Oleh Naning Pranoto
Imajinasi adalah sendi utama untuk menulis cerita. Apa pun bentuk
cerita tersebut: cerita pendek, cerita panjang, novel pendek (novelette),
novel, skenario film, naskah drama dan naskah sandiwara radio. Tulisan
ini terfokus pada penulisan cerita pendek, untuk menjawab beberapa
pertanyaan yang masuk ke e-mail saya. Satu dari pertanyaan tersebut dari Yessy. Inti pertanyaannya demikian:
Saya sulit menyelesaikan cerita yang saya tulis, karena ide saya
terus berkembang dan melebar tak menentu. Bagaimana caranya agar saya
bisa fokus pada ide pertama yang saya dapatkan?
Fokus dan Plotting
Kasus yang ‘menimpa’ Yessy pernah dialami oleh
setiap pengarang. Memang, itu yang terbanyak dialami oleh pengarang
pemula. Hal ini bisa terjadi, sangat mungkin karena sebelum menulis
tidak melakukan persiapan dengan baik. Seringkali kita asal menulis apa
yang ada di dalam kepala (ide) tanpa disertai peranan emosi (perasaan).
Menulis cerita, dalam hal ini fiksi, harus melibatkan peranan perasaan
dan pikiran tahap berikutnya. Haruslah senantiasa kita sadari, bahwa
setiap kita menulis, berarti sedang mengekspresikan isi pikiran dan
perasaan.
Seseorang menulis cerita, karena tersentuh pikiran dan perasaannya
oleh sesuatu, atau oleh sebuah peristiwa yang sangat mengesankan.
Sentuhan tersebut kemudian berkembang dan berkembang – berkat kekuatan
imajinasi. Manusia kreatif, punya daya imajinasi tinggi. Ini merupakan
aset utama untuk memperkaya dan memperindah cerita yang akan ditulisnya.
Imajinasi adalah energi untuk membentuk suasana atau dunia tersendiri.
Tanpa imajinasi penulis kesulitan untuk membangun sebuah alam fiktif.
Tetapi imajinasi itu harus terkendalikan. Jika tidak, imajinasi akan
berubah, menjema menjadi kuda liar yang tidak terkendali. Akibatnya,
cerita yang akan kita tulis bisa berantakan. Sehingga imajinasi yang
sangat bermanfaat itu menjadi potensi yang sia-sia. Solusinya, imajinasi
harus dikelola dengan baik – melalui strategi kendali imajinasi.
Imajinasi merupakan kekayaan seseorang karena ia memiliki kepekaan
emosional yang tinggidan pengalaman batin yang sangat kaya. Manusia
seperti itu akan mudah tersulut dan mampu mengobarkan api imanijasinya
yang menyala-nyala. Kobaran api imajinasi harus dijinakkan sebelum
‘mengaburkan’ imajinasi pokok (inti) yang sudah terbetuk. Caranya,
pertama fokus pada ide cerita yang pertama timbul untuk ditulis. Yakni,
ide awal yang tumbuh dalam hati atau pikiran kita. Langkah kedua,
buatlah lembar plotting sebelum menulis dengan materi yang
telah difokuskan. Yang paling ideal, materi yang akan ditulis telah
diendapkan beberapa saat, sehingga teresapi, terhayati dan terpahami
dengan baik. Sebab, menulis itu tidak sekadar tahu (I see) atau mengerti (I know) akan materi yang ditulisnya, tapi harus memahaminya (I understood).
Berdasarkan teori creative writing, proses plotting
merupakan fondasi untuk mengarang cerita. Tindakan ini seperti halnya
orang membangun rumah, harus membuat fondasi yang kuat dulu, sebelum
mendirikan tembok dan memasang atapnya. Sayangnya, banyak pengarang
yang langsung menulis begitu saja, tanpa memikirkan plotting. Ini yang disebut menulis dengan proses alami instinktif. Akibatnya, tulisan sulit terselesaikan karena kebablasan melebar ke mana-mana. Penulis juga pernah melakukan hal itu, sebelum belajar creative writing. Tapi sekarang, penulis selalu membuat plotting serapi mungkin sebelum menulis. Karena, menulis juga perlu dikelola agar hasilnya tidak mengecewakan.
Mengolah Ide dan Proses Kreatif
Setelah plotting selesai, lakukan langkah berikutnya yaitu
olah ide. Maksudnya, ide yang ada diolah masak-masak. Rinci: siapa saja
pelaku/karakternya disertai watak masing-masing secara jelas dan tegas.
Kemudian tentukan setting-nya: tempat dan waktu. Berikutnya,
konflik apa saja yang akan dikemukakan dan itu dikaitkan oleh watak para
pelakunya. Jangan lupa, background cerita ini yang terkait
dengan wawasan budaya dan pengetahuan pengarangnya. Setelah itu, pilih
kata-kata yang tepat, untuk dirangkai menjadi kalimat, sebagai media
cerita. Ini yang disebut bahasa cerita. Masing-masing cerita punya
bahasa tersendiri. Misalnya, bahasa untuk cerita kriminal tentu tidak
sama dengan bahasa untuk cerita cinta romantis. Tanpa adanya media
bahasa yang tepat, biasanya cerita menjadi tidak menarik atau tidak
dialogis alias tidak nyambung.
Olah ide yang paling ideal adalah menggunakan mood yang
manis, di mana emosi sedang peka. Kepekaan ini bisa terjadi saat sedang
gundah-gulana atau dalam kegembiraan. Berdasarkan fakta, saat seseorang
sedang sedih, gundah-gulana, galau dan merana, mampu memainkan emosinya
dengan baik – untuk menyentuh perasaan orang lain. Dengan demikian
karyanya menjadi hidup, memikat, tidak garing. Tapi bukan berarti
penulis harus menderita dulu, agar karyanya hidup, punya roh.
Olah ide perlu kesabaran, karena merupakan proses olah-rasa. Inilah
yang disebut proses kreatif. Proses ini bisa dilakukan dengan dua cara:
menulis dalam kepala atau menulis di atas kertas. Menulis dalam kepala
adalah proses yang sangat indah, karena bisa dilakukan di mana saja dan
berimajinasi tanpa batas. Menulis di atas kertas (corat-coret) perlu
tempat khusus dan menyendiri. Biasanya, paling tepat dilakukan pada
malam hari atau jam-jam kreatif yang disebut the golden time. Keduanya ini perlu dilakukan sebelum menulis agar imajinasi tidak liar ke mana-mana.
Refleksi Kehidupan
Seseorang yang menulis berdasarkan refleksi kehidupan, biasanya menghasilkan karya solid.
Sebaliknya, jika menulis hanya mengandalkan imajinasi, hasilnya akan
cair, bahkan bisa gagal. Sebagai contoh, penulis mengamati, sekarang ini
banyak pengarang muda yang menulis cerita berdasarkan ‘imajinasi’ yang
bersumber dari sinetron. Untuk mencapai ending cerita,
dipermudah misalnya dengan pelaku utama tertabrak mobil atau terserang
kanker otak. Bila cerita ditulis berdasarkan refleksi kehidupan,
tentunya kasus tertabrak mobil dan kanker otak sangat mungkin tidak
terjadi. Dengan kata lain, jika menulis cerita ‘terlalu’ mengada-ada
hasilnya menjadi kurang atau bahkan tidak logis. Ingatlah, bahwa dalam
fiksi juga perlu logika.
Refleksi kehidupan adalah pengalaman hidup. Maka jika dijadikan
sumber materi cerita hasilnya tidak hanya sebagai hiburan belaka, tapi
juga pencerahan. Untuk mendukung bobot isi, perlu ditambah dengan
berbagai referensi (data) yang kemudian difiksikan melalui proses
berimajinasi. Inilah yng disebut proses fiktivisasi. Di sinilah
kreativitas berperan menghidupkan cerita yang menarik, yaitu cerita yang
ada ruhnya.
Cerita yang mempunyai ruh membuat pembacanya seperti dihadapkan pada
kisah nyata. Dunia imajiner seolah menjadi dunia real, konkret.
Unsur-unsur yang membuatnya bisa menjadi hidup antara lain: setting tempat, setting
waktu, penciptaan watak para pelakunya, menciptakan konflik, kekuatan
bahasa dan kemahiran merangkai keruntutan alur. Tentu hal ini tidak
mudah untuk mewujudkannya, tapi bisa dipelajari dengan berbagai cara.
Antara lain: rajin berlatih menulis, banyak membaca karya pengarang
handal, dan pengembangan wawasan. Dan, yang terpenting lagi mampu
mengendalian ‘liarnya’ imajinasi.*
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)