Beberapa waktu lalu, saya membaca
sebuah artikel menarik yang membahas tentang dunia sastra. Artikel tersebut adalah rekaman wawancara dengan seorang penerjemah karya sastra bernama Gioia Guerzoni. Menurut paragraf pembuka artikel itu, Gioia Guerzoni yang berkewarganegaraan Italia adalah satu dari segelintir orang yang ikut memperkenalkan karya-karya sastra Asia kepada khalayak pembaca Eropa. Belakangan, Guerzoni fokus menerjemahkan karya-karya sastra Asia Tenggara.
Pertengahan terakhir tahun 2013, saya lebih banyak membaca buku-buku luar ketimbang buku-buku penulis Indonesia. Kebanyakan adalah buku-buku peraih penghargaan sastra, baik itu Nobel Prize maupun Pulitzer Prize. Seiring membaca buku-buku tersebut, secara polos saya menyimpan keinginan yang muluk dalam dada saya: saya ingin menjadi seperti mereka, menulis buku yang dibahas orang sedunia dan memenangi penghargaan sastra paling bergengsi di dunia. Keinginan yang konyol, memang. Tapi biarlah bagian diri saya yang polos tetap memelihara keinginan itu, hingga akhirnya akan terbukti apakah saya bisa mewujudkannya atau tidak (kalaupun tidak, tidak akan menjadi masalah, saya orang yang senang memimpikan hal-hal muluk, begitu cara saya menjalani hidup yang menjemukan ini).
Saya tidak akan bicara tentang mimpi muluk saya itu. Saya akan bicara tentang satu hal yang saya pikir perlu untuk diketahui oleh penulis Indonesia, terutama penulis-penulis muda dan baru seperti saya.
Pada artikel wawancara dengan Gioia Guerzoni, dia berkata bahwa salah satu cerita yang penting bagi khayalak pembaca Eropa (atau luar Indonesia pada umumnya) adalah cerita tentang “kota”. Saya kira yang dimaksud “kota” di sini tentu adalah kota di Indonesia. Menurut Guerzoni yang telah menerjemahkan beberapa karya pemenang Man Booker Prize seperti Jonathan Lethem dan Paula Fox (saya tidak tahu buku apa yang mereka tulis, saya hanya mengutip keterangan ini dari artikelnya langsung), khalayak Eropa (luar Indonesia) ingin tahu apa yang sedang terjadi di Indonesia, atau di kota-kota di Indonesia.
Keterangan yang saya dapatkan dari Gioia Guerzoni itu sedikit banyak memiliki kaitan dengan apa yang saya dengar dari Richard Oh, ketika secara kebetulan saya bertemu dengannya di Reading Room, Jakarta, saat saya sedang bermain-main di tempat yang memiliki koleksi buku banyak sekali itu (karena ingin mengontrol diri, saya hanya membeli satu buku: Letters to Milena Franz Kafka). Oh berkata (kalimatnya tidak persis begini tapi kira-kira beginilah isi ucapannya), “Saya nggak paham mengapa penulis-penulis sekarang kok pada senang menulis cerita-cerita tentang luar negeri. Dengan judul-judul buku luar negeri dan sampul yang terasa luar negeri.” Saya mengernyitkan dahi sedikit, sebelum dia melanjutkan ucapannya.
“Orang-orang luar itu membaca buku-buku Indonesia karena ingin menemukan apa yang tidak ada di negara mereka.” Oke, saya pikir, masuk akal.
Lalu, sebelum saya sempat merespons, Richard Oh melanjutkan lagi gerutuannya dengan memberikan sedikit contoh yang mendukung argumennya.
“Kau tahu Eka Kurniawan? Eka Kurniawan itu bacaannya banyak buku-buku luar. Tapi ketika dia menulis, dia menulis tentang Indonesia.” Belakangan saya senang membaca jurnal-jurnal Eka Kurniawan di blognya, dan ya, saya menemukan banyak referensi buku luar dari sana (beberapa buku yang masuk daftar pencarian saya, saya peroleh dari blog Eka). Meskipun tanpa membaca blognya, saya tahu Eka Kurniawan pasti banyak membaca buku-buku luar.
Sambil mengingat buku-buku luar apa saja yang saya temukan di blog Eka, saya menyimak kalimat Oh berikutnya:
“Yang diambil Eka Kurniawan dari penulis luar negeri adalah tekniknya. Tapi konten yang ia tulis, kontennya adalah Indonesia.” Benar juga. Lalu, seakan melihat sebuah pertanyaan tersirat pada kerutan di dahi dan tatapan saya, Oh melanjutkan bicara.
“Ya tidak apa-apa misalnya mengambil latar luar negeri, tetapi isu yang diangkat pada cerita tersebut tetaplah harus isu tentang Indonesia.”
Terus terang, perkataan Richard Oh yang hanya singkat itu memberi sedikit pencerahan pada saya yang, sebagai penulis baru dan masih pemula, sebetulnya juga memiliki hasrat untuk menulis cerita-cerita dengan latar maupun suasana luar negeri seperti banyak penulis muda lain yang mengeluarkan novel-novel dengan latar luar negeri (saya tidak banyak membaca novel-novel Indonesia berlatar luar negeri itu, jadi saya tidak tahu apakah pada ceritanya mereka mengangkat isu Indonesia atau tidak).
Kembali ke artikel wawancara dengan Gioia Guerzoni.
Satu hal lain yang saya dapatkan dari wawancara tersebut adalah, ternyata di mata khayalak luar negeri, hal atau isu yang “khas Indonesia” salah satunya adalah permasalahan tentang demokrasi. Bisa jadi ini karena Indonesia merupakan negara yang memiliki usia demokrasi paling muda (saya tidak begitu mempelajari topik ini tapi setidaknya demikianlah yang pernah saya dengar dari teman-teman yang menyenangi dunia politik dan pemerintahan). Satu kata kunci lagi tertangkap untuk menulis buku yang dapat menarik khalayak luar Indonesia setelah “cerita tentang kota”, yakni “demokrasi”.
Saya mengingat-ingat buku-buku pemenang Nobel Sastra yang sudah saya baca. Tidak banyak. Saya baru membaca Naguib Mahfouz, Gabriel Garcia Marquez, Alice Munro, Mo Yan, dan Hermann Hesse. Dari buku-buku mereka, ternyata ada satu kesamaan yang saya tangkap: mereka semua menulis tentang bangsa mereka dan kondisi negara atau kota atau lingkungan dimana mereka tinggal. Para pemenang Nobel Sastra itu (maksudnya yang sudah saya baca) kesemuanya berbicara tentang situasi zaman dimana mereka hidup. Mahfouz bicara tentang Mesir, Munro bicara tentang Ontario, Mo Yan bicara tentang Cina, Garcia Marquez bicara tentang Kolombia, dan seterusnya.
Setelah melihat fakta tersebut, saya tersadar bahwa
pada akhirnya seorang penulis haruslah mengenal zamannya dan mengetahui kondisi bangsa dan negaranya sendiri. Percakapan singkat dengan Richard Oh membuat saya sedikit tertampar, sebab selama ini saya cenderung cuek dengan apa yang terjadi di negara yang saya tinggali ini. Saya tak pernah ambil pusing dengan masalah yang tengah menimpa Indonesia. Saya pikir, sudah ada orang-orang lain yang mengurus hal-hal memusingkan itu. Hal demikian membuat saya tidak mengenal Indonesia sehingga saya tidak mampu menulis apapun tentang Indonesia. Akibatnya, saya jadi penulis Indonesia yang menulis tentang negara dan budaya lain dan terasing dari budaya dan negaranya sendiri.
Saya tidak tahu apakah kondisi seperti itu-tercerabut dari negara dan budayanya sendiri itu merupakan hal yang baik atau buruk bagi seorang penulis. Tetapi fakta lain yang tidak bisa saya pungkiri sebagai orang Indonesia adalah kenyataan bahwa Indonesia memiliki keunikannya sendiri dibanding negara lain. Keunikan inilah yang saya rasa semestinya menjadi sumber ide dan digarap dengan baik oleh penulis-penulis Indonesia sendiri.
Kasarnya kira-kira begini: meski peribahasa berkata lain, namun lumbung ide yang sangat kaya sudah berada di depan mata, di bawah kaki sendiri, mengapa pula mencari jauh-jauh ke negeri Cina atau benua Eropa?
***