Pada artikel terdahulu saya menulis tentang lima jurus jitu mendapatkan ide. Kali ini artikel tersebut saya lanjutkan dengan menyentuh persoalan bagaimana menuliskan ide-ide yang bersliweran itu.
Bagi para calon penulis, banyak keluhan tentang cara menuliskan ide.
Dari mana memulai? Bagaimana membuatnya enak dibaca dan sistematis? Kok
setelah ditulis ide-ide itu malah jadi semrawut susunannya? Mari kita
coba sedikit menguak persoalan ini dan menemukan solusinya.
Dari mana memulai sebuah tulisan? Pertanyaan ini mengantarkan kita pada
pertanyaan berikutnya: ide apa yang pertama kali muncul di benak kita?
Ide yang pertama kali muncul, itulah yang kita tulis pertama-tama.
Jangan pernah ragu dengan hal ini. Tuliskan saja ide pertama kita.
Di sinilah, seperti pernah saya kemukakan pada tulisan terdahulu, pentingnya outline. Outline
atau kerangka karangan akan membantu kita menjalankan proses penulisan
dengan lebih mudah. Walau sebaiknya tertulis, tapi untuk karangan
pendek, kerangka karangan bisa ‘ditulis’ di dalam pikiran. Outline
ini pula yang akan mengantarkan kita menulis secara sistematis,
menyusunnya secara berurutan, mana ide pertama, kedua, ketiga, dan
seterusnya hingga tuntas.
Lalu, bagaimana membuat tulisan kita enak dibaca? Sebuah tulisan menjadi menarik dan mengundang pesona, karena dua hal, yakni isi (content)-nya dan cara penulisannya.
Bobot tulisan sangat menentukan ketertarikan orang menikmatinya. Di
samping itu, cara pengungkapannya juga menentukan daya tarik sebuah
karya. Bahasanya yang sederhana sehingga mudah dimengerti, mengikuti
kaidah bahasa tulis yang ada dengan kosakata yang memadai, dan disusun
secara sistematis, adalah rumus sebuah karya yang menarik untuk disimak.
Sekali orang mulai tertarik membaca, selanjutnya ia akan membacanya
sampai tuntas.
Tentu saja kita tak sertamerta mendapatkan kesempurnaan dalam
menuliskan ide-ide itu. Diperlukan proses dengan jam terbang yang
memadai untuk bisa berkreasi bersamaan dengan peningkatan kemampuan
menulis. Tak ada pilihan lain selain berlatih, berlatih dan berlatih
menulis. Ala bisa karena biasa, bukan?
Pesan Pramoedya Ananta Toer, ” Kau Nak, paling sedikit
kau harus bisa berteriak.Tahu kau, mengapa aku sayangi kau lebih dari
siapapun? Karena kau menulis, suaramu tak akan padam ditelan angin,
akan abadi sampai jauh, jauh di kemudian hari. Orang boleh pandai
setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam
masyarakat dan dari sejarah.”
Jadi, menulis itu meninggalkan jejak. Selamat menulis.
( I Ketut Suweca , 30 September 2011).
0 Komentar:
Post a Comment
Bila tertarik ingin berkomentar, memberi kritik maupun saran, silakan ketik komentar Anda di bawah ini.
Salam SABUDI (Sastra Budaya Indonesia)