Strategi Menjinakkan Imajinasi

Tuesday, 28 May 2013

Oleh Naning Pranoto

Imajinasi adalah sendi utama untuk menulis cerita. Apa pun bentuk cerita tersebut:  cerita pendek, cerita panjang, novel pendek (novelette), novel, skenario film, naskah drama dan naskah sandiwara radio. Tulisan ini terfokus pada penulisan cerita pendek, untuk menjawab beberapa pertanyaan yang masuk ke e-mail saya. Satu dari pertanyaan tersebut dari Yessy. Inti pertanyaannya demikian:

Saya sulit menyelesaikan cerita yang saya tulis, karena ide saya terus berkembang dan melebar tak menentu. Bagaimana caranya agar saya bisa fokus pada ide pertama yang saya dapatkan?

Fokus dan Plotting
Kasus yang ‘menimpa’ Yessy pernah dialami oleh setiap pengarang. Memang, itu yang terbanyak dialami oleh pengarang pemula. Hal ini bisa terjadi, sangat mungkin karena sebelum menulis tidak melakukan persiapan dengan baik. Seringkali kita asal menulis apa yang ada di dalam kepala (ide) tanpa disertai peranan emosi (perasaan). Menulis cerita, dalam hal ini fiksi, harus melibatkan peranan perasaan dan pikiran tahap berikutnya. Haruslah senantiasa kita sadari, bahwa setiap kita menulis, berarti sedang mengekspresikan isi pikiran dan perasaan.

Seseorang menulis cerita, karena tersentuh pikiran dan perasaannya oleh sesuatu, atau oleh sebuah peristiwa yang sangat mengesankan. Sentuhan tersebut kemudian berkembang dan berkembang – berkat kekuatan imajinasi. Manusia kreatif, punya daya imajinasi tinggi. Ini merupakan  aset utama untuk memperkaya dan memperindah cerita yang akan ditulisnya. Imajinasi adalah energi untuk membentuk suasana atau dunia tersendiri. Tanpa imajinasi penulis kesulitan untuk membangun sebuah alam fiktif. Tetapi imajinasi itu harus terkendalikan. Jika tidak, imajinasi akan berubah, menjema menjadi kuda liar yang tidak terkendali. Akibatnya,  cerita yang akan kita tulis bisa berantakan. Sehingga imajinasi yang sangat bermanfaat itu menjadi potensi yang sia-sia. Solusinya, imajinasi harus dikelola dengan baik – melalui strategi kendali imajinasi.

Imajinasi merupakan kekayaan seseorang karena ia memiliki kepekaan emosional yang tinggidan pengalaman batin yang sangat kaya. Manusia seperti itu akan mudah tersulut dan mampu mengobarkan api imanijasinya yang menyala-nyala. Kobaran api imajinasi harus dijinakkan sebelum ‘mengaburkan’ imajinasi pokok (inti) yang sudah terbetuk. Caranya, pertama fokus pada ide  cerita yang pertama timbul untuk ditulis. Yakni, ide awal yang tumbuh dalam hati atau pikiran kita. Langkah kedua, buatlah lembar plotting sebelum menulis dengan materi yang telah difokuskan. Yang paling ideal, materi yang akan ditulis telah diendapkan beberapa saat, sehingga teresapi, terhayati dan terpahami dengan baik. Sebab, menulis itu tidak sekadar tahu (I see)  atau mengerti (I know) akan materi yang ditulisnya, tapi harus memahaminya (I understood).

Berdasarkan teori creative writing, proses plotting merupakan fondasi untuk mengarang cerita. Tindakan ini  seperti halnya orang membangun rumah, harus membuat fondasi yang kuat dulu, sebelum mendirikan tembok dan memasang  atapnya. Sayangnya, banyak pengarang yang langsung menulis begitu saja, tanpa memikirkan plotting.  Ini yang disebut menulis dengan proses alami instinktif. Akibatnya, tulisan sulit terselesaikan karena kebablasan melebar ke mana-mana. Penulis juga pernah melakukan hal itu, sebelum belajar creative writing. Tapi sekarang, penulis  selalu membuat plotting serapi mungkin sebelum menulis. Karena, menulis juga perlu dikelola agar hasilnya tidak mengecewakan.

Mengolah Ide dan Proses Kreatif
Setelah plotting selesai, lakukan langkah berikutnya yaitu olah ide. Maksudnya, ide yang ada diolah masak-masak. Rinci: siapa saja pelaku/karakternya disertai watak masing-masing secara jelas dan tegas. Kemudian tentukan setting-nya: tempat dan waktu. Berikutnya, konflik apa saja yang akan dikemukakan dan itu dikaitkan oleh watak para pelakunya. Jangan lupa, background cerita ini yang terkait dengan wawasan budaya dan pengetahuan pengarangnya. Setelah itu, pilih kata-kata yang tepat, untuk dirangkai menjadi kalimat, sebagai media cerita. Ini yang disebut bahasa cerita. Masing-masing cerita punya bahasa tersendiri. Misalnya, bahasa untuk cerita kriminal tentu tidak sama dengan bahasa  untuk cerita cinta romantis. Tanpa adanya media bahasa yang tepat, biasanya cerita menjadi tidak menarik atau tidak dialogis alias tidak nyambung.

Olah ide yang paling ideal adalah menggunakan mood yang manis, di mana emosi sedang peka. Kepekaan ini bisa terjadi saat sedang gundah-gulana atau dalam kegembiraan. Berdasarkan fakta, saat seseorang sedang sedih, gundah-gulana, galau dan merana, mampu memainkan emosinya dengan baik – untuk menyentuh perasaan orang lain. Dengan demikian karyanya menjadi hidup, memikat, tidak garing. Tapi bukan berarti penulis harus menderita dulu, agar karyanya hidup, punya roh.

Olah ide perlu kesabaran, karena merupakan proses olah-rasa. Inilah yang disebut proses kreatif. Proses ini bisa dilakukan dengan dua cara: menulis dalam kepala  atau menulis di atas kertas. Menulis dalam kepala adalah proses yang sangat indah, karena bisa dilakukan di mana saja dan berimajinasi tanpa batas. Menulis di atas kertas (corat-coret) perlu tempat khusus dan menyendiri. Biasanya, paling tepat dilakukan pada malam hari atau jam-jam kreatif yang disebut the golden time.  Keduanya ini perlu dilakukan sebelum menulis agar imajinasi tidak liar ke mana-mana.

Refleksi Kehidupan
Seseorang yang menulis berdasarkan refleksi kehidupan, biasanya menghasilkan karya solid. Sebaliknya, jika menulis hanya mengandalkan imajinasi, hasilnya akan cair, bahkan bisa gagal. Sebagai contoh, penulis mengamati, sekarang ini banyak pengarang muda yang menulis cerita berdasarkan ‘imajinasi’ yang bersumber dari sinetron. Untuk mencapai ending cerita, dipermudah misalnya dengan pelaku utama tertabrak mobil atau terserang kanker otak. Bila cerita ditulis berdasarkan refleksi kehidupan, tentunya kasus tertabrak mobil dan kanker otak sangat mungkin tidak terjadi. Dengan kata lain, jika menulis cerita ‘terlalu’ mengada-ada hasilnya menjadi kurang atau bahkan tidak logis. Ingatlah, bahwa dalam fiksi juga perlu logika.

Refleksi kehidupan adalah pengalaman hidup. Maka jika dijadikan sumber materi cerita hasilnya tidak hanya sebagai hiburan belaka, tapi juga pencerahan. Untuk mendukung bobot isi, perlu ditambah dengan berbagai referensi (data) yang kemudian difiksikan melalui proses berimajinasi. Inilah yng disebut proses fiktivisasi. Di sinilah kreativitas berperan menghidupkan cerita yang menarik, yaitu cerita yang ada ruhnya.

Cerita yang mempunyai ruh membuat pembacanya seperti dihadapkan pada kisah nyata. Dunia imajiner seolah menjadi dunia real, konkret. Unsur-unsur yang membuatnya bisa menjadi hidup antara lain: setting tempat, setting waktu, penciptaan watak para pelakunya, menciptakan konflik, kekuatan bahasa dan kemahiran merangkai keruntutan alur. Tentu hal ini tidak mudah untuk mewujudkannya, tapi bisa dipelajari dengan berbagai cara. Antara lain: rajin berlatih menulis, banyak membaca karya pengarang handal, dan pengembangan wawasan. Dan, yang terpenting lagi mampu mengendalian ‘liarnya’ imajinasi.*

Selengkapnya: Strategi Menjinakkan Imajinasi

From Diary to be Story

Tips Sederhana Untuk Kaum Remaja:
FROM DIARY TO BE STORY

Jembatan Emas Untuk Jadi Pengarang Profesional
Kau punya diary alias catatan harian? Jika punya,  manfaatkan sebagai jembatan emas untuk menjadi pengarang atau penulis profesional. Maka,    bagi yang belum punya, kiranya  perlu juga menyisihkan uang untuk membelinya dan menyediakan  waktu untuk mengisinya. Diary  berdampak sangat positif pada kehidupan kita.

Teman Curhat vs Keranjang Sampah
Diaria (bahasa Latin)   - itulah akar kata dari diary alias buku harian. Artinya, ‘masukan’ sehari-hari selama 24 jam secara berkesinambungan. ‘Masukan’ di sini adalah peristiwa yang sangat pribadi untuk dicurahkan dalam bentuk catatan. Itulah sebabnya, diary disebut pula sebagai sahabat sejati. Bahkan ada juga yang menamakannya sebagai keranjang sampah, karena kemarahan dan sumpah serapah dapat dengan bebas dan leluasa ‘dimuntahkan’ ke dalam diary. Karena ia akan menyimpannya rapat-rapat sebagai rahasia penulisnya.

Karena diary dianggap sahabat sejati, maka ia punya beberapa sebutan sayang antara lain: kitty, dearly magic pouch, pillow-pig, brew dan pillow-book. Di Prancis, diary dikenal sebagai journal.

Anne Frank yang Menggoncang Dunia
Samuel Pepys – penyair kelahiran Inggris 23 Februari 1663 ‘dinobatkan’ masyarakat Eropa sebagai ‘Bapak Diary Dunia’. Karena ia orang pertama yang memanfaatkan diary sebagai sumber cerita, pada Abad 17. Jejaknya diikuti gadis Yahudi – Anne Frank yang menuliskan kisah hidupnya selama bersembunyi di langit-langit di sebuah rumah di Negeri Belanda,  agar bebas dari kejaran NAZI. The Diary of Young Girl Anne Frank itulah karya Anne Frank yang mampu menggoncang dunia sebagai kisah hidup tragis dan dramatis.

Jika Diary Dijadikan Cerita
Banyak versinya jika diary diangkat menjadi cerita. Antara lain bisa ditulis dalam bentuk puisi, lirik lagu, cerita mini (cermin), cerita pendek (cerpen), cerpan (cerita panjang), novelet (novel pendek), novel atau tulisan yang bersifat nonfiksi, misalnya biografi. Maka diary disebut juga sebagai story of life. Maksudnya, diri kita adalah sumber berbagai cerita. Baik itu cerita romantis, melankolis, komedi, petualangan hingga kriminal jika memang bisa dan perlu digali demikian.

Agar diary bisa diangkat menjadi story, sejak awal penulisannya perlu dipolakan secara baik. Antara lain menggunakan bahasa komunikatif, ungkapkan semua perasaan dengan ekspresif, jangan lupa cantumkan tanggal dan hari kejadian, catat pula karakter dan nama-nama  orang yang terkait atau terlibat dalam kisah hidupmu. Nantinya, orang-orang tersebut bisa dijadikan tokoh-tokoh dalam cerita yang ditulis.

Elemen Penulisan Cerita
Jika diary diubah menjadi ceria, haruslah mengikuti kaidah elemen penulisan cerita. Pertama, fakta yang ada harus dipadu dengan imajinasi. Selain itu,  adanya plot, struktur, setting (tempat dan waktu), tokoh, konflik, sudut pandang, gaya penulisan, media mahasanya dan mood.

Mood, ini yang terpenting dalam membangun cerita fiksi, karena merupakan ‘ruh’ yang menghidupkan suatu cerita berikut tokoh-tokohnya. ‘Ruh’ inilah  yang mampu ‘mengaduk-aduk’ perasaan pembaca. Untuk membangun mood, sebelum menulis perlu melakukan mapping mind (menulis dalam kepala) dan setting feelings (menata rasa). Manfaatkan jam-jam produktif (the golden time) untuk berkarya, agar tidak mengalami kebuntuan atau writer’s block.

Mengapa Gagal Menulis?
Banyak orang mengeluh, karya yang ditulisnya tidak selesai alias gagal  ditulis meskipun itu bersumber dari diary. Kegagalan tersebut bisa disebabkan oleh: miskinnya kosa kata  (kekurangan kata-kata untuk menulis),  adanya keraguan dan rasa malu dalam melahirkan karya, membaca tulisan berulang-ulang sebelum cerita selesai ditulis, mengalami kebuntuan berkepanjangan, tidak serius menulis dan tidak punya ambisi memiliki karya.

Agar proses menulis lancar, hindari semua hal-hal yang menimbulkan kegagalan seperti yang telah dipaparkan dalam alinea tersebut di atas.

*) Naning Pranoto

Sumber http://www.rayakultura.net/from-diary-to-be-story/ 
Selengkapnya: From Diary to be Story

Puisi-puisi Pablo Neruda

Monday, 27 May 2013


Kewajiban seorang penyair

Bagi siapa saja yang tak mendengarkan laut
jumat pagi ini, bagi siapa saja yang terpenjara
di dalam rumah, kantor, pabrik atau perempuan
atau jalanan atau penambangan atau sel yang kering:
baginyalah aku datang dan tanpa berbicara atau memandang
aku tiba dan membukakan pintu penjaranya
dan sebuah getaran dimulai, samar-samar dan tanpa henti,
sebuah gemuruh petir yang panjang menceburkan dirinya
ke tubuh planet dan buih,
sungai-sungai yang mengerang di samudera pasang,
bintang bergetaran cepat dalam lingkarannya
dan laut berdenyut, mati dan terus berdenyut.
Maka seperti tergambar pada takdirku,
tanpa henti-hentinya aku mesti mendengarkan dan menjaga
keluh kesah laut dalam kesadaranku,
mesti merasakan empasan ombak
dan mengumpulkannya dalam gelas abadi
sehingga di mana pun, barangkali yang di dalam penjara,
di mana pun mereka menderita hukuman pada musim gugur,
aku mungkin hadir bersama gelombang pesan,
aku mungkin keluar-masuk melalui jendela
dan karena mendengarkanku, berpasang mata akan mengangkat dirinya
bertanya: bagaimana aku dapat sampai ke laut?
Dan aku akan melintasi mereka tanpa berkata apa-apa
gema yang terang dari gelombang
pemisahan buih dan pasir,
gemersik garam menyeret dirinya sendiri,
tangisan kelabu burung-burung laut di pantai.
Maka, bagiku, kebebasan dan lautan
akan menjawab bagi hati yang tersembunyi.

 

Kata

Lahirlah
kata dalam darah,
tumbuh dalam tubuh yang tersembunyi, berdenyut,
dan meluncur ke bibir dan mulut.
Lebih jauh dan lebih dekat
tetap saja, tetap saja ia datang
dari mayat para bapa dan dari bangsa-bangsa pengembara,
dari negeri-negeri yang telah menjelma batu,
keletihan negeri-negeri atas kemiskinan bangsanya,
karena kesedihan turun ke jalan-jalan
orang-orang pun berangkat dan tiba
dan menikahi negeri dan air yang baru
untuk menumbuhkan kembali kata-kata mereka.
Maka inilah apa yang ditinggalkan;
inilah gelombang panjang yang menghubungkan kita
dengan orang-orang mati dan permulaan
hidup baru yang belum sampai kepada cahaya.
Tetap saja atmosfer tergetar
oleh kata pertama yang diucapkan
terbungkus
dalam rasa takut dan keluhan.
Ia muncul
dari kegelapan
dan sampai sekarang tak ada petir
yang menggemuruhkan dengan suara baja
kata itu,
kata pertama
yang diucapkan:
barangkali ia hanya riak, sebuah tetesan,
sebelum bular-bularnya yang terjal luruh dan luruh.
Kemudian kata itu dipenuhi dengan makna.
Selalu dengan anak-anak ia dipenuhi kehidupan
Segalanya lahir dan bersuara:
penegasan, kejelasan, kekuatan,
pengingkaran, penghancuran, kematian:
kata kerja mengambil alih seluruh kekuatan
dan keberadaan yang dibungkus kebermaknaan
dalam gerak keanggunan dirinya.
Kata manusia, suku kata, sayap
dari perpanjang cahaya dan perak yang kukuh,
cawan pusaka yang menampung
percakapan-percakapan dengan darah:
di sinilah kesunyian datang bersama-sama dengan
keutuhan kata manusia
dan bagi manusia, tidak berbicara berarti mati:
bahasa memanjang bahkan ke rambut,
mulut berbicara tanpa gerak bibir:
segalanya tiba-tiba, mata adalah kata-kata.
Aku mengambil kata itu dan melesatkannya ke dalam perasaan-perasaanku
meskipun ia tak lebih dari sekedar bentuk kemanusiaan,
susunan-susunannya memesonakanku dan kutemukan jalan
menembus setiap gema dari kata yang diucapkan:
aku mengucapkan dan aku menjadi dan, tanpa berkata-kata, aku mendekat
menyeberangi tepi kata-kata yang membisu.
Aku minum untuk kata yang tumbuh itu
sebuah kata atau sebuah gelas kristal,
di dalamnyalah aku minum
kemurnian anggur bahasa
atau air yang tak pernah habis,
telaga keibuan kata-kata,
dan gelas dan air dan anggur
mengembangkan nyanyianku
karena verba adalah telaga
dan semangat hidup: adalah darah,
darah yang mengungkapkan hakekatnya
dan begitu menentukan istirahatnya sendiri:
kata-kata memberi kristal ke dalam kristal, darah ke dalam darah,
dan hidup ke dalam hidup itu sendiri.

 

Samudera

Tubuh lebih sempurna ketimbang gelombang,
garam membasuh barisan laut,
dan burung yang berkilau
terbang tanpa sisa tanah.

 

Air

Segala yang ada di atas bumi tegak, semak
menusuk dan kehijauannya
menggigit, kelopaknya luruh, berjatuhan
hingga satu-satunya bunga menjadi kejatuhan itu sendiri.
Air adalah hal lain,
tak memiliki petunjuk arah tetapi kejernihan geraknya sendiri,
menembus semua warna mimpi,
pelajaran-pelajaran yang jernih
dari batu
dan di dalam kerja besar itu
adalah cita-cita buih yang tak tercapai.

 

Laut

Sebuah entitas, tetapi bukan darah.
Sebuah pelukan, kematian atau mawar.
Masuklah laut dan mempertemukan hidup kita
dan menyerbu sendirian dan menebarkan tubuhnya dan bernyanyi
pada malam-malam dan hari-hari dan para lelaki dan makhluk-makhluk hidup.
Hakekatnya: api dan dingin: pergesaran.

 

Lahir

Aku datang kepada tepi
di mana tak ada yang perlu berkata,
segalanya tercerap ke dalam cuaca dan lautan,
dan bulan berenang kembali,
seluruh cahayanya keperakan
dan lagi-lagi kegelapan akan pecah
oleh empasan gelombang
dan setiap hari di atas balkon laut
sayap-sayap mengembang, lahirlah api
dan segalanya kembali biru seperti pagi.

 

Menara

Barisan laut membasuh dunia
oh, kebaruan yang abadi,
oh, pedang yang sakti:
kautebas
kekacauan,
di mana sebuah kapal karam tertinggal,
di sana sebuah bintang.
dari satu titik ke titik lain ke titik lain lagi
melintaslah sepanjang barisan laut
kemurnian
dan ia tak berubah, ia suasana,
ia dapat diandalkan, ia ketepatan,
ia kukuh, ia bagian yang tegas
sementara udara berubah dan menyeberangi
menara
yang bebas dari geometri.

 

Planet

Adakah batu-batu air di bulan?
Adakah cairan emas?
Apakah warna musim gugur?
Adakah hari-hari berlarian dari yang satu ke yang lainnya
hingga seperti seikat rambut
mereka terurai? Berapa banyak yang jatuh
–kertas-kertas, anggur, tangan-tangan, mayat-mayat–
dari bumi ke tempat yang jauh itu?
Di sanakah kehidupan terbenam?


Yang telanjang

Cahaya ini adalah Matahari yang berlari,
lingkaran ini adalah Timur,
kekacauan buatan angin
di atas pesan-pesannya yang paling jernih
dan tengah hari menjulang seperti
sebuah tiang yang menyangga langit
sementara garis-garis putih terbang
dari kesunyian ke kesunyian sampai mereka menjelma
burung-burung kecil di udara,
garis-garis menuju kebahagiaan.

 

Di dalam menara

Dalam menara yang suram ini
tak ada perang:
asap, udara, hari
mengepung dan meninggalkannya
dan aku tinggal dengan langit dan kertas,
kesenangan-kesenangan dan dosa-dosa seorang diri.
Menara bumi yang bersih
dengan kebencian dan lautan di kejauhan
bercampur
oleh gelombang di langit.
Berapa banyak suku kata dalam satu baris,
dalam satu kata? Sudahkah aku mengucapkannya?
Keindahan adalah peristiwa embun,
pada permulaan hari ia luruh
memisahkan
malam dari subuh
dan persembahan dinginnya
bertahan
dengan bimbang, menantikan ketajaman matahari
yang akan menggiringnya pada kematian
Sulit dijelaskan
jika kita menutup mata atau jika malam
membukakan di dalam diri kita mata lain yang bercahaya
jika ia menggali ke dalam dinding mimpi kita
hingga suatu pintu terbuka.
Tetapi mimpi
hanyalah pergantian pakaian dalam sekejap:
habis dalam satu debaran
kegelapan
dan jatuh di kaki kita, beranjak
begitu hari membaur dan berlayar bersama kita.
Inilah menara dari mana aku menyaksikan,
antara cahaya dan air yang membisu,
waktu dengan pedangnya,
dan aku mengalir ke dalam hidup,
menghirup seluruh udara,
dipesonakan oleh kesunyian
yang mengukuhkan seluruh kota
dan bicara pada diriku sendiri tanpa tahu siapa diriku
membebaskan daun-daun dari sunyinya
ketinggian.

 

Burung

Ia dilewati dari satu burung ke burung lainnya
seluruh anugerah hari,
yang beranjak dari galur ke galur sepanjang hari,
yang bersembunyi di antara tumbuhan
dalam terbang yang membuka sebuah lorong,
di mana angin akan melintasi
tempat burung-burung tengah memecahkan
udara yang beku dan biru:
ke sanalah masuknya malam.
Kembali dari begitu banyak perjalanan,
aku tergantung dan hijau
antara matahari dan geografi:
aku melihat bagaimana sayap-sayap bekerja,
bagaimana wewangian diteruskan
oleh telegraf bersayap
dan dari atas aku melihat sebuah jalan,
musim-musim semi dan atap-atap,
para nelayan di pelelangan,
pantalon-pantalon buih,
melihat semuanya dari langit hijauku.
Aku tak punya lebih banyak abjad
dari walet-walet dalam kawanannya,
sepercik air jernih
dari seekor burung di atas api
yang menari di luar serbuk sari


Serenada

Dengan tanganku kukumpulkan kekosongan ini,
malam yang menyesatkan, keluarga-keluarga yang bercahaya,
sebuah kidung yang tetap lebih tenang ketimbang kebisuan,
suara bulan, sesuatu rahasia, suatu segitiga,
suatu ukuran keberuntungan.
Inilah malamnya laut, kesunyian ketiga,
sebuah getaran yang membukakan pintu-pintu, sayap-sayap,
penduduk yang tak teraba dan tak sepenuhnya ada
bergetar dan membasuh seluruh nama muara.
Malam, nama dari lautan, tanah air, asal, mawar!

 

Sang pendiri

Aku memilih bayang-bayangku sendiri,
dari kristal garam kuciptakan persamannya:
kutancapkan waktuku pada deras hujan
dan aku bisa tetap hidup
Memang benar kekuasanku yang panjang
memisahkan mimpi-mimpi
dan di luar sepengetahuanku muncullah di sana
dinding-dinding, perceraian-perceraian, tanpa akhir.
Maka aku beralih ke pantai.
Aku melihat pemberangkatan kapal-kapal
menyentuhnya, lembut bagaikan ikan suci:
menggetarkan serupa citraan Tuhan,
kayu-kayunya bersih,
harum serupa madu.
Dan jika ia tak kembali,
kapal itu tak kembali,
setiap orang tenggelam dalam airmatanya
sementara aku kembali kepada kayu
dengan kapak telanjang bagai bintang.
Kepercayaanku rebah di dalam kapal-kapal itu.
Aku tak punya jalan lain kecuali untuk terus hidup.

 

Memandikan seorang bocah

Cinta, makhluk tertua di muka bumi
memandikan dan menyisir patung kanak-kanak,
menegakkan kaki-kakinya, lutut-lututnya,
air mengembang, busa-busa sabun merambat,
dan tubuh yang murni muncul untuk menghisap
udara dari bunga-bunga dan ibunya.
Oh perhatian yang tajam !
Oh muslihat yang manis !
Oh perang penuh kasih sayang !
Sekarang rambut itu tinggal segulung kekusutan
dihujani dari sana-sini dengan arang,
dengan tahi kayu dan oli,
jelaga, kawat-kawat, umpatan-umpatan,
sampai dengan kesabarannya
cinta
menyiapkan bak-bak dan kain-kain pembasuh
sisir-sisir dan handuk-handuk,
dan dari gosokan dan sisiran dan cahaya kekuningan,
dari keberatan-keberatan masa lampau dan dari bunga yasmin
muncullah bocah itu lebih bersih dari sebelumnya
melepaskan diri dari lengan-lengan ibunya
untuk merangkak lagi di atas badainya,
untuk mencari lumpur, oli, air kencing, tinta,
untuk melukai dirinya sendiri, berguling-guling di antara bebatuan
Di jalan itulah, dengan kebaruannya, bocah itu melompat ke dalam hidup
untuk kemudian mendapati saat di mana yang terpenting
adalah menjaga kebersihan, meski tak ada kehidupan.

 

Puji-pujian bagi pakaian yang hendak disetrika

Puisi itu putih :
muncul dari air yang terbungkus bulir-bulirnya
ia kisut dan bertumpuk,
ia mesti dibentangkan menjadi kulitnya planet,
mesti disetrika menjadi putihnya laut,
tangan-tangan terus menggosoknya,
permukaan-permukaannya pun menjadi halus
begitulah segalanya dikerjakan :
tangan-tangan menciptakan dunia setiap hari,
api dikawinkan dengan baja,
kain kanvas, linen dan katun kembali
dari pencucian
dan di luar cahaya seekor burung lahir :
kemurnian yang kembali dari pusaran.

 

Kelahiran-kelahiran

Kita tak akan pernah punya ingatan tentang sekarat
Kita begitu sabar
dengan kehidupan
mencatat habis
tanggal-tanggal, hari-hari,
tahun-tahun dan bulan-bulan,
helai-helai rambut, mulut-mulut yang kita kecup,
dan detik-detik menuju kematian itu
kita biarkan lewat tanpa tercatat :
kita tinggalkan bagi orang lain sebagai kenangan
atau kepada air begitu saja,
kepada air, kepada udara, kepada waktu.
Kita bahkan tak membawa
kenangan akan kelahiran,
padahal dilahirkan begitu baru dan menggemparkan :
dan kini kau tak mampu mengingat detilnya
tak menyimpan sebuah jejak pun
dari cahaya pertamamu.
Kita tahu kita dilahirkan.
Kita tahu bahwa di dalam kamar
atau di dalam hutan
atau di dalam naungan rumah para nelayan
atau di dalam gemersik kebun-kebun tebu
terdapat kesunyian yang luar biasa,
sebuah saat yang suram dan beku seperti
seorang perempuan yang menyiapkan sebuah kelahiran.
Kita tahu kita semua dilahirkan.
Tetapi dari tafsir yang dangkal itu
dari tidak ada menjadi ada, memiliki tangan,
melihat, memiliki mata,
makan dan menangis dan tumbuh besar
dan mencintai dan mencintai dan menderita dan menderita,
dari transisi atau getaran itu
dari kehadiran yang menggairahkan yang mengangkat
satu tubuh lagi seperti cawan kehidupan,
dan dari perempuan yang meninggalkan kekosongan,
ibu yang tertinggal dalam genangan darah
dan kesempurnaannya yang terkoyak
dari akhir dan awalnya, dan kekacauan
yang menggulingkan urat-uratnya, lantai, selimut-selimutnya
sampai semuanya hadir bersama-sama dan menyumbangkan
satu gerombolan lagi dalam jalinan kehidupan,
tak ada, tak ada yang tersisa dalam ingatanmu
tentang lautan buas yang mengumpulkan gelombang
dan merenggut sebiji apel tersembunyi dari pohon.
Tak ada yang bisa kau ingat kecuali nyawamu.

 

Kepada mayat lelaki malang

Hari ini kita menguburkan lelaki kita yang malang :
lelaki yang sangat sangat malang.
Dia selalu dalam nasib buruk
bahkan inilah untuk pertamakalinya
manusianya dimanusiakan.
Karena tak punya rumah, tak pula tanah,
tak punya abjad, tak pula kertas-kertas,
tak pula daging panggang,
maka dari satu tempat ke tempat lainnya, di jalan-jalan,
dia berjalan dalam kekurangan,
mati perlahan demi perlahan
begitulah dia semenjak lahirnya.
Mujur dan sangat jaranglah, mereka semua berpendapat sama
dari uskup sampai hakim
dalam menjaminnya masuk surga
dan kini wafatlah dengan hormat lelaki kita yang malang
ai, lelaki kita yang sangat sangat malang
dia tak akan tahu harus berbuat apa dengan begitu banyak langit.
Dapatkah dia mencangkulnya, menyemainya dan menuainya ?
Dia selalu melakukannya, dengan bengisnya
bertarung dengan tanah terjal
dan kini langit dengan leluasa membentangkan diri bagi cangkulnya,
dan kemudian di antara buah-buahan surga
dia akan mendapat bagiannya, dan di mejanya
di ketinggian sana segalanya tersedia
baginya untuk memuaskan hatinya akan surga
lelaki kita yang malang, yang membawa sebagai nasib baiknya
dari bawah, enam puluh tahun rasa lapar
untuk dikenyangkan, akhirnya, secara hormat,
tanpa pukulan-pukulan dari hidupnya lagi,
tanpa teraniaya demi makanan,
aman bagaikan keturunan raja-raja dalam kotak di bawah tanah
kini dia tak lagi berpindah-pindah untuk melindungi dirinya,
kini tak akan berjuang demi upahnya.
Dia tak pernah mengharapkan keadilan, begitulah dia,
tiba-tiba mereka memenuhi cawannya dan bersulang untuknya :
kini dia telah tersungkur dalam kesenangan.
Betapa beratnya dia sekarang, lelaki yang sangat sangat malang itu !
Kemarin dia cuma setumpuk tulang bermata legam
dan kini kita tahu, dari berat tubuhnya seorang,
ai begitu banyak hal yang dulu tak didapatkannya,
jika kekuatan ini terus-menerus,
mencari tanah-tanah tandus, menyusuri batu-batu,
menuai gandum, membasahi tanah liat,
menggiling belerang, mengusung kayu bakar,
jika lelaki yang begitu besar ini tak punya
sepasang sepatu, oh betapa sengsara, jika seluruh diri lelaki tersendiri
yang dipenuhi daging dan otot ini tak pernah mendapatkan
keadilan selama hidupnya dan semua orang memukulnya,
semua orang menjatuhkannya, dan meski demikian
dia terus saja dengan pekerjaannya, kini dengan mengangkat dirinya
dalam peti mati di atas bahu kita,
setidaknya kita tahu berapa banyak yang dulu tak dimilikinya,
bahwa kita tak membantunya selama hidupnya di dunia.
Kini mulai kita tanggung
segala yang tak pernah kita berikan padanya, dan kini sudah terlambat :
dia menindih kita dan kita tak mampu menanggungnya.
Berapa banyak orang yang menindih mayat kita ?
Dia menindih kita dengan seluruh berat dunia, dan kita terus
mengusung mayatnya di bahu kita. Jelas
bahwa surga dipenuhi makan besar.


Kepada “La Sebastiana”

Kubangun rumah.
Kubuat ia pertama di udara.
Kemudian kukibarkan benderanya di udara
dan kubiarkan ia membentang
dari cakrawala, dari bintang-bintang, dari
cahaya terang dan dari kegelapan.
Dari semen, besi, kaca,
seperti sebuah dongeng,
lebih berharga ketimbang gandum dan seperti emas,
aku harus mencari dan menjualnya,
dan datanglah sebuah truk :
mengosongkan karung-karung
dan karung-karung lainnya,
menara tertancap di tanah kokoh
–tetapi itu belum cukup, kata sang pendiri,
masih ada semen, kaca, besi, pintu-pintu–,
dan aku tak tidur semalaman.
Tetapi ia tetap tumbuh,
jendela-jendela tumbuh
dan dengan sedikit lagi,
dengan desakan rencana dan kerja
dan bekerja keras dengan lutut dan bahu,
ia tumbuh menjadi ada,
ke tempat yang dapat kaulihat dari jendela,
dan agaknya dengan begitu banyak karung
ia dapat berakar dan berkembang
dan, akhirnya, kokoh menggenggam bendera
yang tetap terbentang di langit dengan warna-warninya.
Kuserahkan diriku bagi pintu-pintu termurah,
pintu-pintu yang telah mati
dan telah dibuang dari rumah mereka,
pintu-pintu tanpa dinding, patah,
bertumpuk di timbunan-timbunan rapuh,
pintu-pintu tanpa kenangan,
tanpa jejak sebuah kunci,
dan aku berkata : “Datanglah
kepadaku, pintu-pintu yang ditinggalkan :
akan kuberi kalian sebuah rumah dan sebuah dinding
juga sekepal tangan untuk mengetuk kalian,
kalian akan bergerak lagi seperti jiwa yang terbuka,
kalian akan menjaga tidur Matilde
dengan sayap-sayap yang sangat berguna itu.”
Kemudian datanglah cat
menjilat pada dinding-dinding
membungkusnya dengan biru langit dan merah mawar
hingga mereka mulai berdansa.
Maka menara menari,
pintu-pintu dan anak-anak tangga bernyanyi,
rumah meninggi hingga menyentuh puncaknya,
tetapi uang itu pendek :
kuku-kuku itu pendek,
pendek pula pengetuk-pengetuk pintu, kunci-kunci, marmer.
Namun, rumah
tetap meninggi
dan sesuatu terjadi, suatu debaran
hadir dalam arterinya :
barangkali sebuah insang yang bergejolak
seperti seekor ikan dalam air mimpi-mimpi
atau palu yang mengetuk
seperti siku kondor yang gesit
di papan-papan cemara kita akan berjalan.
Sesuatu pergi dan hidup terus berlangsung.
Rumah tumbuh dan berbicara,
berdiri di atas kakinya sendiri,
memiliki pakaian yang membungkus kerangkanya,
dan seolah datang dari laut sebuah musim semi
berenang bagai bidadari air
mengecup pasir Valparaíso,
kini kita bisa berhenti berpikir : inilah rumah itu :
kini semua yang sempat hilang kembali biru,
segala yang dibutuhkannya hanyalah bersemi.
Dan itulah karya bagi musim semi.
Selamat tinggal selamat tinggal
Oh selamat tinggal selamat tinggal bagi satu tempat dan tempat lainnya,
kepada setiap mulut, kepada setiap kekecewaan,
kepada bulan yang biadab, kepada minggu-minggu
yang terluka hari-harinya dan menghilang,
selamat tinggal bagi suara ini dan bagi sepercik noda
penuh amaranto, dan selamat tinggal
bagi ranjang dan piring sehari-hari,
bagi semua perangkat selamat tinggal itu sendiri,
bagi kursi yang merupakan bagian dari senja yang sama,
bagi jalan yang dibuat sepatuku.
Kutebarkan diriku, tanpa bertanya,
kuganti seluruh kehidupan,
mengganti kulit, lampu-lampu, kebencian-kebencian,
itulah yang mesti kulakukan
tanpa hukum atau permohonan,
apalagi tindakan berantai,
setiap perjalanan baru menggubahku,
kudapatkan kesenangan di sebuah tempat, semua tempat.
Dan baru saja tiba, dengan hormat kuucapkan selamat tinggal,
dengan keindahan yang baru lahir
seperti jika roti tersedia untuk dibuka dan tiba-tiba
melarikan diri dari dunia meja.
Maka kutinggalkan segala bahasa,
mengulang-ulang selamat tinggal seperti sebuah pintu tua,
mengganti film-film, alasan-alasan, makam-makam,
meninggalkan setiap tempat untuk tempat yang lain lagi,
aku tetap hidup, dan hiduplah terus
setengah tidak bahagia,
pengantin lelaki di antara kesedihan,
tak pernah tahu bagaimana dan kapan
siap kembali, tak pernah kembali.
Kita tahu bahwa dia yang kembali tak pernah pergi,
maka kujejak dan kembali kujejaki hidupku
berganti pakaian dan planet,
selalu tumbuh bagi teman-teman,
bagi badai kencang yang menerpa orang-orang buangan,
bagi kesunyian yang hebat pada gemerincing lonceng.

 

Kepada semua orang

Aku tak dapat mengatakan kepadamu secara tiba-tiba
apa yang seharusnya kukatakan kepadamu,
kawan, maafkan aku, kau tahu
bahwa sekalipun kau tak mendengarkan kata-kataku
aku tak menangis atau tertidur
bahwa aku bersamamu meski tak melihatmu
untuk saat-saat indah yang panjang dan sampai kapan pun.
Aku tahu bahwa banyak yang bertanya-tanya,
apa yang dikerjakan Pablo ? Aku di sini.
Jika kau mencariku di jalanan ini
kau akan menemukanku bersama biolaku
mempersiapkan sebuah lagu
mempersiapkan kematian.
Tak ada yang dapat kutinggalkan bagi siapa pun
tidak bagi orang-orang lain itu, tak pula bagimu,
dan jika kau sungguh-sungguh mendengarkan, dalam hujan,
kau akan mendengar
bahwa aku datang dan pergi dan berkeliaran.
Dan kau tahu aku harus pergi.
Bahkan jika kata-kataku tak mampu memahami ini,
yakinlah bahwa akulah seseorang yang pergi.
Tak ada kesunyian yang tak berujung.
Ketika saatnya tiba, harapkanlah aku
dan biarkan mereka semua tahu bahwa aku kembali
di jalanan itu, dengan biolaku.

(Diterjemahkan dari bahasa Spanyol oleh Dina Oktavini)

Biografi Pablo Neruda
Sumber blog Faisal Kamandobat
Selengkapnya: Puisi-puisi Pablo Neruda

Road Show II: Antologi Puisi Penyair Indonesia "Puisi Menolak Korupsi" | Kota Tegal, 1-2 Juni 2013

Friday, 24 May 2013

Road show #01 di Blitar
Sumber gambar di sini
UNDANGAN

ROAD SHOW II, PUISI MENOLAK KORUPSI

Sabtu, 1 Juni 2013, Pkl 19.30 WIB
Di Halaman Gedung DPRD Kota Tegal
Jl. Yos Sudarso, Kota Tegal
Acara:
1. Launching Antologi Puisi Menolak Korupsi
2. Parade Baca Puisi Penyair Indonesia
3. Resital Biola Bintoro
4. Musik Reggae Tegalan
5. Tari Kantong Kresek Wahyu Ranggati
6. Ngromed Ki Dalang Barep

Minggu, 2 Juni 2013, Pkl 19.30 WIB
Di Kampung Seni, Pantai Alam Indah, Kota Tegal
Jl. Sangir No 1, Kota Tegal
Acara:
1. Baca Puisi Penyair Luar Jawa
2. Diskusi "Puisi Menolak Korupsi"
Beni Setia (Penyair Nasional, Caruban) & Atmo Tan Sidik (Pemerhati Sosial Budaya, Tegal),
Moderator Wijanarko (Sejarawan, Tegal)
3. Monolog Jenar (Teater Akar)

Sumber grup Puisi Menolak Korupsi dan Undangan Road Show

Koordinator :
085742847956 Nurngudiono Kmswt
081392853878 Sosiawan Leak

Alternatif:
085642649424 Bontot Sukandar
081391848609 M Enthieh Mudakir
081902200003 Dwi Eri Santoso

will be update..

Berita http://antaralampung.com/berita/268058/penyair-pun-tolak-korupsi
Selengkapnya: Road Show II: Antologi Puisi Penyair Indonesia "Puisi Menolak Korupsi" | Kota Tegal, 1-2 Juni 2013

Tiga Puisiku dalam Antologi bersama 85 Penyair Indonesia "Puisi Menolak Korupsi" (Forum Sastra Surakarta, 18 Mei 2013)

Tuesday, 21 May 2013


Hukum Tak Tegak

katakan padanya apa adanya dan ada apanya
tentang apa yang terjadi

menjungkal akal di kepala
meredam sesal di pembaringan
tak ada yang peduli nanti ketika kau mati

ah, hanya meracuni pikir saja
berlalu tanpa kepedulian
tingkah meningkah kebohongan dan konspirasi
demi menyelamatkan ambisi

hukum tak tegak siapa peduli
setiap bikin hukum baru cepat pula basi
mana yang salah mana yang benar

hukum tak tegak salah siapa
berorasi dan beretorika semakin elegan
terselubung tujuan dengan mengorbankan kawan maupun lawan
bersusah payah melawan lupa, melawan ambisi setan kalian

katakan sajalah padanya apa adanya dan ada apanya
tak usah sembunyikan tingkah polah
bukankah bangkai akan tercium juga?

ah, aku malas melihat wajah kalian para keparat
hanya membodohi kami
hanya membohongi kami
hanya menipu kami

anak cucu menanggung segala akibat

ah, kalian ini bermain pintarnya
do'a kami menjadi laknat

Karanganyar-Solo, 26 April 2008


Dunia yang Lekang

dongeng satu malam tentang diskriminasi moral
anomali kekalahan meniti waktu
persekongkolan dan permainan akal
inti sari agama menu sayur mayur beku

mata melepas kesadaran dengan akal yang bertolak belakang
antara fungsi yang sudah terkontaminasi
terus meresap dan tumbuh di seantero negeri
agama adalah ladang permainan yang tak terkendali

air hujan berjatuhan menghitung kenakalan birokrasi
ilmu kalkulasi dan manajemen uang panas yang rumit untuk dibicarakan rakyat kecil
mengumpulkan pundi-pundi keringat rakyat di kantong tebal dalam kotak besi
-kedangkalan otak dan sejuta ambisi

zaman sudah lekang
urusan dunia sudah menjadi urgent
nafsu dan uang adalah senjata utama
gemuruh petir menyambar kepala
berita korupsi lagi
aku melihat dengan mata kepala: saksi bisu tetapi!

laga panggung negara ini hanyalah sandiwara-sandiwara glamour menyusun rencana
undang-undang, pasal-pasal atau hukum agama sebagai topeng untuk menutupi keserakahan manusia sendiri

"dasar manusia cerdik!"

Karanganyar-Solo, 13 Desember 2005


Cukup Tuan Sandiwara Itu

luka negeri yang kian lebar dan mengkhawatirkan
merobek lagi sayatan pada penderitaan
adakah obat yang terbaik dan mujarab untuk menghentikannya

kami adalah generasi patah tersebab limbungnya moral
sekelumit do'a menyertai kalian

ambisi pribadi dan sekelompok golongan
lupakan segera Tuan
mari Tuan bangun negeri kembali

ini adalah rumah besar peninggalan Ibu Bapak kita Tuan
lupakah Tuan dengan Ibu dan Bapak kita?
lupakah Tuan kemana laju pikiran mereka?

luka negeri yang dalam dan diwariskan
cukup Tuan sandiwara itu

mengambil uang rakyat itu sungguh biadab Tuan
adakah obat yang terbaik dan mujarab untuk menghentikannya

Karanganyar-Solo, 07 Maret 2009

* Daftar para penyair yang puisinya masuk.
Selengkapnya: Tiga Puisiku dalam Antologi bersama 85 Penyair Indonesia "Puisi Menolak Korupsi" (Forum Sastra Surakarta, 18 Mei 2013)

Foto-foto Road Show I, 100 Penyair Indonesia dan Launching Buku "Puisi Menolak Korupsi" di Blitar, 18 Mei 2013

Monday, 20 May 2013

Lokasi Ampitheater, Kompleks Makam Bung Karno
Membaca puisi, "Cukup Tuan Sandiwara Itu"
 
 

Foto oleh Sulis Bambang. Foto selengkapnya

Foto oleh Ayu Cipta


 
 
Saya dan Sosiawan Leak
Foto oleh Friska Fauzi

Berdo'a di Makam Bung Karno, Sang Proklamator Indonesia
Foto oleh Sulis Bambang

Foto oleh Abdullah Mubaqi

Foto-foto lainnya:
Malam baca puisi kebangkitan di museum nasional Bung Karno
oleh Nurrochman Sudibyo
Persiapan Road Show Peluncuran Puisi Menolak Korupsi
oleh Sulis Bambang 
Puisi Menolak Korupsi
oleh Ayu Cipta 
Foto oleh Micha Adiatma

Video
Dwi Ery Santoso Baca Puisi di Blitar
Perform Rohmat Joko Prakosa dan Eka Pradhaning di Blitar
Sastra Riau (Surya) baca puisi di Blitar
Ardi Susanti baca puisi di Blitar
Sulis Bambang baca puisi di Blitar
Selengkapnya: Foto-foto Road Show I, 100 Penyair Indonesia dan Launching Buku "Puisi Menolak Korupsi" di Blitar, 18 Mei 2013

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas