Download Kumpulan Puisi, Ebook, Buletin, Magazine

Tuesday, 24 January 2012

Selengkapnya: Download Kumpulan Puisi, Ebook, Buletin, Magazine

Poetry Battle: Mari Bermimpi

aku ingin mendengar suara hujan malam ini
saat kantuk menahan tidurku dan mimpiku terbang bersama suara angin yang menderu

aku ingin kirimkan awan saat itu
menuju tanah kering padas dan batu
dimana kau menjadi fatamorgana yang tak pernah hilang dan terpegang

aku ingin memburu angin yang berderu
bersama liukan awan yang menari
mengirim sekeping rindu kepadamu
sudah lewat malam sunyi begini

aku ingin berkelakar bersamamu di beranda
membujur canda senang tiada kira
meski entah hilang kemana
biarkan tetap menjadi arca abadi di hati kita


tapi aku dah ngantuk
segelas susu kuteguk
bantal guling kupeluk
bau sepreiku penguk

biarkan aku lelap saat ini
tuk menjumpaimu lagi di pagi hari
bersama sinar mentari

sudah saatnya mata terpejam
memeluk malam yang berkeliaran

mari bermimpi
menari diruang sunyi sampai mentari menyusul esok hari


Ruang Maya, 23-24 Januari 2012

*) Haley Gr (tegak) - Ekohm Abiyasa (miring)

Taken from facebook.
Selengkapnya: Poetry Battle: Mari Bermimpi

Daftar list link-link penting untuk dibaca/arsip

Saturday, 21 January 2012

Selengkapnya: Daftar list link-link penting untuk dibaca/arsip

Poetry Battle: Rindumu Basah Kuyup - Sesunyi Rindu

Wednesday, 18 January 2012

/1/ Sesunyi Rindu

berlalu dari hadapku
datanglah sepiku
terdiam hatiku

ya aku rindu....

keping rindu, dimana sunyi
engkau diam, berdiam diri dalam gigir malam
datang puja puji
tersenyumlah, mentari bersambut
segera hilang kabut


Ruang Maya,  13 Januari 2012
Pukul 1:41

*) Noy (tegak) - Ekohm Abiyasa (miring)

* Sastra Facebook



/2/ Rindumu Basah Kuyup

lalu derai hujan mulai riuh di luar sana
; aku ingin memelukmu..

menghening sunyi.. di diri
ada kelopak mata yang sayup
di penghujung malam begini
memeluk rindumu yang basah kuyup


Ruang Maya,  17 Januari 2012

*) Sinyo Manteman (tegak) - Ekohm Abiyasa (miring)
Selengkapnya: Poetry Battle: Rindumu Basah Kuyup - Sesunyi Rindu

Poetry Battle: Dongeng Kidung Rembulan

Sunday, 15 January 2012

sebelum mataku terpejam
dongengkan padaku kisah tentang persesukmaan pertama kita di bentang ranjang maya
di lengang angkasa raya
jika kau masih mengingatnya

sukma kita tersenyum, merangkum mentari yang berpelangi
jingga senja merona kisah, di ufuk barat mata kita berlayar
beradu keintiman diatas pasirpasir bermimpi
kidung bintang dan rembulan yang hafal liriklirik desah dan resah kita

Ruang Maya, 14 Januari 2012

*) Nana Podungge (tegak) - Ekohm Abiyasa (miring)

Taken from Nana's note multiply
Selengkapnya: Poetry Battle: Dongeng Kidung Rembulan

(Fiksimini) Jodoh Udah Ada yang Ngatur

Tuesday, 10 January 2012


Baiklah, tidak perlu berangan-angan terlalu tinggi. Apalagi menyangkut cinta. Sebab cinta adalah alami. Adalah hujan yang nyamperin dirimu sendiri. Bener toh?

"Wes nak, jodho kuwi wes ono sing ngatur. Ga perlu koen neko-neko"

"Okelah mbah. Kalo gitu tak jalani hari apa adanya aja ya mbah. Berkarya, bekerja dan berdoa. Lak gitu to mbah?"

Ceklik!

Jakal KM 14 Jogja, 10 Januari 2012

*) Ekohm Abiyasa
Selengkapnya: (Fiksimini) Jodoh Udah Ada yang Ngatur

(Artikel) Sastra Kita, Jangan Menyerah!

Monday, 9 January 2012

Edisi : Minggu, 23 Agustus 2009 , Hal.VIII

Sastra sebagai salah satu cabang seni yang menggunakan media kata-kata, bahasa, tulisan dan ucapan.

Sastra tumbuh dalam diri manusia yang memiliki bakat dan berkembang karena manusia itu mau mengembangkan dirinya dalam bersastra. Jika setiap manusia memiliki bakat bersastra dan berusaha mengembangkannya maka dunia ini akan penuh buku, atau berjejalan profesi sebagai penyair, deklamator, esais, cerpenis, novelis, dan bermacam nama profesi orang yang bergelut dalam sastra lainnya. Tapi kenyataannya tidak! Sastra hanya diminati oleh sebagian kecil manusia di bumi ini. Sama halnya dengan cabang-cabang seni lainnya. Inilah kenyataan hidup manusia, rambut boleh sama hitam, tapi soal pilihan hati tidak bisa seragam begitu saja. Apalagi profesi!

Jangan berkecil hati dan merasa pesimistis, bahwa sastra kita akan mati! Sastra tetap akan hidup selama ada manusia di muka bumi ini. Sastra akan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat pendukungnya, demikian pula seni yang lainnya.

Setelah terlepas dari rezim Soeharto, memang serasa angin segar kembali berembus bagi para sastrawan kita. Munculnya buku-buku yang menjamur adalah bukti bahwa sastrawan kita dalam keadaan menggeliat, bangun dari tidur panjang dalam balutan garis-garis pembatas kreativitas yang selama ini mengungkung. Paling tidak dalam segi kuantitas, sastra telah ambil bagian. Soal kualitas nomor dua, bukankah padi dalam sehektare sawah mulanya hanya diharapkan bisa tumbuh dan menguning? Maka panen dapat berlangsung.

Sekali lagi jangan pesimistis! Bila para sastrawan saja merasa pesimis, bagaimana cikal bakal sastrawan yang sedang mengeja huruf-huruf di bangku sekolah dasar? Mereka sedang belajar membaca, menulis, berbicara di depan kelas. Satu dari 35 siswa dalam kelas itu, kita harapkan ada yang menjadi sastrawan.

Bila para sastrawan sibuk dengan slogan-slogan pesimistis: Sastra telah mati! Dunia kepenyairan terpuruk! Sastra, bangkitlah! Tentulah para orangtua yang buta sastra akan semakin menghalau jauh-jauh keinginan anaknya untuk menggeluti dunia sastra. Anak berbakat tanpa dukungan, ibarat bunga kembang tak jadi.

Tanggapan positif
Tidak perlu ditanggapi sinis, para sastrawan yang mendapat dukungan media untuk berpromosi sehingga bukunya jadi booming. Sebaliknya dapat menunjukkan segi positif bagi generasi kita yang akan memilih dunia sastra sebagai profesi. Bahwa sastra itu laku. Demikian pula dengan karya-karya sastra yang menyimpang dari jalur sastra biasa, karya-karya yang kita sebut sebagai karya sastra vulgar, tidak mendidik, tidak ada pesan moral di dalamnya? Benarkah?

Jangan pernah dilupakan bahwa sastra itu adalah teks yang berisi kisah kehidupan. Hanya dua faktor besar dalam hidup yang kita lakoni ini, yaitu manusia baik dan buruk. Peran antagonis dan protagonis. Semua karya sastra berangkat dari dua sisi yang tidak dapat dipisahkan itu. Maka setiap karya sastra pasti ada pesan moral di dalamnya. Percayalah! Tinggal pada sudut mana kita memosisikan diri.

Sastra itu bebas, seperti hakikatnya seni itu bebas. demikian pula keindahan dari sebuah karya seni sastra, bebas diciptakan, bebas ditafsirkan. Tetapi sebebas-bebasnya seni, ada unsur nilai estetik yang dapat menjelaskan mengapa sebuah karya seni itu disebut indah? Salah satu cara untuk menyatukan pendapat bahwa sebuah karya sastra itu sepakat untuk disebut indah adalah dengan menelanjanginya. Lewat resensi buku, bedah buku, diskusi sastra, dialog sastra, temu sastra, parade karya sastra, apresiasi karya sastra dll.

Pertemuan-pertemuan seperti ini diyakini akan memperkuat karakter karya seniman sastra, memperluas pengetahuan dan hubungan sesama sastrawan, membuat sastrawan itu menjadi dikenal, paling tidak dalam sebuah komunitas.

Sekali lagi, jangan pesimis! Biarkan sastrawan berdebat tentang bagaimana sebuah Cerpen yang bagus terbentuk, atau bagaimana cara membaca puisi yang baik, sebab memang pelajaran seperti itu tidak ada dalam pendidikan formal. Guru Bahasa Indonesia di sekolah, tidak sempat mengajarkan bagaimana menulis Cerpen yang baik, atau mencontohkan cara membaca puisi yang bagus. Mereka hanya guru bahasa, bukan sastrawan. Banyak guru bahasa kita yang tidak bisa menulis Cerpen, juga tidak andal membacakan puisi, bahkan tidak hobi membaca, karya sastra sekalipun. Jangan tanya koleksi bukunya, mungkin cuma ada buku pelajaran dan LKS Bahasa Indonesia, itupun bercap hak milik sekolah. Mereka sibuk mengejar angka tuntas, tanpa pernah menyenggol nama Khahlil Gibran selama tiga tahun pelajaran yang diberikan bagi siswa SMP.

Munculnya persaingan antara kelompok-kelompok sastra di belahan negeri ini, adalah juga satu bukti bahwa sastra kita baik-baik saja, dan jelas tidak mati. Persaingan jelas diperlukan untuk menghasilkan sastra yang berkualitas. Bila perlu kita para sastrawan bisa menerbitkan sendiri karya sastra yang kita ciptakan, mengapa menunggu ada penerbit yang akan menerbitkan? Bukankah selama ini kelompok-kelompok sastra kecil seperti Pawon, Meja Bolong, Alis, dan banyak lagi, sudah mulai melakukannya? Mulailah dari sedikit, lama-lama karya kita terasah dan tajam. Jangan bosan menelurkan karya.

Seniman besar tidak lahir begitu saja menjadi besar, tapi melalui perjalanan yang panjang dan berliku. Soal adanya orang yang membaca atau tidak, bukanlah hal penting! Jangan lupa dengan slogan seni untuk seni, berkaryalah untuk keindahan itu sendiri. Keindahan yang kita persembahkan untuk diri sendiri, bila ada orang lain yang ingin turut menikmati, biarkan dia bebas merasakan, menafsirkan dan memberikan pendapat. Semuanya mulailah dari diri sendiri.

Seorang yang layak disebut sebagai seniman adalah bila telah menghasilkan banyak karya. Karya sastra diwujudkan dengan adanya buku yang berupa bukti fisik sebagai karya yang telah kita buat. Timbul pertanyaan, kapan saatnya karya kita diakui bila tidak pernah diterbitkan? Maka marilah terbitkan sendiri, walau tulisan tangan yang difotokopi, atau ketikan komputer yang dicetak berkali-kali. Mari terbitkan sendiri karya bagi diri sendiri, bagi orang-orang terkasih, saudara, tetangga dan siapa saja yang mau menerima dengan gratis. Apakah mereka akan menolak diberi? Entahlah, walaupun menerima itu lebih mudah dari memberi. Teruslah berkarya sambil menunggu munculnya karya emas, di antara setumpuk karya yang telah kita telurkan.

*) Nurni SPd,
Guru seni budaya di SMP Negeri 4 Delanggu


Selengkapnya: (Artikel) Sastra Kita, Jangan Menyerah!

(Artikel) Berharap pada Kesunyian Sastra

Edisi : Minggu, 11 Oktober 2009 , Hal.IV

Pada hari-hari ini politik begitu mewarnai kita. Banyak orang begitu perhatian pada peristiwa atau kejadian politik.

Hiruk-pikuk politik merupakan warna tersendiri dalam kehidupan sebuah negara. Sesuatu yang wajar bagi banyak orang, tetapi juga menjadi tidak wajar di satu sisi. Peristiwa politik yang begitu hebat di negara ini seolah tidak memberikan satu tempat untuk merefleksikan kehidupan. Pada ruang yang mana kehidupan kita menjadi begitu nikmat? Politik tidak pernah memberi kepastian untuk itu. Di satu sisi tidak banyak hal yang dulu memberi satu ruang untuk kenikmatan/ketenangan hidup menjadi sebuah pilihan. Di antara pilihan-pilihan yang ada mungkinkah kita berharap pada dunia sastra?

Sastra tidak sekadar sebuah karya atau bahasa, melainkan cara untuk menikmati. Saat peristiwa politik begitu kuat dominasinya pada kehidupan kita, sastra selalu hadir dengan pilihan yang berbeda. Ketika sastra Indonesia modern dimulai, sastra memilih untuk menjadi pendamping yang damai bagi kehidupan sosial politik. Angkatan Balai Pustaka yang memiliki tradisi romannya menempatkan sastra sebagai gerakan kebahasaan yang paling awal di Indonesia. Tapi ada kalanya sastra sehati dengan peristiwa politik. Gerakan kemerdekaan di dekade 1940-an adalah contoh nyata sastra sebagai teman sepenanggungan politik. Orang tidak akan melupakan puisi-puisi Chairil Anwar yang terpengaruh revolusi kemerdekaan.

Hubungan sastra dan politik memang tidak pernah memiliki kesamaan dalam satu peristiwa ke peristiwa yang lain. Pernah juga sastra berseberangan dengan kondisi politik negara ini. Dalam lima tahun terakhir kita diuji pada bentuk hubungan antara sastra dan politik. Politik negara yang sepuluh tahun lalu seperti halnya Kota Pandora, sulit untuk terbuka, diperbincangkan dan menjadi isu masyarakat berubah drastis. Kini masyarakat bebas berbicara, mengkritik siapa saja termasuk pemerintah. Sastra di sisi yang lain berusaha mengimbangi perubahan itu, bahkan mungkin sebelumnya sastra telah memulai perubahan tersebut.

Persoalan kemudian dinamika politik tidak mampu diikuti oleh kehidupan sastra. Sastra kita berhadapan dengan banyak persoalan yang begitu rumit dan kompleks. Perubahan politik ternyata hanyalah sebuah pintu bagi perubahan yang lebih besar yaitu cara pandang dengan segala konsekuensinya. Negara tidak lagi begitu berkuasa pada individu, sementara itu luka-luka sosial yang dulu tertutupi oleh kekuasaan politik menghadirkan konflik-konflik baru.

Kompleksitas persoalan ini tidak mampu dihadapi oleh masyarakat sastra secara langsung. Sastra kemudian seolah menepi, tetapi juga memunculkan dinamika semu di permukaan. Sastra menyingkir dari ruang-ruang publik di saat masyarakat membutuhkan dukungan agar tidak sekadar hanyut dalam hiruk pikuk politik. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh beberapa kelompok politik agar mereka diterima sebagai bagian dari sastra. Lewat sastra para “pembonceng” ini hadir dengan mainstream baru mereka. Muncullah karya sastra dengan ciri-ciri tertentu yang berhubungan dengan perspektif kelompok, agama ataupun lokalitas.

Sastra terfragmentasi sedemikian rupa, pembaca digolongkan berdasarkan pada pilihan-pilihan yang menyempit. Seiring dengan itu sastra semakin menjauh bahkan meninggalkan kehidupan yang nyata dari masyarakat. Sastra yang berada tepat di persimpangan pada situasi bangsa sekarang ini adalah kondisi terburuk dari pencapaian sejarah sastra itu sendiri. Kita bisa membayangkan bahwa sejarah sastra yang dimulai era Balai Pustaka hingga akhir 90-an masih menunjukkan sebuah catatan hubungan yang jelas antara sastra dengan kehidupan sosial. Tetapi sekarang kita akan berhadapan dengan kondisi kesusastraan yang jauh dari itu semua.

Padahal di berbagai negara membuktikan bahwa perubahan sosial atau politik terinspirasi dan memiliki hubungan yang kuat dengan sastra. Tulisan-tulisan Gabriel Garcia Marquez, Octavio Paz atau novel Boris Paternak adalah pendorong perubahan di negara pengarangnya. Pembelokan peran sastra yang sebatas bacaan hiburan dan pelipur lara ini menjadi semacam pembodohan lewat sastra.

Maka yang dibutuhkan dari persoalan sastra kita adalah pentingnya sebuah kritik. Kritik yang menjembatani sastra dengan kehidupan yang berubah. Tidak sekadar berbasa-basi dengan teori atau melegitimasi layak tidaknya sebuah karya dibaca. Tetapi kritik sastra yang diharapkan hadir adalah kritik yang berani mengatakan pentingnya perubahan dalam kesusastraan kita.

Hal itu memungkinkan terjadi kalau kritikus tidak melihat sastra dengan kacamata yang sempit. Selama ini kritik sastra memiliki peran penting melepaskan sastra sebagai bagian kehidupan manusia menjadi sebatas hiburan tadi. Tentu kita masih ingat saat novel-novel tertentu yang terjual jutaan buku. Kritik sastra tidak pernah mengiyakan, tetapi juga tidak bisa mengatakan bahwa hal itu justru melumpuhkan perjalanan kesusastraan yang panjang.

Kekritisan kita sebagai bagian sastra ditumpulkan dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Orang dilenakan seolah kehidupan nyata mereka bisa terhiburkan oleh bacaan-bacaan yang menyentuh hati, atau tulisan berlatar sebuah keyakinan. Saat situasi kehidupan yang nyata coba dimanipulasi sedemikian rupa, sudah saatnya sastra mengambil peran penting. Kalau Seno Gumira Aji Darma pernah menulsi buku ”Ketika Politik Dibungkam, Sastra Berbicara”, sekarang juga sastra harus lebih berbicara, ketika politik punya ruang untuk lebih dari berbicara.

*) Yunanto Sutyastomo
Pemerhati Sosial budaya, aktif di Pawon Sastra Solo

Selengkapnya: (Artikel) Berharap pada Kesunyian Sastra

Sekilas Tentang Fiksimini

Fiksi mini sesungguhnya punya jejak sejarah yang panjang. Fabel-fabel pendek yang ditulis Aesop (620-560 SM), adalah sebuah “kisah mini” yang penuh suspens dalam kependekannya. Kita bisa melihat pula kisah-kisah sufi dari Timur Tengah, yang turunannya populer sampai sekarang dalam bentuk anekdot-anekdot semacam Narsuddin Hoja atau Abunawas. Kisah-kisah kebajikan Zen di Tiongkok, yang bahkan seringkali lebih menggugah ketimbang cerita panjang yang bertele-tele.

Di perancis, fiksi mini dikenal dengan nama nouvelles. Orang Jepang menyebut kisah-kisah mungil itu dengan nama “cerita setelapak tangan”. Ada juga yang menyebutnya sebagai “cerita kartu pos” (postcard fiction), karena cerita itu juga cukup bila ditulis dalam kartu pos. Di Amerika, ia juga sering disebut fiksi kilat (flash fiction), dan ada yang menyebutnya sebagai sudden fiction atau micro fiction. Bahkan, seperti diperkenalkan Sean Borgstrom, kita bisa menyebutnya sebagai nanofiction.

Ada yang mencoba memberi batasan fiksi mini itu melalui jumlah katanya. Misalkan, sebuah karya bisa disebut fiksi mini bila ia terbentuk dari tak lebih 50 kata. Ada yang lebih longgar lagi, sampai sekitar 100 kata.

* * * * *

“Cerita fiksi itu cuma 6 kata.  Selebihnya imajinasi.” — (Ernest Hemingway)

Kalimat provokatif Hemingway inilah yang disebut-sebut sebagai “cikal bakal” lahirnya fiksi mini di dunia. Fiksi tidak memerlukan kalimat-kalimat panjang. Fiksi sejatinya mampu hadir dalam enam kata sederhana yang membentuk satu ide istimewa. Lupakan tentang aksesoris dan ornamen yang tidak berkontribusi memajukan cerita, dan voila!, karya fiksi pun hadir di depan mata.

Di tahun 1920, Hemingway pernah menulis novel lengkap dan hebat hanya dengan enam kata.  For sale  :  baby shoes, never worn.  Sangat singkat, padat, dan menyisakan sesuatu “menggantung” yang harus diselesaikan oleh imajinasi pembaca, bukan tuturan penulisnya.  Bahkan berabad-abad sebelum Hemingway lahir, Gaius Julius Caesar telah lebih dahulu menulis sebuah fiksi pendek.  I came, I saw, I Conquered.  Sejarah kemudian menyebarkan tulisan ini lewat budaya lisan ke seluruh dunia dan mengabadikannya sebagai salah satu karya literer terpopuler yang dikenal dengan pameo Vini, Vidi, Vici.

Pertanyaan sederhana yang hadir kemudian adalah  :  apakah layak tulisan 6 kata ini disebut sebagai sebuah fiksi? 

Secara kittah, fiksi tidak pernah dibatasi dalam jumlah kata dan karakter huruf yang menyusunnya.  Sepanjang sebuah tulisan merupakan satu karangan utuh yang mampu membawa gagasan yang jelas dan lugas, maka tulisan tersebut layak disebut sebagai fiksi.  Pengertian fiksi semacam ini tampaknya bertentangan dengan logika awam yang terlanjur ada di masyarakat. Fiksi seringkali dipahami secara sederhana sebagai karya-karya tradisional berbentuk cerita pendek, bahkan novel.

Pertanyaan selanjutnya adalah  :  mengapa cerita pendek di media massa dibatasi dengan jumlah karakter tertentu?

Pada dasarnya, kategorisasi yang menyebutkan jumlah kata pada tulisan fiksi merupakan produk dari industri penerbitan.  Industri literasi inilah yang membuat “patokan umum” bahwa tulisan dengan panjang 1000-7500 kata disebut sebagai cerita pendek, 7.500-20.000 kata disebut sebagai novelet, sedangkan 50.000-110.000 kata layak disebut sebagai novel.

Kekeliruan ini diperparah dengan sistem pembelajaran di sekolah yang mengajarkan bahwa sebuah cerita disebut lengkap jika ia memiliki bagian awal, tengah, dan akhir.  Bahkan cerita disebut utuh bila ia memiliki plot, karakter tokoh, setting, konflik (klimaks), dan antiklimaks yang ditulis dalam kalimat-kalimat panjang.  Padahal sebuah tulisan untuk disebut sebagai fiksi tidak memerlukan persyaratan seperti itu.  Terlebih jika mengutip rumus menulis fiksi versi Hemingway  :  selebihnya hanya imajinasi!

Ketika rumus menulis fiksi Hemingway ini dipahami oleh masyarakat, maka tidak mengherankan jika fiksi mini kini tengah ramai ditulis oleh banyak orang di dunia maya.  Sejarah penerbitan yang tidak lagi berpihak pada fiksi mahzhab Hemingway pun menemui keruntuhan kedigdayaannya.  Fiksi mini bangun dari tidurnya dan mendapat tempat apresiasi yang layak di sebuah fitur microblog bernama Twitter.

Keterbatasan karakter dalam aktivitas blogging inilah yang justru para tweeple yang giat menulis fiksi mini untuk memadatkan sebuah ide cerita.   Sebuah ramuan unsur drama yang efektif dan penuh dengan ledakan mengesankan tetap mampu disajikan dalam keterbatasan kuota karakter.  Bahkan sebuah akun bernama @fiksimini khusus menayangkan tema fiksi mini yang akan di retweet oleh para follower.  Para tweeps ini kemudian ada yang berlomba-lomba mengicaukan karya-karya fiksi mini mereka di twitosphere dalam pesan 140 karakter itu.  Pembaca-pembaca fiksi mini di situs microblogging ini menemui keasyikan tersendiri saat menikamati kesingkatan, suspense, dan estetika dalam fiksi mini.  Keterbatasan karakter tidak berarti membuat fiksi mini kehilangan makna, bahkan bacaan sekejap itu mampu menimbulkan kesan mendalam dan lama sama seperti karya cerpen dan novel.

Dalam ranah fiksi mini di Indonesia, meledaknya tren penulisan fiksi mini di situs microblogging tidak bisa dilepaskan dari nama Agus Noor, seorang sastrawan dari Yogyakarta.  Agus, bersama Eka Kurniawan dan Clara Ng, kini menjadi moderator yang mengatur lalu lintas cerita dari para pengirim.

Fiksi mini kini muncul sebagai alternatif menulis bagi para penulis pemula.  Fiksi mini bukan hanya milik sastrawan, novelis, dan cerpenis.  Fiksi mini telah menjadi milik semua orang, tanpa memperhatikan jenis pekerjaan, latar belakang sosial, status, bahkan umur.  Fiksi seolah menjadi semakin dekat di hati masyarakat, ia mampu mendongkrak minat baca tulis bangsa ini yang konon jauh dari indeks pengembangan sumber daya manusia negara-negara maju.

Ketika kuantitas fiksi mini kini kian membanjir setiap hari, maka ladang pekerjaan yang perlu segera digarap adalah kualitas tulisan itu sendiri. Dari beribu fiksi mini yang tercipta setiap hari, tentu tidak semua layak disebut sebagai karya fiksi mini yang layak diapresiasi. Beberapa hanya berupa kutipan anekdot, atau bahkan cerita datar kehidupan sehari-hari. Sesederhana apapun sebuah tulisan, ia tetap memerlukan modal.  Modal latihan menulis dan rutinitas membaca. Dan saya rasa tidak ada salahnya, jika masing-masing penulis fiksi mini tidak merasa puas dengan hasil karya tulisannya.

Jangan pernah merasa matang karena kematangan dekat dengan kebusukan. Teruslah merasa ranum dan belum masak, sehingga proses pembelajaran itu akan terus dilakukan demi sebuah perbaikan.  Perbaikan kualitas fiksi mini Indonesia di masa depan.
Pada akhirnya, silahkan berkarya dan terus berkarya agar bangsa kita penuh dengan karya2 luar biasa. Hilangkan definisi dan batasan pada fiksi mini, yang penting menulislah!
Tabik.

Berikut beberapa contoh fiksimini karya Agus Noor

PENJAGA KAMAR MAYAT
Kemarin ia dipecat. Tadi pagi mati bunuh diri. Malam ini kulihat ia kembali masuk kerja. Duduk pucat terkantuk-kantuk di dekat pintu kamar mayat.

ULAR SILUMAN
Ular itu mendesis masuk mimpimu. Matanya merah saga, menatapmu. Kau menjerit, dan cepat-cepat menghantam dengan lonjoran besi.
Saat terbangun, kau mendapati ibumu mati terkapar bersimbah darah. Kepalanya pecah.

MALAM SEORANG TUKANG RONDA
Ia paling suka saat tengah malam. Saat ia berkeliling dan memukul tiang listrik. Ia suka sekali mendengar bunyi tiang listrik itu. Seperti mendengar jerit kesunyian.
Entah kenapa, ia merasa gelisah malam ini. Saat ia memukul tiang listrik, yang terdengar bukan suara denting. Tapi lengking anjing.

MISTERI LAKI-LAKI YANG TAK KEMBALI
Perempuan itu menunggu suaminya pulang. Sejak sore ia sudah berdandan. Sekarang hari ulang tahun perkawinan mereka, dan ia ingin terlihat cantik saat laki-laki yang dicintainya itu datang.
Tapi hingga larut malam, suaminya tak juga pulang. Ia mulai terkantuk-kantuk dan bosan.
Mendadak terdengar kunci pintu dibuka pelan. Ia tergeragap dan bangkit. Tapi tak ada siapa-siapa. Sejak itulah suaminya tak pernah kembali.

MAYAT TANPA KEPALA
Aku ditemukan mati tanpa kepala. Malam-malam aku mendatangi rumahmu. “Boleh kupinjam kepalamu?” kataku. Kau tampak terkesiap.
 Pagi harinya, kau ditemukan tergeletak tanpa kepala.

PENYANYI DANGDUT YANG MATI DIPERKOSA
Kami, berlima, merencanakannya lama. Ia kami cegat, dan segera kami seret ke gudang. Ia cantik dan bahenol, tapi kami tergila-gila pada suaranya.
“Aku ingin kamu nyanyi lagu Malam Terakhir...” bentakku.
Ia menyanyi dengan serak gemetar, sementara kami terus memperkosanya.
Sejak itu, setiap malam, saat sendirian di kamar, aku selalu mendengar suaranya bernyanyi dari arah kamar mandi di antara air yang menggemericik.

Berikut beberapa contoh fiksimini ala Twitter
ANTAGONIS. Pisau itu terlanjur kutancapkan di dadanya. Kulihat sekelilingku, tak ada sutradara dan lainnya.

ADA BERCAK DARAH DI KASURKU "Oh, biasa, Nduk. Datang bulan itu." Ibu menenangkan. Di ruang depan, pucat Ayah mulai menghilang.
Setelah bebas dari penjara, aku mencoba menjalani hidup normal. Kuhapus kata bunuh dalam tugas merampokku.

WAKUNCAR TERAKHIR. Hampir saja kuterima pinangannya. Kalau saja tak ada nyamuk yang melintas. Oh, lidahnya begitu panjang!

SATU JAHITAN LAGI - Tangisan berhenti.

DENYUT NADI Teratur dan tekanan darah stabil. Hanya aku lupa pernah memilikinya.

Sumber : Twitter, Google dan Wikipedia, Cafe Rusuh

Selengkapnya: Sekilas Tentang Fiksimini

(Esai) Dicari: Kritik(us) Sastra Indonesia oleh Saut Situmorang

Bukankah sangat memalukan bahwa kritikus Belanda A Teeuw sampai pernah menulis sebuah esei berjudul “Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi” di mana dia melaporkan tentang “rasa heran”nya atas hasil “analisis” dua sajak modern Indonesia oleh sekelompok dosen sastra kita yang tak satupun berhasil memuaskannya! Walaupun Teeuw mengatakan tidak bermaksud mengkritik “mutu” analisis para dosen sastra kita atas sajak “Salju” Subagio Sastrowardoyo dan “Cocktail Party” Toeti Heraty tersebut, dan malah memutuskan untuk “membela”nya dengan alasan adalah sah bila terjadi interpretasi-jamak atas sebuah karya sastra, bukankah kita pantas untuk jadi was-was: Kalau para dosen sastra sendiri, yang konon sehari-harinya bergelut dengan sastra sebagai sebuah ilmu pengetahuan akademis, mutu analisis sastranya tidak bisa memuaskan kritikus asing seperti A Teeuw, bagaimana lagi kualitas para mahasiswanya yang kelak di kemudian hari mungkin jadi penulis tentang sastra, sastrawan atau malah dosen sastra? Beginikah sosok dunia sastra modern kita?

Yang lebih ironis lagi, kita malah sangat sering mendengar atau membaca tentang adanya “krisis” dalam sastra modern Indonesia. Maksudnya tentu saja “krisis” dalam dunia karya seni sastra, apa itu puisi, cerpen atau novel. Sastrawan Indonesia dikatakan “jalan di tempat”, karena karya mereka begitu-begitu saja, seragam, terlalu sosiologis dan lokal tema/topiknya, tidak cerdas pemakaian bahasanya. Sebagai satu-satunya cara menyembuhkan “krisis” ini sastrawan Indonesia modern/kontemporer dianjurkan untuk berobat ke luar negeri, kalau tidak ke Amerika Serikat atau Eropa, ya ke Amerika Latin. The West is the best, seperti kata Jim Morrison dari The Doors!

Saat ini banyak orang menulis di sastra Indonesia, baik sebagai sastrawan maupun “pengamat” sastra. Penyair merupakan kelompok yang paling banyak jumlah anggotanya. Lihat saja misalnya para penyair yang mendominasi buku Korrie Layun Rampan yang berjudul seram itu: Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Besarnya jumlah seniman sastra, penyair, cerpenis dan novelis, yang ada di Indonesia saat ini membuat isu “krisis sastra” tadi masih bisa dipertanyakan kembali kebenarannya. Soal “kecenderungan” pemilihan tema/topik karya yang terlalu “sosiologis” ataupun “keseragaman” gaya penulisan karya, bagi saya, tidaklah bisa dijadikan alasan untuk begitu saja mengatakan sastra Indonesia mengalami “krisis”. Bukankah kedua hal ini juga yang merupakan ciri-khas utama Realisme-Magis (Magic-Realism) sastra Amerika Latin yang dipuji-puji setinggi langit di Indonesia itu! Secara pribadi saya sangat puas dengan karya-karya sastrawan kita, apa itu puisi, cerpen atau novel, termasuk drama. Walau sejarah sastra modern kita masih muda, kita sudah memiliki monumen-monumen sastra dalam semua genre sastra yang ada. Puisi para penyair seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Toeti Heraty, Afrizal Malna dan Wiji Thukul saja, misalnya, tidak malu kita untuk mengklaimnya sebagai produk-produk terbaik sastra modern Indonesia. Begitu pula dengan karya fiksi seperti Belenggu, Atheis, novel-novel eksperimental Iwan Simatupang, tetralogi novel Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer, novel-novel “geisha” Ahmad Tohari, cerita silat Kho Ping Hoo, dan cerpen-cerpen Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, Iwan Simatupang, dan Seno Gumira Ajidarma. Drama modern kita juga telah menghasilkan dramawan dan teater yang tidak kalah mutunya dengan apa yang dimiliki negeri lain. Justru yang mesti diungkapkan adalah fakta bahwa dunia sastra Indonesia, mulai sejak zaman Balai Pustaka sampai munculnya antologi CD puisi cyberpunk/Internet Cyberpuitika yang kontroversial itu di awal Agustus 2002, hanya mengenal satu “krisis” saja dan itu masih terus berlangsung sampai hari ini, yaitu krisis kritik(us) sastra. Besarnya rasa pesona segelintir “kritikus sastra” Indonesia pada para novelis Realis-Magis Amerika Latin sementara melecehkan fenomena yang sama pada karya sastra Indonesia, bagi saya, membuktikan adanya krisis kritik(us) sastra ini. Saya mencurigai “pengetahuan” mereka tentang apa yang membuat mereka terpesona itu, apalagi kalau diingat bahwa “pengetahuan” mereka tersebut mereka peroleh hanya melalui versi terjemahan dan bukan bahasa aslinya. Faktor “kecerdasan bahasa” yang mereka klaim dimiliki oleh para novelis Realis-Magis Amerika Latin tapi konon absen dalam fiksi Indonesia kurang meyakinkan justru karena mereka hanya mampu membaca para Realis-Magis tersebut dalam versi terjemahan bahasa Inggris. Dan kita tahu, versi terjemahan sebuah karya sastra (bagaimanapun minimnya tingkat pencideraan pengarangnya) tidak cukup untuk dijadikan bahan sebuah studi yang bersifat “kritik sastra”, apalagi dalam studi yang disebut sebagai “Comparative Literature”, kecuali untuk Translation Studies. Bagi saya, apa yang ditemukan oleh A Teeuw sekitar duapuluhan tahun lalu itu masih tetap merupakan persoalan utama dunia sastra kita saat ini.

Krisis Kritik(us) Sastra Indonesia

Kebanyakan “sejarawan” sastra Indonesia akan setuju bahwa secara formal sastra modern berbahasa Indonesia lahir dengan terbentuknya lembaga penerbitan kolonial Belanda Balai Pustaka di awal abad 20. Periodesasi sejarah sastra modern Indonesia juga biasanya dimulai dari masa ini, yang dikenal dengan nama “Angkatan Balai Pustaka”. Walaupun terdapat beberapa penulis tentang sastra modern Indonesia yang mempertanyakan ketepatan pemilihan waktu lahirnya sastra modern berbahasa Indonesia ini, terutama dalam perspektif Studi Pascakolonial yang memandang periode sebelum berdirinya Balai Pustaka sebagai sebuah “sejarah yang hilang” dalam genealogi sastra Indonesia, namun secara umum “Angkatan Balai Pustaka” masih diakui sebagai angkatan sastrawan pertama dalam sejarah sastra modern Indonesia. Sampai awal abad 21 ini “diperkirakan” sudah ada sekitar 7 angkatan sastrawan modern Indonesia, dengan “Angkatan Sastrawan 2000” sebagai tambahan terakhir untuk sastrawan kontemporer Indonesia.

Terlepas dari perdebatan soal hari lahir sastra Indonesia di atas, bukankah periodesasi sastra modern Indonesia dalam beberapa angkatan itu dengan jelas merujuk ke sosok “sastrawan” atau “pengarang” sastra berbahasa Indonesia, bukan “kritikus” sastra Indonesia! Dari periodesasi historis itu bisa juga diamati bahwa sastra modern Indonesia hanya memiliki sastra Indonesia, hanya memiliki karya seni sastra berupa puisi, cerpen, novel dan naskah drama saja. Dan jumlah karya seni sastra yang sudah diproduksi itu sangat banyak serta pengarangnya pun sangat banyak. Tidak semua memang dari karya seni sastra itu berhasil lulus testing mutu untuk bisa disebut sebagai monumen-monumen sastra modern Indonesia, tapi yang berhasil dan menjadi klasik dan keramat dalam sejarah sastra modern Indonesia yang pendek umurnya itu telah juga berhasil “menciptakan” sebuah sastra-nasional baru sebagai warga baru sastra dunia. Tanpa monumen-monumen karya seni sastra ini, tidak ada itu sesuatu yang disebut orang sebagai “sastra modern Indonesia”, sastra modern dalam bahasa Indonesia.

Bagi saya, periodesasi sejarah itu menunjukkan tidak adanya “kritik sastra” apalagi “tradisi kritik sastra” mendampingi perjalanan sejarah sastra modern berbahasa Indonesia yang usianya pendek itu. Fakta ini sangat menyedihkan mengingat bukankah “kritik sastra” itu semacam pasangan hidup bagi karya seni sastra supaya yang terakhir ini, mengutip seorang penulis dari Bandung yang mengklaim tidak ada krisis kritik(us) sastra dalam sastra Indonesia, tidak hidup kesepian, halusinasif dan kering meranggas!

Di Indonesia ada semacam pendapat umum bahwa segala sesuatu yang berbicara tentang karya sastra, puisi misalnya, bisa dikatakan sebagai “kritik” sastra. Satu buku tebal yang khusus membahas puisi penyair tertentu adalah “kritik” sastra. Satu buku yang berisi kumpulan esei-lepas tentang sastra yang pernah dimuat di koran atau majalah adalah “kritik” sastra. Bahkan resensi buku sastra pun adalah sebuah karya “kritik” sastra. Dan tentu saja semua penulis yang menulis tentang sastra adalah “kritikus” sastra, malah para redaktur sastra koran edisi Minggu di seluruh Indonesia pun termasuk “kritikus” sastra!

Memukul rata dalam generalisasi pemakaian istilah “kritik/kritikus sastra” seperti ini tentu sah-sah saja kalau diingat bagaimana pengertian istilah “kritik” dalam pemakaian sehari-hari di Indonesia. Ada kritik membangun, ada pula kritik tak-membangun alias merusak. Kalau seseorang “dinasehati” oleh kawannya, dikatakannya dia itu dikritik. Kalau ada penyair baca sajak yang pamflet, dia dibilang mengkritik. Dan seterusnya, dan seterusnya . . . Tapi sudah tepatkah pemakaian istilah ini untuk merujuk kepada sebuah aktivitas pembacaan teks sastra yang bersifat sebagai sebuah studi kritis? Maksud saya, sudah tepatkah pemakaian istilah “kritik/kritikus” untuk menyebut tulisan-tulisan dan penulis-penulis kita yang menulis tentang sastra seperti yang umum dilakukan saat ini?

Setelah membaca tulisan-tulisan yang disebut “kritik sastra” Indonesia sejak zaman Balai Pustaka sampai penerbitan buku Korrie Layun Rampan, Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia saja, misalnya, saya menemukan sangat banyak tulisan yang sangat tidak memuaskan dan tidak pantas untuk disebut sebagai “kritik sastra”. Sebagian besar dari tulisan “kritik sastra” tadi sebenarnya lebih pantas dimasukkan dalam kategori tulisan “Apresiasi” atau “Komentar” sastra saja karena, seperti kata penyair Amerika Serikat/Inggris TS Eliot atas isu yang sama, “dikerjakan dengan cara yang tidak semestinya, dipisah-pisah seperti daun sayuran [...] jadi mirip sebuah tipe kuliah-sastra populer, di mana drama dan novel diceritakan kembali ceritanya, motif-motif para karakternya diterangjelaskan, hingga membuat karya sastra itu sangat gampang bagi kaum pemula”. Hal yang sama juga terjadi pada “analisis” puisi yang kebanyakan pseudo-studi-tekstual, pseudo-strukturalis, dengan tekanan hanya pada “makna” kata-kata tertentu atau metafor pada puisi yang sedang dibicarakan, untuk menceritakan kembali alur narasi atau moral puisi, tak lebih dan tak kurang, hingga memberi kesan betapa gampangnya puisi untuk dimengerti! Dan memang banyak dari buku-buku “kritik sastra” Indonesia memiliki Kata Pengantar yang selalu memuat kalimat disklaimer apologis seperti ini: “Buku ini memuat hal-hal yang mudah dipahami, karena dimaksudkan bagi para pemula atau remaja pencinta sastra”!

Menulis tentang karya sastra bagi para pemula atau remaja pencinta sastra tentu saja bukan sebuah pekerjaan yang haram. Malah pantas diacungi jempol tanda kagum karena tujuannya yang mulia untuk membuat para pemula atau remaja mencintai sastra secara dewasa, bukan sekedar cinta monyet yang akan berlalu setelah masa pubertas mereka selesai. Persoalannya adalah terlalu banyak orang yang menulis bagi para pemula dan remaja pencinta sastra hingga para pencinta sastra yang lain yang tidak pemula dan tidak remaja lagi jadi terlupakan! Para penulis tentang karya sastra bagi para pemula dan remaja pencinta sastra ini sepertinya segan untuk menulis bagi mereka yang bukan pemula dan bukan remaja lagi! Akibatnya, para “kritikus” ini terus-terusan mengulang kembali menulis buku-buku “kritik” tentang sastra bagi para pemula atau remaja pencinta sastra sampai jumlah buku-buku mereka mirip katalog perpustakaan ramainya, dan dengan variasi judul buku yang luarbiasa imajinatifnya pula, seperti Jejak Langkah Sastra Indonesia, Wajah Sastra Indonesia, Suara Pancaran Sastra, Katarsis dan yang semacam itu.

Kalau dihitung-hitung berapakah jumlah buku yang pernah ditulis yang berisi analisis kritis (critical analysis) atas karya-karya Amir Hamzah, Chairil Anwar, Idrus, Sitor Situmorang, Pramoedya Ananta Toer, Iwan Simatupang, Ibrahim Sattah, Subagio Sastrowardoyo, Ahmad Tohari, Toeti Heraty, Nh Dini, Kho Ping Hoo, Afrizal Malna atau Wiji Thukul saja? Apakah nama-nama ini tidak pantas untuk dibahas secara kritis dan serius? Atau memang para “kritikus” sastra Indonesia tidak sanggup untuk meng“kritik” karya-karya mereka, seperti para dosen sastra yang dilaporkan A Teeuw itu?

Seandainyapun eksistensi “kritik sastra” Indonesia mau dianggap ada, maka eksistensinya itu hanyalah sebuah eksistensi yang hidup-segan-mati-tak-mau belaka. Banyak memang penulis Indonesia yang menulis tentang sastra Indonesia, apa itu tentang sebuah karya sastra atau seorang sastrawan, tapi mayoritas tulisan-tulisan yang ada ini, apa itu berupa esei-lepas di koran atau majalah atau hasil penelitian akademis kesarjanaan seperti skripsi, sangat tidak memuaskan isinya untuk bisa disebut sebagai “kritik sastra”. Kementahan analisis yang terungkap dalam pembuatan kesimpulan-kesimpulan asersif yang sangat umum merupakan ciri-khas esei-lepas tentang sastra di majalah atau koran, sementara hasil penelitian akademis kesarjanaan begitu kaku dan dogmatis dalam “penerapan” teori-teori sastra yang dipakainya dengan mengorbankan elaborasi pembahasan yang mendalam dan orisinal. Keluwesan atau kecerdasan berbahasa dalam mengekspresikan isi pembahasan juga rata-rata absen dan merupakan kelemahan tipikal baik “kritik jurnalistik” maupun “kritik akademis” di atas. Tapi secara umum, bagi saya, tulisan-tulisan lepas tentang sastra modern Indonesia di media massa cetak seperti majalah dan koran jauh lebih bermutu karena lebih menarik isi dan bahasa ungkapnya (walau masih begitu banyak bisa ditemukan pemakaian istilah asing atau kutipan dari penulis asing yang cuma sekedar dekorasi teks belaka) dibanding hasil-hasil penelitian akademis kesarjanaan, meskipun untuk bisa pantas dikategorikan sebagai “kritik sastra” seperti yang dipahami di Barat masih jauh dari memuaskan. Kumpulan esei-lepas Subagio Sastrowardoyo berjudul Sosok Pribadi Dalam Sajak, yang berisikan esei-esei tentang beberapa penyair modern Indonesia yang pernah ditulisnya untuk majalah sastra di Indonesia, merupakan tipe analisis interpretatif-evaluatif yang serius dalam bahasa ungkap yang cerdas dan luwes. Begitu pula sebuah esei kata pengantar yang ditulis Ignas Kleden untuk YEL, buku kumpulan cerpen Putu Wijaya. Kalau tulisan kedua orang ini, misalnya, kita bandingkan dengan “kritik akademis” yang menjelma jadi buku seperti Chairil Anwar ―Sebuah Pertemuan, maka akan jelas terlihat mana yang pantas untuk disebut, dan bagi saya merupakan, “kritik(us) sastra” yang sebenarnya.

Pengalaman saya waktu melakukan riset perpustakaan untuk penulisan tesis pascasarjana saya atas Chairil Anwar di Selandia Baru di pertengahan tahun 1990an menunjukkan betapa parahnya krisis kritik sastra yang melanda sastra modern Indonesia. Setelah begitu lama meninggal dunia ternyata hanya HB Jassin, A Teeuw, Boen S Oemarjati dan Subagio Sastrowardoyo saja yang pernah benar-benar melakukan “studi kritis” atas sastrawan terbesar yang pernah dikenal sastra modern Indonesia ini! Tulisan-tulisan lepas di koran dan majalah Indonesia, khususnya, dan skripsi kesarjanaan tentang Chairil Anwar memang banyak, tapi kebanyakan cuma repetisi mandul tak orisinal tentang Chairil, apa sebagai “binatang jalang”, sebagai seorang “eksistensialis”, sebagai seorang “pembaharu” atau sebagai seorang “pahlawan nasional” malah. Herannya lagi, justru yang mampu menulis analisis kritis yang serius dan orisinal dalam bahasa pembahasan yang luwes tidak kaku hingga memberikan satori-teks atau tekstasi pada pembacanya kebanyakan peneliti asing, biasanya dalam bahasa Inggris, dan bukan peneliti Indonesia sendiri. Ini baru tentang satu sastrawan saja. Bagaimana dengan nasib para sastrawan lainnya! Saya bisa bayangkan, dengan sangat prihatin, seandainya Chairil Anwar itu seorang penyair Amerika Serikat maka sudah puluhan buku, tentang berbagai aspek dari puisinya termasuk biografinya, ditulis orang Amerika Serikat sendiri.

Siapa Kritikus Sastra

Menurut kritikus sastra Amerika Serikat MH Abrams, “kritik” adalah istilah yang dipakai untuk studi yang berkaitan dengan pendefinisian, pengelompokan, penganalisisan, penginterpretasian dan pengevaluasian karya sastra. Dalam dunia sastra terdapat dua jenis besar “kritik sastra”, yaitu kritik teoritis dan kritik praktis. Kritik teoritis berfungsi untuk menetapkan, dengan dasar prinsip-prinsip umum, seperangkat istilah, perbedaan dan kategori untuk diterapkan pada identifikasi dan analisis sastra, termasuk juga menetapkan kriteria (standar, atau norma-norma) untuk mengevaluasi karya sastra atau sastrawan. Sementara kritik praktis, atau kritik terapan, merupakan pembicaraan atas karya sastra, atau sastrawan, tertentu di mana prinsip-prinsip teori yang mendasari analisis, interpretasi dan evaluasi karya tersebut biasanya dibiarkan tidak nampak menyolok, tersirat saja, kecuali kalau memang diperlukan. Dan mereka yang melakukan “kritik” sastra menurut kedua pengertian di atas disebut sebagai “kritikus” sastra.

Bisa dilihat bahwa “teori” punya arti penting dalam kedua kategori kritik sastra di atas. Sebuah pembicaraan atas karya sastra atau sastrawan baru bisa sah disebut sebagai “kritik sastra” kalau dilakukan berdasarkan “prinsip-prinsip teori” yang mendasari identifikasi dan analisis sastra. Dalam kata lain, tiap pembicaraan atas karya sastra atau sastrawan supaya berhak disebut sebagai sebuah pembicaraan “kritik sastra” tidak bisa tidak memiliki seperangkat “teori” analisis, interpretasi dan evaluasi yang berlaku universal. Sebuah “kritik sastra” tidak bisa dilakukan hanya tergantung pada kata hati belaka!

Improvisasi juga bisa dilakukan atas macam “tipe” kritik berdasarkan teori atau ilmu pengetahuan apa yang dipakai dalam menganalisis karya sastra untuk mengetahui pengaruh atau sebab-sebab yang menentukan ciri-ciri tertentu dari karya tersebut. Makanya kita juga mengenal “kritik sejarah”, “kritik biografi”, “kritik sosiologi”, “kritik Marxis”, “kritik psikologi”, “kritik psikoanalisis”, “kritik arketipe atau mitos”, “kritik feminisme” atau “kritik pascakolonial”.

Apa kriteria bagi seseorang untuk berhak disebut sebagai seorang “kritikus” sastra? Disamping keahlian khusus/pengetahuan yang komprehensif atas sebuah genre sastra yang dipilih untuk dikritisi, bukankah sebuah sikap “profesional dan kritis” juga mesti dimiliki oleh seorang kritikus sastra, hingga nanti tulisan-tulisan kritisnya tentang sebuah karya sastra ataupun seorang sastrawan tidak terjebak pada sebuah emosionalisme yang amatiran. Suka atau tidak sukanya “perasaan” seorang kritikus terhadap seorang sastrawan yang sedang dibicarakannya, posisinya sebagai seorang “kritikus” menuntut agar “penilaian” terhadap karya sastrawan tersebut dilakukan menurut etika kritik yang berlaku universal – kritis, adil dan jujur. Karakter pribadi seorang sastrawan, misalnya, apalagi bila kebetulan tidak sesuai dengan standar moral ideal sang kritikus, jangan sampai mempolusi cara menilai karya seninya. Karakter pribadi seorang seniman tidak relevan untuk dijadikan tolak ukur penilaian karyanya, apalagi kalau dijadikan sebagai alasan pelecehan mutu pencapaian karya tersebut. Kritiklah karya sang seniman karena karyanya itulah esensi kesenimanan seorang seniman. Karya adalah identitas eksistensial seorang seniman. Bagaimana kita bisa “mempercayai” pendapat seorang “kritikus”, misalnya, yang tanpa terlebih dulu melakukan “textual study” dan sebagainya yang serius dan menyeluruh atas sebuah karya sastra, seenak perutnya sendiri membuat sebuah vonis menjatuhkan melalui pernyataan-pernyataan asersif yang tidak “kritis” dan “emosional”, apalagi yang tendensius-politis seperti yang umum terjadi di Indonesia!

Untuk bisa diterima sebagai sebuah karya “kritik”, sebuah pembahasan atas sebuah karya sastra atau seorang sastrawan harus dilakukan dengan landasan teori analisis yang jelas. Seorang penulis yang menulis bahwa sajak-sajak seorang penyair tertentu adalah karya seni bermutu tinggi atau sajak-sajak yang berhasil karena “menyenangkan” obsesi-obsesi pribadi si penulis tersebut belumlah bisa disebut sebagai seorang “kritikus” sastra dan tulisannya itu sebuah “kritik” sastra. Begitu pula sebaliknya, kalau seorang penulis menulis bahwa karya seorang sastrawan tertentu bukan karya seni karena tidak “berkomunikasi” dengannya tidak bisa juga disebut sebagai “kritikus” sastra dan tulisannya itu sebagai sebuah “kritik” sastra. Untuk bisa disebut sebagai “kritikus”, seorang penulis tidak bisa “hanya” sekedar “menyimpulkan” pendapatnya saja. Seorang “kritikus” sastra tidak bisa membuat sebuah analisis yang kritis hanya tergantung pada kata hatinya saja, seperti kebanyakan terjadi di Indonesia. Karena kata hati dan rasa bingung saja tidak cukup. Seorang “kritikus” sastra mesti punya landasan teori analisis yang meyakinkan sebelum bisa meyakinkan pembacanya. Dan teori itu sendiri harus diterapkan dalam tahap-tahap pembahasan yang, paling tidak, masuk akal, logis dan ilmiah. Baru setelah prosedur analisis karya sastra seperti ini dilakukan, “pembacaan” yang dilakukannya tadi berhak untuk disebut sebagai sebuah “kritik” sastra, tidak persoalan setuju atau tidak setuju kita para pembacanya nanti dengan kesimpulan “pembacaan” si “kritikus” sastra tersebut.

Kementahan analisis hingga melahirkan kesimpulan-kesimpulan umum bersifat asersif yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah dipamerkan kepada kita baru-baru ini dengan penerbitan buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Penyusunnya Korrie Layun Rampan memberikan alasan penerbitan buku tersebut keyakinannya bahwa telah terjadi sebuah revolusi estetika dalam sastra kontemporer Indonesia, yang, menurutnya, bisa disetarakan dengan apa yang dilakukan Chairil Anwar atau Sutardji Calzoum Bachri, oleh 3 sastrawan dalam 3 genre sastra yang berbeda: Afrizal Malna dalam puisi, Seno Gumira Ajidarma dalam cerpen, dan Ayu Utami dalam novel! Sebagai pembaca bukunya yang judulnya terkesan sensasional itu, saya mengharapkan dia akan membeberkan argumentasinya atas tesisnya yang menimbulkan banyak pro dan kontra tersebut. Saya ternyata mesti kecewa karena Korrie Layun Rampan tidak mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang orisinal yang tidak diketahui publik pembaca sastra Indonesia sebelumnya tentang ketiga sastrawan yang disebutnya sebagai pembaharu estetika penulisan sastra modern Indonesia itu. Begitu juga dengan keberaniannya untuk menyatakan bahwa para sastrawan lain dalam bukunya itu sekedar meneruskan apa yang telah dilakukan ketiga nama di atas tadi, tanpa “pembuktian” dalam bentuk studi perbandingan atau apapun. Setelah membaca bukunya itu saya jadi bertanya-tanya, kenapa seorang “kritikus” sastra seperti Korrie Layun Rampan, yang di Indonesia mungkin paling banyak menulis buku sastra dan tentang sastra itu, gagal melakukan sesuatu yang sudah sangat pantas dilakukan oleh seorang editor buku yang berpretensi hendak memperkenalkan/mengungkapkan adanya sebuah “revolusi estetika” dalam dunia sastra kontemporer Indonesia. Sementara kelatahannya untuk ikut-ikutan berbahasa Indonesia “posmo” ala Afrizal Malna hanya menambah kecurigaan saya saja atas kedalaman pengetahuannya tentang sastra.

Kalau kita bicara soal “perubahan dalam estetika kesenian”, apa yang kita maksud dengan istilah ini? Sebuah perbedaan gaya pengucapan? Sebuah perbedaan orientasi pemikiran? Keduanyakah? Apakah eksplorasi atas “ambiguitas kata”, atas “makna umum dan tersirat” dari kata, tanpa mesti membuat struktur kalimat jadi tidak baku ala puisi-mantra Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, tidak bisa juga dikatakan sebagai sebuah “perubahan dalam estetika kesenian”? Kalau Afrizal Malna, yang disebut Korrie Layun Rampan sebagai pemimpin Angkatan 2000 itu, dikatakan melakukan sebuah “perubahan dalam estetika kesenian” karena memilih kata dari lingkungan sehari-hari hingga menciptakan (kesan) habitat keseharian kehidupan kita, bagaimanakah dengan apa yang dilakukan oleh penyair-buruh Wiji Thukul? Bukankah idiom-idiom puisi Wiji Thukul jauh lebih dekat dengan “lingkungan sehari-hari” atau “habitat keseharian” Indonesia, paling tidak bagi kalangan buruh dari mana dia berasal, ketimbang intelektualisme benda-benda Afrizal Malna? Kenapa Korrie Layun Rampan sampai “lupa” untuk membicarakan puisi Wiji Thukul yang jauh lebih terkenal di Indonesia dibanding puisi Afrizal Malna itu? Apa arti dari peristiwa “lupa” seorang editor yang konon juga “kritikus” sastra macam begini?

“Pemilihan” nama-nama sastrawan lainnya untuk “menemani” ketiga “pembaharu estetika kesenian” sastra kontemporer Indonesia di atas juga tidak diberikan argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan (kecuali bahwa rata-rata mereka pernah ditulis di media massa oleh Korrie Layun Rampan!), termasuk “dilupakannya” beberapa nama sastrawan yang sudah cukup dikenal di Indonesia, seperti para sastrawan yang ada di pulau Bali. Kelemahan khas “politik sastra” seperti ini jadi makin tragis lagi dengan munculnya seorang novelis baru dalam sastra kontemporer Indonesia, tidak lama setelah buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia terbit, yang novelnya Supernova diklaim banyak “kritikus” sebagai jauh lebih inovatif lebih segar lebih seksi kalau tak mau dibilang lebih intelektual daripada Saman yang dijagokan Korrie Layun Rampan!

Kementahan analisis yang terungkap dalam pembuatan kesimpulan-kesimpulan umum bersifat asersif yang tergantung pada kata hati saja semacam ini juga sangat kental mewarnai tulisan jurnalistis “esei koran” seorang Nirwan Dewanto. Walaupun bukan diterbitkan di sebuah halaman seni koran Minggu, sebuah eseinya yang paling tipikal menunjukkan esensi dirinya sebagai hanya sebuah “antologi asersi” belaka adalah yang ditulisnya untuk majalah berita mingguan Tempo edisi khusus “Kilas Balik 2002”, 5 Januari 2003. Dalam esei berjudul “Pinurbo dan Dinar” itu, ketua redaksi jurnal kebudayaan Kalam ini memulai tulisannya dengan bahasa yang sangat khas:

“Setiap akhir tahun saya merasa lara dan terkutuk sebab saya tahu tak banyak karya sastra dalam bahasa nasional kita dalam setahun itu yang layak dikenang. Sebagian besar hanya akan tinggal sebagai bahan dokumentasi. Juga sepanjang 2002. Namun, takut menjadi anak durhaka di kampung halaman sendiri, saya berusaha toleran terhadap mutu sastra, lalu menghibur diri: lihat, bakat baru terus bermunculan. Ajaib, masih ada yang bisa meloloskan diri dari mediokritas yang kian merajalela dalam masyarakat saya. Bagaimana mungkin negeri yang tenggelam dalam kelisanan ini masih bisa menghasilkan penulis unggul?”

Lihatlah betapa hanya dalam satu paragraf saja Nirwan Dewanto sudah membuat begitu banyak kesimpulan dan dia sebagai pembuat kesimpulan diposisikannya sebagai seseorang yang “tahu”, sang pengamat ajaib, yang berdiri di luar lingkaran mediokritas masyarakatnya! Seorang Zarathustra posmo yang tiba-tiba memutuskan untuk membuka jendela menara gadingnya, tanpa mesti turun ke bumi di bawah, dan terpesona pada narsisismenya sendiri! Ajaib, memang, masih ada yang merasa begitu yakin sudah meloloskan diri dari mediokritas yang kian merajalela dalam masyarakat saya!!!

Sekarang baiklah kita ikuti jalan argumen yang ditawarkannya sebagai alasan bagi apa yang akan saya sebut sebagai accusation/defense paragraf pertamanya itu. Puisi Indonesia kontemporer (yang ditulis “para penyair muda usia itu”), katanya sambil meminjam istilah Asrul Sani, masih “puisi emosi” yaitu yang menunjukkan bahwa “[k]etimbang menguasai bahasa, apalagi mencari ungkapan baru, [para penyair muda usia itu] terpenjara kosa-kata dan kosa-bentuk para pendahulu mereka”. Absennya orisinalitas merupakan dosa-asal puisi kontemporer kita. Saya berkhayal: setelah Chairil Anwar, setelah Sutardji Calzom Bachri, setelah Afrizal Malna, tak ada lagi Puisi Indonesia. Yang ada hanya mediokritas “[ke]abstrak[an] dalam arti negatif: tidak sanggup menangkap apa yang konkret, yang dekat dengan nafsu dan daging, justru lantaran mengabaikan intelek dan keperajinan”. Menurutnya, puisi kontemporer kita adalah puisi yang “gampang ambruk, lantaran pelbagai anasirnya tak saling menopang”, “Puisi yang tak sanggup menyegarkan bahasa”. Demikianlah accusation Nirwan Dewanto.

Tapi untunglah masih ada “para penyair cemerlang terdahulu, yang terus memberikan tenaga pada bahasa kita. [Yang] masih giat di gelanggang, bahkan terus memperbarui diri. Lebih penting lagi, masih ada Joko Pinurbo dengan kumpulan sajak Pacarkecilku terbitan Indonesiatera”. Joko Pinurbo adalah “antipoda puisi lirik sekaligus puisi protes”, menurut Nirwan Dewanto, karena “[i]a berhasil membangkitkan bahasa sehari-hari dengan frasa yang terang sebagai alat puitik”, sementara mayoritas penyair (kontemporer) “hanya mendedahkan keruwetan (dan bukan kompleksitas) dengan kalimat patah-patah yang sering mengabaikan logika”.

Bagi Nirwan Dewanto, sekaligus sebagai defense-nya, pemakaian “bahasa sehari-hari dengan frase yang terang” dan “kalimat [tidak] patah-patah yang [tidak] mengabaikan logika” adalah ciri-utama berhasil-tidaknya puisi, penting-tidaknya sebuah kumpulan sajak/penyair. Dan ditambah dengan mesti hadirnya “humor dan main-main”, kisah “alegori” serta “parodi”. Walaupun demikian, Nirwan Dewanto masih melihat adanya tiga kekurangan pada puisi Joko Pinurbo: kalimatnya yang kurang tajam, repetisinya yang sering berlebihan, dan kosakatanya yang kurang kaya.

Betapa susahnya menjadi penyair di Indonesia! Betapa otoriternya seorang ketua redaksi jurnal kebudayaan Indonesia! Hanya dalam lima paragraf, puisi kontemporer Indonesia “dibedah”, dimaki-maki, diangkat sedikit untuk kemudian dibanting dengan keras karena kalimatnya kurang tajam, repetisinya sering berlebihan dan kosakatanya kurang kaya! Dan semuanya itu ditutup dengan kalimat patronising ala seorang empu puisi yang sudah menghasilkan berpuluh buku puisi dan buku tentang puisi: “Demikianlah setiap tahun kita hanya mendapat terlalu sedikit karya unggul lantaran begitu banyak penulis sekadar menjalankan rutin mengelap-ngelap warisan kaum pendahulu, bernikmat-nikmat dengan ukuran dalam negeri”. Ternyata lagi-lagi obat “krisis puisi” Indonesia mesti dibeli di luar negeri! The West is the best!

Kalau Nirwan Dewanto mau sedikit jujur terhadap dirinya sendiri, apalagi mempertimbangkan hobinya/kemampuannya hanya menulis “esei koran” yang narsisistik, dia justru terus menerus melakukan apa yang dia anggap merupakan ciri umum sastra kontemporer kita, yaitu “[m]erosot berbahasa: artinya memudar [...] kemampuan [...] berimajinasi, bergulat, meneliti, mencatat, menilai, menguji, dan mencetuskan-diri [dan] [y]ang lisan mengalahkan tulisan, [dalam arti] basa-basi menaklukkan apa yang rasional [kritis]”, dalam mudahnya dia membuat kesimpulan-kesimpulan mentah yang final tentang karya produk bukan-komunitas-sastranya, tanpa pernah sanggup membuktikannya lewat kritik “close reading” teks dalam bentuk tulisan non-jurnalistik, sementara hanya berbasa-basi puja-puji terhadap produk Komunitas Utan Kayu dari mana dia berasal (ingat, misalnya, klaimnya bahwa Ayu Utami terlahir bukan dari tradisi sastra Indonesia!). Sehingga hanya “kesedang-sedangan, ketakcemerlangan” (dalam repetisi-repetisi bentuk dan isi yang sangat membosankan yang tak lebih dari sekedar pamer daftar bacaan belaka alias name dropping) yang jadi “hasil terbaik” dari reportase bacaannya atas apa yang memang sudah umum dianggap sebagai “kanon sastra internasional” di luar sana yang dengan selektif-heroik dipakainya untuk sebuah “bacaan” pseudo-comparative literature. Saya tentu saja bisa juga menuntut dari dia untuk juga tidak “bernikmat-nikmat dengan ukuran dalam negeri” dalam menulis esei-eseinya karena “[...] saya merasa lara dan terkutuk sebab [...] tak banyak [esei] sastra[nya] dalam bahasa nasional kita [...] yang layak dikenang”, lantaran begitu banyak ide tulisan-tulisannya itu “sekadar menjalankan rutin mengelap-ngelap warisan kaum pendahulu”nya belaka. Satu contoh: Pernahkah dia benar-benar mengelaborasi di mana negatifnya “kelisanan” dan positifnya “keberaksaraan” (dua konsep yang didaur-ulangnya tanpa kritis dari Sapardi Djoko Damono) dalam kebudayaan Indonesia itu?

Tingkat absurditas dan komikal yang sudah dicapai oleh mediokritas pemikiran kritis yang merajalela dalam dunia sastra Indonesia akan dengan gamblang ditunjukkan oleh contoh berikut ini. Saya pernah membaca sebuah buku “kritik sastra” yang ditulis oleh seorang “kritikus sastra” pedalaman dimana di salah satu bab bukunya itu dia mengajak pembaca untuk “membuktikan” kemantraan puisi-mantra Sutardji Calzoum Bachri dengan membacakannya ke buaya!

Absennya cara berpikir kritis dalam membaca karya sastra yang merupakan faktor utama penyebab terjadinya “krisis kritik sastra” di Indonesia lebih banyak bisa dilihat dipamerkan secara menyolok di media massa cetak Indonesia, khususnya koran terbitan Jakarta. Awal bulan Mei 2001 Yayasan Multimedia Sastra (YMS), sebuah yayasan nirlaba yang dikelola sebuah komunitas sastrawan Internet Indonesia, menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi cyberpunk, yaitu puisi yang dikirim oleh para penyairnya baik ke mailing-list penyair@yahoogroups.com maupun situs sastra www.cybersastra.net yang dikelola YMS, berjudul Graffiti Gratitude. Penerbitan buku puisi cyberpunk ini ternyata menimbulkan skandal media massa cetak khususnya koran dengan Graffiti Gratitude sebagai objek “pengadilan puisi”, baik oleh para penyair Indonesia sendiri yang puisinya tidak ada dalam kumpulan ini maupun oleh para “pengamat/kritikus” sastra Indonesia. “Mutu” puisi-puisi yang ada dalam Graffiti Gratitude merupakan satu topik serangan favorit dan, terkait dengan ini, isu tentang “estetika baru” macam apa yang direpresentasikan oleh pemakaian istilah “puisi cyber” pada kulit depan buku juga menjadi isi serangan umum para penghujatnya. Seorang wartawan sebuah majalah berita di Jakarta, Bersihar Lubis, mengklaim bahwa para penyair cyberpunk telah “mengkhianati” hakekat dirinya sendiri karena telah menerbitkan dalam bentuk buku puisi-puisi yang seharusnya dibiarkan tetap berada dalam dunia cyberspace di Internet, sementara seorang “kritikus sastra” yang sekaligus dosen sastra dari Jakarta, Maman S Mahayana, menyatakan bahwa para penyair cyberpunk Indonesia itu belum pantas untuk dikategorikan sebagai “penyair” tapi “penulis puisi” hanya berdasarkan ketidakjelasan produktivitas mereka belaka!

Kalau “pengadilan puisi” atas Graffiti Gratitude ini dilakukan dengan jujur dan adil, walau tidak mesti secara kritis sekalipun, peristiwa media massa cetak ini tentu akan jadi menarik dan perlu. Paling tidak, sebuah “polemik sastra” bisa terjadi dan lalulintas ide atau konsep soal puisi akan berjalan dari kedua belah pihak, pihak Internet dan pihak media cetak. Harapan yang lugu ini ternyata cuma tinggal harapan yang lugu belaka. “Pengadilan puisi” yang diciptakan oleh media massa cetak Indonesia itu ternyata cuma sebuah pameran penghinaan dan ketidakmampuan untuk bahkan melakukan sebuah “pengadilan” yang baik atas Graffiti Gratitude. Bagi mereka yang memilih “mutu puisi” sebagai sasaran serangan, terlihat dengan jelas ketidakjujuran dan ketidakadilan dalam cara mereka “membaca” buku Graffiti Gratitude. Fokus mereka cuma sajak-sajak yang memang jelas bagi pembaca sastra awam sekalipun tidak berhasil menjadi puisi. Mereka sama sekali tidak membaca sajak-sajak lainnya yang bagus-bagus dan berhasil jadi puisi. “Politik pembacaan selektif” macam ini tentu saja hanya menimbulkan rasa curiga beralasan di kalangan penyair cyberpunk bahwa rasa cemburu atau iri hati karena tidak ikut serta dalam antologi Graffiti Gratitude merupakan alasan utama “pengadilan puisi” amatiran ini. Bukankah sesuatu yang sangat wajar kalau dalam sebuah antologi-bersama akan terdapat sajak-sajak yang gagal? Bukankah sesuatu yang sangat wajar juga bila dalam sebuah antologi-tunggal pun akan terdapat sajak-sajak yang gagal? Kenapa sajak-sajak yang gagal ini yang jumlahnya tak sebanding dengan jumlah keseluruhan isi buku yang justru dijadikan standar ukuran “mutu” keseluruhan antologi tersebut!

Sementara itu mereka yang “menuntut” lahirnya sebuah “estetika baru” dengan munculnya sastra cyberpunk juga melakukan sebuah tuntutan yang tidak jujur dan tidak adil. Kenapa mereka tidak melakukan hal yang sama atas “sastra koran”, “sastra majalah”, atau “sastra antologi” yang umur eksistensinya jauh lebih lama dibanding sastra cyberpunk tapi isi dan gaya produk-produk ketiganya sama sekali tidak menunjukkan “perbedaan estetika” antara satu medium dari medium yang lainnya itu! Demikian pula dengan mereka yang mengklaim bahwa penerbitan puisi cyberpunk dalam bentuk buku adalah sebuah pengkhianatan eksistensial. Betapa lucu dan mengada-ada pernyataan ini! Bukankah apa yang diklaim ini relevan juga untuk diajukan pada “sastra koran”, “sastra majalah” dan “sastra lisan” tapi, anehnya, tidak pernah dilakukan. Kenapa hanya pada sastra cyberpunk klaim yang kalau memang ada kebenarannya ini tiba-tiba dilontarkan! Sekarang saya mau bantu para eksistensialis sastra Indonesia ini untuk memperluas cakupan klaim mereka itu: Kenapa sastra koran, sastra majalah dan sastra lisan mesti dibukukan? Kenapa tidak dibiarkan saja sastra-sastra ini pada medium asalnya masing-masing? Bukankah hal ini sebuah pengkhianatan eksistensial? Pertanyaan yang bernada sama bisa juga disodorkan kepada “kritikus sastra” Maman S Mahayana. Apakah sebenarnya “penyair” atau “sastrawan” itu? Apakah ada relevansi teoritis antara “produktivitas” dan identitas seorang sastrawan? Kenapa Chairil Anwar yang cuma menulis sekitar 70an puisi itu bisa disebut “penyair” sementara bukankah Armijn Pane dan Achdiat K Mihardja dikenal hanya berdasarkan satu novel belaka?

Bagi saya, “pengadilan puisi” atas buku kumpulan puisi cyberpunk Graffiti Gratitude oleh media massa cetak Indonesia ini cuma menguatkan kepercayaan saya bahwa “krisis kritik sastra” di Indonesia bukan saja ada tapi malah sangat parah kondisinya.

Di koran Pikiran Rakyat Bandung di bulan Agustus dan September 2002 terjadi “polemik” atas sebuah produk terakhir dari komunitas sastra cyberpunk Indonesia di bawah naungan YMS. Produk yang menimbulkan persoalan kali ini adalah sebuah antologi puisi digital dalam bentuk CD multimedia yang dinamakan CYBERpuitika. Antologi puisi digital ini dikatakan “multimedia” karena setiap teks puisi di dalamnya dikolase dengan teks visual berupa lukisan atau fotografi dan teks musik. Perkawinan ketiga teks yang mewakili tiga jenis seni yang berbeda ini ternyata menimbulkan suara-suara sumbang yang menuduh bahwa “teks” puisi dalam CYBERpuitika telah dikorbankan statusnya sebagai sebuah “karya seni” karena disandingkan dengan teks visual dan teks musik! Bahkan lebih hebat lagi karena sudah keluar dari konteks “polemik” koran tersebut, ada seorang penyair “senior” lokal dengan lagak seorang “kritikus” selebritis menulis bahwa “dosa” sastra Indonesia di Internet adalah “kebebasan” yang diberikannya bagi “penulis pemula” untuk menulis sastra, seolah-olah seseorang itu baru bisa menulis sastra atau disebut sebagai “sastrawan” kalau sudah mendapat “restu” dari dia! Dengan nada tulisan yang sangat patronising alias sok tahu dan merasa diri sendiri sudah menjadi sastrawan besar Indonesia, penyair pedalaman yang megalomaniak ini mengejek dunia sastra Internet – yang tidak diketahuinya sedikitpun apa dan bagaimana itu – sebagai cuma sekedar “labirin main-main”, sebuah “arena play-group dan play-station” para penulis “pemula” belaka! (Istilah ejekan yang umum dipakai untuk menyerang keberadaan sastra cyberpunk Indonesia, terutama karena kebebasan yang diberikannya kepada siapa saja untuk menulis sastra tanpa mempermasalahkan “jam terbang” karier kepenulisan seseorang, adalah “tong sampah”. Maksud dari istilah yang diciptakan redaktur sastra koran Republika Ahmadun Y Herfanda ini adalah bahwa karya-karya sastra yang disebut sastra cyberpunk Indonesia itu secara umum merupakan karya-karya yang dikirim ke, tapi gagal lolos seleksi untuk bisa muncul di, koran-koran Minggu Indonesia!) Walau pretensi “polemik” media cetak koran itu adalah “diskusi kritis”, apa yang mampu ditawarkannya ternyata hanya merupakan sederetan “pseudo” belaka: pseudo-polemik, pseudo-kritik, pseudo-kritikus dan akhirnya pseudo-sastrawan-senior. Tidak adanya pengetahuan tentang sastra Internet yang disebut “sastra cyberpunk”, tidak adanya pengetahuan tentang hakekat “teks” tulisan dalam dunia Internet yang disebut “hyper-text” dan hubungannya dengan teks-teks lain melalui jaringan “hyper-link” (dan bahkan absennya pemahaman tentang arti istilah “teks” dalam pemakaian sehari-hari dalam wacana kebudayaan saat ini) dan tidak adanya pengetahuan tentang seni kolase (collage art) yang menggabung-gabungkan berbagai bentuk seni menjadi satu seni multimedia, ternyata tidak membuat para penghujat sastra cyberpunk Indonesia di Bandung untuk introspeksi. Mereka "merasa" mereka sudah tahu semuanya!

Persoalan “krisis kritik(us)” tidak hanya terjadi di dunia sastra saja tapi di keseluruhan dunia seni Indonesia. Kalau kita mau sedikit rendah hati, tidak kelewat defensif dan esensialis narsisistik dan belajar dari kenyataan di luar Indonesia terutama di Barat (seperti yang selama ini selalu dilontarkan para “kritikus” lokal khususnya terhadap sastrawan Indonesia dalam konteks rendahnya mutu karya seni sastra kita dibanding karya sastra Barat) maka akan terlihatlah betapa parahnya krisis yang sedang dialami dunia seni kita. Di Barat semua cabang seni yang ada – sastra, teater, seni rupa, musik, tari, film atau fotografi – memiliki tulisan-tulisan “kritik” yang tidak lagi sekedar apresiasi atau pengantar atas sebuah karya seni atau seorang seniman belaka tapi sudah mencapai kualitas mempengaruhi arah perkembangan seni itu sendiri. Dan tidak setiap penulis tentang seni akan dianggap atau bersedia menganggap dirinya sebagai “kritikus” seni, seperti yang biasa terjadi di Indonesia. Arti istilah “kritik(us)” tidak dianggap main-main karena adanya pertanggungjawaban profesional diharapkan dari para “kritikus” yang menulis “kritik” seni, karena “kritikus” adalah sebuah “profesi” sama seperti pengacara atau dokter gigi. Seorang Clement Greenberg, misalnya, tidak bisa dipisahkan kehadirannya dengan gerakan seni rupa Ekspresionisme Abstrak di Amerika Serikat yang diperkenalkan dan dibelanya di tahun 1940an, di masa publik seni rupa Amerika Serikat sendiri masih terperangkap dalam euforia Cubisme Picasso. Seorang diri dia berhasil menjatuhkan pamor mapan Cubisme di New York tahun 1940an dan menggantikannya dengan sebuah gerakan seni lokal yang tidak dianggap apa-apa sebelumnya karena asal-usul lokalnya itu (bukan made-in-Paris, seperti Cubisme), yaitu Ekspresionisme Abstrak, atau Abstract Expressionism. Kontribusi pemikiran dalam memperkenalkan dan membela Ekspresionisme Abstrak (bukan “Abstrak” Ekspresionis seperti yang biasa disalah-terjemahkan di Indonesia!) yang dilakukan Clement Greenberg terutama lewat esei-esei kritisnya mungkin dapat kita sejajarkan dengan apa yang pernah dilakukan oleh kritikus HB Jassin atas Chairil Anwar dalam sastra modern kita. Orisinalitas pemikiran seperti yang direpresentasikan kedua kritikus seni ini secara umum absen dalam dunia seni kita dan fakta inilah yang merupakan alasan utama kenapa saya menganggap tidak ada tradisi kritik(us) seni dalam dunia seni terutama sastra Indonesia. Di dunia sastra Anglo-Saxon yang berbahasa Inggris, esei-esei penyair Amerika Serikat/Inggris TS Eliot begitu berpengaruh hingga memungkinkan munculnya sebuah gerakan kritik sastra baru di sastra Amerika Serikat, yaitu New Criticism yang berusaha membuat kritik sastra menjadi sebuah sains sama seperti sosiologi atau sejarah. Di negeri Inggris, kritikus sastra FR Leavis melakukan hal yang sama lewat tulisan-tulisan kritik sastranya yang membuatnya menjadi semacam “paus sastra” dunia sastra Inggris. Belum lagi kalau kita juga mempertimbangkan sumbangan para “teoritikus/kritikus” asal Prancis yang mendominasi wacana pemikiran intelektual kontemporer internasional seperti Roland Barthes, Michel Foucault, Jacques Derrida, Jacques Lacan, Julia Kristeva dan Jean Baudrillard! Sementara India yang sama seperti Indonesia merupakan negeri Dunia Ketiga itu harum namanya di dunia intelektual internasional dengan sumbangan pemikiran yang dikenal sebagai Kritik Subaltern atau Kritik Pascakolonial. Kapan para “kritikus” Indonesia bisa menyumbangkan sesuatu yang berarti bagi peradaban manusia!

Krisis “kritik(us)” sastra di Indonesia jauh lebih parah kondisinya daripada “krisis ekonomi” yang, konon, melanda negeri realisme-magis yang terus-menerus dibanjiri dengan mobil mewah, sepeda motor asal Cina dan HP model terakhir ini. Dan masih belum ada tanda-tanda zaman bahwa krisis “kritik(us)” sastra ini akan berakhir dalam waktu dekat. Mungkin penyebab utama terjadinya krisis ini adalah kebiasaan yang umum terjadi di Indonesia bahwa setiap orang yang menulis tentang sesuatu akan dengan mudah langsung saja dianggap sebagai “pakar” sesuatu itu, tanpa ada kekritisan untuk paling tidak “menyangsikan” kebenaran yang dikandung tulisan “pakar” tersebut. Siapa saja menulis “tentang” sastra, misalnya, apalagi kalau dia itu sudah lebih dulu dikenal sebagai sastrawan atau dosen sastra, maka jadi “pakar” atau “kritikus sastra”lah dia. “Kepasrahan” menerima seperti ini kayaknya sudah membudaya hingga hilanglah bekas-bekas “kekritisan” pemikiran yang mungkin pernah ada. Sementara mereka-mereka yang disebut sebagai “pakar/kritikus” itu sendiri nampaknya tidak memiliki problem moral dan intelektual atas sebutan yang diberikan kepada mereka, walau mereka tahu betul bagaimana kebenaran dari realitas intelektual mereka masing-masing.

Ketimbang “menuntut” suatu sikap “I Think, Therefore I Am A Critic” dari mereka-mereka yang mengaku/diakui sebagai “kritikus” sastra Indonesia, kita kayaknya sudah sangat puas dengan sekedar sikap “I Feel (Good), Therefore You Are An Artist” belaka dari mereka! Akibatnya, begitu besarnya rasa percaya diri para “kritikus” ini hingga kalau ada orang yang berani mempertanyakan jatidiri mereka sebagai “kritikus” langsung saja dijawab, seperti yang dilakukan Maman S Mahayana dalam sebuah tulisannya di Kompas beberapa tahun lalu yang berpretensi merespons esei saya tentang krisis kritik(us) sastra, bahwa yang bertanya itu “apriori terhadap kritik” sastra Indonesia. Atau si penanya hanya memiliki “pemahaman yang fragmentaris atas hakikat dan fungsi kritik” sastra! Malah dianjurkannya lagi supaya jangan menyalahkan lantai kalau tak pandai berdansa! Salsa, anyone!

Kalau seorang sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, sudah berkali-kali menjadi nominasi pemenang hadiah sastra paling bergengsi di dunia, yaitu Hadiah Nobel, bukankah sesuatu yang sangat wajar dan tidak keterlaluan kalau kita juga mengharapkan ada “kritikus sastra” Indonesia yang benar-benar bisa menghasilkan karya “kritik” atas karya sastra Indonesia dan tidak melulu melakukan “penceritaan kembali” atas apa yang sudah retak di luar sana?

*) Saut Situmorang

Diambil dari boemipoetra
Selengkapnya: (Esai) Dicari: Kritik(us) Sastra Indonesia oleh Saut Situmorang

(Esai) Tirani dan Benteng



Blog Entry Membaca Kembali Tirani dan Benteng Dalam Realitas Kekinian Kita


SALEMBA

Alma Mater, janganlah bersedih
Bila arakan ini bergerak perlahan
Menuju pemakaman
Siang ini 
Anakmu yang berani
Telah tersungkur ke bumi
Ketika melawan tirani
Taufiq Ismail [Tirani dan Benteng], 1966

Membaca sajak ini membuat saya teringat tragedi melawan orde baru yang dialami para mahasiswa menuju era reformasi salah satu di antaranya  adalah dari kampus perjuangan Trisakti di bulan Mei tahun 1998. Enam kuntum muda berjaket alma mater biru tua yang bersimbah darah gugur di halaman kampusnya sendiri, ditembus peluru ’karet’ yang pastinya sangat tajam hingga dada-dada para pemuda harapan bangsa itu penuh darah dan roboh sebagai pahlawan. 
Anakmu yang berani
Telah tersungkur ke bumi
Ketika melawan tirani

Sejarah yang senantiasa berulang, begitulah adanya kisah itu diputar kembali melalui sajak yang ditulis Taufiq Ismail yang ditulisnya pada era perlawanan mahasiswa melawan orde lama, melawan kemiskinan yang menjepit rakyat, melawan tirani. Sejarah kembali diputar dengan lakon-lakon berbeda nama. Sekali lagi melawan tirani, meski dengan sikap itu para mahasiswa itu harus tersungkur ke bumi.

Buku kumpulan puisi Tirani dan Benteng ini sendiri adalah buku yang ’terselamatkan’ dengan itikad baik sahabat Taufiq yakni Arief Budiman melalui edisi khusus majalah Gema Psicology. Ada kutipan dialog mengenai hal ini pada kata pengantar buku puisi ini yang diberi judul ’Sehabis Jam Malam di Stasiun Gambir’.

”Hei Fiq, biar aku terbitkan puisi-puisimu ini!” bujuknya. ”Tunggu dulu” jawab Taufiq, ”Jangan cepat-cepat. Biar aku endapkan dulu dan biasanya aku revisi. Ini ditulis masih seperti snapshot saja, belum diamplas. Belum sempat dihaluskan. Biar aku bawa dulu ke Pekalongan, besok aku mau pulang ambil batik dagangan.” 

Arief tidak mau melepaskan puisi-puisi taufiq itu dari tangannya dan bersikeras menerbitkannya, hingga akhirnya Taufiq mengalah.

Esoknya ketika di stasiun Gambir sedang menawar becak untuk pergi ke Pal Putih 6, bungkusan batik dan ransel yang berisi naskah naskah puisi tulisan tangan dalam map semuanya hilang dicuri orang. Keterkejutan dan kesedihan Taufiq itu menjadi rasa syukur ketika ia mengingat bahawa ada sebagian naskah puisinya yang sempat dibawa Arief Budiman dan sekarang terangkum dalam buku Tirani dan Benteng ini. Alhamdulillah, Alhamdulillah...gumam Taufiq. Dan inilah dia naskah yang selamat itu buku kumpulan puisi Tirani dan Benteng yang mengalami 3 kali penerbitan yakni oleh Penerbit Faset [judulnya Benteng], kemudian kumpulan itu disatukan dan ditambahkan 32 puisi yang ditulis antara 1960-1965 [Puisi-puisi menjelang Tirani dan Benteng] dan terakhir oleh Yayasan Indonesia, 2005.

Puisi-puisi yang sarat dengan tema sosial ini berisi kecemasan, kesangsian, kebebasan, harapan dan angan-angan, cita-cita dan tekad, setidaknya begitulah menurut Taufiq.
 
Ia yang memang mengalami masa-masa demonstrasi ini mengabadikan sejarah itu melalui puisi-puisinya dalam buku ini.
Coba bisa simak puisi berikut ini : 
BENDERA 
Mereka yang berpakaian hitam
Telah berhenti di depan sebuah rumah
Yang mengibarkan bendera duka
Dan masuk dengan paksa 
Mereka yang berpakaian hitam
Telah menurunkan bendera itu
Di hadapan seorang ibu yang tua
”Tidak ada pahlawan meninggal dunia!” 
Mereka yang berpakaian hitam
Dengan hati yang kelam
Telah meninggalkan rumah itu
Tergesa-gesa
Kemudian ibu tua itu
Perlahan menaikkan kembali
Bendera yang duka
Ke tiang yang duka
 
                                    1966 
Terasa sekali ini puisi ini adalah sebuah kesaksian terhadap kegalauan suasana politik yang terjadi ketika itu, sebuah kesaksian terhadap kedukaan seorang ibu yang boleh jadi juga mewakili seluruh negri ini karena sekumpulan mereka liris yang berpakaian hitam itu telah mengibarkan sekaligus menurunkan bendera duka itu sambil mengatakan dengan congkak bahwa ”Tidak ada pahlawan yang meninggal dunia!”, yang pergi dengan tergesa-gesa. Kemudian ditutup dengan paragraf terakhir yang begitu mendung, kemudian Ibu tua itu/ perlahan menaikkan kembali/ Bendera yang duka/ Ke tiang yang duka.
 
Bangsa yang kembali berduka atas tragedi kemanusiaan, kemiskinan dan situasi politik yang panas pada masa peralihan orde lama ke orde baru. Sebagaimana kini menjadi sangat aktual dengan kenyataan hari ini setelah era reformasi yang masih menyisakan banyak masalah meski untuk melewatinya kita telah mengorbankan 6 nyawa para mahasiswa di ujung peluru dalam kasus Semanggi 1 pada Mei 1998 dan sampai kini masih saja terkatung-katung kasus peradilannya padahal sudah 4 presiden berganti-ganti. 

Dari penguasa ke penguasa, hal-hal mendasar yang menjadi hak rakyat samakin sulit untuk dijangkau oleh rakyat negri kita. Hari ini barang-barang kebutuhan pokok kembali melonjak, rakyat sebagaimana ibu tua dalam puisi Taufiq itu seperti ’dipaksa’ lagi untuk menaikkan kembali bendera yang duka ke tiang yang duka.

Yang menarik, Taufiq yang mantan ketua senat mahasiswa FKHP UI pada tahun 1960 -   1961, Wakil Ketua Dewan Mahasiswa UI  (1961-1962) ini dikenal juga sebagai salah satu pendiri majalah sastra Horison yang paling lama bertahan di negri ini dan sampai hari ini masih eksis, dalam kumpulan buku ini membuat sebuah puisi dengan judul yang sama dengan majalah sastra yang didirikannya sebagai penanda semangat yang harus terus dipupuk meski semua badai riuh menghadang negri ini.

HORISON

Kami tidak bisa dibubarkan
Apalagi dicoba dihalaukan
Dari gelanggang ini 
Karena ke kemah kami
Sejarah sedang singgah
Dan mengulurkan tangannya yang ramah 
Tidak ada lagi sekarang waktu
Untuk merenung panjang, untuk ragu-ragu
Karena jalan masih jauh
Karena Arif telah gugur
Dan luka-luka duapuluh satu
                                                1966 
Puisi ini juga menyelipkan catatan tentang kematian Arif Rahman Hakim yang telah menjadi semacam tumbal bagi buah perjuangan yang harus ditegakkan dan menjadi sejarah yang akan terus dicatat untuk terus diingat bahwa kami tidak bisa dibubarkan/ apalagi dihalaukan/ dari gelanggang ini.

Buku ini juga dilengkapi dengan foto-foto yang juga menjadi saksi sejarah masa itu melalui jasa baik Dr. Suroso Soerojo dan Dr. Rushdy Husein dan konon pernah juga dipamerkan dalam pameran foto Kebangkitan Generasi Muda di Universitas Indonesia [Ismid Hadad dari Biro Penerangan KAMI Pusat yang mengkoordinir], dengan perancang artistiknya kawan-kawan mahasiswa Seni Rupa ITB.
 
Puisi terkadang memang terlalu sulit untuk dilepaskan dari kehidupan pengarang pada zamannya. Melalui 63 sajaknya dalam Tirani dan Benteng, Taufiq telah memberikan tanda penting kepada kita bahwa melalui sastra kita juga memberikan kontribusi bagi bangsa, bukan hanya dengan mengolah karya berkesenian atau bahkan sekedar merekam sejarah, akan tetapi juga mengobarkan semangat berjuang, melawan ketertindasan dan kezaliman penguasa dengan caranya sendiri yakni melalui sastra. Tidak sedikit karya sastra yang bisa menjadi abadi dengan keberaniannya menerjemahkan cita-cita banyak orang untuk bangkit dari berbagai persoalan yang menghadangnya. Sebagaimana ajakannya dalam baris-baris Salemba dengan mengatakan Alma Mater janganlah bersedih/ Bila arakan ini bergerak perlahan/ Menuju pemakaman/ Siang ini. Atau baris-baris bernada kuat dalam Horison bahwa Kami tidak bisa dibubarkan/ Apalagi dicoba dihalaukan/ Dari gelanggang ini/ Karena ke kemah kami/ Sejarah sedang singgah.

Bukankah saat ini kita juga tak boleh dibubarkan begitu saja dengan berbagai tekanan dan kondisi hari ini? Bukankah saat ini, di gelanggang inilah waktunya kita tak boleh ragu-ragu melawan segala bentuk kesewenang-wenangan Tirani dan para antek-anteknya yang jelas tidak punya nurani dengan mempertontonkan ketidakpeduliannya terhadap rakyat dengan masih sempatnya seorang mentri dan pejabat menonton konser ’Diana Rose’ bertiket puluhan juta di barisan depan sementara rakyatnya sulit makan, tak mampu beli minyak tanah dan harga-harga kebutuhan pokok terus melambung serta anak-anak berwajah pucat satu persatu mati kelaparan didera busung lapar di setiap sudut negrinya ?

Saya yakin dalam kondisi sekarang ini, Taufiq sepakat dengan rekannya sesama penyair yang ’hilang’ tak jelas rimbanya pada orde baru dengan goresan puisi terkenalnya, ”Hanya satu kata, Lawan!”. Sebuah puisi yang juga menjadi abadi karena diniatkan melawan Tirani yang membelenggunya.

”Apakah anda masih mau ambil bagian bersama dengan para penyair itu sekarang?”
”Bukankah boleh jadi sejarah sedang singgah ke kemah kita? dan anda para mahasiswa dan siapapun kaum intelektual negri yang besar ini, sedang ditantang menjadi pelaku dari sejarah itu sendiri? 



Wallohu ’alam bissawab.

Epri Tsaqib, Penyair
Maret 2008
Judul : Tirani dan Benteng, Dua Kumpulan Puisi
Penulis : Taufiq Ismail
Penerbit : Yayasan Indonesia
Cetakan : I, 2005
Tebal : 172 halaman
________________________________________________
Info : Anda tertarik mengoleksi buku ini? Caranya? Silahkan pesan melalui toko buku online dengan mengklik  http://epriabdurrahman.multiply.com/photos/album/58

Testimoni Andre Hardjana di belakang buku ini, ”Sebagai penyair dia tidak tergelincir pada slogan-slogan ”demi Ampera, demi revolusi, demi rakyat dan lain-lain. Di dalam pengungkapannya ia berhasil melahirkan suatu bahasa sederhana yang segar sehingga orisinilnya kemilau lantaran adanya daya penciptaan yang kuat.” [Majalah Basis, Juni 2006]

Harga Rp 30.000,-

Rantaikata :
http://epriabdurrahman.multiply.com/journal/item/135
Selengkapnya: (Esai) Tirani dan Benteng

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas