Strategi Menjinakkan Imajinasi

Tuesday, 28 May 2013

Oleh Naning Pranoto

Imajinasi adalah sendi utama untuk menulis cerita. Apa pun bentuk cerita tersebut:  cerita pendek, cerita panjang, novel pendek (novelette), novel, skenario film, naskah drama dan naskah sandiwara radio. Tulisan ini terfokus pada penulisan cerita pendek, untuk menjawab beberapa pertanyaan yang masuk ke e-mail saya. Satu dari pertanyaan tersebut dari Yessy. Inti pertanyaannya demikian:

Saya sulit menyelesaikan cerita yang saya tulis, karena ide saya terus berkembang dan melebar tak menentu. Bagaimana caranya agar saya bisa fokus pada ide pertama yang saya dapatkan?

Fokus dan Plotting
Kasus yang ‘menimpa’ Yessy pernah dialami oleh setiap pengarang. Memang, itu yang terbanyak dialami oleh pengarang pemula. Hal ini bisa terjadi, sangat mungkin karena sebelum menulis tidak melakukan persiapan dengan baik. Seringkali kita asal menulis apa yang ada di dalam kepala (ide) tanpa disertai peranan emosi (perasaan). Menulis cerita, dalam hal ini fiksi, harus melibatkan peranan perasaan dan pikiran tahap berikutnya. Haruslah senantiasa kita sadari, bahwa setiap kita menulis, berarti sedang mengekspresikan isi pikiran dan perasaan.

Seseorang menulis cerita, karena tersentuh pikiran dan perasaannya oleh sesuatu, atau oleh sebuah peristiwa yang sangat mengesankan. Sentuhan tersebut kemudian berkembang dan berkembang – berkat kekuatan imajinasi. Manusia kreatif, punya daya imajinasi tinggi. Ini merupakan  aset utama untuk memperkaya dan memperindah cerita yang akan ditulisnya. Imajinasi adalah energi untuk membentuk suasana atau dunia tersendiri. Tanpa imajinasi penulis kesulitan untuk membangun sebuah alam fiktif. Tetapi imajinasi itu harus terkendalikan. Jika tidak, imajinasi akan berubah, menjema menjadi kuda liar yang tidak terkendali. Akibatnya,  cerita yang akan kita tulis bisa berantakan. Sehingga imajinasi yang sangat bermanfaat itu menjadi potensi yang sia-sia. Solusinya, imajinasi harus dikelola dengan baik – melalui strategi kendali imajinasi.

Imajinasi merupakan kekayaan seseorang karena ia memiliki kepekaan emosional yang tinggidan pengalaman batin yang sangat kaya. Manusia seperti itu akan mudah tersulut dan mampu mengobarkan api imanijasinya yang menyala-nyala. Kobaran api imajinasi harus dijinakkan sebelum ‘mengaburkan’ imajinasi pokok (inti) yang sudah terbetuk. Caranya, pertama fokus pada ide  cerita yang pertama timbul untuk ditulis. Yakni, ide awal yang tumbuh dalam hati atau pikiran kita. Langkah kedua, buatlah lembar plotting sebelum menulis dengan materi yang telah difokuskan. Yang paling ideal, materi yang akan ditulis telah diendapkan beberapa saat, sehingga teresapi, terhayati dan terpahami dengan baik. Sebab, menulis itu tidak sekadar tahu (I see)  atau mengerti (I know) akan materi yang ditulisnya, tapi harus memahaminya (I understood).

Berdasarkan teori creative writing, proses plotting merupakan fondasi untuk mengarang cerita. Tindakan ini  seperti halnya orang membangun rumah, harus membuat fondasi yang kuat dulu, sebelum mendirikan tembok dan memasang  atapnya. Sayangnya, banyak pengarang yang langsung menulis begitu saja, tanpa memikirkan plotting.  Ini yang disebut menulis dengan proses alami instinktif. Akibatnya, tulisan sulit terselesaikan karena kebablasan melebar ke mana-mana. Penulis juga pernah melakukan hal itu, sebelum belajar creative writing. Tapi sekarang, penulis  selalu membuat plotting serapi mungkin sebelum menulis. Karena, menulis juga perlu dikelola agar hasilnya tidak mengecewakan.

Mengolah Ide dan Proses Kreatif
Setelah plotting selesai, lakukan langkah berikutnya yaitu olah ide. Maksudnya, ide yang ada diolah masak-masak. Rinci: siapa saja pelaku/karakternya disertai watak masing-masing secara jelas dan tegas. Kemudian tentukan setting-nya: tempat dan waktu. Berikutnya, konflik apa saja yang akan dikemukakan dan itu dikaitkan oleh watak para pelakunya. Jangan lupa, background cerita ini yang terkait dengan wawasan budaya dan pengetahuan pengarangnya. Setelah itu, pilih kata-kata yang tepat, untuk dirangkai menjadi kalimat, sebagai media cerita. Ini yang disebut bahasa cerita. Masing-masing cerita punya bahasa tersendiri. Misalnya, bahasa untuk cerita kriminal tentu tidak sama dengan bahasa  untuk cerita cinta romantis. Tanpa adanya media bahasa yang tepat, biasanya cerita menjadi tidak menarik atau tidak dialogis alias tidak nyambung.

Olah ide yang paling ideal adalah menggunakan mood yang manis, di mana emosi sedang peka. Kepekaan ini bisa terjadi saat sedang gundah-gulana atau dalam kegembiraan. Berdasarkan fakta, saat seseorang sedang sedih, gundah-gulana, galau dan merana, mampu memainkan emosinya dengan baik – untuk menyentuh perasaan orang lain. Dengan demikian karyanya menjadi hidup, memikat, tidak garing. Tapi bukan berarti penulis harus menderita dulu, agar karyanya hidup, punya roh.

Olah ide perlu kesabaran, karena merupakan proses olah-rasa. Inilah yang disebut proses kreatif. Proses ini bisa dilakukan dengan dua cara: menulis dalam kepala  atau menulis di atas kertas. Menulis dalam kepala adalah proses yang sangat indah, karena bisa dilakukan di mana saja dan berimajinasi tanpa batas. Menulis di atas kertas (corat-coret) perlu tempat khusus dan menyendiri. Biasanya, paling tepat dilakukan pada malam hari atau jam-jam kreatif yang disebut the golden time.  Keduanya ini perlu dilakukan sebelum menulis agar imajinasi tidak liar ke mana-mana.

Refleksi Kehidupan
Seseorang yang menulis berdasarkan refleksi kehidupan, biasanya menghasilkan karya solid. Sebaliknya, jika menulis hanya mengandalkan imajinasi, hasilnya akan cair, bahkan bisa gagal. Sebagai contoh, penulis mengamati, sekarang ini banyak pengarang muda yang menulis cerita berdasarkan ‘imajinasi’ yang bersumber dari sinetron. Untuk mencapai ending cerita, dipermudah misalnya dengan pelaku utama tertabrak mobil atau terserang kanker otak. Bila cerita ditulis berdasarkan refleksi kehidupan, tentunya kasus tertabrak mobil dan kanker otak sangat mungkin tidak terjadi. Dengan kata lain, jika menulis cerita ‘terlalu’ mengada-ada hasilnya menjadi kurang atau bahkan tidak logis. Ingatlah, bahwa dalam fiksi juga perlu logika.

Refleksi kehidupan adalah pengalaman hidup. Maka jika dijadikan sumber materi cerita hasilnya tidak hanya sebagai hiburan belaka, tapi juga pencerahan. Untuk mendukung bobot isi, perlu ditambah dengan berbagai referensi (data) yang kemudian difiksikan melalui proses berimajinasi. Inilah yng disebut proses fiktivisasi. Di sinilah kreativitas berperan menghidupkan cerita yang menarik, yaitu cerita yang ada ruhnya.

Cerita yang mempunyai ruh membuat pembacanya seperti dihadapkan pada kisah nyata. Dunia imajiner seolah menjadi dunia real, konkret. Unsur-unsur yang membuatnya bisa menjadi hidup antara lain: setting tempat, setting waktu, penciptaan watak para pelakunya, menciptakan konflik, kekuatan bahasa dan kemahiran merangkai keruntutan alur. Tentu hal ini tidak mudah untuk mewujudkannya, tapi bisa dipelajari dengan berbagai cara. Antara lain: rajin berlatih menulis, banyak membaca karya pengarang handal, dan pengembangan wawasan. Dan, yang terpenting lagi mampu mengendalian ‘liarnya’ imajinasi.*

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas