Oleh Muhammad Subhan*
Saya beruntung sempat “bekerja” mengurus Rumah Puisi Taufiq Ismail di
Aie Angek, Tanah Datar, Sumatera Barat—6 km dari kota Padangpanjang
atau 11 km dari arah kota Bukittinggi. Saya bekerja sekaligus “study
sastra” di rumah itu lebih kurang 4 tahun (2009-2012) dan bergelut
dengan buku-buku yang menjadi koleksi pribadi Penyair Taufiq Ismail.
Koleksi buku Rumah Puisi banyaknya 7.000 judul, atau sekitar 11.000
eksemplar, disusun di dalam 32 almari yang berjejer rapi. Tema buku
beragam, mulai dari agama (15 persen), pengetahuan umum (25 persen),
kamus (5 persen), ensiklopedia (5 persen), tentu juga sastra (50
persen). Seharian duduk membaca buku di Rumah Puisi yang ruangannya
berdinding kaca tidak cepat mendatangkan bosan. Waktu terasa begitu
cepat berlalu.
Seumur hidup saya tidak pernah membayangkan bila di masa-masa itu
saya akan begitu dekat sekali dengan sosok penyair yang puisi-puisinya
saya baca dan saya sukai di buku-buku teks pelajaran bahasa Indonesia
sewaktu SD dan SMP, di awal-awal saya mulai menulis. Di Rumah Puisi,
saya mendampingi beliau menyambut tamu yang datang berkunjung hampir
setiap hari.
Tamu-tamu itu beragam kalangan, mulai dari anak TK, murid SD, pelajar
SMP/SMA, mahasiswa, guru/dosen, seniman/sastrawan,
walikota/bupati/gubernur, menteri, hingga duta besar negara-negara
sahabat. Sebelum Taufiq Ismail berbicara di hadapan para tamu, sayalah
yang memulai membuka pembicaraan di hadapan mereka, menyampaikan ucapan
selamat datang, sekilas memperkenalkan kegiatan Rumah Puisi, kemudian
dilanjutkan oleh Penyair Taufiq Ismail yang bercerita banyak soal sastra
dan harapannya untuk kemajuan sastra Indonesia khususnya tentang
pentingnya membaca buku dan menulis karangan.
Empat tahun bukan waktu sedikit untuk mengenal dari dekat sosok
Taufiq Ismail, dan saya salah seorang yang paling beruntung itu. Saya
melihat Taufiq Ismail membaca puisi, menulis puisi, menikmati gayanya
berbicara dengan artikulasi yang sangat baik di hadapan tamu, hingga
ikut berdiskusi di meja makan, bagai akrabnya persahabatan antara ayah
dan anak. Bukan lagi sebatas karyawan dan atasan. Tak hanya itu,
beberapa puisi terbaru yang ia tulis di Rumah Puisi, ia cetak (print)
lalu diperlihatkannya kepada saya dan meminta saya untuk membacanya.
Tak sungkan pula ia meminta pendapat saya terkait masalah-masalah
tertentu khususnya tentang perkembangan sastra di Sumatera Barat.
Beberapa kali saya diminta menghubungi penyair-penyair muda Sumatera
Barat dan membuat acara diskusi dan baca puisi di Rumah Puisi. Selama di
Rumah Puisi, saya merasa bukan sedang bekerja, tetapi benar-benar
“mengabdi” dan bergelut dengan segala macam kegiatan sastra. Semua itu,
tentu saja sangat saya nikmati.
Bagaimana proses kreatif seorang Taufiq Ismail melahirkan puisi-puisinya?
Di Rumah Puisi, sekitar tujuh atau delapan meter dari meja kerja
saya, ada sebuah meja yang posisinya sedikit serong (miring) dengan
kursi yang menghadap ke luar jendela kaca. Itulah kursi dan meja kerja
Penyair Taufiq Ismail yang digunakannya setiap kali ia pulang ke Rumah
Puisi.
Saya tanyakan kenapa meja itu diserongkan posisinya. Beliau menjawab,
“agar dapat memandang secara leluasa panorama gunung Singgalang”.
Benarlah, dari posisi meja itu, bila melemparkan pandangan ke luar
jendela yang berdinding kaca, terhampar panorama indahnya gunung
Singgalang yang sewaktu-waktu diselimuti kabut. Di kaki gunung itu,
terhampar sebuah pemukiman penduduk, namanya Pandai Sikek. Di situ
kampung ibu Taufiq Ismail.
Dari cerita-cerita beliau—yang juga sering diulang-ulang setiap kali
menceritakan riwayat hidupnya di hadapan tamu Rumah Puisi—semasa zaman
bergejolak, ketika tentara kolonial Belanda masih berkuasa di
Bukittinggi, di saat itu Taufiq Ismail ikut mengungsi bersama ayahnya ke
puncak Singgalang.
Tentara Belanda sering masuk ke Pandai Sikek, patroli dan tak jarang
menembak penduduk, khususnya laki-laki. Pili, seorang remaja yang masih
saudara dekat Taufiq Ismail, ikut menjadi korban penembakan tentara
Belanda itu.
Di saat mengungsi bersama ayahnya di puncak Singgalang yang banyak
ditumbuhi tanaman tebu, Taufiq Ismail melihat panorama alam yang sangat
indah. Layaknya kita melihat pemandangan rumah penduduk, jalan, laut,
gunung, bukit-bukit, sawah, sungai, dari atas pesawat udara.
Begitu pula, Taufiq Ismail kecil melihat terbitnya matahari dari
balik pinggang Marapi, tenggelamnya di pinggang Singgalang. Dari
ketinggian itu pula, ia menatap kampungnya yang sepi, dan kobaran api
menyala-nyala sebab rumah-rumah penduduk dibakar tentara Belanda.
Beberapa kali saya menyaksikan ia menyeka air mata dengan sapu tangan
membayangkan peristiwa pembakaran kampungnya itu. Itu dilakukan baik
ketika menceritakannya kembali kepada saya ataupun kepada tamu-tamunya
yang datang ke Rumah Puisi.
Itulah awal proses kreatif Taufiq Ismail melahirkan puisi-puisinya.
Di periode awal kepenyairannya (1953-1960) puisi-puisi Taufiq Ismail
banyak bercerita tentang alam dengan segala macam peristiwanya. Realitas
sosial di masa kanak-kanak yang ia lihat dengan mata kepala ia tuangkan
menjadi realitas sastra di dalam puisi-puisinya di kemudian hari.
Bisa kita baca pada puisinya berikut: /Di punggung bukit-bukit awan
hujan bergantung biru/ pepohonan di desa mulai dipukul angin beruap
lembab/ tangkai-tangkai besi bajak dan penyawah-penyawah berselubung/
harap di jantung/ kerbau-kerbau di-hee, yaaaah! Hee yaaah!/
Begitu juga, dalam puisinya yang lain, menggambarkan kemarau terjadi
di kampungnya, ia menulis: /Malam Ramadan dinginnya menusuk ke hulu
tubuh/Kemarin tengah hari udara meleleh di Padang Panjang/ Kerbau si
sati, kambing coklat mengah-ngah/ Kilangan berputar deriknya ngilu tebu
begitu kurus-kurus/.
Dua contoh penggalan puisi Taufiq Ismail berjudul Membajak Kembali
dan Kemarau di Desa Bangkirai yang bagaikan lukisan alam itu menjelaskan
betapa dekatnya sang penyair dengan alam. Ini yang, menurut saya,
menjadi alasan kuat kenapa karya sastra sastrawan-sastrawan Minangkabau
periode awal banyak berasyik-masyuk dengan keindahan alam Minangkabau
yang menjadi latar cerita.
Sebut saja karya-karya Abdoel Moeis, Marah Rusli, Nur Sutan Sati, Nur
Sutan Iskandar, Hamka, AA. Navis dan lainnya. Adalah fakta bahwa
Minangkabau (Sumatera Barat) memang kaya dengan keindahan alam.
Walau di periode awal Taufiq Ismail banyak bercerita tentang alam,
namun di periode berikutnya ia dapat mengembangkan tema-tema sosial yang
terjadi di zamannya. Zaman yang penuh gejolak dan konflik. Puisi-puisi
karyanya dapat dibaca di buku Tirani (1966), Benteng (1968), serta Sajak
Ladang Jagung (1974). Selain itu, dapat dibaca pula di bukunya yang
lain, di antaranya Perkenalkan, Saya Hewan (1976), Puisi-puisi Langit
(1990) dan Malu Aku Jadi Orang Indonesia (2005).
Di usia Taufiq Ismail hari ini yang mendekati 79 tahun, saya banyak
membaca puisi-puisinya yang bertema religius. Puisi pun menjadi alat
(media) dakwah bagi Taufiq Ismail dan memberikan dampak yang luas bagi
siapa saja yang membacanya. Kepada Abdul Hadi WM, Taufiq Ismail
mengatakan bahwa menulis puisi baginya merupakan sebuah ibadah, gerak
hidup jiwa untuk senantiasa mengingat asma-Nya (zikir).
Bagi pembaca yang agak asing dengan ajaran agama Islam, pernyataan
semacam itu mungkin dirasakan sebagai sesuatu yang dibuat-buat. Tetapi
tidak demikian bagi seorang Muslim yang taat dan penyair lain yang hidup
dalam tradisi keagamaan yang kuat seperti Taufiq Ismail.
Begitulah proses kreatif kepenyairan Taufiq Ismail yang sebagiannya
saya cermati langsung. Ia selalu mengatakan kepada saya, banyak-banyak
membaca buku lalu menulis karangan. Ia sering mengumpamakan, membaca
buku dan menulis ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Seorang pembaca buku memiliki kekayaan ilmu dan kekayaan itu harus
dibagikan, tidak menjadi hak individual semata. Cara membaginya adalah
lewat menulis; menulis apa saja! [SELESAI]
* Muhammad Subhan, Novelis dan jurnalis tinggal di Padangpanjang.
Sumber;
http://infosastra.com/2014/01/01/taufiq-ismail-dan-meja-miring-arah-singgalang-1/
http://infosastra.com/2014/01/02/taufiq-ismail-dan-kenangan-singgalang-2/
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)