"Aku dapat tidur di suatu hari dengan nyenyak bila telah menyelesaikan jadwal menulis yang kubuat untukku di hari itu."
(Stephen King)
Saya kalah dalam sebuah lomba yang baru-baru ini diumumkan para pemenangnya. Ya, lomba mengarang cerpen Femina. Guru saya dalam menulis, Arie Saptaji, menjadi salah satu pemenang penghargaan di lomba itu. Cerpennya memang hebat. Saya sempat membacanya sebelum di-online-kan di situsnya waktu saya berkunjung ke rumahnya di Yogyakarta lebih dari setengah tahun silam. Namun, yang saya tulis berikut bukan hanya soal lomba itu. Yang saya alami selama empat tahun berkecimpung di dunia kepenulisan adalah kekalahan semata-mata.
Tulisan saya amat jarang dimuat media cetak. Padahal saya sudah membaca buku sastra sebanyak mungkin: dari tentang menulis, novel, kumpulan cerpen, atau resensi buku. "Sebanyak mungkin" yang tadi saya tulis adalah dalam ukuran saya: 1 buku 1 minggu. Dan buku-buku itu tentulah bukan buku anak-anak yang kadangkala hanya memuat 1 kalimat dalam 1 halaman -- sisanya digunakan gambar ilustrasi. Seingat saya, buku-buku yang saya baca kebanyakan berjumlah halaman lebih dari 200 halaman. Dan halaman-halaman itu kalau bisa disimpulkan berisi tulisan yang dapat disamakan dengan huruf Times New Roman berukuran 10 dan berspasi tunggal.
Saya sudah membaca sebanyak mungkin dan menulis sebanyak mungkin, tapi selalu saja: ditolak. Bukan hanya ditolak, saya pernah juga di-sms-i dengan sms yang seolah memuat gelegar amukan oleh salah satu redaktur koran terkemuka ketika saya menanyakan cerpen saya layak muat atau tidak: ditulis dengan huruf-huruf besar dan diakhiri dengan
tanda seru lebih dari satu. Saya memang salah karena amat terburu-buru menanyakan cerpen itu. Baru sekitar seminggu dikirim, ditanyai layak muat atau tidak. Ya jelaslah... diamuk!
Apa yang saya alami mungkin juga dialami oleh penulis lain. Karya kita tak kunjung dimuat dan kita tak sabar menunggu hasil. Kita kerap melihat-lihat koran di kios terdekat dengan rumah tanpa membelinya, juga tanpa memperhatikan halaman muka namun langsung menuju ke ruang di mana kemungkinan tulisan kita akan dimuat. Keadaan ini saya muat
dalam cerpen saya yang berjudul Kembali Pada Sepi: bagaimana hidup seorang pengarang yang terus berkarya, rajin membaca, namun selalu menghasilkan karya yang hanya pantas menuju ke tong sampah dalam kantor redaksi atau "trash" dalam mailbox e-mail redaksi?
Ada orang yang mungkin akan mengurangi intensitas menulisnya ketika mengalami hal ini. Orang-orang ini dalam pembenaran anggapannya mulai berangan-angan memiliki karya serupa Harper Lee yang buku semata wayangnya memenangkan Pulitzer. Mereka mungkin akan berpikir: kalau bisa aku akan menulis 1 buku atau karya saja seumur hidupku, sesuatu yang benar-benar hebat, sebagai pembuktian bahwa aku penulis hebat, dan kemudian aku baru mati. Dengan cara demikian mereka berharap akan dikenang sebagai pengubah sejarah.
Tapi saya lebih memilih bersikap lain. Saya menulis bukan karena ingin diaku sebagai penulis hebat pada nantinya. Saya menulis karena saya mencintai menulis. Oleh karena itu tak masalah bagi saya bila karya-karya saya dimuat majalah yang menurut orang amat kacangan: Sahabat Pena, misalnya. Bila dibandingkan dengan Kompas atau Koran Tempo mungkin 1:100 bobot sastranya. (Kau hendak mengubah sejarah lewat cerpenmu di Sahabat Pena? Yang benar saja, gundul!)
Saya kerap membayangkan -- saya rasa semua penulis suka membayangkan sesuatu -- adanya majalah-majalah gendeng pengimbang yang sudah ada, yang mungkin mau memuat tulisan saya: Kartono (bila cerpen saya ditolak Kartini), Maskulin (bila ditolak Femina), MuSuhmu (bila ditolak KaWanku) atau Perjaka (bila ditolak Gadis). Kalau Kompas mungkin enaknya diganti Senter (sama-sama menjadi alat para pendaki gunung).
Diaku sebagai penulis hebat atau tidak adalah anggapan orang. Bahkan karya kita yang dilemparkan ke keranjang sampah oleh redaktur bisa dianggap amat hebat oleh orang lain, setidaknya pacar kita. Inilah yang pada akhirnya menjadi batu uji bagi para penulis. Masihkah kita akan menulis ketika orang tak membaca karya kita? Dan masihkah kita mau belajar lewat membaca dan menumbuhkan kepekaan agar tulisan kita menjadi lebih baik? Seperti yang dikatakan Budi Darma bahwa banyak cerpenis Indonesia yang mengarang cerpen semata-mata karena bergabung dengan suatu komunitas sastra atau dipesan tulisannya oleh suatu media. Ia menambahkan bahwa bila penulis itu dilepas sendiri,masihkah ia akan berkarya?
Karya-karya Kafka diterbitkan anumerta, begitu juga sebagian karya Tolkien. Tolkien sendiri merilis buku yang ia karang sendiri, The Hobbit (bukunya yang pertama ia karang bersama E.V. Gordon dkk. pada tahun 1936 berjudul "Songs for the Philologists" ), saat ia berusia 45 tahun. Ia menulis keseluruhan trilogi "The Lord of the Rings" (LotR) selama kurang lebih tiga belas tahun (yang baru diterbitkan tahun 1954-1955). Tolkien bahkan pernah mengaku kalau dirinya bukan penulis hebat. Inilah karya-karya yang digarap dengan cinta kepada aksara. Inilah yang membuatnya mempelajari bahasa Anglo-Saxon kuno yang kemudian dimodifikasinya sendiri sebagai bahasa peri dalam LotR. Kecintaan pada bahasa, saya rasa adalah satu landasan yang bagus untuk membangun dunia kepenulisan.
Memang, Tolkien lebih beruntung daripada Kafka karena namanya sudah dikenal luas sebelum ia meninggal sehingga beberapa karyanya diterbitkan anumerta. Tapi, poin yang saya ingin tegaskan adalah kecintaan Tolkien pada bahasa. Itulah yang membuatnya mengarang setiap karya-karyanya dengan sesempurna mungkin. (Saya tidak tahu apakah dia lebih gila dalam soal kesempurnaan dibandingkan Tolstoy yang mengedit "Anna Karenina" sebanyak lebih dari 120 kali sebelum naik ke penerbitan.)
Tanpa bermaksud menjadi naif, saya rasa bila rasa cinta itu sudah ada, rasanya kok mau kalah lomba, ditolak redaksi, tak terlalu masalah. Sing penting (sinau lan) nulis, kalah (utawa ora dimuat) yo wis!*)
*) Terjemahan: Yang penting (belajar dan) menulis, kalah (atau tak dimuat) ya tidak apa-apa!
oleh Sidik Nugroho
Saya kalah dalam sebuah lomba yang baru-baru ini diumumkan para pemenangnya. Ya, lomba mengarang cerpen Femina. Guru saya dalam menulis, Arie Saptaji, menjadi salah satu pemenang penghargaan di lomba itu. Cerpennya memang hebat. Saya sempat membacanya sebelum di-online-kan di situsnya waktu saya berkunjung ke rumahnya di Yogyakarta lebih dari setengah tahun silam. Namun, yang saya tulis berikut bukan hanya soal lomba itu. Yang saya alami selama empat tahun berkecimpung di dunia kepenulisan adalah kekalahan semata-mata.
Tulisan saya amat jarang dimuat media cetak. Padahal saya sudah membaca buku sastra sebanyak mungkin: dari tentang menulis, novel, kumpulan cerpen, atau resensi buku. "Sebanyak mungkin" yang tadi saya tulis adalah dalam ukuran saya: 1 buku 1 minggu. Dan buku-buku itu tentulah bukan buku anak-anak yang kadangkala hanya memuat 1 kalimat dalam 1 halaman -- sisanya digunakan gambar ilustrasi. Seingat saya, buku-buku yang saya baca kebanyakan berjumlah halaman lebih dari 200 halaman. Dan halaman-halaman itu kalau bisa disimpulkan berisi tulisan yang dapat disamakan dengan huruf Times New Roman berukuran 10 dan berspasi tunggal.
Saya sudah membaca sebanyak mungkin dan menulis sebanyak mungkin, tapi selalu saja: ditolak. Bukan hanya ditolak, saya pernah juga di-sms-i dengan sms yang seolah memuat gelegar amukan oleh salah satu redaktur koran terkemuka ketika saya menanyakan cerpen saya layak muat atau tidak: ditulis dengan huruf-huruf besar dan diakhiri dengan
tanda seru lebih dari satu. Saya memang salah karena amat terburu-buru menanyakan cerpen itu. Baru sekitar seminggu dikirim, ditanyai layak muat atau tidak. Ya jelaslah... diamuk!
Apa yang saya alami mungkin juga dialami oleh penulis lain. Karya kita tak kunjung dimuat dan kita tak sabar menunggu hasil. Kita kerap melihat-lihat koran di kios terdekat dengan rumah tanpa membelinya, juga tanpa memperhatikan halaman muka namun langsung menuju ke ruang di mana kemungkinan tulisan kita akan dimuat. Keadaan ini saya muat
dalam cerpen saya yang berjudul Kembali Pada Sepi: bagaimana hidup seorang pengarang yang terus berkarya, rajin membaca, namun selalu menghasilkan karya yang hanya pantas menuju ke tong sampah dalam kantor redaksi atau "trash" dalam mailbox e-mail redaksi?
Ada orang yang mungkin akan mengurangi intensitas menulisnya ketika mengalami hal ini. Orang-orang ini dalam pembenaran anggapannya mulai berangan-angan memiliki karya serupa Harper Lee yang buku semata wayangnya memenangkan Pulitzer. Mereka mungkin akan berpikir: kalau bisa aku akan menulis 1 buku atau karya saja seumur hidupku, sesuatu yang benar-benar hebat, sebagai pembuktian bahwa aku penulis hebat, dan kemudian aku baru mati. Dengan cara demikian mereka berharap akan dikenang sebagai pengubah sejarah.
Tapi saya lebih memilih bersikap lain. Saya menulis bukan karena ingin diaku sebagai penulis hebat pada nantinya. Saya menulis karena saya mencintai menulis. Oleh karena itu tak masalah bagi saya bila karya-karya saya dimuat majalah yang menurut orang amat kacangan: Sahabat Pena, misalnya. Bila dibandingkan dengan Kompas atau Koran Tempo mungkin 1:100 bobot sastranya. (Kau hendak mengubah sejarah lewat cerpenmu di Sahabat Pena? Yang benar saja, gundul!)
Saya kerap membayangkan -- saya rasa semua penulis suka membayangkan sesuatu -- adanya majalah-majalah gendeng pengimbang yang sudah ada, yang mungkin mau memuat tulisan saya: Kartono (bila cerpen saya ditolak Kartini), Maskulin (bila ditolak Femina), MuSuhmu (bila ditolak KaWanku) atau Perjaka (bila ditolak Gadis). Kalau Kompas mungkin enaknya diganti Senter (sama-sama menjadi alat para pendaki gunung).
Diaku sebagai penulis hebat atau tidak adalah anggapan orang. Bahkan karya kita yang dilemparkan ke keranjang sampah oleh redaktur bisa dianggap amat hebat oleh orang lain, setidaknya pacar kita. Inilah yang pada akhirnya menjadi batu uji bagi para penulis. Masihkah kita akan menulis ketika orang tak membaca karya kita? Dan masihkah kita mau belajar lewat membaca dan menumbuhkan kepekaan agar tulisan kita menjadi lebih baik? Seperti yang dikatakan Budi Darma bahwa banyak cerpenis Indonesia yang mengarang cerpen semata-mata karena bergabung dengan suatu komunitas sastra atau dipesan tulisannya oleh suatu media. Ia menambahkan bahwa bila penulis itu dilepas sendiri,masihkah ia akan berkarya?
Karya-karya Kafka diterbitkan anumerta, begitu juga sebagian karya Tolkien. Tolkien sendiri merilis buku yang ia karang sendiri, The Hobbit (bukunya yang pertama ia karang bersama E.V. Gordon dkk. pada tahun 1936 berjudul "Songs for the Philologists" ), saat ia berusia 45 tahun. Ia menulis keseluruhan trilogi "The Lord of the Rings" (LotR) selama kurang lebih tiga belas tahun (yang baru diterbitkan tahun 1954-1955). Tolkien bahkan pernah mengaku kalau dirinya bukan penulis hebat. Inilah karya-karya yang digarap dengan cinta kepada aksara. Inilah yang membuatnya mempelajari bahasa Anglo-Saxon kuno yang kemudian dimodifikasinya sendiri sebagai bahasa peri dalam LotR. Kecintaan pada bahasa, saya rasa adalah satu landasan yang bagus untuk membangun dunia kepenulisan.
Memang, Tolkien lebih beruntung daripada Kafka karena namanya sudah dikenal luas sebelum ia meninggal sehingga beberapa karyanya diterbitkan anumerta. Tapi, poin yang saya ingin tegaskan adalah kecintaan Tolkien pada bahasa. Itulah yang membuatnya mengarang setiap karya-karyanya dengan sesempurna mungkin. (Saya tidak tahu apakah dia lebih gila dalam soal kesempurnaan dibandingkan Tolstoy yang mengedit "Anna Karenina" sebanyak lebih dari 120 kali sebelum naik ke penerbitan.)
Tanpa bermaksud menjadi naif, saya rasa bila rasa cinta itu sudah ada, rasanya kok mau kalah lomba, ditolak redaksi, tak terlalu masalah. Sing penting (sinau lan) nulis, kalah (utawa ora dimuat) yo wis!*)
*) Terjemahan: Yang penting (belajar dan) menulis, kalah (atau tak dimuat) ya tidak apa-apa!
oleh Sidik Nugroho
http://majelissastramadiun.blogspot.com/2011/02/ketika-tulisan-tak-layak-muat-dan-kalah.html
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)