Kaidah Estetik

Sunday, 21 October 2012

Oleh : Yusmar Yusuf 
Yusmar Yusuf
MANUSIA menjalani tugas dalam cemas. Kerisauan, kecemasan ialah racun yang menyerbuk sibuk. Orang pun sibuk dan bergegas menerawang juga menelaah puisi-puisi bangsa sebelumnya. Dan mereka ini dapatlah disebut sebagai sekumpulan yang memahami syarat kemajuan dunia.

Semakin jauh wawasan dan semakin tinggi spirit, maka seorang penyair akan semakin banyak menelaah. Ia tidak akan membatasi perhatiannya pada puisi satu bangsa. Hal ini terjadi karena seorang penyair berusaha mengekspresikan akal dan jiwanya menjadi sejarah dari jiwa manusia secara universal sekaligus menggambarkan 'wujud' dari apa yang dicapai oleh jiwa-jiwa manusia pada sebuah masa.

Puisi itu adalah nilai kemanusiaan, bukan nilai linguistik. Dia sesuatu yang menjunjung keteguhan terhadap masa lalu, terutama dalam 'kealamiahan dan kejujuran'. Dua wilayah inilah yang hendak diangkut  oleh puisi. Dia bukan sesuatu yang bergerak berdasarkan nilai linguistik, hukum-hukum bahasa yang kaku-baku, tetapi dia menjadi penggambar yang paling jati dari keadaan jiwa manusia dengan tetap mengindahkan kaidah-kaidah kekinian.

Bahwa kenyataan hari ini, persoalan hari ini harus diselesaikan dengan teknik, siasat dan kecerdasan yang tersedia dan dikonstruksi berdasarkan bahan baku kekinian. Bahan baku yang tersedia di masa lalu, ikut memperkaya keputusan, siasat dan teknik yang digunakan pada masa kini. Kaidah-kaidah masa lalu menjadi suatu jalan yang bijak, sesuatu yang memberi nilai tempat 'bercermin' dan 'berkaca' terhadap jiwa-jiwa yang terbelenggu pada masa lalu dan inilah persoalan yang sesungguhnya yang tengah kita hadapi hari ini.

Kecelaruan dalam memahami penggalan masa dan waktu, dia bisa menjadi pembunuh kelindan sejarah yang sedang kita tunggangi hari ini. Fernand Braudel, seorang sejarawan Prancis, menyebut sebuah waktu untuk melukiskan 'waktu sejarah' yang sangat panjang, penuh dinamika tapi sering tak disadari manusia yang melintasinya. Braudel menyebutnya dengan la longe duree. Bagi mereka yang bergelut dengan 'waktu sejarah' nan panjang ini, Braudel berpesan: 'jangan hanya berfikir jangka pendek, jangan percaya bahwa aktor-aktor yang bising itu yang paling autentik' (Nee pas penser dans le seul temps court, ne pas croire que la seuls acteur qui font du bruit soient le plus authentiques).

Puisi sebagai nilai kemanusiaan, karena puisi hampir ditemukan pada semua bangsa dan dalam semua bahasa. Tatkala suatu sajak atau pun bentuk-bentuk stanza yang indah terdapat dalam satu bahasa yang bagus, dia akan bagus pula dilukis dalam bahasa yang lain. Orang boleh mengatakan bahwa, para kreator seni hari ini hanya melakukan pengulangan-pengulangan bentuk. Tidak pernah menemukan bentuk-bentuk baru, dengan pengucapan-pengucapan baru, atau malah membongkar kaidah-kaidah lama yang dihidang dalam rasa kekinian. Walhasil, generasi kini, terperangkap oleh format dan bentuk-bentuk masa lalu yang baku dan pengap.

Sejarah berada pada sebuah benderang yang tak dipertengkarkan. Sejarah tidak berjalan dalam petak-petak interpretasi kreatif yang menyesuaikan dengan elakan-elakan peradaban yang mengemuka pada hari ini. Bentuk, yang telah menjadi, adalah bagian dari sejarah. Dan bentuk yang bergumal dengan sejarah ini pula yang diagung-agungkan oleh generasi kini, tanpa pernah merasa berdosa bahwa kita pada hari ini telah melakukan pemerkosaan dan perampokan terhadap sesuatu yang terjelma dan terhidang di masa lalu.

Sesuatu yang lama bagi kita hari ini adalah bentuk-bentuk liar dalam anggapan zaman di masa lalu. Dia tak lain dari sejumlah keliaran-keliaran bentuk yang asing dan meresahkan 'kemapanan' di sebuah zaman. Generasi kini seolah-olah gagal membangun 'perjumpaan-perjumpaan' baru yang dianggap keluar dari bentuk lama. Kita terkepung oleh keperkasaan tembok-benteng masa lalu. Dalam kepungan-kepungan yang pengap itu pula kita berlagak hendak menukil, mewaris dan menyajikan kaidah-kaidah kemanusiaan kepada dunia dalam semangat hari ini.

Ihwal ini berlangsung, karena orang tidak lagi menyelenggarakan hidupnya dalam cemas yang menyerbuk sibuk. Sibuk mencari, sibuk menemu, sibuk untuk resah, sibuk membangun imaji-imaji baru yang melintas zaman. Sibuk dengan imajinasi agung. Kemanusiaan itu sendiri adalah seperangkat nilai yang disusun berdasarkan imajinasi demi memuliakan manusia di antara makhluk lain. Dan kemanusiaan itu sendiri menjadi masalah besar ketika berhadapan dengan keterikatan manusia akan kekuasaan.

Bahwa kekuasaan sering keras dan ketat untuk orang lain, namun longgar untuk diri sendiri. Bahwa kekuasaan itu membentuk aturan. Dan aturan yang lahir dari seorang penguasa adalah sebuah siasat untuk mengelak. Aturan itu berlaku keras dan ketat untuk orang lain, bukan untuk diri sendiri. Tragedi kemanusiaan bergerak linier dengan pelatuk kuasa. Bahwa kekuasaan yang bertabiat awal untuk memuliakan kemanusiaan, malah dia menjadi instrumen untuk memusnahkan kemanusiaan dan keadilan. Ihwal ini berlangsung secara berulang-ulang. Dan puisi, mencatat itu sebagai jiwa sejarah yang koyak dan boyak.

Bentuk elakan yang dibangun penguasa untuk lepas dari aturan yang dibuatnya sendiri, senantiasa vulgar. Puisi, karya seni yang ikut menerkam dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang terhasil oleh kuasa itu tidaklah mesti menghidang vulgarity, namun dia harus tampil langgak dan mengusung moralitas yang berubah bentuk menurut ukuran zaman. Tidak mati dalam telanan tembok masa lalu yang pengap. Karya seni yang bermaksud menjadi tembok moral kemanusiaan itu, tidaklah mesti terperangkap dalam bentuk yang serba vulgar. Sebab vulgarity hanya hadir dari pelantar jiwa yang kasar dan bertabiat memusnahkan. Perilaku koruptif yang dilakukan oleh sekelompok elemen masyarakat yang disebut elite, sesungguhnya mempertontonkan vulgarity. Padahal dalam defenisi apapun di dunia yang beradab, bahwa musuh dari elite itu adalah vulgarity, bukan kemiskinan.

Apapun bentuknya, karya seni tidaklah bermaksud menghidangkan vulgarity. Karya seni dalam sejarah manusia mengusung segi-segi elitisme. Mungkin vulgarity bisa disandingkan dengan perilaku norak. Orang boleh kaya, bisa membeli apa saja yang dia mau. Namun dia tak mau tahu dengan prinsip padu-padan; maka seenak perut akan mengecat ruang tamu dengan warna pink. Dan inilah norak atau vulgarity itu. Bahwa seorang yang kaya-raya belum tentu dia berpenampilan elite, langgak dan sedap dipandang. Bisa saja seorang yang hidup sederhana, dia mampu mengemas dirinya dalam elitisme. Bahwa elitisme itu identik dengan kesehajaan, kesederhanaan; yang telah disentuh di awal tulisan ini sebagai 'kealamiahan dan kejujuran'.

Karya seni yang elitis itu senantiasa menjaga kesehajaan yang memikul tugas-tugas 'naturalism and honesty'. Dan terkadang nature bisa dimaknakan sebagai nurture (sesuatu yang terbawa). Dan kita pun bergerak dalam gegas cemas yang berfungsi menyerbukkan sibuk. Bahwa kehidupan itu mestilah sibuk dan tak kenal henti. Bahwa ketika orang berdiam, pada yang saat sama ujar Sullivan, kita hidup dalam tubuh yang mati.***

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas