Sastrawan sejati berpikir dan
bertindak dengan hati yang murni. Ia memahami kejayaan sebagai proses
bersyukur. Ia memahami kejatuhan sebagai proses perbaikan diri. Ia akan
lebih menghargai orang yang menganggapnya sebagai lawan tetapi bersikap
tulus dan terus-terang daripada orang yang dianggapnya sebagai kawan
yang bersikap manis di hadapan tetapi menghancurkan di belakang.
Sastrawan
sejati selalu melihat setiap persoalan dari berbagai sudut pandang,
juga dari pandangan yang bertentangan; ia tidak pernah memutuskan sikap
atas sesuatu sebelum memiliki informasi yang cukup.
Sastrawan
sejati, jika kalah dalam wacana pemikiran atau perdebatan, tidak akan
menghancurkan lawan berpikir dan berdebatnya dengan menggunakan
kekuasaan yang ada pada dirinya atau dengan menggunakan kekuasaan yang
ada pada orang lain. Ia tidak akan pernah merampas pekerjaan dan hak-hak
perdata orang lain dengan cara apa pun.
Sastrawan sejati tidak akan menggadaikan prinsip-prinsip kebaikan universal.
Sastrawan sejati tidak takut gertakan, tidak takut pada kekuasaan yang mengancam, tidak takut memperjuangkan kebenaran.
Sastrawan sejati, tidak takut miskin.
(Cecep Syamsul Hari, April 2014).
Sumber: Sastra Digital, http://www.sastradigital.com/apps/blog/show/42093871-sastrawan-sejati-tidak-takut-miskin
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)