Dikutuk-sumpahi Eros

Monday, 11 August 2014

Chairil Anwar (1922-1949)
Oleh: Saut Situmorang* 

Soalnya adalah apa mungkin seseorang mencapai kesadaran akan kematiannya hanya melalui pengalaman patah cinta?

Persoalan cinta adalah persoalan klise dalam dunia sastra. Beribu puisi telah tercipta sejak manusia pintar berkata-kata sampai zaman hyperreal saat ini yang berkisah tentang indahnya cinta dan malangnya mereka yang dikecewakan hatinya. Penyair Dante dari Itali menulis tiga buku besar tentang Neraka, Purgatoria, dan Sorga hanya karena jatuh cinta pada seorang bocah ingusan umur 4 tahun bernama Beatrice yang pertama kali dilihatnya 17 tahun sebelum La Divina Commedia-nya itu tercipta. “Adik seperguruan”-nya Petrarch menciptakan sebuah genre baru dalam puisi yang disebut Soneta hanya untuk seorang Laura yang sampai mati tak pernah berhasil dimilikinya. Bukankah Taj Mahal di India merupakan “puisi konkrit” yang paling konkrit yang pernah diinstalasi demi cinta?

Dalam buku klasiknya tentang sastra Indonesia modern kritikus Belanda A. Teeuw menyatakan bahwa tidak mudah untuk menunjukkan satu karaktek utama yang bisa dipakai untuk menyimpulkan puisi Chairil Anwar dan bahwa “setiap pembaca selalu menemukan sesuatu yang disukainya pada Chairil” (Modern Indonesian Literature, 1967). Alasan Teeuw atas sulitnya untuk menentukan sebuah “dominant mood” atau “central subject” pada puisi Chairil adalah karena dia menulis hanya dalam suatu periode yang pendek dan meninggalkan karya yang “tidak impresif jumlahnya”, “menggambarkan sebuah kepribadian yang sedang berkembang”.

Walau begitu Teeuw masih melihat satu hal yang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang sangat dominan dalam puisi Chairil Anwar:

Satu hal yang dimiliki oleh keseluruhan karya Chairil adalah intensitasnya, obsesinya yang radikal atas hidup dalam semua bentuk dan penampakannya, dan karenanya juga pada kematian – karena siapa saja yang hidup dengan serius pasti tak bisa menghindar dari konfrontasi dengan kematian.

Memang intensitas dan keseriusan Chairil dalam menghadapi kehidupan dan kematian merupakan satu hal yang membuatnya jadi legenda dalam sastra Indonesia modern. Melalui puisi barunya dan terutama gaya hidupnya, Chairil telah menciptakan sebuah imaji baru dari sosok Sang Pujangga lama, dari seorang filsuf bersih bertutur lemah-lembut menjadi seorang bohemian muda yang marah, kotor dan gelisah yang disebutnya “binatang jalang”.

Chairil Anwar mungkin merupakan penulis sastra Indonesia modern yang paling banyak ditulis tentangnya, baik dalam tulisan-tulisan akademis seperti skripsi, tesis, atau disertasi, maupun dalam artikel-artikel lepas di koran dan majalah. Satu aspek dari Chairil yang nampaknya sangat menarik perhatian para pembahasnya adalah kesan umum tentang tidak mungkinnya puisi Chairil dipisahkan dari kenyataan hidupnya. Puisi Chairil adalah refleksi dari kehidupan sehari-harinya, rekaman sebenarnya dari pengalaman hidupnya, baik itu cinta, rasa sunyi, maupun kematian, yang secara jujur dituliskannya ke dalam puisinya. Atau seperti yang diyakini A. Teeuw di atas, karya Chairil menunjukkan intensitas obsesinya dengan kehidupan dan kematian sebagai rasa dominan puisinya. Filsafat Eksistensialisme Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, dan Albert Camus biasanya dipakai sebagai landasan untuk menjelaskan kesatuan karya dan hidup pada oeuvre Chairil.

Tapi tulisan-tulisan tentang Chairil tersebut cendrung melupakan satu aspek penting lain, yaitu peranan Cinta atau Eros dalam kehidupan dan karya Chairil. Cinta bahkan bisa dikatakan sebagai sesuatu yang sangat penting, kalau tidak mau dikatakan yang paling penting, bagi Chairil karena lebih dari separoh dari puisinya “yang tidak impresif jumlahnya” itu merupakan puisi cinta. Dengan Sitor Situmorang atau Rendra sebagai pengecualian, Chairil Anwar mungkin adalah satu-satunya penyair modern Indonesia yang sangat terobsesi dengan cinta (eros). Obsesi atas cinta ini bisa dikatakan merupakan sebuah motif dominan dalam puisi Chairil, sebuah konsekuensi logis dari begitu intensnya dia menghadapi persoalan eksistensial hidup dan kematian. Sentralitas dari tema cinta dalam karya Chairil tidak bisa tidak dihiraukan lagi kalau sebuah pembacaan yang jauh lebih memuaskan ingin dilakukan atas “binatang jalang” yang dua kali dalam puisinya menyatakan dirinya “dikutuk-sumpahi eros” ini.

Pentingnya tema cinta dalam corpus Chairil Anwar mendapat dukungan cukup berarti oleh “penemuan” sebuah sajak cinta Chairil yang hilang oleh seorang Belanda, seperti yang dilaporkan oleh Burton Raffel dalam jurnal Indonesia Circle, No.66, tahun 1995. Sajak yang berjudul “Berpisah dengan Mirat” itu dikatakan telah diambil oleh seorang bernama Wil van Yperen dari sebuah majalah berbahasa Indonesia yang “kalau nggak salah Gelanggang Pemuda, Jan. 47″:

Berpisah dengan Mirat

Matahari tiba2 sudah tinggi, kami 5 x djalan lebih lekas dari
pada biasa. Djam yang menatap kami menggigil seperti
kena malaria rupanja Tiba disetasion ketjil ada lagi 2 a 3
djam untuk berhadapan

Kopi pait dan pendjual tua jang hormat ketawa sadja djadi
alasan untuk bitjara ketika kereta api bawa
aku madju bergerak, kulihat mukamu
terpaling Dan kau hilang..maka mulailah mesin dalam otakku

Mengeri meluar garis, terasa rasa hendak petjah
Penumpang2 lain djuga ikut dimakan njala
dan kering oleh hawa sebaran diriku..kudengar setan datang
Sehabis itulah berdentam dari mulutku Godverd. buat gantidosa.

Dengan membandingkan sajak di atas dengan sajak Chairil “Dalam Kereta”, Burton Raffel mengambil kesimpulan bahwa sajak “Berpisah dengan Mirat” adalah memang benar karya Chairil karena “banyak irama tipikal Chairil ada pada sajak tersebut, dan juga imaji-imaji khasnya”.

Persamaan irama dan imaji pada kedua sajak memang mendukung kesimpulan Burton Raffel tersebut, apalagi kalau kita perhatikan tahun edisi majalah dari mana sajak “Berpisah dengan Mirat” itu dicopy-ulang merupakan masa Chairil produktif menulis puisi.

Sebuah cerita yang pernah hangat beredar di kalangan sastrawan Indonesia adalah tentang sebuah kumpulan sajak pendek Chairil berjudul Kereta Api Penghabisan yang kini hilang tak tentu rimbanya. Sajak “Dalam Kereta” konon merupakan satu-satunya sajak yang berhasil selamat dari peristiwa moksa puitis itu. Dengan memakai sajak “Dalam Kereta” sebagai acuan-tema atas kumpulan sajak pendek Kereta Api Penghabisan, tidaklah sangat keterlaluan untuk membayangkan kalau kumpulan sajak Chairil yang hilang itu merupakan kumpulan puisi cinta.

Sajak cinta di atas juga mengandung sebuah nama perempuan yang selalu akan dikaitkan dengan nama penyair Chairil Anwar, yaitu Mirat atau Sumirat, seorang perempuan muda dari Jawa Timur yang dicintai tapi gagal dikawini oleh Chairil. Chairil adalah juga seorang penyair kereta api terbesar. Memakai kereta api sebagai judul kumpulan sajak cinta yang hilang itu mengisyaratkan perjalanan-perjalanan yang mesti dilakukan Chairil dari Jakarta ke kota kecil Paron di Jawa Timur demi mengejar sang Eros sekaligus menunjukkan kegelisahan hidup, ataupun displacement, yang telah menjadi identitas khas manusia modern.

Dalam hidupnya yang singkat, Chairil mengenal banyak perempuan dan sangat dekat paling tidak dengan tiga orang, Ida, Sri, dan Mirat. Chairil menulis sajak-sajak cintanya yang terdahsyat buat ketiga “les belles dames sans merci”-nya ini, sajak-sajak cinta yang belum tertandingi hingga saat ini, sajak-sajak cinta yang telah jadi sajak-sajak keramat sastra Indonesia modern:

Sia-sia

Penghabisan kali itu kau datang
membawa karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:
darah dan suci
Kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan: Untukmu.

Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya: Apakah ini? Cinta?
Keduanya tak mengerti.

Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.

Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

Perbedaan sajak cinta Chairil dengan sajak cinta umumnya di sastra Indonesia adalah soal hubungan cinta dengan kematian. Bagi Chairil, cinta sama dengan hidup dan kehilangan cinta berarti kehilangan hidup itu sendiri. Dalam “Sajak Putih” untuk tunangannya Mirat, Chairil melihat cinta Mirat bagi dirinya adalah “darah mengalir dari luka/antara kita Mati datang tidak membelah.semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku//” Yang paling menarik pada Chairil adalah terdapatnya semacam fatalisme yang menghubungkan peristiwa cinta dengan datangnya kematian. Pada sajak-sajak cintanya nampak betapa Chairil selalu “menyalahkan dirinya sendiri” atas gagalnya sebuah hubungan cintanya. Sadomasokisme obsesif Chairil ini selalu diulang-ulang dalam beberapa sajak cintanya sampai akhirnya mencapai klimaks pada kesadaran bahwa kegagalan terbesar dari diri (the self) adalah kematian. Cinta, atau hilangnya cinta, telah membuat Chairil sadar akan adanya kematian.

Inilah hal baru yang dilakukan Chairil pada puisi Indonesia modern, disamping perombakan bentuk dari motif pantun ke sajak bebas. Sejak sajak “cinta” awalnya pun Chairil sudah menyinggung-nyinggung soal kematian:

Nisan
untuk nenekanda

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta.

Disamping soal kematian yang sudah mulai masuk ke dalam kesadaran Chairil dalam usianya yang masih cukup muda (20 tahun) waktu menulis sajak “Nisan” di atas, satu hal lain yang juga bisa dilihat di sini yang kelak mewarnai sajak-sajaknya adalah absennya sentimentalisme romantis. Chairil tidak pernah cengeng dalam mengekspresikan perasaannya, apa itu cinta, patah cinta, atau takut mati. Bahasa Chairil sudah matang dan siap pakai, walau mitos tentangnya bercerita tentang perjuangannya berbulan-bulan hanya untuk menemukan satu kata!

Chairil memang bisa dikatakan turut bertanggung jawab atas mitos populer tentang dirinya terutama yang didasarkan pada puisinya yang sangat terkenal itu, “Aku”. Gaya hidup bohemian antara dandy dan gelandangan yang dilakukannya dan beberapa sajaknya yang terkesan mendukung bohemianismenya itu telah membuat Chairil jadi “binatang jalang” individualistis yang anti-sosial. Zaman hidupnya di Jakarta tahun 40an memang mungkin membuat hal ini tidak mustahil. Budaya Barat pada masa-masa itu memang sedang goncang oleh bermacam gerakan revolusi seni dan pemikiran yang umumnya mempertanyakan kembali tradisi. Banyak yang menolak tradisi yang dianggap telah menciptakan malapetaka terbesar dalam sejarah peradaban Barat, yaitu pecahnya Perang Dunia I, sebuah perang terbesar antar sesama orang Eropa beragama Kristen yang memusnahkan jutaan jiwa dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun. Jakarta sebagai salah satu pusat kekuasaan kolonial di Asia tidak bisa lepas dari apa yang terjadi di benua Eropa. Kalahnya Rusia, Inggris, dan Belanda di Asia Timur oleh Jepang juga berdampak luarbiasa bagi wacana pemikiran kontemporer saat itu. Kritik pedas yang dilontarkan oleh Chairil atas majalah Pujangga Baru yang tidak membahas soal naiknya fascisme di Eropa jelas menunjukkan betapa global cara berpikir Chairil dibanding para seniornya tersebut. Mungkinkah S Takdir Alisjahbana menjadi “binatang jalang” walau “polemik kebudayaan” yang dilakukannya memberi kesan seolah dia merupakan seorang eksentrik pada zamannya!

Mitos populer tentang Chairil itu akan lebih bulat dilihat relevansinya kalau mempertimbangkannya juga sebagai sebuah persona, semacam topeng yang dipakai untuk menutupi diri-yang-sebenarnya (the-real-self) yang terekspresi dengan penuh dalam sajak-sajaknya, terutama sajak-sajak cintanya. Dualisme begini cukup biasa terjadi di dunia seni. Ada hal-hal sangat sensitif yang hanya bisa diungkapkan oleh penyair lewat puisi di mana suara narator puisi tidak mesti diartikan sebagai suara senimannya sendiri. Penyair bisa cuci tangan dan meminta pembacanya meminta pertanggungjawaban tekstual pada narator puisinya. Sulit memang untuk menerima fakta bahwa Chairil Anwar adalah binatang jalang yang selalu ditinggal pacarnya! Tapi dualisme antara keeksentrikan seniman dengan karya seninya malah sering membuat seniman tersebut jadi lebih menarik, lebih hidup, lebih manusiawi dibanding yang hitam putih monoton seperti Khalil Gibran yang sangat terkenal di kalangan non-pembaca-sastra Indonesia. Membaca sajak-sajak cinta Chairil akan memberikan sebuah dimensi baru pada apresiasi kita atas dirinya, karyanya, dan mitos tentangnya.

Subjek umum puisi Chairil adalah dirinya sendiri, kesangsiannya, keresahannya, atau nostalgianya. Puisi otobiografis macam begini adalah puisi interior, atau lebih populer dikenal sebagai puisi konfesional. Sebagai puisi konfesional, sajak-sajak Chairil bukanlah komentar-komentar objektif atas dunia eksternal, atas apa yang terjadi di luar diri penyairnya, seperti epik atau balada. Sajak-sajak Chairil adalah simbol-simbol dari sikap dan rasanya dan mesti diinterpretasikan demikian. Inilah ciri khas dari puisi lirik dan puisi Chairil adalah puisi lirik terkuat yang pernah ditulis dalam bahasa Indonesia.*** 

*Saut Situmorang, penyair dan eseis, tinggal di Jogjakarta. 

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas