(Artikel) Berharap pada Kesunyian Sastra

Monday, 9 January 2012

Edisi : Minggu, 11 Oktober 2009 , Hal.IV

Pada hari-hari ini politik begitu mewarnai kita. Banyak orang begitu perhatian pada peristiwa atau kejadian politik.

Hiruk-pikuk politik merupakan warna tersendiri dalam kehidupan sebuah negara. Sesuatu yang wajar bagi banyak orang, tetapi juga menjadi tidak wajar di satu sisi. Peristiwa politik yang begitu hebat di negara ini seolah tidak memberikan satu tempat untuk merefleksikan kehidupan. Pada ruang yang mana kehidupan kita menjadi begitu nikmat? Politik tidak pernah memberi kepastian untuk itu. Di satu sisi tidak banyak hal yang dulu memberi satu ruang untuk kenikmatan/ketenangan hidup menjadi sebuah pilihan. Di antara pilihan-pilihan yang ada mungkinkah kita berharap pada dunia sastra?

Sastra tidak sekadar sebuah karya atau bahasa, melainkan cara untuk menikmati. Saat peristiwa politik begitu kuat dominasinya pada kehidupan kita, sastra selalu hadir dengan pilihan yang berbeda. Ketika sastra Indonesia modern dimulai, sastra memilih untuk menjadi pendamping yang damai bagi kehidupan sosial politik. Angkatan Balai Pustaka yang memiliki tradisi romannya menempatkan sastra sebagai gerakan kebahasaan yang paling awal di Indonesia. Tapi ada kalanya sastra sehati dengan peristiwa politik. Gerakan kemerdekaan di dekade 1940-an adalah contoh nyata sastra sebagai teman sepenanggungan politik. Orang tidak akan melupakan puisi-puisi Chairil Anwar yang terpengaruh revolusi kemerdekaan.

Hubungan sastra dan politik memang tidak pernah memiliki kesamaan dalam satu peristiwa ke peristiwa yang lain. Pernah juga sastra berseberangan dengan kondisi politik negara ini. Dalam lima tahun terakhir kita diuji pada bentuk hubungan antara sastra dan politik. Politik negara yang sepuluh tahun lalu seperti halnya Kota Pandora, sulit untuk terbuka, diperbincangkan dan menjadi isu masyarakat berubah drastis. Kini masyarakat bebas berbicara, mengkritik siapa saja termasuk pemerintah. Sastra di sisi yang lain berusaha mengimbangi perubahan itu, bahkan mungkin sebelumnya sastra telah memulai perubahan tersebut.

Persoalan kemudian dinamika politik tidak mampu diikuti oleh kehidupan sastra. Sastra kita berhadapan dengan banyak persoalan yang begitu rumit dan kompleks. Perubahan politik ternyata hanyalah sebuah pintu bagi perubahan yang lebih besar yaitu cara pandang dengan segala konsekuensinya. Negara tidak lagi begitu berkuasa pada individu, sementara itu luka-luka sosial yang dulu tertutupi oleh kekuasaan politik menghadirkan konflik-konflik baru.

Kompleksitas persoalan ini tidak mampu dihadapi oleh masyarakat sastra secara langsung. Sastra kemudian seolah menepi, tetapi juga memunculkan dinamika semu di permukaan. Sastra menyingkir dari ruang-ruang publik di saat masyarakat membutuhkan dukungan agar tidak sekadar hanyut dalam hiruk pikuk politik. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh beberapa kelompok politik agar mereka diterima sebagai bagian dari sastra. Lewat sastra para “pembonceng” ini hadir dengan mainstream baru mereka. Muncullah karya sastra dengan ciri-ciri tertentu yang berhubungan dengan perspektif kelompok, agama ataupun lokalitas.

Sastra terfragmentasi sedemikian rupa, pembaca digolongkan berdasarkan pada pilihan-pilihan yang menyempit. Seiring dengan itu sastra semakin menjauh bahkan meninggalkan kehidupan yang nyata dari masyarakat. Sastra yang berada tepat di persimpangan pada situasi bangsa sekarang ini adalah kondisi terburuk dari pencapaian sejarah sastra itu sendiri. Kita bisa membayangkan bahwa sejarah sastra yang dimulai era Balai Pustaka hingga akhir 90-an masih menunjukkan sebuah catatan hubungan yang jelas antara sastra dengan kehidupan sosial. Tetapi sekarang kita akan berhadapan dengan kondisi kesusastraan yang jauh dari itu semua.

Padahal di berbagai negara membuktikan bahwa perubahan sosial atau politik terinspirasi dan memiliki hubungan yang kuat dengan sastra. Tulisan-tulisan Gabriel Garcia Marquez, Octavio Paz atau novel Boris Paternak adalah pendorong perubahan di negara pengarangnya. Pembelokan peran sastra yang sebatas bacaan hiburan dan pelipur lara ini menjadi semacam pembodohan lewat sastra.

Maka yang dibutuhkan dari persoalan sastra kita adalah pentingnya sebuah kritik. Kritik yang menjembatani sastra dengan kehidupan yang berubah. Tidak sekadar berbasa-basi dengan teori atau melegitimasi layak tidaknya sebuah karya dibaca. Tetapi kritik sastra yang diharapkan hadir adalah kritik yang berani mengatakan pentingnya perubahan dalam kesusastraan kita.

Hal itu memungkinkan terjadi kalau kritikus tidak melihat sastra dengan kacamata yang sempit. Selama ini kritik sastra memiliki peran penting melepaskan sastra sebagai bagian kehidupan manusia menjadi sebatas hiburan tadi. Tentu kita masih ingat saat novel-novel tertentu yang terjual jutaan buku. Kritik sastra tidak pernah mengiyakan, tetapi juga tidak bisa mengatakan bahwa hal itu justru melumpuhkan perjalanan kesusastraan yang panjang.

Kekritisan kita sebagai bagian sastra ditumpulkan dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Orang dilenakan seolah kehidupan nyata mereka bisa terhiburkan oleh bacaan-bacaan yang menyentuh hati, atau tulisan berlatar sebuah keyakinan. Saat situasi kehidupan yang nyata coba dimanipulasi sedemikian rupa, sudah saatnya sastra mengambil peran penting. Kalau Seno Gumira Aji Darma pernah menulsi buku ”Ketika Politik Dibungkam, Sastra Berbicara”, sekarang juga sastra harus lebih berbicara, ketika politik punya ruang untuk lebih dari berbicara.

*) Yunanto Sutyastomo
Pemerhati Sosial budaya, aktif di Pawon Sastra Solo

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas