirinya sendiri, dan menemukan segala-galanya di dalam dirinya sendiri, serta di dalam Alam tempat dirinya berada.
Namun setelah masuk ke dalam diri dan ke dalam kesendirianmu, mungkin kau harus melepaskan keinginanmu untuk menjadi penyair; (bagi saya, seseorang bisa hidup tanpa harus menulis daripada samasekali berspekulasi untuk itu). Meskipun demikian, upaya memusatkan perhatian ke dalam diri sendiri yang kuanjurkan itu, tidaklah sia-sia. Bagaimanapun juga hidupmu sejak itu akan menemukan jalannya sendiri. dan kuharapkan hidupmu menjadi baik dan kaya serta tinggi pencapaiannya lebih dari apa yang bisa aku ucapkan.
Apa lagi yang harus kukatakan? Rasanya segala telah mendapat tekanan yang wajar. Akhirnya aku ingin menasehati agar mau menumbuhkan dirimu secara serius. Tidak ada cara yang lebih ganas menghalangi pertumbuhanmu kecuali dengan melihat ke luar, dan upaya mengharapkan jawaban dari luar, terhadap pertanyaan-pertanyaanmu yang agaknya hanya perasaanmu yang paling dalam dan saat-saatmu yang paling hening bisa menjawabnya”. (*)
Catatan Kecil:
Bagian kedua dari sepuluh seri kumpulan surat Surat-surat Rainer Maria Rilke untuk seorang penyair muda merupakan dokumentasi otobiografi yang luar biasa. Sebuah bacaan di mana, di luar keindahan fondasinya sendiri, telah memfasilitasi pengertian yang lebih jernih akan pandangan dan teknik puitik seorang Rilke. Surat kedua Rilke untuk seorang penyair muda itu berhubungan dengan penggunaan ironi sebagai suatu teknik puitik. Sarannya dalam hal ini adalah untuk tidak menggunakannya terlalu banyak, khususnya dalam kondisi-kondisi yang tidak kreatif.
Penyair-penyair modern menggunakan ironi secara ekstensif dan menganggapnya sebagai suatu bagian penting dari teknik puitik yang tidak dapat dilepas oleh penyair. Ironi mengarah kepada sebuah dunia yang jelas-jelas telah pasti –dengan melihat dari sisi yang berlandaskan pada ketidakpercayaan akan suatu sistem. Nada dari puisi juga digambarkan secara luas dari persepsi yang (cenderung) menghakimi dalam konteks turbulensi sosio-politik di masa itu.
Penyair-penyair modern yang datang setelahnya juga menggunakan ironi secara luas untuk menciptakan pernyataan puitik mereka. Sebagai salah satu contoh klasik adalah The Waste Land karya T. S. Eliot. Eliot secara efektif menggunakan ironi untuk menggambarkan kesengsaraan pasca perang dengan sumber daya ilustrasi yang kaya akan mitos-mitos Kristiani dan Oriental, sekaligus. Mitos-mitos menghadirkan sekumpulan kesadaranan akan hal-hal kemanusiaan dan memiliki simbol-simbol efektif yang secara ekstrim memiliki fungsi dalam semua bentuk seni penciptaan ironi.
Puisi Rilke menandai ketibaan penting akan tradisi puitik dalam suatu masa di mana ia menggerakkan sebuah genre puisi yang berisikan pernyataan puitik yang tajam:
“… Jadi, selamatkanlah dirimu dari tema-tema umum ini dan tuliskan apa saja yang keseharian hidup telah berikan kepadamu; gambarkan kesedihan dan kebahagiaanmu, pikiran-pikiran yang melintasi benakmu, dan keyakinanmu akan suatu keindahan– gambarkan semua ini dengan kepekaan hati, kepasrahan penuh. Dan saat engkau menyatakan dirimu sendiri, gunakan benda-benda di sekitarmu, imaji-imaji dari mimpi-mimpimu, dan obyek-obyek yang kau ingat …” (Surat-surat untuk Seorang Penyair Muda – Bagian Pertama)
Rilke jelaslah tidak secara keseluruhan menghindari penggunaan ironi dalan puisi. Ia hanya menyarankan si penyair muda itu untuk menghindari penggunaan ironi itu dalam kondisi-kondisi yang tidak kreatif. Puisi kemudian dialihkan menjadi permainan intelektual, permainan dari pernyataan diri seseorang secara puitik, di mana akan mengasingkan para pembaca dari dunia pengalaman pribadi yang intens dari sang penyair – “emosi-emosi dikumpulkan dalam keharmonisan”. (*)
Sumber: Facebook Remmy Novaris DM
Baca juga: http://fiksilotus.com/2012/06/21/rainer-maria-rilke-surat-untuk-penulis-muda-1
Diposkan oleh Unknown di 3/25/2015 04:26:00 pm 0 Komentar
Label penyair, rainer maria rilke
Semacam Tips Belajar Menjadi Penulis dari M Aan Mansyur
Wednesday, 18 March 2015
1. Bacalah buku sebanyak mungkin.
2. Tentukan beberapa penulis yang paling sering membuatmu marah kepada diri sendiri dan cemburu kepada mereka.
3. Cari tahu dan bacalah semua buku yang membuat mereka bisa menulis lebih bagus daripada kamu.
4. Bacalah juga buku-buku yang membuat penulis yang mereka kagumi bisa dikagumi oleh para penulis yang kamu kagumi.
5. Jika mampu, bacalah semua buku yang dibaca oleh penulis yang dikagumi oleh penulis yang dikagumi oleh penulis yang kamu kagumi.
6. Menulislah sampai kamu kehabisan kata dan jangan sampai kamu kehabisan kata.
7. Menulis ulanglah sesering mungkin dan editlah tulisanmu sesadis mungkin.
8. (Kamu bisa menambahkan hal-hal lain di sini)
Diambil dari: https://medium.com/@hurufkecil/terima-kasih-eka-kurniawan-e4c43c4e770d
Diposkan oleh Unknown di 3/18/2015 02:32:00 am 0 Komentar
Label tips penulisan
47 Tahun Persada Studi Klub: Berguru pada Umbu
Friday, 13 March 2015
Info: http://infosastra.com/2015/03/11/berguru-pada-umbu-landu-paranggi-di-yogyakarta/
Diposkan oleh Unknown di 3/13/2015 08:41:00 pm 0 Komentar
Kunci-kunci Haiku
Tuesday, 10 March 2015
2. Elemen "di mana", "apa", dan "kapan" disusun ketat dalam 5-7-5 yang diambil dari stanza-stanza pembukaan bentuk puisi yang lebih panjang dalam Zen.
3. Penggunaan imaji/citraan
4. Kuge, pranata musim--di Jawa pun pranata musim menggunakan citraan/gambar)
5. Kireji, pemotongan kata, menjadi penanda stop atau jedah, sesuatu yang mungkin dalam bahasa Indonesia seperti lah tah kah pun (apakah lah tah kah pun itu pengaruh bahasa Jepang atau bukan?)
6. Jukstaposisi
7. 5-7-5 jika digandeng tak membentuk 1 kalimat
Sumber: Facebook Malkan Junaidi
Diposkan oleh Unknown di 3/10/2015 01:54:00 am 0 Komentar
Label haiku
ASEAN Literary Festival (ALF) 2015: Persembahan untuk Sitor Situmorang
Monday, 9 March 2015
Diposkan oleh Unknown di 3/09/2015 08:43:00 pm 0 Komentar
Label info even sastra, sitor situmorang
Membaca itu..
Sumber: Facebook Gambang.
Diposkan oleh Unknown di 3/09/2015 03:30:00 pm 0 Komentar
Label quotes