Puisi Aji Ramadhan, Kompas, 1 Juni 2014

Saturday 7 June 2014

Monogram Dua Huruf

Meski kau menuduhku sebagai penyamun, tetap
aku berpaling darimu. Dan meski tujuan kita sama,
aku mencoba pikiran kita bertolak belakang.

Aku ingat, kau tiba-tiba bertanya padaku:
“Jalan apa yang kau loncati. Bagaimana. Dan
Apakah kau tak terjebak untuk mabuk? Kenapa?”

Barangkali kau keliru merabai aku, jika aku ternyata
dapat menjadi si buas yang sopan ketika mendung
belum tercatat sebagai perih. Mungkin kau hanya

membaca di sisi luarku, lalu menduga bahwa aku
adalah si kecil yang berlindung di batu gelap sembari
berdoa dijauhi hari sial. Memang tak salah ketika

kau menuduhku, sebab kau berkeyakinan seekor
harimau yang kencur belum bisa membedakan
antara mangsa dan kawan. Tapi aku menganggap:

Seekor harimau, meski kencur, tetaplah harimau.
Apalagi taring harimau merupakan ruang kerja bagi
dewa maut untuk memulangkan jiwa yang buram.

Dan aku akan menjawab pertanyaanmu: “Sebuah
jalan merupakan buku semu. Dan aku tetap selalu
mabuk, meski jalan kita bertolak belakang.”

Surakarta, 2014


Handuk Hangat

Uap yang mengepul menandakan
aku telah siap melumat kaku dagingmu.

Tujuanku hanya satu, membuatmu
tenang dengan sedikit kejutan tak terduga.

Dan keluarlah kotoran lewat pori-porimu,
seperti lava dingin yang merembes.

Bahkan, aku tak memaksa kotoran
keluar, tapi aku memanfaatkan tarikan.

Dan bersikaplah seolah kau melakukan
kelahiran kembali, biar kau tak sia-sia.

Benar, syarafmu akan mengembang dengan
detak jantung melamban secara berurutan.

Jika kau mau menjawab, apakah kau
setuju aku akan mencuri keterjagaanmu?

Begitu, sayang sekali jika ternyata matamu
tak menyukai kelelapan semurni licinku.

Sekarang minumlah susu itu, lalu duduklah
dan pikirkan kenapa kau melewati kilauku.

Gresik, 2014


Dinding Sekarang

Aduh, saya tidak asli sini, Mas. Semua orang
di sini kebanyakan berasal dari luar. Cuma,
saya dan semua orang di sini bisa tinggal

karena kakek buyut kami pandai membuat
tuan besar senang. Padahal hanya membuatnya
kenyang dan tenang.

Saya dan semua orang di sini tahu, jika
tuan besar sangat berjasa. Untuk menghormati
jasanya, tempat ini kami buatkan dinding dan
di dinding itu kami beri tulisan:

Kami bahagia

dan tuan besar semoga diberkati Tuhan.
Oya, sudah dengar belum, Mas, jika tuan besar
turun tahta? Kami tidak khawatir meski
nanti kami diusir. Kami akan tetap menyambut
tuan besar dan menjamunya hingga muntah.

Surakarta, 2014


Tak Bertuan
: Bawah Tanahnya Dostoyevski

Jangan kalungkan koin emas
di leherku. Aku puas dengan deheman palsu,
timbangan keruh dan pergulatan gelapmu.

Bahagiakan saja aku, demi
sentuhan tak terarah yang bersembunyi
di kedipan matamu. Tapi simpan dulu

serabut hasratmu dan jangan gegabah
untuk membebatku. Karena aku
seorang yang tak mengimamimu.

Aku hanya ingin anjing di tubuhmu
liar. Terus menggonggong sampai kita
melihat bintang merekah di langit utara.

Lalu kau pun berdoa: Tenang,
tanpa sangsi. Sudah kau jangan
pikirkan hidup, karena kita sudah payah

menjalankan alur derita. Mari kita
selesaikan ini, meski kita saling luput
ketika kokok ayam tak patah dan aku

melupakan gonggongan anjing di tubuhmu.

Surakarta, 2014


Langit Tampak Mencolok

Biarkan langit tampak mencolok setelah kurvanya
kehabisan mekar. Dan biarkan juga langit tak lagi elok,
sebab orarenya telah membayang.

Tapi misalkan, langit tak menawarkan pemandangan
tersebut, barangkali aku jadi khawatir jika nanti malah
menampakkan batu-batuan yang beterbangan.

Seperti sabda si suci yang memberikan
kuliah umum kepada kaum gemar berhitung.

Oh, takutlah aku bahwa langit tak disangga pilar gaib.

Dan langit pun rebah di laut, bersama kurva dan
oranyenya. Seperti berubahnya gambar karena luntur.

Dan motif bunga di bajuku yang semula diam, sekarang
pun bergoyang-goyang ingin menjatuhkan putiknya.

Gresik, 2014


Pesta Minum Teh

Pesta minum teh baru 13 menit berlalu.
Beberapa boneka belum meminum
secangkir pun. Si gadis tersenyum

melambai-lambai tangannya.
Memainkan pertemuan secara anggun.

Di pesta minum teh tadi,
boneka kuda tampak sedih. Si gadis cuek
dan lebih bercerita keluguannya.

Boneka lain tampak bahagia melihat aksi
si gadis. Seolah tidak mubazir dihidupkan.

“Ibu peri belum datang, kita tunggu
ibu peri dulu,” kata si gadis.

Pesta minum teh baru 13 menit berlalu.
Boneka kuda sudah frustasi. Diharapkan
si gadis memberhentikan permainannya.

Akhirnya jam pun mendatangkan si mama
menjemput si gadis itu. “Itu, akhirnya ibu peri
datang,” kata boneka kuda dan menyiapkan
diri untuk berlari dalam ilusi.

Surakarta, 2014

* Aji Ramadhan lahir di Gresik, Jawa Tengah, 22 Februari 1994. Ia tinggal di Surakarta. Salah satu buku puisinya adalah Sepatu Kundang (2012).

PUISI KOMPAS, MINGGU, 1 JUNI 2014

Sumber: http://puisikompas.wordpress.com/tag/aji-ramadhan/

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas