Edisi : Minggu, 23 Agustus 2009 , Hal.VIII
Sastra sebagai salah satu cabang seni yang menggunakan media kata-kata, bahasa, tulisan dan ucapan.
Sastra tumbuh dalam diri manusia yang memiliki bakat dan berkembang karena manusia itu mau mengembangkan dirinya dalam bersastra. Jika setiap manusia memiliki bakat bersastra dan berusaha mengembangkannya maka dunia ini akan penuh buku, atau berjejalan profesi sebagai penyair, deklamator, esais, cerpenis, novelis, dan bermacam nama profesi orang yang bergelut dalam sastra lainnya. Tapi kenyataannya tidak! Sastra hanya diminati oleh sebagian kecil manusia di bumi ini. Sama halnya dengan cabang-cabang seni lainnya. Inilah kenyataan hidup manusia, rambut boleh sama hitam, tapi soal pilihan hati tidak bisa seragam begitu saja. Apalagi profesi!
Jangan berkecil hati dan merasa pesimistis, bahwa sastra kita akan mati! Sastra tetap akan hidup selama ada manusia di muka bumi ini. Sastra akan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat pendukungnya, demikian pula seni yang lainnya.
Setelah terlepas dari rezim Soeharto, memang serasa angin segar kembali berembus bagi para sastrawan kita. Munculnya buku-buku yang menjamur adalah bukti bahwa sastrawan kita dalam keadaan menggeliat, bangun dari tidur panjang dalam balutan garis-garis pembatas kreativitas yang selama ini mengungkung. Paling tidak dalam segi kuantitas, sastra telah ambil bagian. Soal kualitas nomor dua, bukankah padi dalam sehektare sawah mulanya hanya diharapkan bisa tumbuh dan menguning? Maka panen dapat berlangsung.
Sekali lagi jangan pesimistis! Bila para sastrawan saja merasa pesimis, bagaimana cikal bakal sastrawan yang sedang mengeja huruf-huruf di bangku sekolah dasar? Mereka sedang belajar membaca, menulis, berbicara di depan kelas. Satu dari 35 siswa dalam kelas itu, kita harapkan ada yang menjadi sastrawan.
Bila para sastrawan sibuk dengan slogan-slogan pesimistis: Sastra telah mati! Dunia kepenyairan terpuruk! Sastra, bangkitlah! Tentulah para orangtua yang buta sastra akan semakin menghalau jauh-jauh keinginan anaknya untuk menggeluti dunia sastra. Anak berbakat tanpa dukungan, ibarat bunga kembang tak jadi.
Tanggapan positif
Tidak perlu ditanggapi sinis, para sastrawan yang mendapat dukungan media untuk berpromosi sehingga bukunya jadi booming. Sebaliknya dapat menunjukkan segi positif bagi generasi kita yang akan memilih dunia sastra sebagai profesi. Bahwa sastra itu laku. Demikian pula dengan karya-karya sastra yang menyimpang dari jalur sastra biasa, karya-karya yang kita sebut sebagai karya sastra vulgar, tidak mendidik, tidak ada pesan moral di dalamnya? Benarkah?
Jangan pernah dilupakan bahwa sastra itu adalah teks yang berisi kisah kehidupan. Hanya dua faktor besar dalam hidup yang kita lakoni ini, yaitu manusia baik dan buruk. Peran antagonis dan protagonis. Semua karya sastra berangkat dari dua sisi yang tidak dapat dipisahkan itu. Maka setiap karya sastra pasti ada pesan moral di dalamnya. Percayalah! Tinggal pada sudut mana kita memosisikan diri.
Sastra itu bebas, seperti hakikatnya seni itu bebas. demikian pula keindahan dari sebuah karya seni sastra, bebas diciptakan, bebas ditafsirkan. Tetapi sebebas-bebasnya seni, ada unsur nilai estetik yang dapat menjelaskan mengapa sebuah karya seni itu disebut indah? Salah satu cara untuk menyatukan pendapat bahwa sebuah karya sastra itu sepakat untuk disebut indah adalah dengan menelanjanginya. Lewat resensi buku, bedah buku, diskusi sastra, dialog sastra, temu sastra, parade karya sastra, apresiasi karya sastra dll.
Pertemuan-pertemuan seperti ini diyakini akan memperkuat karakter karya seniman sastra, memperluas pengetahuan dan hubungan sesama sastrawan, membuat sastrawan itu menjadi dikenal, paling tidak dalam sebuah komunitas.
Sekali lagi, jangan pesimis! Biarkan sastrawan berdebat tentang bagaimana sebuah Cerpen yang bagus terbentuk, atau bagaimana cara membaca puisi yang baik, sebab memang pelajaran seperti itu tidak ada dalam pendidikan formal. Guru Bahasa Indonesia di sekolah, tidak sempat mengajarkan bagaimana menulis Cerpen yang baik, atau mencontohkan cara membaca puisi yang bagus. Mereka hanya guru bahasa, bukan sastrawan. Banyak guru bahasa kita yang tidak bisa menulis Cerpen, juga tidak andal membacakan puisi, bahkan tidak hobi membaca, karya sastra sekalipun. Jangan tanya koleksi bukunya, mungkin cuma ada buku pelajaran dan LKS Bahasa Indonesia, itupun bercap hak milik sekolah. Mereka sibuk mengejar angka tuntas, tanpa pernah menyenggol nama Khahlil Gibran selama tiga tahun pelajaran yang diberikan bagi siswa SMP.
Munculnya persaingan antara kelompok-kelompok sastra di belahan negeri ini, adalah juga satu bukti bahwa sastra kita baik-baik saja, dan jelas tidak mati. Persaingan jelas diperlukan untuk menghasilkan sastra yang berkualitas. Bila perlu kita para sastrawan bisa menerbitkan sendiri karya sastra yang kita ciptakan, mengapa menunggu ada penerbit yang akan menerbitkan? Bukankah selama ini kelompok-kelompok sastra kecil seperti Pawon, Meja Bolong, Alis, dan banyak lagi, sudah mulai melakukannya? Mulailah dari sedikit, lama-lama karya kita terasah dan tajam. Jangan bosan menelurkan karya.
Seniman besar tidak lahir begitu saja menjadi besar, tapi melalui perjalanan yang panjang dan berliku. Soal adanya orang yang membaca atau tidak, bukanlah hal penting! Jangan lupa dengan slogan seni untuk seni, berkaryalah untuk keindahan itu sendiri. Keindahan yang kita persembahkan untuk diri sendiri, bila ada orang lain yang ingin turut menikmati, biarkan dia bebas merasakan, menafsirkan dan memberikan pendapat. Semuanya mulailah dari diri sendiri.
Seorang yang layak disebut sebagai seniman adalah bila telah menghasilkan banyak karya. Karya sastra diwujudkan dengan adanya buku yang berupa bukti fisik sebagai karya yang telah kita buat. Timbul pertanyaan, kapan saatnya karya kita diakui bila tidak pernah diterbitkan? Maka marilah terbitkan sendiri, walau tulisan tangan yang difotokopi, atau ketikan komputer yang dicetak berkali-kali. Mari terbitkan sendiri karya bagi diri sendiri, bagi orang-orang terkasih, saudara, tetangga dan siapa saja yang mau menerima dengan gratis. Apakah mereka akan menolak diberi? Entahlah, walaupun menerima itu lebih mudah dari memberi. Teruslah berkarya sambil menunggu munculnya karya emas, di antara setumpuk karya yang telah kita telurkan.
*) Nurni SPd,
Guru seni budaya di SMP Negeri 4 Delanggu
Sastra sebagai salah satu cabang seni yang menggunakan media kata-kata, bahasa, tulisan dan ucapan.
Sastra tumbuh dalam diri manusia yang memiliki bakat dan berkembang karena manusia itu mau mengembangkan dirinya dalam bersastra. Jika setiap manusia memiliki bakat bersastra dan berusaha mengembangkannya maka dunia ini akan penuh buku, atau berjejalan profesi sebagai penyair, deklamator, esais, cerpenis, novelis, dan bermacam nama profesi orang yang bergelut dalam sastra lainnya. Tapi kenyataannya tidak! Sastra hanya diminati oleh sebagian kecil manusia di bumi ini. Sama halnya dengan cabang-cabang seni lainnya. Inilah kenyataan hidup manusia, rambut boleh sama hitam, tapi soal pilihan hati tidak bisa seragam begitu saja. Apalagi profesi!
Jangan berkecil hati dan merasa pesimistis, bahwa sastra kita akan mati! Sastra tetap akan hidup selama ada manusia di muka bumi ini. Sastra akan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat pendukungnya, demikian pula seni yang lainnya.
Setelah terlepas dari rezim Soeharto, memang serasa angin segar kembali berembus bagi para sastrawan kita. Munculnya buku-buku yang menjamur adalah bukti bahwa sastrawan kita dalam keadaan menggeliat, bangun dari tidur panjang dalam balutan garis-garis pembatas kreativitas yang selama ini mengungkung. Paling tidak dalam segi kuantitas, sastra telah ambil bagian. Soal kualitas nomor dua, bukankah padi dalam sehektare sawah mulanya hanya diharapkan bisa tumbuh dan menguning? Maka panen dapat berlangsung.
Sekali lagi jangan pesimistis! Bila para sastrawan saja merasa pesimis, bagaimana cikal bakal sastrawan yang sedang mengeja huruf-huruf di bangku sekolah dasar? Mereka sedang belajar membaca, menulis, berbicara di depan kelas. Satu dari 35 siswa dalam kelas itu, kita harapkan ada yang menjadi sastrawan.
Bila para sastrawan sibuk dengan slogan-slogan pesimistis: Sastra telah mati! Dunia kepenyairan terpuruk! Sastra, bangkitlah! Tentulah para orangtua yang buta sastra akan semakin menghalau jauh-jauh keinginan anaknya untuk menggeluti dunia sastra. Anak berbakat tanpa dukungan, ibarat bunga kembang tak jadi.
Tanggapan positif
Tidak perlu ditanggapi sinis, para sastrawan yang mendapat dukungan media untuk berpromosi sehingga bukunya jadi booming. Sebaliknya dapat menunjukkan segi positif bagi generasi kita yang akan memilih dunia sastra sebagai profesi. Bahwa sastra itu laku. Demikian pula dengan karya-karya sastra yang menyimpang dari jalur sastra biasa, karya-karya yang kita sebut sebagai karya sastra vulgar, tidak mendidik, tidak ada pesan moral di dalamnya? Benarkah?
Jangan pernah dilupakan bahwa sastra itu adalah teks yang berisi kisah kehidupan. Hanya dua faktor besar dalam hidup yang kita lakoni ini, yaitu manusia baik dan buruk. Peran antagonis dan protagonis. Semua karya sastra berangkat dari dua sisi yang tidak dapat dipisahkan itu. Maka setiap karya sastra pasti ada pesan moral di dalamnya. Percayalah! Tinggal pada sudut mana kita memosisikan diri.
Sastra itu bebas, seperti hakikatnya seni itu bebas. demikian pula keindahan dari sebuah karya seni sastra, bebas diciptakan, bebas ditafsirkan. Tetapi sebebas-bebasnya seni, ada unsur nilai estetik yang dapat menjelaskan mengapa sebuah karya seni itu disebut indah? Salah satu cara untuk menyatukan pendapat bahwa sebuah karya sastra itu sepakat untuk disebut indah adalah dengan menelanjanginya. Lewat resensi buku, bedah buku, diskusi sastra, dialog sastra, temu sastra, parade karya sastra, apresiasi karya sastra dll.
Pertemuan-pertemuan seperti ini diyakini akan memperkuat karakter karya seniman sastra, memperluas pengetahuan dan hubungan sesama sastrawan, membuat sastrawan itu menjadi dikenal, paling tidak dalam sebuah komunitas.
Sekali lagi, jangan pesimis! Biarkan sastrawan berdebat tentang bagaimana sebuah Cerpen yang bagus terbentuk, atau bagaimana cara membaca puisi yang baik, sebab memang pelajaran seperti itu tidak ada dalam pendidikan formal. Guru Bahasa Indonesia di sekolah, tidak sempat mengajarkan bagaimana menulis Cerpen yang baik, atau mencontohkan cara membaca puisi yang bagus. Mereka hanya guru bahasa, bukan sastrawan. Banyak guru bahasa kita yang tidak bisa menulis Cerpen, juga tidak andal membacakan puisi, bahkan tidak hobi membaca, karya sastra sekalipun. Jangan tanya koleksi bukunya, mungkin cuma ada buku pelajaran dan LKS Bahasa Indonesia, itupun bercap hak milik sekolah. Mereka sibuk mengejar angka tuntas, tanpa pernah menyenggol nama Khahlil Gibran selama tiga tahun pelajaran yang diberikan bagi siswa SMP.
Munculnya persaingan antara kelompok-kelompok sastra di belahan negeri ini, adalah juga satu bukti bahwa sastra kita baik-baik saja, dan jelas tidak mati. Persaingan jelas diperlukan untuk menghasilkan sastra yang berkualitas. Bila perlu kita para sastrawan bisa menerbitkan sendiri karya sastra yang kita ciptakan, mengapa menunggu ada penerbit yang akan menerbitkan? Bukankah selama ini kelompok-kelompok sastra kecil seperti Pawon, Meja Bolong, Alis, dan banyak lagi, sudah mulai melakukannya? Mulailah dari sedikit, lama-lama karya kita terasah dan tajam. Jangan bosan menelurkan karya.
Seniman besar tidak lahir begitu saja menjadi besar, tapi melalui perjalanan yang panjang dan berliku. Soal adanya orang yang membaca atau tidak, bukanlah hal penting! Jangan lupa dengan slogan seni untuk seni, berkaryalah untuk keindahan itu sendiri. Keindahan yang kita persembahkan untuk diri sendiri, bila ada orang lain yang ingin turut menikmati, biarkan dia bebas merasakan, menafsirkan dan memberikan pendapat. Semuanya mulailah dari diri sendiri.
Seorang yang layak disebut sebagai seniman adalah bila telah menghasilkan banyak karya. Karya sastra diwujudkan dengan adanya buku yang berupa bukti fisik sebagai karya yang telah kita buat. Timbul pertanyaan, kapan saatnya karya kita diakui bila tidak pernah diterbitkan? Maka marilah terbitkan sendiri, walau tulisan tangan yang difotokopi, atau ketikan komputer yang dicetak berkali-kali. Mari terbitkan sendiri karya bagi diri sendiri, bagi orang-orang terkasih, saudara, tetangga dan siapa saja yang mau menerima dengan gratis. Apakah mereka akan menolak diberi? Entahlah, walaupun menerima itu lebih mudah dari memberi. Teruslah berkarya sambil menunggu munculnya karya emas, di antara setumpuk karya yang telah kita telurkan.
*) Nurni SPd,
Guru seni budaya di SMP Negeri 4 Delanggu
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)