Chairil Anwar (1922-1949) |
Oleh: Saut Situmorang*
Soalnya adalah apa mungkin seseorang mencapai kesadaran akan kematiannya hanya melalui pengalaman patah cinta?
Persoalan cinta adalah persoalan klise dalam dunia sastra. Beribu
puisi telah tercipta sejak manusia pintar berkata-kata sampai zaman hyperreal
saat ini yang berkisah tentang indahnya cinta dan malangnya mereka yang
dikecewakan hatinya. Penyair Dante dari Itali menulis tiga buku besar
tentang Neraka, Purgatoria, dan Sorga hanya karena jatuh cinta pada
seorang bocah ingusan umur 4 tahun bernama Beatrice yang pertama kali
dilihatnya 17 tahun sebelum La Divina Commedia-nya itu
tercipta. “Adik seperguruan”-nya Petrarch menciptakan sebuah genre baru
dalam puisi yang disebut Soneta hanya untuk seorang Laura yang sampai
mati tak pernah berhasil dimilikinya. Bukankah Taj Mahal di India
merupakan “puisi konkrit” yang paling konkrit yang pernah diinstalasi
demi cinta?
Dalam buku klasiknya tentang sastra Indonesia modern kritikus Belanda
A. Teeuw menyatakan bahwa tidak mudah untuk menunjukkan satu karaktek
utama yang bisa dipakai untuk menyimpulkan puisi Chairil Anwar dan bahwa
“setiap pembaca selalu menemukan sesuatu yang disukainya pada Chairil” (Modern Indonesian Literature,
1967). Alasan Teeuw atas sulitnya untuk menentukan sebuah “dominant
mood” atau “central subject” pada puisi Chairil adalah karena dia
menulis hanya dalam suatu periode yang pendek dan meninggalkan karya
yang “tidak impresif jumlahnya”, “menggambarkan sebuah kepribadian yang
sedang berkembang”.
Walau begitu Teeuw masih melihat satu hal yang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang sangat dominan dalam puisi Chairil Anwar:
Satu hal yang dimiliki oleh keseluruhan karya Chairil adalah
intensitasnya, obsesinya yang radikal atas hidup dalam semua bentuk dan
penampakannya, dan karenanya juga pada kematian – karena siapa saja yang
hidup dengan serius pasti tak bisa menghindar dari konfrontasi dengan
kematian.
Memang intensitas dan keseriusan Chairil dalam menghadapi kehidupan
dan kematian merupakan satu hal yang membuatnya jadi legenda dalam
sastra Indonesia modern. Melalui puisi barunya dan terutama gaya
hidupnya, Chairil telah menciptakan sebuah imaji baru dari sosok Sang
Pujangga lama, dari seorang filsuf bersih bertutur lemah-lembut menjadi
seorang bohemian muda yang marah, kotor dan gelisah yang disebutnya “binatang jalang”.
Chairil Anwar mungkin merupakan penulis sastra Indonesia modern yang
paling banyak ditulis tentangnya, baik dalam tulisan-tulisan akademis
seperti skripsi, tesis, atau disertasi, maupun dalam artikel-artikel
lepas di koran dan majalah. Satu aspek dari Chairil yang nampaknya
sangat menarik perhatian para pembahasnya adalah kesan umum
tentang tidak mungkinnya puisi Chairil dipisahkan dari kenyataan
hidupnya. Puisi Chairil adalah refleksi dari kehidupan sehari-harinya,
rekaman sebenarnya dari pengalaman hidupnya, baik itu cinta, rasa sunyi,
maupun kematian, yang secara jujur dituliskannya ke dalam puisinya.
Atau seperti yang diyakini A. Teeuw di atas, karya Chairil menunjukkan
intensitas obsesinya dengan kehidupan dan kematian sebagai rasa dominan
puisinya. Filsafat Eksistensialisme Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre,
dan Albert Camus biasanya dipakai sebagai landasan untuk menjelaskan
kesatuan karya dan hidup pada oeuvre Chairil.
Tapi tulisan-tulisan tentang Chairil tersebut cendrung melupakan satu
aspek penting lain, yaitu peranan Cinta atau Eros dalam kehidupan dan
karya Chairil. Cinta bahkan bisa dikatakan sebagai sesuatu yang sangat
penting, kalau tidak mau dikatakan yang paling penting, bagi Chairil
karena lebih dari separoh dari puisinya “yang tidak impresif jumlahnya”
itu merupakan puisi cinta. Dengan Sitor Situmorang atau Rendra sebagai
pengecualian, Chairil Anwar mungkin adalah satu-satunya penyair modern
Indonesia yang sangat terobsesi dengan cinta (eros). Obsesi atas cinta
ini bisa dikatakan merupakan sebuah motif dominan dalam puisi
Chairil, sebuah konsekuensi logis dari begitu intensnya dia menghadapi
persoalan eksistensial hidup dan kematian. Sentralitas dari tema cinta
dalam karya Chairil tidak bisa tidak dihiraukan lagi kalau sebuah
pembacaan yang jauh lebih memuaskan ingin dilakukan atas “binatang
jalang” yang dua kali dalam puisinya menyatakan dirinya “dikutuk-sumpahi
eros” ini.
Pentingnya tema cinta dalam corpus Chairil Anwar mendapat
dukungan cukup berarti oleh “penemuan” sebuah sajak cinta Chairil yang
hilang oleh seorang Belanda, seperti yang dilaporkan oleh Burton Raffel
dalam jurnal Indonesia Circle, No.66,
tahun 1995. Sajak yang berjudul “Berpisah dengan Mirat” itu dikatakan
telah diambil oleh seorang bernama Wil van Yperen dari sebuah majalah
berbahasa Indonesia yang “kalau nggak salah Gelanggang Pemuda, Jan. 47″:
Berpisah dengan Mirat
Matahari tiba2 sudah tinggi, kami 5 x djalan lebih lekas dari
pada biasa. Djam yang menatap kami menggigil seperti
kena malaria rupanja Tiba disetasion ketjil ada lagi 2 a 3
djam untuk berhadapan
pada biasa. Djam yang menatap kami menggigil seperti
kena malaria rupanja Tiba disetasion ketjil ada lagi 2 a 3
djam untuk berhadapan
Kopi pait dan pendjual tua jang hormat ketawa sadja djadi
alasan untuk bitjara ketika kereta api bawa
aku madju bergerak, kulihat mukamu
terpaling Dan kau hilang..maka mulailah mesin dalam otakku
alasan untuk bitjara ketika kereta api bawa
aku madju bergerak, kulihat mukamu
terpaling Dan kau hilang..maka mulailah mesin dalam otakku
Mengeri meluar garis, terasa rasa hendak petjah
Penumpang2 lain djuga ikut dimakan njala
dan kering oleh hawa sebaran diriku..kudengar setan datang
Sehabis itulah berdentam dari mulutku Godverd. buat gantidosa.
Penumpang2 lain djuga ikut dimakan njala
dan kering oleh hawa sebaran diriku..kudengar setan datang
Sehabis itulah berdentam dari mulutku Godverd. buat gantidosa.
Dengan membandingkan sajak di atas dengan sajak Chairil “Dalam
Kereta”, Burton Raffel mengambil kesimpulan bahwa sajak “Berpisah dengan
Mirat” adalah memang benar karya Chairil karena “banyak irama tipikal
Chairil ada pada sajak tersebut, dan juga imaji-imaji khasnya”.
Persamaan irama dan imaji pada kedua sajak memang mendukung
kesimpulan Burton Raffel tersebut, apalagi kalau kita perhatikan tahun
edisi majalah dari mana sajak “Berpisah dengan Mirat” itu dicopy-ulang
merupakan masa Chairil produktif menulis puisi.
Sebuah cerita yang pernah hangat beredar di kalangan sastrawan
Indonesia adalah tentang sebuah kumpulan sajak pendek Chairil berjudul Kereta Api Penghabisan
yang kini hilang tak tentu rimbanya. Sajak “Dalam Kereta” konon
merupakan satu-satunya sajak yang berhasil selamat dari peristiwa moksa
puitis itu. Dengan memakai sajak “Dalam Kereta” sebagai acuan-tema atas
kumpulan sajak pendek Kereta Api Penghabisan, tidaklah sangat keterlaluan untuk membayangkan kalau kumpulan sajak Chairil yang hilang itu merupakan kumpulan puisi cinta.
Sajak cinta di atas juga mengandung sebuah nama perempuan yang selalu
akan dikaitkan dengan nama penyair Chairil Anwar, yaitu Mirat atau
Sumirat, seorang perempuan muda dari Jawa Timur yang dicintai tapi gagal
dikawini oleh Chairil. Chairil adalah juga seorang penyair kereta api
terbesar. Memakai kereta api sebagai judul kumpulan sajak cinta yang
hilang itu mengisyaratkan perjalanan-perjalanan yang mesti dilakukan
Chairil dari Jakarta ke kota kecil Paron di Jawa Timur demi mengejar
sang Eros sekaligus menunjukkan kegelisahan hidup, ataupun displacement, yang telah menjadi identitas khas manusia modern.
Dalam hidupnya yang singkat, Chairil mengenal banyak perempuan dan
sangat dekat paling tidak dengan tiga orang, Ida, Sri, dan Mirat.
Chairil menulis sajak-sajak cintanya yang terdahsyat buat ketiga “les
belles dames sans merci”-nya ini, sajak-sajak cinta yang belum
tertandingi hingga saat ini, sajak-sajak cinta yang telah jadi
sajak-sajak keramat sastra Indonesia modern:
Sia-sia
Penghabisan kali itu kau datang
membawa karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:
darah dan suci
Kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan: Untukmu.
membawa karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:
darah dan suci
Kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan: Untukmu.
Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya: Apakah ini? Cinta?
Keduanya tak mengerti.
Saling bertanya: Apakah ini? Cinta?
Keduanya tak mengerti.
Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
Perbedaan sajak cinta Chairil dengan sajak cinta umumnya di sastra
Indonesia adalah soal hubungan cinta dengan kematian. Bagi Chairil,
cinta sama dengan hidup dan kehilangan cinta berarti kehilangan hidup
itu sendiri. Dalam “Sajak Putih” untuk tunangannya Mirat, Chairil
melihat cinta Mirat bagi dirinya adalah “darah mengalir dari luka/antara
kita Mati datang tidak membelah.semburkanlah tenaga dan hidup dalam
tubuhku//” Yang paling menarik pada Chairil adalah terdapatnya semacam
fatalisme yang menghubungkan peristiwa cinta dengan datangnya kematian.
Pada sajak-sajak cintanya nampak betapa Chairil selalu “menyalahkan
dirinya sendiri” atas gagalnya sebuah hubungan cintanya. Sadomasokisme
obsesif Chairil ini selalu diulang-ulang dalam beberapa sajak cintanya
sampai akhirnya mencapai klimaks pada kesadaran bahwa kegagalan terbesar
dari diri (the self) adalah kematian. Cinta, atau hilangnya cinta,
telah membuat Chairil sadar akan adanya kematian.
Inilah hal baru yang dilakukan Chairil pada puisi Indonesia modern,
disamping perombakan bentuk dari motif pantun ke sajak bebas. Sejak
sajak “cinta” awalnya pun Chairil sudah menyinggung-nyinggung soal
kematian:
Nisan
untuk nenekanda
untuk nenekanda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta.
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta.
Disamping soal kematian yang sudah mulai masuk ke dalam kesadaran
Chairil dalam usianya yang masih cukup muda (20 tahun) waktu menulis
sajak “Nisan” di atas, satu hal lain yang juga bisa dilihat di sini yang
kelak mewarnai sajak-sajaknya adalah absennya sentimentalisme romantis.
Chairil tidak pernah cengeng dalam mengekspresikan perasaannya, apa itu
cinta, patah cinta, atau takut mati. Bahasa Chairil sudah matang dan
siap pakai, walau mitos tentangnya bercerita tentang perjuangannya
berbulan-bulan hanya untuk menemukan satu kata!
Chairil memang bisa dikatakan turut bertanggung jawab atas mitos
populer tentang dirinya terutama yang didasarkan pada puisinya yang
sangat terkenal itu, “Aku”. Gaya hidup bohemian antara dandy dan gelandangan yang dilakukannya dan beberapa sajaknya yang terkesan mendukung bohemianismenya
itu telah membuat Chairil jadi “binatang jalang” individualistis yang
anti-sosial. Zaman hidupnya di Jakarta tahun 40an memang mungkin membuat
hal ini tidak mustahil. Budaya Barat pada masa-masa itu memang sedang
goncang oleh bermacam gerakan revolusi seni dan pemikiran yang umumnya
mempertanyakan kembali tradisi. Banyak yang menolak tradisi yang
dianggap telah menciptakan malapetaka terbesar dalam sejarah peradaban
Barat, yaitu pecahnya Perang Dunia I, sebuah perang terbesar antar
sesama orang Eropa beragama Kristen yang memusnahkan jutaan jiwa dalam
kurun waktu kurang dari 5 tahun. Jakarta sebagai salah satu pusat
kekuasaan kolonial di Asia tidak bisa lepas dari apa yang terjadi di
benua Eropa. Kalahnya Rusia, Inggris, dan Belanda di Asia Timur oleh
Jepang juga berdampak luarbiasa bagi wacana pemikiran kontemporer saat
itu. Kritik pedas yang dilontarkan oleh Chairil atas majalah Pujangga Baru
yang tidak membahas soal naiknya fascisme di Eropa jelas menunjukkan
betapa global cara berpikir Chairil dibanding para seniornya tersebut.
Mungkinkah S Takdir Alisjahbana menjadi “binatang jalang” walau “polemik
kebudayaan” yang dilakukannya memberi kesan seolah dia merupakan
seorang eksentrik pada zamannya!
Mitos populer tentang Chairil itu akan lebih bulat dilihat relevansinya kalau mempertimbangkannya juga sebagai sebuah persona,
semacam topeng yang dipakai untuk menutupi diri-yang-sebenarnya
(the-real-self) yang terekspresi dengan penuh dalam sajak-sajaknya,
terutama sajak-sajak cintanya. Dualisme begini cukup biasa terjadi di
dunia seni. Ada hal-hal sangat sensitif yang hanya bisa diungkapkan oleh
penyair lewat puisi di mana suara narator puisi tidak mesti diartikan
sebagai suara senimannya sendiri. Penyair bisa cuci tangan dan meminta
pembacanya meminta pertanggungjawaban tekstual pada narator puisinya.
Sulit memang untuk menerima fakta bahwa Chairil Anwar adalah binatang
jalang yang selalu ditinggal pacarnya! Tapi dualisme antara
keeksentrikan seniman dengan karya seninya malah sering membuat seniman
tersebut jadi lebih menarik, lebih hidup, lebih manusiawi dibanding yang
hitam putih monoton seperti Khalil Gibran yang sangat terkenal di
kalangan non-pembaca-sastra Indonesia. Membaca sajak-sajak cinta Chairil
akan memberikan sebuah dimensi baru pada apresiasi kita atas dirinya,
karyanya, dan mitos tentangnya.
Subjek umum puisi Chairil adalah dirinya sendiri, kesangsiannya,
keresahannya, atau nostalgianya. Puisi otobiografis macam begini adalah
puisi interior, atau lebih populer dikenal sebagai puisi konfesional.
Sebagai puisi konfesional, sajak-sajak Chairil bukanlah
komentar-komentar objektif atas dunia eksternal, atas apa yang terjadi
di luar diri penyairnya, seperti epik atau balada. Sajak-sajak Chairil
adalah simbol-simbol dari sikap dan rasanya dan mesti diinterpretasikan
demikian. Inilah ciri khas dari puisi lirik dan puisi Chairil adalah
puisi lirik terkuat yang pernah ditulis dalam bahasa Indonesia.***
*Saut Situmorang, penyair dan eseis, tinggal di Jogjakarta.
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)