Sastra yang Tidur Dalam Kulkas

Monday, 11 August 2014

Oleh: Saut Situmorang*

“Aku tidur di depan sebuah kulkas. Suaranya berdengung seperti kaus kakiku di siang hari yang terik. Di dalam kulkas itu ada sebuah negara yang sibuk dengan jas, dasi, dan mengurus makanan anjing. Sejak ia berdusta, aku tak pernah memikirkannya lagi.” Demikianlah bunyi empat baris pertama prose-poem Afrizal Malna yang berjudul “Persahabatan Dengan Seekor Anjing” dari bukunya Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (Bentang, 2002).

Sajak prosa Afrizal tersebut, bagi saya, merupakan semacam metafor atas apa yang selama ini dikenal sebagai “sastra Indonesia”. Saya bilang selama ini karena, bagi saya, saat ini sudah tak ada lagi “sastra Indonesia” itu. Walau bahasa ekspresinya masih memakai bahasa “Indonesia”, tapi isi dari “sastra” yang disebut sebagai “sastra Indonesia” tersebut sudah bukan sastra lagi melainkan sesuatu yang cuma berpretensi sebagai “sastra” belaka. Dunia “sastra Indonesia” saat ini telah menjadi sebuah “negara” dalam sebuah “kulkas” dengan “partai-partai spanduk dan kaos oblong”. Sebuah negara “yang sibuk dengan jas, dasi, dan mengurus makanan anjing” sambil “mencekik suara rakyat”nya sendiri, yaitu para sastrawan, para seniman sastra, yang dalam kepala masing-masing tak ada ambisi ekstra-literer kecuali hanya bagaimana mencipta karya-karya sastra yang baik dan perlu untuk dibaca oleh pembaca lokal maupun internasional. Baik karena memang ditulis sebagai sebuah karya seni dan perlu untuk dibaca karena memang menawarkan sebuah ide, sebuah pemikiran yang bisa memperkaya pengalaman intelektual pembacanya. Para seniman sastra yang mempertaruhkan reputasi kesenimannya hanya pada mutu karyanya, bukan pada politik berkesenian yang semata-mata didukung oleh besarnya jumlah uang dan dusta belaka.

Arogansi yang cuma bersandar pada besarnya jumlah uang dan retorika dusta sudah merajelela dalam dunia kang ouw sastra Indonesia. Para dilettante sastra, para petualang sastra merajalela, menjadi paus-paus sastra baru, mencipta kanon-kanon sastra baru. Tapi tak pernah sekalipun para paus-paus sastra baru ini mampu membuktikan di mana sebenarnya kedahsyatan kanon-kanon sastra baru yang mereka ciptakan itu. Berhasilnya mereka menjadi paus-paus sastra baru yang mencipta kanon-kanon sastra baru pun bukan disebabkan oleh kedahsyatan argumentasi teori seperti yang biasanya terjadi dalam sebuah dunia yang demokratis dan beradab tapi cuma karena dominasi besarnya jumlah uang dalam bentuk media massa yang mereka miliki semata. Media mereka inilah yang menjadi alat retorika dusta mereka. Media mereka inilah arogansi mereka.

Impotensi kritik sastra di Indonesia merupakan sebuah penyebab utama merajalelanya para dilettante sastra. Otoritas akademis/teoritis sebuah institusi kritik sastra di “negara yang sibuk mengurus makanan anjing” ini sudah digantikan oleh otoritas modal kapitalis.

Kondisi pascakolonial ini makin diperparah oleh munculnya sebuah fenomena baru, yaitu maraknya keberadaan komunitas pengarang. Komunitas pengarang yang sejatinya adalah perkumpulan sekelompok pengarang independen yang berideologi artistik yang sama — seperti yang kita kenal dalam sejarah peradaban Barat pada para pengarang Neo-Klasik, para pengarang Romantik, para pengarang Simbolis, para pengarang Ekspresionis, para pengarang Futuris, para pengarang Imagis, para pengarang Dada, Surrealis, Absurd, Eksistensialis, Realis-Magis, Beat, L-A-N-G-U-A-G-E, Konkrit, Marxis, Feminis, Pascakolonial, Posmo… — di negeri ini ternyata cuma menjadi komunitas sastra arisanis belaka.

Namanya saja “komunitas pengarang” tapi orientasi hidupnya bukanlah mengarang dalam pengertian kreatif kata tersebut melainkan menunggu antrean arisan untuk diundang baca puisi atau baca prosa oleh komunitas sastra yang paling dominan kekuasaan uangnya.

Idealisme para leluhur mereka yaitu para pengarang Barat (yang sering mereka ejek atau puja-puji setinggi langit walau tak pernah mereka baca/pahami dengan sebenarnya itu) yang telah berhasil mewariskan beragam aliran estetika di atas telah mereka campakkan ke dalam tong sampah sejarah. Akibatnya, bukan pluralisme gaya menulis yang terjadi tapi keseragaman fascis estetika. Bukan keseragaman eksplorasi artistik yang menghasilkan gerakan seni (art movement), tapi fetishisme selera seseorang, atau dua orang, yang menjadi duta besar kepentingan politik komunitas sastra yang paling besar kekuasaan uangnya. Koran dan majalah adalah kedutaan-besar komunitas sastra yang paling besar kekuasaan uangnya.

Skandal sastra adalah kanonisasi sastra, tapi dalam versi Indonesia, skandal sastra adalah sekedar skandal sastra. Skandal sastra yang disebabkan buku puisi Baudelaire Les fleurs du mal (1857) di Prancis, yang disebabkan novel Lady Chatterley’s Lover (1928) DH Lawrence di Inggris, yang disebabkan novel esek-esek Henry Miller Tropic of Cancer (1934) atau buku puisi Howl (1956) Allen Ginsberg di Amerika Serikat, misalnya, telah membuka sebuah horison kemungkinan gaya mengarang yang baru pada masing-masing budaya, telah menyebabkan musim semi artistik pada dunia sastra masing-masing budaya.

Tapi skandal sastra pada apa yang dulu disebut “sastra Indonesia” itu cuma memperparah kondisi impotensi kritik sastra dan meningkatkan kekuatan dominasi komunitas sastra tertentu yang memang sengaja menciptakan skandal-skandal sastra tersebut.

Skandal sastra adalah alat untuk melegitimasi sekaligus memperkokoh status quo komunitas sastra yang paling besar kekuasaan uangnya. Skandal sastra itu sendiri bisa mengambil bentuk pembuatan klaim-klaim pseudo-kritik sastra atas karya-karya sastra tertentu, biasanya menjatuhkan untuk karya produk komunitas lain dan mengelu-elukan kalau dikarang anggota komunitas sendiri. Klaim-klaim pseudo-kritik sastra itu sendiri diumumkan bukan lewat jalur komunikasi informasi yang netral tapi melalui media massa nasional yang dimiliki komunitas yang berkepentingan dimaksud. Skandal sastra juga dilakukan lewat pemberian hadiah sastra kepada pengarang-pengarang tertentu atau, ini yang paling sering menjadi pilihan strategis, melalui undangan festival sastra yang diselenggarakan komunitas yang berkepentingan dimaksud. Tapi dengan satu catatan pinggir: para pengarang “tertentu” yang dipilih tersebut memang sudah tertentu ideologi kepengarangannya, yaitu minimum bukan merupakan pengarang yang akan kritis terhadap sepak-terjang komunitas dimaksud. Seorang pengarang boleh saja kritis atas dekadensi kultural yang dikembangbiakkan komunitas dimaksud tersebut tapi asal dia tutup mulut dan pura-pura tidak tahu maka kesempatan untuk terpilih dalam arisan menikmati kue kesastraan ala komunitas tersebut sudah jauh lebih terpastikan.

Seperti yang diteriakkan penyair Beat, Allen Ginsberg, dalam baris pembuka yang sangat terkenal dari puisi panjangnya Howl yang kontroversial itu, “I saw the best minds of my generation destroyed by madness, starving hysterical naked”, begitulah yang saya lihat sudah dan sedang terjadi pada otak-otak cemerlang generasi saya yang rusak karena gila ketenaran instan 15-minute fame ala MTV, lapar histeris akan legitimasi status kesastrawanannya, oleh silau ilusi pseudo-kosmopolitanisme yang dengan naif disangkanya direpresentasikan oleh komunitas yang “kekuatannya” semata-mata bersandar pada besarnya jumlah uang yang dimilikinya, bukan pada canggihnya pengetahuan dan kemampuannya.

Kenapa saya terus menerus menyinggung soal “besarnya jumlah uang” yang dimiliki oleh komunitas (-komunitas) sastra tertentu dalam esei saya ini? Jawabannya sederhana; dalam bahasa bangsa saya bangsa Batak Toba dikatakan bahwa “hepeng do na mangatur negaraon”. Memang uanglah yang mengatur negara “yang sibuk dengan jas, dasi, dan mengurus makanan anjing” ini, yang terpesona pada superfisialitas, pada kosmetik, pada obskuritas.

Bagaimana mungkin bisa memiliki media cetak yang art paper kertasnya dan berkilauan sampul pembungkusnya tanpa memiliki uang dalam jumlah yang besar! Bagaimana mungkin bisa menyelenggarakan apa yang dengan arogan mereka klaim sebagai “festival sastra internasional” (walau tak ada orang yang pernah mendengar nama-nama apalagi membaca karya dari yang mereka katakan sebagai “para sastrawan internasional” tersebut!) kalau tak punya uang dalam jumlah yang besar!

Yang kemudian menjadi persoalan (di luar persoalan “keinternasionalan” dan “keseniman” para undangan dari luar tadi) tentu saja adalah asal-usul dari uang yang jumlahnya besar itu sendiri. Kecurigaan saya, nama eksotis Dunia Ketiga “sastra Indonesia” yang digadaikan di luar sana (di mana konsep “dosa sejarah” kolonialisme Barat sudah menjadi moralisme baru political correctness dalam konteks wacana pascakolonialisme) untuk mengongkosi penyelenggaraan sebuah event sastra “internasional” yang sekaligus dijadikan alat legitimasi domestik atas kosmopolitanisme komunitas lokal yang melakukannya. Di sinilah retorika dusta telah menjadi diplomasi kultural yang canggih. Atau dalam bahasa pepatah orang awak di Sumatera sana: Sekali mendayung, dua tiga pulau terlewati.

Kenapa semua ini bisa terjadi justru setelah negeri ini terlepas dari cengkraman kediktatoran penguasa militer? Jawab kenapa.***

*Saut Situmorang, penyair dan eseis, tinggal di Jogjakarta.

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas