Kurnia Effendi: Mengkoleksi Judul

Saturday, 4 January 2014

KOLEKSI JUDUL
Sampai saat ini, saat menulis esai ini, aku membuat cerita pendek atau cerita panjang, selalu dimulai dengan “judul”. Mungkin tidak akan berubah, karena agak berlebihan jika kukatakan belum berubah. Cara itu tidak sengaja kulatih, bukan pula merupakan jalan terakhir setelah gagal dengan cara yang lain. Sama sekali tidak. Itu adalah cara pertama yang kemudian menjadi – setelah tahu namanya: – proses kreatif.

Bertahun-tahun yang lalu, ketika diwawancara oleh redaktur majalah remaja, dan terlontar pertanyaan: Bagaimana biasanya kamu menulis cerpen? – aku tidak perlu memikirkan jawaban. Saya mulai dari judul, demikian jawabku. Dan memang seperti itu yang terjadi. Dalam dompetku suka tersimpan selipat kertas, yang kutulisi beberapa judul, entah cerpen atau cerber. Pada saat judul itu kutuliskan, kadang-kadang belum terlintas kisah apa pun. Belum terpikir serangkai cerita, belum terbentang tuturan atau alur nasib seorang tokoh.

Sebuah frasa atau kelompok kata yang tiba-tiba melintas, mempesona pikiran dan perasaan, segera ku’tangkap’, kutulis atau kuingat, selanjutnya menjadi ‘biji-biji’ yang tersimpan dalam ‘tanah gembur’ proses kreatif. Ada yang langsung tumbuh menjadi sosok cerita, banyak pula yang terus terlelap menunggu secercah cahaya gagasan yang kelak membangunkannya.

Mungkin ini menjadi semacam keberuntungan, bahwa aku menulis dari sisi yang – menurutku – paling tepat. Mengapa? Karena judul adalah kata atau kalimat yang dibaca pertama kali oleh 99,99% pembaca. Untuk jenis bacaan apa pun. Kadang-kadang, ketika seseorang mendapatkan sebuah majalah di ruang tunggu dokter, misalnya, secara highlight akan membuka lembar demi lembar untuk menemukan judul yang menarik minatnya sebelum membaca lebih jauh. Bahkan seandainya aku menulis sebuah novel, atau cerpen, yang diawali dengan: Tanpa Judul; itu pun sebuah judul!

Apakah kusadari sejak awal bahwa judul itu penting? Ternyata tidak. Itu semacam refleks, impulsif, atau kebiasaan yang tidak diniatkan seperti ketika seseorang mencoba mendisiplinkan sesuatu. Tiba-tiba saja berkelebat. Tertangkap. Melekat. Andaikata aku sangat percaya terhadap daya ingat, mungkin tidak perlu mencatat. Tapi aku cukup senang dengan sesekali membaca koleksi judul-judul itu di kala senggang. Oleh sebab itulah, pada kertas kecil, atau apa saja yang bisa dibubuhkan tulisan: kutorehkan judul-judul itu.

Misalnya, beberapa yang kuingat: Segenggam Melati Kering, Tetes Hujan Menjadi Abu, Berjalan di Sekitar Ginza, Anak Arloji, Kincir Api, Menemani Ayah Merokok, Laras Panjang Senapan Cinta, Abu Jenazah Ayah, Tilas Cemeti di Punggung… Hampir semua dimulai dari kelebat aksara khayali atau bunyi yang tertangkap hati. Kadang-kadang ketika sedang bercakap-cakap dengan teman, lalu terangkai dari percakapan itu sebuah komposisi kata yang menarik, nah! Lalu seperti ada lampu menyala. Byar! Wah, ini asyik untuk judul!
 
Melalui tuturan ini, hendak kubongkar rahasia. Seperti kuungkap tadi, kadang-kadang aku tak punya cerita apa pun sebelumnya. Tetapi, justru sebuah judul sanggup menghamparkan kisah. Bahkan, secara agak tak terduga, ternyata judul itu pintar menghimpun cerita. Maka judul itu akhirnya mendapat tugas sebagai penyimpan gagasan sebuah kisah, baik untuk karya prosa maupun puisi. Dengan mengingat sebuah judul, seolah-olah terurai jalan hidup seorang tokoh dengan pelbagai konflik di dalamnya. Kukira, itulah yang umumnya terjadi pada riuh-rendah benakku dalam proses menulis karya sastra.

CURAH KISAH
Sewaktu-waktu, ketika sedang bersamaku, jangan heran jika kucurahi cerita. Biasanya, judul yang mengemban kandungan cerita itu tak cukup sabar tetap tersimpan dalan vestiaire angan-angan. Aku akan menyampaikan semacam fragmen: mungkin segerumbul percakapan para tokoh, atau gambaran perilaku, bahkan semacam abstraksi hikayat, atau hal-hal yang menjadi tumpuan tema. Mengapa demikian? Jika suatu ketika aku mau menulis, dan kebetulan lupa harus mulai dari mana, aku tinggal menelepon kawan yang sempat mendengarkan ‘petikan’ kisahku.

Pernah di suatu makan malam dengan dua sahabat di cafĂ©, aku menceritakan tentang perilaku seseorang yang sedang patah hati yang dipandang tak masuk akal oleh tokoh lainnya… Jadi jangan heran jika suatu saat nanti aku menanyakan pada kalian detil yang mungkin terlepas dari ingatan. Begitulah. Tak ada rasa cemas, andai gagasan itu kemudian dicuri oleh sang pendengar yang kebetulan (dan biasanya) juga seorang pengarang. Jika memang diambil-alih, aku akan gembira karena ternyata ide yang berasal dari kepalaku itu menarik juga dibuat cerpen oleh orang lain. Tetapi, boleh jadi, cara kita bercerita berbeda.

Sejak menggunakan mesin ketik, aku tak pernah membuat konsep terlebih dulu. Langsung tulis saja. Dulu, untuk menulis cerpen 8 halaman, kadang-kadang membutuhkan lebih dari seratus lembar kertas. Karena selalu ada suntingan atau perubahan setiap kali dibaca ulang. Namun kini dengan komputer, jika salah ketik mudah dihapus. Mudah dipindah, digandakan, dan yang lebih terasa manfaatnya: dapat disimpan.

Dengan kemampuan alat seperti itu, kebiasaanku mengoleksi judul, semakin terasa hikmahnya. Kini aku ke mana-mana membawa disket, yang di dalamnya telah siap sepuluh file dengan masing-masing judul. Lantas bagaimana caraku bekerja? Duduk di depan komputer, buka file pertama, misalnya: Puisi di Bangku Taman. Eh, baru lima paragraf mendadak buntu, segera kubuka file kedua: Mengapa Hiuma Berduka? Hei, itu fabel, cerita buat anak-anak! Tak jadi soal. Entah mengapa, ada saja yang secara otomatis mengubah diri di rongga benakku, sehingga yang muncul adalah fantasi kanak-kanak. Demikian seterusnya.

Jadi, jika aku membekal lima disket (mungkin kelak segera kuganti flashdisc, agar lebih banyak menyimpan calon naskah) ada berapa calon cerpen, puisi, novelet, di dalamnya? Ayo lakukan seperti aku! Pasti asyik. Dan tak perlu menyepi ke balik gunung atau ke dasar samudera. Karena aku bukan pengarang menara gading. Cukup menempati koridor yang menghubungkan antara ruang tamu dengan ruang makan. Sambil sesekali nonton tivi, atau ngajari PR anak-anak. Atau di meja samping kantor ketika jam kerja belum mulai (sering datang kepagian karena ada kewajiban mengantar anak-anak yang masuk sekolah jam tujuh). Atau di sebuah warnet dekat hotel tempat menginap ketika sedang tugas keluar kota. Yang paling kerap terjadi, aku menulis pukul 22.00 sampai tengah malam.

SELALU “YA”
Di tengah rapat kantor, tiba-tiba telepon selular bergetar. “Halo.” Setengah berbisik. “Lagi sibuk?” suara di sana. “Lagi meeting, apa kabar?” Ujung-ujungnya: “Ada stok naskah cerpen nggak? Buat edisi Oktober, sepuluh hari selesai, ya?” Tentu kujawab: “Ya.” Mengapa tidak? Dengan ucapan ‘ya’, aku yakin ada semacam keajaiban yang bekerja ekstra di seluruh kepalaku. Judul-judul berlintasan seperti meteor. Tapi, tentu aku meneruskan pekerjaan dulu sampai selesai jam kantor. Dengan ucapan ‘ya’, seluruh peri yang beterbangan di udara meniupkan pelbagai gagasan. Nah: “Percakapan Sepasang Peri…” Haha, bagus nggak kedengarannya?

Itu stimulus yang datang dari luar. Setidaknya, istilah produktif tak hanya digenjot dari dalam diri sendiri. Ada saja yang kemudian meminta cerpen. Dan ada saja majalah atau surat kabar yang tahu-tahu telah lama tidak kujenguk dengan karya. Mungkin Matra, Gadis, Femina, Lampung Post, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen, atau Bee Magazine… Ya. Ternyata aku tidak melulu menulis untuk sastra koran. Untuk majalah Cinta tentu harus cerita remaja. Ya sudah. Aku terus menyambar-nyambar ke pelbagai segmen pembaca. Nggak dosa, kan? Justru asyik, lho! Apalagi anakku sudah tiba usia remaja, saatnya memberi mereka bacaan yang baik. Menurutku, tentu.

Setelah pernah menulis di Kompas dan Horison, ternyata aku enjoy aja mengirimkan naskah ke tabloid milik sebuah radio swasta di Jombang. Kupikir, mereka yang ada di ujung pulau atau dikepung pegunungan juga perlu membaca cerpenku. Redaksinya menelepon, meminta, ya aku buatkan. Tidak pilih-pilih. Juga harus bagus. Menurutku, tentu.

Untuk membuat diriku ‘malu’, aku selalu membuat target di awal tahun. Misalnya tahun ini aku akan menulis 48 cerpen, 200 puisi, satu novel, 12 esai. Kutulis dan kukirim melalui sms kepada para sahabat ketika tiba tanggal 1 Januari. Dan menjelang Desember, aku mulai menghitung prestasi. Apakah tercapai? Apa pun hasilnya, kukirim melalui sms juga kepada sahabat yang pernah menerima informasi target. Sebagai evaluasi diri. Mudah-mudahan para sahabat yang selalu menerima informasi itu tidak bosan. (Kan tinggal pencet delete, sms itu terhapus). Seandainya luput terlampau banyak, tentu aku malu dan kembali mengejar di tahun berikutnya.

Jadilah pengrajin! Kata Zen Hae: kita ini hanya si tukang cerita. Boleh jadi demikian. Tetapi, seseorang yang telah memiliki ketrampilan teknis seperti Seno Gumira, Arswendo, dan Putu Wijaya, bisa menjadi pengrajin yang berkualitas. Mengapa? Karena keluasan wawasan mereka, di samping memang sudah terlalu piawai menangkap ilham. Dengan kata lain, ilham itu tidak ditunggu. Tetapi dikejar!

SIHIR BRAGA
Dulu sekali, waktu masih kuliah di Bandung, ada sejenis ‘hantu’ kalimat yang selalu berkelindan dalam rongga benakku. Begini kira-kira: Tiga hari yang lalu, aku menerima fotomu, close up dan berwarna. Tadi pagi ibumu mengirim telegram yang mengabarkan bahwa engkau telah tiada.

Dua kalimat itu terus saja terngiang, bahkan mungkin tercetak semacam cukil kayu di batok kreatifku. Apakah itu yang disebut obsesi? Ini harus jadi cerpen! Ini harus memenangkan lomba! Lalu aku agak bimbang dengan judul yang telah berkelebat. Catatan Sepanjang Braga atau Kenangan Sepanjang Braga? Lantas kutanya pada sahabat Acep Zamzam Noor, bagaimana menurut pendapat dia. Ia menjawab lugas: “Potong saja yang tak perlu. Sepanjang Braga.Itu bagus sekali.”

Cerpen itu, Sepanjang Braga, kemudian memenangkan juara pertama lomba cerpen majalah Gadis tahun 1988. Itu jauh di masa lalu. Kini, ternyata aku telah memiliki empat versi cerita “Sepanjang Braga”. Ada apa dengan Braga? Mengapa aku selalu merasa wajib melintasi jalan itu setiap kali berkunjung ke Bandung? (sekarang aku tinggal, berkeluarga, dan bekerja di Jakarta).

Mungkin Braga memang menyimpan masa silam Bandung, dekat dengan aroma kolonial dan seni, juga dekat dengan peristiwa bersejarah semacam KTT Asia Afrika. Hampir sama dengan ikatan chemistry seseorang terhadap Malioboro di Yogya, misalnya. Atau Jalan Sabang di Jakarta. Atau Jalan Somba Opu di Makassar. Mungkin. Tapi demikianlah perasaanku terhadap Braga.

Itu kusebut ilham yang membius. Yang menerbitkan rasa haru. Dan perasaan seperti itu, dulu, sanggup membuatku tiba-tiba ingin pulang untuk menulis padahal sedang jalan bersama seorang kawan. Atau terpaksa tidak kuliah demi mengalirnya banjir cerita untuk menjadi halaman-halaman prosa.

SUMBER ILHAM DAN BUKU
Selalu terngiang ucapan Joni Ariadinata yang meminta cerpen-cerpenku untuk dibuat buku antologi pribadi. Buku? Wah, apakah sudah saatnya? Itu tahun 2002. Begitulah, pada tahun 2004, terealisasi 2 buku sekaligus: Senapan Cinta (Penerbit Kata-Kita) dan “Bercinta di bawah Bulan” (Metafor Publishing). Pada tahun 2005 menyusul 2 buah lagi: Aura Negeri Cinta (Lingkar Pena Publishing House) dan Kincir Api (Gramedia). Sementara di tahun 2006, aku berhasil menerbitkan novel remaja Selembut Lumut Gunung (Cipta Sekawan Media).

Kadang-kadang aku tidak menyangka dengan momentum seperti itu. Mungkin karena banyak uluran tangan sahabat juga yang membuat buku-buku itu lalu menyebar sebagai pemberitaan maupun koleksi.

Aku bekerja di perusahaan otomotif (ATPM) Suzuki Mobil. Sangat beruntung karena aku berada pada bagian pengembangan showroom seluruh Indonesia. Setidaknya 3 kali keluar kota dalam sebulan. Setidaknya berkali-kali mengunjungi wilayah-wilayah baru di pelbagai daerah. Jadi sudah terbiasa, sejak dari bandara aku sudah sms kepada para sahabat (jurnalis, penyair, budayawan, redaktur, seniman) di daerah tujuan. Saat aku keliling daerah itulah, kujumpa beribu tunas cerita. Tak hanya melihat sunset di pantai Pare-Pare, atau memandangi tamasya ikan di dasar laut Bunaken melalui Katamaran. Bertemu dengan kawan-kawan sastrawan, jurnalis, dan seniman di daerah, membuat hidup ini sangat berwarna. Ternyata, ketika ide mampet, ngobrol dengan kawan-kawan itu seperti charging baterei dalam pikiranku. Dari sanalah ilham mengalir. Tinggal: sempat atau tidak menuliskannya di antara waktu yang padat oleh kegiatan formal kantor?

Jadi, mohon jangan menolak jika sewaktu-waktu kalian kutelepon, hanya untuk sekadar makan malam di TIM, atau sama-sama menikmati sate kambing di Bukafe milik Mas Kiki di Duren Tiga. Tentu tak ketinggalan berusaha hadir pada acara-acara yang digelar oleh toko buku MP Point Book, Selasar Omah di Empu Sendok, Bentara Budaya atau PDS HB Jassin dan Teater Utan Kayu. Entah kenapa, otakku jadi berbinar-binar.

Selalu kupanas-panasi kawan untuk terus menulis. Kubagi alamat email semua redaktur kepada teman sejawat. Pokoknya, mari kita menulis! Agar dunia bacaan kita makin ramai. Dan tentu akan melahirkan sejumlah buku-buku baru lagi. Jangan pikirkan award atau pernghargaan dulu. Yang penting batin kita puas dan orang lain beroleh pencerahan.

Dari satu buku (yang disiapkan demikian lama) ke buku yang lain, ternyata mengalir saja. Itulah yang kusebut momentum tadi. Dan tak terhindarkan dari campur tangan tulus orang lain. Maka sebaik-baik pengarang adalah (menurutku, tentu) yang memiliki banyak jaringan, dan saling berkomunikasi secara tulus dan saling berbagi.

Kurnia Effendi,
Penulis cerpen, penyair, dan novelis.

Sumber http://infosastra.com/2013/12/31/kurnia-effendi-mengkoleksi-judul/

0 Komentar:

Post a Comment

Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.

Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas