Oleh : Al Azhar
Sebagian besar kritik yang ada seperti terkunci pada identifikasi kenyataan-kenyataan sejarah praktis di sekitar kehadirannya (terutama teks-teks masa lampau), pencirian dan penggolongan genre, makna-makna referensialnya, dan lain-lain. Sedikit sekali kajian yang menjelajahi teks itu sebagai lautan tanda dan makna, dan menilainya sebagai gugusan pulau-pulau pemikiran estetis dan etis yang dapat menggoda khalayak lintas-zaman.
Sumber : Majalah Sagang Edisi 134 |
ABSTRACT (RINGKASAN)
Sastra Melayu memiliki korpus teks yang besar, diwujudkan oleh dua teknologi tulisan (Arab Melayu/Jawi dan Latin/Rumi), dengan rentang masa penciptaan sekitar lima abad (sejak abad ke-16). Namun perkembangan pengkajian yang dilakukan setakat ini belum melahirkan tradisi kritik yang sebanding dengan kewibawaan yang terbayang dari kekayaan korpus teksnya, maupun potensi makna yang dikandungnya.
Sastra Melayu memiliki korpus teks yang besar, diwujudkan oleh dua teknologi tulisan (Arab Melayu/Jawi dan Latin/Rumi), dengan rentang masa penciptaan sekitar lima abad (sejak abad ke-16). Namun perkembangan pengkajian yang dilakukan setakat ini belum melahirkan tradisi kritik yang sebanding dengan kewibawaan yang terbayang dari kekayaan korpus teksnya, maupun potensi makna yang dikandungnya.
Sebagian besar kritik yang ada seperti terkunci pada identifikasi kenyataan-kenyataan sejarah praktis di sekitar kehadirannya (terutama teks-teks masa lampau), pencirian dan penggolongan genre, makna-makna referensialnya, dan lain-lain. Sedikit sekali kajian yang menjelajahi teks itu sebagai lautan tanda dan makna, dan menilainya sebagai gugusan pulau-pulau pemikiran estetis dan etis yang dapat menggoda khalayak lintas-zaman.
Kajian dan pembentangan hasil sementara
yang saya lakukan ini berusaha menganjungkan persoalan kepengarangan
(authorship), bertolak dari semangat pengertian yang dikemukakan dalam
salah satu esai Foucault berjudul “What is an author?”. Sebagaimana
ditekankan Foucault dalam esainya itu, fungsi pengarang ditelusuri
melalui jejak-jejak diskursusnya pada ketegangan antara ketiadaan dan
keberadaan dirinya dalam teks-teks yang dikaji. Dari identifikasi inilah
puitika (dalam pengertian prinsip-prinsip mengarang) ditentukan.
Setakat ini, yang ditelusuri baru teks-teks ’Riau’, dalam arti teks-teks yang dihasilkan para pengarang Riau, dan Sulalatus Salatin (sebuah teks Melayu yang paling sering dijadikan rujukan dalam narasi-narasi kesejarahan Melayu). Dari penelusuran yang dilakukan, diperoleh kesimpulan sementara bahwa para pengarang Riau mengalternatifkan kepengarangannya dalam dua fungsi utama: mereproduksi teks/dunia secara kreatif, atau merepresentasikan pengalaman dunianya secara kritis. Alhasil, teks-teks reproduksi kreatif hadir dengan tawaran menegaskan gagasan kesejarahan yang universal: ketegangan antara kontinuitas dengan diskontinuitas. Kontinuitas ditanamkan dalam jejak keserupaan, seperti hubungan genetik antara orang tua dan anak yang dikokohkan oleh konvensi-konvensi kebudayaan sejagat; sedangkan diskontinuitas disodorkan melalui jejak-jejak perbedaan, seperti galibnya retakan identitas diri antara anak dan orang tuanya.
Teks-teks representasi kritis pula tampil menohok perspektif, pendekatan, dan cara kita mengalami kenyataan serta gejala-gejala. Teks dan dunia yang diperlihatkannya dengan demikian hadir dalam rona yang murung, dan kemurungan itulah yang menjadi epik bagi semangat etiknya: memperbaiki.
Keywords: literature; Malay culture; criticism; poetic; author; Riau.
Setakat ini, yang ditelusuri baru teks-teks ’Riau’, dalam arti teks-teks yang dihasilkan para pengarang Riau, dan Sulalatus Salatin (sebuah teks Melayu yang paling sering dijadikan rujukan dalam narasi-narasi kesejarahan Melayu). Dari penelusuran yang dilakukan, diperoleh kesimpulan sementara bahwa para pengarang Riau mengalternatifkan kepengarangannya dalam dua fungsi utama: mereproduksi teks/dunia secara kreatif, atau merepresentasikan pengalaman dunianya secara kritis. Alhasil, teks-teks reproduksi kreatif hadir dengan tawaran menegaskan gagasan kesejarahan yang universal: ketegangan antara kontinuitas dengan diskontinuitas. Kontinuitas ditanamkan dalam jejak keserupaan, seperti hubungan genetik antara orang tua dan anak yang dikokohkan oleh konvensi-konvensi kebudayaan sejagat; sedangkan diskontinuitas disodorkan melalui jejak-jejak perbedaan, seperti galibnya retakan identitas diri antara anak dan orang tuanya.
Teks-teks representasi kritis pula tampil menohok perspektif, pendekatan, dan cara kita mengalami kenyataan serta gejala-gejala. Teks dan dunia yang diperlihatkannya dengan demikian hadir dalam rona yang murung, dan kemurungan itulah yang menjadi epik bagi semangat etiknya: memperbaiki.
Keywords: literature; Malay culture; criticism; poetic; author; Riau.
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)