Seorang dosen di Fakultas Sastra
Universitas Indonesia heran ketika berkunjung ke Universitas Leiden,
Belanda, beberapa tahun lalu. Ia heran bukan lantaran koleksi
karya-karya sastra lama Indonesia di sana jauh lebih lengkap ketimbang
di negerinya. Banyak kalangan, terutama para akademisi, sudah lama
memafhuminya. Kolonialisme, inilah yang kemudian sering muncul sebagai
tumbal argumentasi.
Tentu, bukan hal itu yang membuatnya heran. Mereka pun lebih lengkap mengoleksi karya-karya sastra mutakhir terbitan pelbagai komunitas sastra di Indonesia. Rupanya, itulah biang keladi keheranannya. Maklum, di almamaternya sendiri, ia merasa tak mudah menemukan karya sastra semacam itu. Padahal, pelbagai karya sastra itu diterbitkan paling lama sekitar 1995. Ia sendiri kemudian betah di Universitas Leiden untuk memperdalam ilmu dan meneliti sampai sekarang.
Cendawan di Musim Hujan
Memang, sejak awal 1980-an, di Indonesia tumbuh banyak komunitas sastra. Kalau kita pakai perumpamaan klise, fenomena tersebut bak cendawan di musim hujan. Pemetaan yang dilakukan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) untuk Litbang Harian Kompas (Jakarta) pada 1997 saja berhasil mengumpulkan informasi dari 54 komunitas sastra yang tumbuh dan atau masih aktif di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek). Dari jumlah tersebut, yang berhasil dipetakan ada 46 komunitas sastra. Jumlah tersebut saja melebihi jumlah 35 organisasi yang mengikuti Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) yang digelar di Jakarta pada awal Maret 1964. Artinya, selama 33 tahun, jumlah komunitas sastra di wilayah yang lebih sempit sudah melebihi jumlah komunitas di wilayah yang jauh lebih luas, walau mungkin di wilayah yang lebih luas tersebut masih banyak komunitas sastra yang tidak turut konferensi tersebut.
Kalau wilayahnya kita perluas sampai seluruh Indonesia dengan rentang waktu sama (1997), jumlahnya bisa ratusan atau bahkan lebih. Apalagi jika rentang waktunya diperpanjang melebihi tahun tersebut. Melani Budianta, dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia, misalnya, pada diskusi “Mencermati Sastra Subkultur Kita” yang diselenggarakan Yayasan Obor Indonesia di Jakarta, 31 Mei 2001, memperkirakan bahwa pada saat itu jumlah komunitas sastra di Indonesia lebih dari 200 dan 75 di antaranya berada di Jakarta. Jumlah tersebut pun belum termasuk komunitas sastra yang dibentuk di kampus-kampus perguruan tinggi.
Kalau rentang waktu untuk taksiran Melani diperpanjang ke depan hingga 2010, misalnya, jumlahnya jauh di atas angka itu. Krisis moneter (krismon) pada 1997 yang berkembang menjadi krisis multidimensi, lalu berujung dengan mundurnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) pada 21 Mei 1998, menyorongkan ruang yang luas untuk tumbuhnya kelompok-kelompok, termasuk kelompok kesusastraan. Krismon membangkrutkan banyak perusahaan dan menciptakan pengangguran di mana-mana. Mengamen menjadi salah satu cara bagi para pengangguran untuk bertahan hidup. Dari sana, muncullah aktivitas pementasan karya sastra, terutama puisi, di atas moda transportasi darat. Keguyuban di antara para pelakunya melahirkan sejumlah komunitas sastra. Tumbuhnya ratusan media massa sejak 1998 setelah Menteri Penerangan Kabinet Reformasi Pembangunan pimpinan Presiden Baharuddin Jusuf (BJ) Habibie, M. Yunus Yosfiah, membuka keran kebebasan penerbitan media massa tentu turut merangsang ramainya komunitas sastra. Begitu juga pencabutan Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), terutama komunitas sastra yang berbasis warga negara Indonesia keturunan Tionghoa.
Kalau kita sepakat dengan asumsi bahwa komunitas teater, komunitas seni secara umum, atau komunitas nonseni tak terlepas atau tak jarang juga melakukan aktivitas sastra, jumlah “komunitas sastra” tentu lebih banyak lagi. Maklum, jumlah aktivitas sastra seolah tak pernah menyusut. Penyelenggaranya tentu tak hanya komunitas sastra, tapi juga komunitas seni yang lain atau bahkan komunitas nonseni yang punya perhatian atau minat terhadap sastra. Apalagi, tak sedikit pekerja sastra yang juga berteater, berseni rupa, dan ataupun menggeluti atau sekurangnya meminati cabang kesenian lain ataupun sebaliknya, tak sedikit orang di luar pekerja sastra menggeluti atau sekurangnya meminati sastra. Kenyataan tersebut juga kembali menambah deret panjang “komunitas sastra”. Kalau ingin bukti, tengok saja buku Direktori Seni dan Budaya Indonesia 2000, misalnya. Dari 3.869 komunitas seni budaya di Indonesia yang berhasil dicacat hingga 1999, komunitas yang melakukan aktivitas sastra melebihi angka taksiran Melani tadi. Mereka bukan hanya komunitas sastra, tapi komunitas cabang kesenian yang lain, komunitas seni secara umum, atau bahkan komunitas budaya.
Data yang mencengangkan dapat dilihat pada hasil Susenas Model 2003 yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS)—sekarang, namanya Badan Pusat Statistik (BPS). Selama 1993-2003, BPS mencatat keberadaan 89.658 organisasi kesenian dari 26 provinsi di Indonesia. Jumlah tersebut meliputi organsasi kesenian di bidang musik, seni tari, seni rupa, karawitan, pedalangan, teater, dan sastra. Organisasi kesenian di bidang sastra mencapai 4.699 atau 5,24% dari jumlah total organisasi kesenian itu.
Penyebaran berbagai komunitas sastra itu tak merata. Pulau Jawa menjadi wilayah yang paling banyak memiliki organisasi kesenian di bidang kesusastraan. Provinsi-provinsi di Maluku dan Papua diperkirakan sebagai wilayah yang paling sedikit memiliki komunitas sastra.
Perubahan Politik, Sosial, dan Ekonomi
Kesemarakan pertumbuhan komunitas sastra di Indonesia selama 30 tahun terakhir itu tentu tak lepas dari kondisi politik, sosial, dan ekonomi selama rentang waktu tersebut. Selama itu, masyarakat Indonesia mengenal dua tipe kehidupan politik, sosial, dan ekonomi yang berbeda. Selama 20 tahun hingga Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden RI, masyarakat Indonesia hidup dalam hegemoni negara, yang direpresentasikan oleh pemerintahan Soeharto dengan aktor tunggal Soeharto sendiri. Rentang waktu tersebut merupakan bagian utama dari 32 tahun masa kepemimpinan Soeharto yang berkuasa secara otoriter. Selama 32 tahun rezim Orde Baru tersebut, kekuatan negara lebih besar ketimbang pengaruh masyarakat. Bahkan, banyak analis politik dan sosial menilai masa tersebut sebagai periode ketertekanan masyarakat yang teramat sangat, terutama sejak 1980-an.
Dengan posisi yang lebih kuat itu, negara mampu mengambil sejumlah langkah kebijakan politik untuk mengendalikan kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Akibatnya, pada awal 1980, Pemerintah Indonesia telah berhasil melemahkan semua potensi kritis masyarakat. Masyarakat tak lagi berani berseberangan atau berbeda paham dengan pemerintah. Sebab, kontrol pemerintah ditebar di mana-mana. Masyarakat seperti hidup dalam rumah kaca.
Kalau akhirnya masyarakat seperti menerima kondisi represif tersebut, hal itu lebih karena efektifnya pengaruh candu ekonomi yang ditiupkan rezim Soeharto. Tapi, di luar keterbiusan oleh candu ekonomi, masyarakat sesungguhnya tak sepenuhnya menerima represi negara dengan diam seribu bahasa. Kelompok masyarakat yang kritis membentuk kelompok-kelompok kecil yang bergerak secara informal di luar wilayah-wilayah yang mudah dikontrol penguasa. Begitu juga dengan kelompok-kelompok kesenian, termasuk kelompok kesusastraan. Mulanya mereka tumbuh di taman-taman budaya yang dibangun pemerintah, tapi kemudian menyebar ke luar setelah taman-taman budaya berubah menjadi pusat-pusat kesenian. Maraknya pertumbuhan komunitas sastra di luar pusat-pusat kesenian itu boleh jadi merupakan upaya berkelit dari represi negara terhadap para warganya serta tak lepas dari munculnya kesadaran kolektif yang lebih meluas pada 1980-an dan lebih-lebih pada 1990-an untuk tak lagi menempatkan Jakarta sebagai barometer standar estetika kesusastraan Indonesia.
Belum lagi perkembangan teknologi informasi (TI) memberikan kesempatan yang nyaris tanpa batas yang disediakan situs-situs web sastra, blog sastra, mailing list (milis), ataupun situs jaringan sosial seperti friendster (www.friendster.com) dan facebook (www.facebook.com) di dunia maya alias internet yang mulai tumbuh sebelum krisis moneter pada pertengahan 1997. Dunia maya kemudian tak hanya menjadi wadah untuk menyosialisasikan karya sastra, tapi juga menjadi wadah untuk saling berinteraksi: mulai dari berdiskusi, berdebat, bergunjing, tukar informasi, apresiasi interaktif, atau sekadar berkenalan di antara orang-orang yang menyenangi, meminati, dan atau memahami karya sastra. Sejak itulah, komunitas-komunitas sastra di dunia maya, yang kemudian ditengarai sebagai komunitas sibersastra, bermunculan memperkaya ragam komunitas sastra.
Jalan Pintas Legitimasi Kesastrawanan
Awalnya, kesemarakan pertumbuhan komunitas sastra di Indonesia itu dicurigai dilatari kecenderungan seperti ini: seseorang yang merasa belum menjadi sastrawan menjadikan komunitas sastra sebagai “kendaraan” yang akan menyulapnya sebagai sastrawan. Komunitas sastra berperan sebagai legitimator status “kesastrawanan”. Atau, seseorang yang sudah merasa menjadi sastrawan menjadikannya sebagai “kendaraan” yang akan menguatkannya sebagai sastrawan besar. Besar di sini dapat bermakna sastrawan yang menghasilkan karya-karya bermutu tinggi, yang berpotensi memopulerkan namanya. Atau, besar juga dapat berarti nama besar yang dihasilkan dari politik sastra yang ditempuhnya, bukan lantaran karya-karyanya. Bahkan, boleh jadi, karya-karyanya tak seberapa atau bahkan bermutu rendah. Tapi, karena aktivitas politik sastranya lebih heboh, namanya menjadi besar dan terkenal.
Fenomena semacam itu mengemuka lantaran tak sedikit komunitas sastra dibentuk dengan relasi yang tidak imbang antaranggotanya. Dalam bahasa politik, ia dikenal sebagai kekuasaan. Relasi yang tidak imbang tersebut mungkin lahir lantaran komunitas sastra itu sejak awal memang berfungsi sebagai sanggar atau wadah pembibitan atau pelatihan. Dalam kondisi demikian, potensi konflik antarkepentingan mungkin lebih kecil untuk terjadi atau bahkan tak ada celah. Sebab, komunitas semacam itu memang dibangun dengan kesadaran bahwa relasi antaranggotanya memang timpang alias tidak imbang. Tak heran bila pihak yang terdominasi atau terhegemoni kekuasaan itu tak merasa dirugikan. Kekuasaan dengan citra positif sebagaimana dipahami Michel Foucault tampaknya cocok untuk kondisi seperti itu.
Dalam relasi tak imbang seperti itu, biasanya, ada pemuka yang berperan sebagai pusat kekuasaan. Seluruh instrumen komunitas berputar dalam hegemoninya. Seluruh anggota komunitas biasanya berusaha mengidentifikasi diri sesuai dengan keinginan, pemikiran, dan sikap sang pemuka. Walaupun mungkin sang pemuka tak menghendaki hal-hal semacam itu terjadi, sikap feodalistik para anggota tak jarang membuat mereka sungkan atau “takut” mengidentifikasi diri menjadi sesuatu yang bertentangan dengan keinginan, pemikiran, dan sikap sang pemuka. “Takut” dinilai tak sopan, tak tahu diri, dan semacamnya seolah-olah telah menjadi senjata yang dibikin mereka sendiri untuk membunuh keakuannya. Padahal, di sisi lain, di antara mereka banyak yang menyadari bahwa keakuan merupakan salah satu senjata kesenimanan, termasuk kesastrawanan.
Kecenderungan seperti itu terjadi pada banyak komunitas besar. Ada seseorang yang menjadi as atau pusat. Semua orang yang ada di sekitar atau sekelilingnya mencoba mengidentifikasi diri seperti sang pusat. Tak heran kalau kemampuan kritis mereka terhadap sang pusat majal. Kalau hal ini terjadi, pertumbuhan dan perkembangan komunitas sastra selama 30 tahun terakhir terasa paradoks.
Di satu sisi, kehadiran berbagai komunitas sastra itu seperti ingin menegasikan apa yang selama ini disebut pusat: Taman Ismail Marzuki di antara taman-taman kesenian lain, Jakarta di antara propinsi-provinsi lain, Majalah Horison di antara majalah-majalah lain atau Majalah Horison sebagai sebuah kesendirian, rubrik seni dan budaya Harian Kompas pada edisi Minggu di antara harian-harian lain yang memiliki rubrik yang sama, dan seterusnya.
Namun, di sisi lain, kehadiran pelbagai komunitas sastra seperti menciptakan pusat-pusat baru. Bedanya, pusat pertama bersifat institusional yang beragam. Karena itu, sifat acuannya pun samar. Karena acuannya samar, setiap proses kreatif yang mengacu kepadanya masih memiliki potensi keanekaan yang lebih luas. Sedangkan, pusat kedua bersifat personal individual. Karena itu, referennya tegas dan tunggal. Karenanya, setiap proses kreatif yang bertolak darinya memiliki peluang yang lebih sempit untuk menjadi penuh warna. Boleh jadi, hasil dari setiap proses kreatif itu hanyalah manifestasi dari isi kepala sang pusat atau varian-varian yang hanya sedikit berbeda dari karya-karya kreatif sang pusat. Kalau hal tersebut yang terjadi, pusat-pusat baru yang personal individual ini tentu “lebih berbahaya” untuk suatu kreativitas dan inovasitas.
Sementara, bila relasi yang tidak imbang itu lahir bukan karena konsekuensi bentuk komunitas sastra, ketimpangan itu muncul biasanya lantaran pihak pendominasi atau penghegemoni memiliki kemampuan menjalin hubungan antarpersonal dan jaringan yang lebih luas. Ada juga memang sejumlah komunitas dengan hubungan antaranggota yang timpang karena pihak pendominasi atau penghegemoni memang memiliki pengetahuan sastra dan kemampuan menghasilkan karya sastra yang lebih baik. Tapi, yang terakhir ini tampaknya jauh lebih sedikit dari yang pertama. Komunitas sastra model pertama itu sendiri biasanya dibentuk lebih karena inisiatif pihak pendominasi atau penghegemoni. Dalam kondisi seperti itu, konflik antarkepentingan lebih berpeluang terjadi. Kalau hal ini mencuat, komunitas sastra tersebut terancam bubar.
Ancaman yang sama juga dapat membayangi komunitas sastra yang bersandar pada satu figur tertentu sebagai pusat segalanya. Tapi, ancaman tersebut tak dilatarbelakangi konflik yang tajam antaranggota. Sebab, dalam komunitas dengan pusat satu tokoh tertentu, keberlangsungan hidup komunitas sastra cenderung tak dipengaruhi ada tidaknya konflik antaranggota. Apalagi bila konflik itu tak melibatkan sang pemuka atau sang pusat.
Akhirnya, ancaman bubar bagi komunitas sastra semacam itu biasanya hanya muncul dari sang pemuka sendiri. Keberadaan komunitas sastra tetap akan terjaga dan bergairah selama sang pemuka tetap bergairah pula. Kalau sang pemuka tak lagi bergairah atau bahkan meninggal dunia, komunitas sastra itu dapat lebih dipastikan akan terancam bubar.
Ketakloyalan Anggota
Jumlah anggota setiap komunitas sastra di Indonesia sedikit. Rata-rata tak lebih dari sepuluh orang. Yang paling banyak memang komunitas sastra dengan jumlah anggota seperti itu. Di bawah mereka adalah komunitas sastra dengan jumlah anggota puluhan orang. Yang disebut “puluhan orang” pun biasanya tak lebih dari 30 orang atau bahkan 20 orang. Dari jumlah yang sedikit itu pun, loyalitas keanggotaan mereka tak sepenuhnya kokoh. Sistem keanggotaan yang longgar membuat mereka bisa dengan mudah menjadi anggota pada lebih dari satu komunitas sastra atau bahkan mendirikan komunitas sastra baru tanpa meruntuhkan atau menghilangkan keanggotaan mereka pada komunitas sastra sebelumnya.
Yang jauh lebih sedikit adalah komunitas sastra dengan jumlah anggota ratusan atau bahkan ribuan orang. Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Himpunan Pengarang Indonesia (HPI) Aksara, Apresiasi Sastra (Apsas), Forum Lingkar Pena (FLP), dan Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia (Kompi) merupakan sejumlah contoh yang mudah disebut untuk 1990-an hingga sekarang. Dari era sebelumnya, 1980-an, kita dapat menyebut Himpunan Penulis, Pengarang, dan Penyair Nusantara (HP3N). Bahkan, konon, HP3N pernah memiliki koordinat di seluruh provinsi di Indonesia, kecuali Irian Jaya dan Timor Timur. Sejak 1990-an hingga 2009, kelihatannya, hanya FLP dan Apsas yang mampu melewati kemasifan HP3N yang sudah lama tak terdengar lagi kiprahnya. Apsas memiliki jumlah anggota yang besar, yakni hampir 800 orang per awal 2007.
Loyalitas merupakan karakter yang langka pada kebanyakan komunitas sastra di Indonesia. Selain sistem keanggotaan yang longgar pada kebanyakan komunitas sastra seperti dijelaskan di atas, sebagaimana cabang kesenian yang lain, kesusastraan lengkap dengan masyarakat pendukungnya memang sudah telanjur diidentikkan sebagai dunia ketersendirian. Karakter petualang yang melekat dalam dunia ketersendirian tersebut merangsang mereka untuk terus mencari, termasuk pencarian yang menuntut mereka melakukan mobilitas yang tinggi. Kalaupun kemudian masyarakat pendukung kesusastraan itu membangun atau memasuki suatu organisasi, entah formal, lebih-lebih informal, sifat bawaan dunia ketersendirian itu seperti sukar dilepaskan. Jadilah pendirian organisasi komunitas sastra menyimpan paradoks pada dirinya sendiri.
Satu Sastrawan di Lebih dari Satu Komunitas
Memang, sangat tidak mudah menemukan sastrawan generasi 1990-an ke depan yang tidak terlibat dalam komunitas sastra. Sastrawan generasi sebelumnya yang tetap aktif menghasilkan karya sastra atau tetap terlibat dalam aktivitas sastra juga berkiprah atau menjadi anggota komunitas sastra. Bahkan, ada di antara mereka, terutama sastrawan generasi 1980-an ke depan, menjadi anggota lebih dari satu komunitas sastra, walau komunitas-komunitas sastra itu tak selalu hidup dalam rentang waktu yang sama. Fakta tersebut bukan hanya terjadi di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek), melainkan juga menjadi milik banyak wilayah yang selama ini dikenal sebagai basis pertumbuhan dan perkembangan komunitas sastra di Indonesia.
Ada banyak sebab yang membuat mereka tampak terlibat di lebih dari satu komunitas. Satu, mereka ingin meluaskan wilayah sosialisasinya. Dua, mereka merasa tak puas dengan komunitas sebelumnya. Tiga, komunitas-komunitas sebelumnya atau yang lain memang sudah bubar, tak aktif alias vakum, atau kegiatannya sangat insidental dan jarang. Empat, membentuk atau aktif di suatu komunitas bukanlah pekerjaan yang sulit. Maklum, lebih dari separuh komunitas yang ada memiliki bentuk organisasi yang nonformal atau informal dan menerapkan sistem keanggotaan yang longgar.
Dari Buruh hingga Direktur
Namanya memang komunitas sastra. Tapi, karena yang menyukai sastra bukan hanya sastrawan, profil anggota komunitas sastra tak semuanya sastrawan. Sastrawan memang menempati porsi terbesar sebagai profil anggota komunitas sastra. Tapi, komunitas sastra tetap dihuni orang-orang yang sehari-hari tidak dikenal sebagai sastrawan. Mereka bisa pekerja seni nonsastra, buruh pabrik, pegawai negeri atau swasta, siswa atau mahasiswa, guru atau dosen, dokter, hingga direktur.
Sebagian besar komunitas sastra, sekali lagi, memang beranggota para pekerja sastra atau orang yang selama ini dikenal sebagai sastrawan, meski punya pekerjaan lain di luar aktivitas sastra. Tapi, ada juga komunitas sastra yang anggotanya tak hanya pekerja sastra, tapi juga pelbagai pekerja seni nonsastra. Komunitas sastra yang memiliki anggota bak gado-gado pun ada. Siapa saja —apa pun profesi dan latar belakang pendidikannya— yang menyenangi sastra dan ingin terlibat dalam aktivitas sastra boleh ikut.(Bersambung)
Iwan Gunadi
sedang melakukan penelitian tentang komunitas sastra di Indonesia. Menulis esai sastra danbahasa di berbagai media. Pernah bekerja sebagai redaktur bahasa di beberapa media seperti Tabloid Penta dan Majalah InfoBank. Tinggal di Tangerang, Banten.
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)