Aslan Abidin: Aksara Lokal Tidak Terpakai Lagi!

Saturday, 4 January 2014

Aslan Abidin, penulis yang lahir di Soppeng, 31 Mei 1972. Kumpulan sajaknya yang telah terbit, Bahaya Laten Malam Pengantin (Ininnawa, Agustus 2008). Selain itu, sajak-sajaknya dimuat di beberapa majalah dan jurnal puisi, karya-karyanya juga dibukukan dalam beberapa antologi puisi.
 
Ia mulai berkarya sejak di bangku kuliah di Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin. Kini menjadi seorang dosen sastra di Universitas Negeri Makassar (UNM).
 
Selain menulis sajak, ia juga menulis artikel yang dimuat di beberapa jurnal dan koran lokal serta nasional. Ia pun telah memenangkan beberapa lomba penulisan sajak. Saat ini mengetuai Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST) Makassar. Berikut hasil wawancara redaktur edisi ini, Eka Wulandari dengan Aslan Abidin.

Apa saja hal yang menginspirasi Anda menulis?
Menulis adalah perilaku untuk menyampaikan gagasan dan informasi. Cukup menyenangkan bagi saya. Dalam penyampaian gagasan itu terkadang muncul hal baru dan kita terpancing untuk membincangkan dan mendiskusikannya. Menulis adalah pekerjaan manusiawi yang bisa menyadarkan orang. Jadi saya menulis hanya karena keinginan untuk menyampaikan gagasan saja. Siapa tahu tulisan itu mampu memberikan perubahan yang lebih baik.

Menurut Anda, bagaimana budaya literer (baca-tulis) di Makassar?
Sebenarnya budaya baca di Sulawesi Selatan sudah ada sejak abad ke-16. Orang Bugis-Makassar punya aksara sendiri yaitu lontara'. Yang mengherankan orang Bugis agak malas membaca lebih jauh ketika pembahasan politik budaya Bugis berubah menjadi budaya Indonesia. Sebab bangsa kita kan bangsa Bugis, yang terpaksa berubah menjadi bangsa Indonesia. Belum lagi pada saat Islam masuk dengan aksara Arabnya. Sejak kecil, sekitar 10 tahun, anak-anak dipaksa bisa membaca Al-Quran. Lumayan bisa menghabiskan buku tebal itu di masa kecil. Sayangnya agak aneh. Pertama karena itu bahasa asing, kedua kita menghabiskan waktu yang banyak untuk membacanya tanpa tahu artinya. Akhirnya tidak dapat apa-apa.
 
Selanjutnya di sekolah, kita belajar aksara latin. Aksara yang jelas-jelas bukan dari bangsa kita.
 
Saya tidak tahu apa yang salah. Tapi ada yang tidak beres. Entah malas bagaimana atau karena sistem pendidikan yang bermasalah. Orang Bugis akhirnya tidak tumbuh jadi orang cerdas. Tidak seperti kebanyakan orang Indonesia. Tradisi membacanya tidak berlanjut.

Bagaimana pandangan Anda tentang komunitas sastra dan kepenulisan yang ada di Makassar?

Saat ini ada. Namun secara umum tidak begitu bagus. Ada satu-dua yang suka menulis. Tapi jumlahnya terlalu sedikit di antara banyaknya mahasiswa. Reputasinya juga tidak begitu bagus.

Reputasi yang bagus menurut Anda seperti apa?

Katakanlah, berapa kemudian yang menonjol dalam jangka lama? Mungkin persoalan sistem pendidikan yang tidak mendukung. Juga persoalan budaya membaca-menulis bukan dengan bahasa Ibu. Bahasa kita yang sebenarnya kan bahasa Bugis. Agama yang diajarkan bukan agama Bugis. Penyebaran dan pengajaran Islam bukan melalui bahasa Bugis, tapi bahasa Arab. Malangnya, kita tidak begitu mengerti.

Menurut Anda, bagaimana keberaksaraan lokal saat ini?

Nyaris tidak berkembang! Aksara tidak dipakai lagi. Hanya dipelajari kecil-kecilan di sekolah tingkat dasar dan tingkat lanjut sebagai muatan lokal. Serta dipelajari oleh beberapa mahasiswa di jurusan sastra daerah. Tapi sama seperti mempelajari bahasa asing sebab pengantarnya menggunakan bahasa Indonesia.
 
Tidak ada lembaga yang menguatkan untuk mengharuskan kita belajar bahasa Bugis. Malah saat lahir, bahasa yang pertama kita dengar adalah bahasa Arab, yaitu azan. Meninggal, bahasa Arab juga, yaitu talqin. Maka semakin hari semakin pudar bahasa ibu kita.

Lantas apa yang sebaiknya kita lakukan agar aksara kita bisa tetap berkembang?

Contoh kecil, beri lembaga dan pranata yang membuat kita mengerti aksara lontara. Sejak Islam dan Indonesia masuk, keduanya mengganti seluruh lembaga Bugis. Jika dulu ritual keagamaan dilakukan dengan berbahasa Bugis, kini tergantikan oleh bahasa arab. Setiap ritual pernikahan dulu yang digunakan adalah bahasa Bugis, kini kita menggunakan bahasa Indonesia.
 
Contoh lain, ada kitab yang wajib kita baca layaknya Al-Quran namun menggunakan aksara Bugis. Membaca khotbah dengan bahasa Bugis. Juga membuat koran dengan aksara lontara.
 
Meski lama, tapi pelan-pelan itu akan mengembalikan orang untuk bisa membaca aksara Bugis.[]

Sumber http://penerbit-ininnawa.blogspot.com/2010/01/aslan-abidin-aksara-lokal-tidak.html

* * *
Penyair yang juga lebih suka menjadi jurnalis ini memiliki buku antologi puisi perdana "Bahaya Laten Malam Pengantin" yang diterbitkan oleh Ininnawa, 2008. Saat itu agak terasa aneh bagi kalangan penyair dan kritikus, sebab 79 sajak yang ada dalam buku tersebut ditulis dalam rentang waktu tiga belas tahun, dari 1993 hingga 2006 saja. Tapi Ahyar Anwar, Doktor Sosiologi Sastra UGM mengatakan, Aslan Abidin adalah satu dari sedikit penyair Sulawesi Selatan yang mendapatkan tempat terhormat dalam jagad sastra nasional hanya dengan dua-tiga sajak.

Realitas dihadirkan Aslan dalam sajak-sajaknya yang erotisme atau lebih tepat disebut erotisme sosial. Apakah Aslan terperangkap dalam sastra pornografi? Kekuatan kata yang menjadikan tubuh sebagai media menjadika Aslan bebas menelanjangi realitas di sekelilingnya. Tidak berbeda dengan para penyair tertentu yang lebih suka menjadikan benda alam sebagai latar. Tapi aslan berhasil dalam hal ini. Entahlah jika memang benar Aslan Abidin termasuk dalam kategori penyair selangkang.

Aslan lahir di kota kalong, Soppeng Sulawesi Selatan, 31 Mei i972. Menuntaskan kuliah di Fakultas Sastra jurusan Sastra Indonesia di Universitas Hasanuddin Makassar tahun 1997. Sajak-sajaknya mengalir di Horison, Basis, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Media Indonesia, Bernas, dan beberapa harian di Makassar. Dibukukan antara lain dalam Mimbar Penyair Abad 21 (1996) Antolog Puisi Indonesia (1997), Sastrawan Angkatan 2000, Kitab Puisi Horison Sastra Indonesia (2002), Puisi Tak Pernah Pergi (2003), dan Tak Ada Yang Mencintaimu Setulus Kematian (2004). Membaca puisi di TIM Jakarta dalam Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Pembacaan Sajak Penyair Delapan Kota (1998), dan Cakrawala Sastra Indonesia (2004). Mengikuti Program Penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) Puisi tahun 2002 di Cisarua, Jawa Barat. Mengikuti Ubud Writer and Readers Festiva.tahun 2004 di Bali. Memenangkan beberapa lomba penulisan sajak, antara lain LCPI Tasikmalaya 1999, Art and Peace Bali 1999, dan LCPI Post 2003. Aktif bekerja sebagai wartawan di Makassar. Pernah mengetuai Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST) dan lain-lain.

Penyair yang masuk dalam angkatan abad 21 ini memiliki karakter karya yang khas di antara penyair-penyair Sulawesi-Selatan. Kekhasan itu muncul pada sajak-sajaknya yang kerap kali menggunakan ‘tubuh’ sebagai latar.   

Sumber http://www.ivankavalera.com/2009/06/aslan-abidin-satu-dari-sedikit.html

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas