Oleh: Saut Situmorang*
“Aku tidur di depan sebuah kulkas. Suaranya berdengung seperti kaus
kakiku di siang hari yang terik. Di dalam kulkas itu ada sebuah negara
yang sibuk dengan jas, dasi, dan mengurus makanan anjing. Sejak ia
berdusta, aku tak pernah memikirkannya lagi.” Demikianlah bunyi empat
baris pertama prose-poem Afrizal Malna yang berjudul “Persahabatan
Dengan Seekor Anjing” dari bukunya Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (Bentang, 2002).
Sajak prosa Afrizal tersebut, bagi saya, merupakan semacam metafor
atas apa yang selama ini dikenal sebagai “sastra Indonesia”. Saya bilang
selama ini karena, bagi saya, saat ini sudah tak ada lagi “sastra
Indonesia” itu. Walau bahasa ekspresinya masih memakai bahasa
“Indonesia”, tapi isi dari “sastra” yang disebut sebagai “sastra
Indonesia” tersebut sudah bukan sastra lagi melainkan sesuatu yang cuma
berpretensi sebagai “sastra” belaka. Dunia “sastra Indonesia” saat ini
telah menjadi sebuah “negara” dalam sebuah “kulkas” dengan
“partai-partai spanduk dan kaos oblong”. Sebuah negara “yang sibuk
dengan jas, dasi, dan mengurus makanan anjing” sambil “mencekik suara
rakyat”nya sendiri, yaitu para sastrawan, para seniman sastra, yang
dalam kepala masing-masing tak ada ambisi ekstra-literer kecuali hanya
bagaimana mencipta karya-karya sastra yang baik dan perlu untuk dibaca
oleh pembaca lokal maupun internasional. Baik karena memang ditulis
sebagai sebuah karya seni dan perlu untuk dibaca karena memang
menawarkan sebuah ide, sebuah pemikiran yang bisa memperkaya pengalaman
intelektual pembacanya. Para seniman sastra yang mempertaruhkan reputasi
kesenimannya hanya pada mutu karyanya, bukan pada politik berkesenian
yang semata-mata didukung oleh besarnya jumlah uang dan dusta belaka.
Arogansi yang cuma bersandar pada besarnya jumlah uang dan retorika dusta sudah merajelela dalam dunia kang ouw
sastra Indonesia. Para dilettante sastra, para petualang sastra
merajalela, menjadi paus-paus sastra baru, mencipta kanon-kanon sastra
baru. Tapi tak pernah sekalipun para paus-paus sastra baru ini mampu
membuktikan di mana sebenarnya kedahsyatan kanon-kanon sastra baru yang
mereka ciptakan itu. Berhasilnya mereka menjadi paus-paus sastra baru
yang mencipta kanon-kanon sastra baru pun bukan disebabkan oleh
kedahsyatan argumentasi teori seperti yang biasanya terjadi dalam sebuah
dunia yang demokratis dan beradab tapi cuma karena dominasi besarnya
jumlah uang dalam bentuk media massa yang mereka miliki semata. Media
mereka inilah yang menjadi alat retorika dusta mereka. Media mereka
inilah arogansi mereka.
Impotensi kritik sastra di Indonesia merupakan sebuah penyebab utama
merajalelanya para dilettante sastra. Otoritas akademis/teoritis sebuah
institusi kritik sastra di “negara yang sibuk mengurus makanan anjing”
ini sudah digantikan oleh otoritas modal kapitalis.
Kondisi pascakolonial ini makin diperparah oleh munculnya sebuah
fenomena baru, yaitu maraknya keberadaan komunitas pengarang. Komunitas
pengarang yang sejatinya adalah perkumpulan sekelompok pengarang
independen yang berideologi artistik yang sama — seperti yang kita kenal
dalam sejarah peradaban Barat pada para pengarang Neo-Klasik, para
pengarang Romantik, para pengarang Simbolis, para pengarang
Ekspresionis, para pengarang Futuris, para pengarang Imagis, para
pengarang Dada, Surrealis, Absurd, Eksistensialis, Realis-Magis, Beat,
L-A-N-G-U-A-G-E, Konkrit, Marxis, Feminis, Pascakolonial, Posmo… — di
negeri ini ternyata cuma menjadi komunitas sastra arisanis belaka.
Namanya saja “komunitas pengarang” tapi orientasi hidupnya bukanlah
mengarang dalam pengertian kreatif kata tersebut melainkan menunggu
antrean arisan untuk diundang baca puisi atau baca prosa oleh komunitas
sastra yang paling dominan kekuasaan uangnya.
Idealisme para leluhur mereka yaitu para pengarang Barat (yang sering
mereka ejek atau puja-puji setinggi langit walau tak pernah mereka
baca/pahami dengan sebenarnya itu) yang telah berhasil mewariskan
beragam aliran estetika di atas telah mereka campakkan ke dalam tong
sampah sejarah. Akibatnya, bukan pluralisme gaya menulis yang terjadi
tapi keseragaman fascis estetika. Bukan keseragaman eksplorasi artistik
yang menghasilkan gerakan seni (art movement), tapi fetishisme selera
seseorang, atau dua orang, yang menjadi duta besar kepentingan politik
komunitas sastra yang paling besar kekuasaan uangnya. Koran dan majalah
adalah kedutaan-besar komunitas sastra yang paling besar kekuasaan
uangnya.
Skandal sastra adalah kanonisasi sastra, tapi dalam versi Indonesia,
skandal sastra adalah sekedar skandal sastra. Skandal sastra yang
disebabkan buku puisi Baudelaire Les fleurs du mal (1857) di Prancis, yang disebabkan novel Lady Chatterley’s Lover (1928) DH Lawrence di Inggris, yang disebabkan novel esek-esek Henry Miller Tropic of Cancer (1934) atau buku puisi Howl
(1956) Allen Ginsberg di Amerika Serikat, misalnya, telah membuka
sebuah horison kemungkinan gaya mengarang yang baru pada masing-masing
budaya, telah menyebabkan musim semi artistik pada dunia sastra
masing-masing budaya.
Tapi skandal sastra pada apa yang dulu disebut “sastra Indonesia” itu
cuma memperparah kondisi impotensi kritik sastra dan meningkatkan
kekuatan dominasi komunitas sastra tertentu yang memang sengaja
menciptakan skandal-skandal sastra tersebut.
Skandal sastra adalah alat untuk melegitimasi sekaligus memperkokoh
status quo komunitas sastra yang paling besar kekuasaan uangnya. Skandal
sastra itu sendiri bisa mengambil bentuk pembuatan klaim-klaim
pseudo-kritik sastra atas karya-karya sastra tertentu, biasanya
menjatuhkan untuk karya produk komunitas lain dan mengelu-elukan kalau
dikarang anggota komunitas sendiri. Klaim-klaim pseudo-kritik sastra itu
sendiri diumumkan bukan lewat jalur komunikasi informasi yang netral
tapi melalui media massa nasional yang dimiliki komunitas yang
berkepentingan dimaksud. Skandal sastra juga dilakukan lewat pemberian
hadiah sastra kepada pengarang-pengarang tertentu atau, ini yang paling
sering menjadi pilihan strategis, melalui undangan festival sastra yang
diselenggarakan komunitas yang berkepentingan dimaksud. Tapi dengan satu
catatan pinggir: para pengarang “tertentu” yang dipilih tersebut memang
sudah tertentu ideologi kepengarangannya, yaitu minimum bukan merupakan
pengarang yang akan kritis terhadap sepak-terjang komunitas dimaksud.
Seorang pengarang boleh saja kritis atas dekadensi kultural yang
dikembangbiakkan komunitas dimaksud tersebut tapi asal dia tutup mulut
dan pura-pura tidak tahu maka kesempatan untuk terpilih dalam arisan
menikmati kue kesastraan ala komunitas tersebut sudah jauh lebih
terpastikan.
Seperti yang diteriakkan penyair Beat, Allen Ginsberg, dalam baris
pembuka yang sangat terkenal dari puisi panjangnya Howl yang
kontroversial itu, “I saw the best minds of my generation destroyed by
madness, starving hysterical naked”, begitulah yang saya lihat sudah dan
sedang terjadi pada otak-otak cemerlang generasi saya yang rusak karena
gila ketenaran instan 15-minute fame ala MTV, lapar histeris
akan legitimasi status kesastrawanannya, oleh silau ilusi
pseudo-kosmopolitanisme yang dengan naif disangkanya direpresentasikan
oleh komunitas yang “kekuatannya” semata-mata bersandar pada besarnya
jumlah uang yang dimilikinya, bukan pada canggihnya pengetahuan dan
kemampuannya.
Kenapa saya terus menerus menyinggung soal “besarnya jumlah uang”
yang dimiliki oleh komunitas (-komunitas) sastra tertentu dalam esei
saya ini? Jawabannya sederhana; dalam bahasa bangsa saya bangsa Batak
Toba dikatakan bahwa “hepeng do na mangatur negaraon”. Memang uanglah
yang mengatur negara “yang sibuk dengan jas, dasi, dan mengurus makanan
anjing” ini, yang terpesona pada superfisialitas, pada kosmetik, pada
obskuritas.
Bagaimana mungkin bisa memiliki media cetak yang art paper kertasnya
dan berkilauan sampul pembungkusnya tanpa memiliki uang dalam jumlah
yang besar! Bagaimana mungkin bisa menyelenggarakan apa yang dengan
arogan mereka klaim sebagai “festival sastra internasional” (walau tak
ada orang yang pernah mendengar nama-nama apalagi membaca karya dari
yang mereka katakan sebagai “para sastrawan internasional” tersebut!)
kalau tak punya uang dalam jumlah yang besar!
Yang kemudian menjadi persoalan (di luar persoalan
“keinternasionalan” dan “keseniman” para undangan dari luar tadi) tentu
saja adalah asal-usul dari uang yang jumlahnya besar itu sendiri.
Kecurigaan saya, nama eksotis Dunia Ketiga “sastra Indonesia” yang
digadaikan di luar sana (di mana konsep “dosa sejarah” kolonialisme
Barat sudah menjadi moralisme baru political correctness dalam
konteks wacana pascakolonialisme) untuk mengongkosi penyelenggaraan
sebuah event sastra “internasional” yang sekaligus dijadikan alat
legitimasi domestik atas kosmopolitanisme komunitas lokal yang
melakukannya. Di sinilah retorika dusta telah menjadi diplomasi kultural
yang canggih. Atau dalam bahasa pepatah orang awak di Sumatera sana:
Sekali mendayung, dua tiga pulau terlewati.
Kenapa semua ini bisa terjadi justru setelah negeri ini terlepas dari cengkraman kediktatoran penguasa militer? Jawab kenapa.***
*Saut Situmorang, penyair dan eseis, tinggal di Jogjakarta.
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)