Pembelajaran Apresiasi Puisi

Wednesday, 31 December 2014

Karya sastra dapat berfungsi sebagai media alternatif yang dapat menghubungkan kehidupan manusia masa lampau, masa kini, masa yang akan datang, juga dapat berfungsi sebagai bahan informasi masa lalu yang berguna dalam upaya merancang peradaban manusia ke arah kehidupan yang lebih baik dan bergairah di masa depan. Dalam tulisan Rapi Tang (2007:4) Wellek dan Warren mengemukakan bahwa dalam aliran kritik Hegel dan Taine, kebesaran sejarah dan sosial karya sastra adalah “dokumen karena merupakan monumen” (document because they are monument).

Sastra pada hakikatnya berkaitan dengan berbagai cabang ilmu. Hakikat sastra ini dapat kita jelaskan dari sudut pengarang, pembaca, atau dari sudut karya sastra itu sendiri. Seorang sastrawan yang akanmencipta sastra sangatlahdituntut memiliki kompetensi bahasa. Hal inilah yang memungkinkan ide, gagasan, atau perasaan yang akan diungkapkan dapat disampaikan. Kompetensi dimaksud bukan hanya sekadar mengetahui kaidah-kaidah yang berlaku atau memahami sistem yang ada pada suatu bahasa. Sastrawan dituntut lebih dari itu. Sastrawan sangat dituntut mampu mengolah bahasa yang akan digunakannya itu secara kreatif sehingga menimbulkan daya pesona bagi pembacanya. Selain itu, ide atau gagasan dan juga perasaan yang akan diungkapkan itu merupakan pengalaman batin sastrawan yang telah melalui proses yang melibatkan berbagai pengetahuan yang dimiliki dan menghendaki pula wawasan yang luas.

Relevansi karya sastra dengan berbagai aspek kemanusiaan atau kemasyarakatan, memberi peranan yang cukup penting sebagai suatu lembaga atau institusi yang dapat dijadikan acuan dalam memahami gejala sosial yang pernah dan atau sedang berkembang pada suatu etnis atau suatu bangsa.

Pembelajaran sastra tidak terlepas dari kegiatan pendidikan. Pembelajaran lebih menekankan pada usaha perpindahan atau pengawasan pengetahuan, kecakapan dan pembinaan keterampilan kepada mahasiswa serta dapat mengetahui lingkungan kebudayaan. Sedangkan pendidikan lebih menekankan usaha pembentukan nilai-nilai hidup, sikap norma-norma, dan pribadi mahasiswa. Setiap perilaku tersebut tidak terlepas dari usaha pembentukan pribadi individu. Pembelajaran sastra bertujuan untuk membina apresiasi sastra, mahasiswa dapat lebih kreatif, yaitu membina agar memiliki kesanggupan untuk memahami, menikmati dan menghargai suatu karya sastra.

Pembinaan apresiasi sastra dan pembelajaran sastra melalui usaha mendekatkan kepada sastra yakni, menumbuhkan rasa peka, dan rasa cinta kepada sastra dan menumbuhkan minat baca mahasiswa terhadap karya sastra. Dengan usaha ini diharapkan pembelajaran sastra dapat membantu menumbuhkan aspek kejiwaan, sehingga terbentuk suatu pertumbuhan pribadi yang utuh.

Pembaca memiliki kebebasan memberikan makna atau arti sebuah karya sastra. Setiap orang (pembaca) dapat memberikan makna, arti, dan respon terhadap karya sastra yang dibaca atau dinikmatinya. Makna dan arti karya itu dikaitkan dengan pengalaman batin pembaca, pengalaman hidup pembaca, dari situlah makna dibangun. Dengan demikian terjadilah keberanekaragaman makna dari setiap karya sastra.Teori ini dipopulerkan di Indonesia oleh Prof. Umar Yunus.

Pembelajaran apresiasi puisi sebagai bagian dari pembelajaran apresiasi sastra mempunyai salah satu tujuan agar mahasiswa mampu memahami puisi yang dibacanya. Untuk memahami dengan baik, diperlukan pembelajaran apresiasi puisi yang baik pula, yaitu pembelajaran yang memperhatikan konsep dasar pengajaran apresiasi sastra.

Pembelajaran puisi, sungguh akan dapat memberi warna bagi perkembangan mental mahasiswa ke arah yang lebih positif. Sebuah keniscayaan, kalau materi pembelajaran Bahasa Indonesia (terutama pembelajaran sastra) tentulah memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan materi pelajaran lain. Materi pembelajaran sastra (puisi) harus hadir sebagai pembelajaran yang tidak saja sebagai ladang ilmu pengetahuan, namun lebih dari itu harus hadir untuk dinikmati bersama-sama oleh dosen dan mahasiswa.

Pembelajaran puisi bukan sekadar pembelajaran yang diselaraskan dengan kemampuan mahasiswa dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan matematis yang diajukan dosen.Pembelajaran puisi (juga), sebuah proses pematangan diri mahasiswa yang hasilnya akan diperoleh dalam sebuah proses yang panjang. Proses ketika mahasiswa melakoni kehidupannya yang akan banyak memiliki hubungan simetris dengan peristiwa-peristiwa yang dihadirkan dalam (pembelajaran) puisi, bukan sekadar pembelajaran. Dosen harus mampu menghadirkan proses pembelajaran yang menyenangkan. Ini tentu saja sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, seperti yang termaktub pada Pasal 40 ayat 2 yang menyatakan, seorang pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, inovatif, kreatif, dinamis dan dialogis.

Pembelajaran puisi juga harus diselaraskan antara pembelajaran yang menghasilkan kemampuan mahasiswa dalam menguasai konsep-konsep dasar puisi dengan kompetensi komunikatif mahasiswa secara praktis tentang puisi. Kalau ditarik benang merah, porsi untuk kemampuan praktis mahasiswa harus menjadi prioritas.

Baedhowi (2008: 8) menjelaskan bahwa pendidikan sastra memupuk kecerdasan mahasiswa hampir dalam semua aspek. Peran dosen berada di garis depan dalam pembelajaran sastra. Melalui apresiasi sastra mahasiswa dapat mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup, kecerdasan intelektual (IQ) dapat dilatih. Latihan dilakukan dengan mencari unsur-unsur yang ada dalam karya sastra.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat penulis simpulkan bahwa pendidikan sastra membawa mahasiswa cerdas secara IQ, EQ, maupun SQ, artinya pendidikan sastra membawa mahasiswa pintar, terampil, dan jujur terhadap pribadinya, dengan gaya bahasa yang indah dan liku-liku kehidupan yang beragam pengarang, yang telah menciptakan karya sastra.


Sumber:
Baedhowi. “Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan”. Makalah disajikan dalam Kongres IX Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Depdiknas. Jakarta 28 Oktober - 1 November 2008.

Departemen Pendidikan Nasional. 1997. Pengajaran Apresiasi Sastra. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendiikan Dasar dan Menengah.

Rapi Tang, Muhammad. 2007. Pendekatan dalam Sosiologi Sastra dan Penerapannya Umar Yunus: Panduan Teori Sastra. Makassar: Program Pascasarjana, Universitas Negeri Makassar.

Link: http://jaririndu.blogspot.com/2014/12/pembelajaran-apresiasi-puisi.html
Selengkapnya: Pembelajaran Apresiasi Puisi

Puisi Ekohm Abiyasa di Indonesian Poetry Battle on Facebook #3

Thursday, 18 December 2014

Sumber gambar: Facebook Sartika Dian Nuraini.
tubuhku terbungkus rindu asing
pada senyap mata kaca terkeping
jiwaku terbalut kalut
pada sepi yang paling
pyar!

2014

Versi bahasa Inggris
my body wrapped by a foreign longing
glass eye of silent
here is my chaotic soul
the most deserted
crack!

2014

Sumber: https://indonesianliterarycollective.wordpress.com/2014/12/17/indonesian-poetry-battle-on-facebook-3-winners/
Selengkapnya: Puisi Ekohm Abiyasa di Indonesian Poetry Battle on Facebook #3

Masastro #13: "September Merah" di Rumah Blogger Indonesia, Jajar Solo (26/09/14)

Friday, 10 October 2014


Baca salah satu puisi dari buku Bahaya Laten Malam Pengantin karya Aslan Abidin.




Baca puisi Bogambola dari buku puisi Dunia Bogambola karya Sosiawan Leak.






Musikalisasi puisi oleh Yuditeha.


Foto oleh Padmo Adi.
Foto selengkapnya: Facebook Masastro.
Selengkapnya: Masastro #13: "September Merah" di Rumah Blogger Indonesia, Jajar Solo (26/09/14)

Ngemsi dan Baca Puisi di Road Show PMK ke-23, MAN 1 Sragen (Sabtu, 06/09/14)

Catatan:
Yang menarik adalah puisi pendek Wardjito Soeharso "A2KI" Aku, Kamu, Kita, Indonesia yang membuat para siswa bersemangat. Tak kalah menariknya ialah pembacaan puisi Tarung: Faizy vs Aida. Dengan tempo cepat, suasana berubah panas! Namun yang paling menarik adalah apresiasi ribuan siswa, para guru dan tamu undangan mengapresiasi puisi menolak korupsi dalam acara road show PMK. Salut!
Bambang Eka Prasetya (Magelang)

Wardjito Soeharso (Semarang)


 Roosetindaro Baracinta (Kartasura)

Suyitno Ethexz (Mojokerto)
Ekohm Abiyasa (Karanganyar)

Abah Yoyok (Tangerang)
Eka Pradhaning (Magelang)

Faizy Mahmoed Haly (Semarang)
Aida Kurniasih (Purwokerto)
Tarung Puisi

Diambil dari blog PMK: http://gerakanpuisimenolakkorupsi.blogspot.com/2014/09/road-show-23-pmk-laskar-pmk-baca-puisi.html

Sumber:
1. Facebook Bambang Eka Prasetya
2. Facebook Bambang Eka Prasetya
3. Facebook Sus S. Hardjono: di sini, di sini dan di sini.

Posting serupa:
http://puisimenolakkorupsi.com/foto/read/album-road-show-pmk-ke-23-di-sragen-jawa-tengah
http://negeri-kertas.blogspot.sg/2014/09/road-show-23-pmk-laskar-pmk-baca-puisi.html 
Selengkapnya: Ngemsi dan Baca Puisi di Road Show PMK ke-23, MAN 1 Sragen (Sabtu, 06/09/14)

Puisi "Jalak Lawu" di Media Indonesia (07/09/14)

Jalak Lawu

mereka para penutur kesunyian yang baik dan bijak
ketika matahari usai membakar bumi
seperti lanskap raksasa

biarkan kami terbang bebas
biarkan kami hinggap di ranting-ranting meranggas

berita cuaca adalah usia seratus tahun kesendirian
di lembah-lembah dan jurang kepunahan
ribuan kepak sayap dan sarang-sarang

keramaian adalah penjara bagi nasib

Surakarta, April 2014

Posting serupa di Facebook grup sastra minggu.
Bercerita tentang kepunahan burung Jalak yang bermukim di sekitaran gunung Lawu Karanganyar akibat perburuan liar.
Selengkapnya: Puisi "Jalak Lawu" di Media Indonesia (07/09/14)

Puisi "Lone Ranger" di Sastra Mata Banua (06/09/14)

Thursday, 9 October 2014

Lone Ranger

para penjahat itu memotong jantung dan memakannya
mentah-mentah!

roh jahat terlahir di padang pasir
tawar menawar yang keras dengan kematian
tarian para pendosa
di rumah bordil yang menyala
seperti kandang ternak penuh lelaki
bertampang menyeramkan
memanggul senjata

kau lihat
di batu terkutuk itu
kuda-kuda berlarian
para pendosa itu tertawa
menertawai kebodohan kita!

perang tak akan memihak sesiapa
seperti sangkar tanpa burung tanpa kicau
ia telah bersembunyi dengan kematian!

buatlah orang-orang brengsek itu bertekuk lutut!
mereka harus membayar semuanya

burung gagak telah mati
sungai berwarna merah
rumah-rumah dibakar
namun pahlawan tak bisa mati
untuk kedua kali!

kuda hitam kuda putih
membawa mata angin di kakinya
menemu nasib di antara pasir-pasir
di lembah airmata

keadilan adalah lelaki
yang bisa menjaga dirinya sendiri

kesedihan berulang; sekali lagi!
penyesalan seperti laku bisu
menerka gerak kuda-kuda

para penjahat itu merenggutnya kembali!

Surakarta, Mei 2014
Menyimak puisi berjudul 'Lone Ranger' yang dikirimkan oleh Ekohm Abiyasa ke Sastra Mata Banua, seperti:
/roh jahat terlahir di padang pasir
tawar menawar yang keras dengan kematian/

/para pendosa itu tertawa
menertawai kebodohan kita!/

/buatlah orang-orang brengsek itu bertekuk lutut!
mereka harus membayar semuanya/

/sungai berwarna merah
rumah-rumah dibakar
namun pahlawan tak bisa mati
untuk kedua kali!/

/menemu nasib di antara pasir-pasir
di lembah airmata/

/kesedihan berulang; sekali lagi!/

/para penjahat itu merenggutnya kembali!
/

Dalam puisi tersebut, memang secara eksplisit tidak merujuk pada Gaza, tapi keadaan yang digambarkan Ekohm beberapa kata dalam larik puisi mengisyaratkan hal tersebut, yaitu melukiskan kekejamanzionis Israel kepada rakyat Gaza. Atau dapat pula dikaitkan dengan sepak terjang kekejaman ISIS.

Namun, memaknai dari judul puisi, maka akan merujuk dari sepak terjang AS (?) negara-negara padang pasir.(Araska Banjar)

Sumber: Facebook Sastra Mata Banua.
Selengkapnya: Puisi "Lone Ranger" di Sastra Mata Banua (06/09/14)

Apresiasi Sastra (Pengantar)

Thursday, 25 September 2014

1. Pengertian

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita mendengar istilah apresiasi. Barangkali dalam benak kita muncul pertanyaan: apa itu apresiasi? Istilah apresiasi muncul dari kata appreciate (Ing), yang berarti menghargai. Sehingga secara sederhana dapat dikatakan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan untuk menghargai sastra. Namun, dalam perkembangan berikutnya pengertian apresiasi sastra semakin luas. Banyak tokoh mencoba memberikan batasan tentang apresiasi sastra. S. Effendi memberikan batasan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pada cipta sastra tersebut. Sedangkan tokoh lain, Yus Rusyana mendefinisikan apresiasi sastra sebagai pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai karya satra, dan kegairahan serta kenikmatan yang timbul sebagai akibat dari semua itu.

Dua batasan yang dikemukakan oleh dua tokoh di atas pada prinsipnya tidak saling bertentangan, tetapi justru saling melengkapi. Perbedaan yang tampak hanyalah terletak pada penggunaan istilah saja. Lepas dari perbedaan istilah yang dipakai oleh dua tokoh tersebut, pada intinya kegiatan apresiasi sastra didasari oleh pengertian bahwa karya sastra itu indah dan bermanfaat (dulce et utile). Dengan kata lain, di dalam karya sastra terkandung nilai-nilai hidup. Untuk itu, apresiasi sastra bertujuan mengasah sikap peka terhadap persoalan hidup, mempertebal nilai moral dan nilai estetis dalam diri . Untuk dapat memahami dan memperoleh nilai-nilai dalam karya sastra, tidak ada cara lain kecuali membaca, bergaul, dan mengakrabi karya sastra itu sendiri.

Istilah Apresiasi berasal dari bahasa latin Apreciation yang berarti “mengindahkan”. Dalam konteks yang lebih luas itilah apresiasi menurut Gove dalam Aminuddin (1987:34) mengandung makna (1) pengenalan melalui perasaan atau kepekaan, dan (2) pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. Pada sisi lain, Squire dan Taba dalam Aminuddin (1987:35) berkesimpulan bahwa sebagai suatu proses, apresiasi melibatkan tiga unsur inti, yakni (1) aspek kognitif, berkaitan dengan keterlibatan unsur intelek pembaca dalam upaya menghayati unsur-unsur kesusastraan yang bersifat objektif (2) aspek emotif, berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam upaya menghayati unsur-unsur keindahan dalam teks sastra yang dibaca (3) aspek evaluatif, berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik buruk, indah tidak indah, sesuai tidak sesuai serta segala ragam penilaian lain yang tidak harus hadir dalam sebuah karya kritik, tetapi secara personal cukup dimiliki oleh pembaca.

Sejalan dengan rumusan pengertian apresiasi di atas, Effendi (1973:33) mengungkapkan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan pikiran yang baik terhadap karya sastra. Dari pendapat itu juga disimpulkan bahwa kegiatan apresiasi itu sebagai bagian dari hidupnya, sebagai suatu kebutuhan yang mampu memuaskan rohaniahnya.

Sehubungan dengan masalah di atas, Djunaedi (1992:2-4) menyebutkan tingkat penerimaan seseorang terhadap karya sastra (novel) ada empat, yaitu : (1) Tingkat reseftif adalah tahap penerimaan menurut apa adanya (2) Tingkat reaktif adalah tahap pemberian reaksi terhadap kehadiran sebuah karya sastra (3) Tingkat produktif adalah tahap pemberian reaksi terhadap karya sastra yang dibacanya (dinikmati) dan sekaligus dapat memproduksi dan menelaah karya sastra tersebut (4) Tingkat implementatif adalah tahap memahami, mengevaluasi dan memproduksi sastra, serta dapat mewujudkan kebenaran yang diperolehnya dari bacaan sastra dalam kehidupan sehari-hari.

2. Tingkatan-Tingkatan dalam Apresiasi Sastra

Mengingat tujuan apresiasi sastra sebagaimana telah diuraikan di atas adalah untuk mempertajam kepekaan terhadap persoalan hidup, membekali diri dengan pengalaman-pengalaman rohani, mempertebal nilai moral dan estetis; maka tingkatan dalam apresiasi sastra diukur dari tingkat keterlibatan batin apresiator. Untuk dapat mengetahui tingkat keterlibatan batin, seorang apresiator harus memiliki “patos”. Istilah “patos” berasal dari kata ‘patere’ (Latin) yang berarti ‘merasa’. Dengan kata lain, untuk dapat mencapai tingkatan-tingkatan dalam apresiasi, seorang apresiator harus dapat membuka rasa.

Tingkatan pertama dalam apresiasi sastra adalah “simpati”. Pada tingkatan ini batin apresiator tergetar sehingga muncul keinginan untuk memberikan perhatian terhadap karya sastra yang dibaca/digauli/diakrabinya. Jika kita membaca karya sastra kemudian mulai muncul perasaan senang terhasdap karya sastra tersebut, berarti kita sudah mulai masuk ke tahap pertama dalam apresiasi sastra, yaitu simpati.

Tingkatan kedua dalam apresiasi sastra adalah ‘empati’ Pada tingkatan ini batin apresiator mulai bisa ikut merasakan dan terlibat dengan isi dalam karya sastra itu. Dengan kata lain, jika kita membaca prosa cerita, kemudian kita bisa ikut merasakan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita tersebut, berarti tingkat apresiasi sastra kita sudah sampai pada tingkat kedua, yaitu empati.
Tingkat ketiga atau tingkat tertinggi dalam apresiasi sastra adalah ‘refleksi diri’. Pada tingkatan ini, seorang apresiator tidak hanya sekedar tergetar (simpati), atau dapat merasakan (empati) saja, tetapi dapat melakukan refleksi diri atas nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra itu. Dengan kata lain, pada tingkat ketiga ini seorang apresiator dapat memetik nilai-nilai karya sastra sebagai sarana untuk berrefleksi, bercermin diri.

3. Pentahapan dalam Kegiatan Apresiasi Sastra

Jika di atas telah diuraikan tentang tingkatan-tingkatan dalam apresiasi sastra yang didasarkan pada keterlibatan batin apresiator, berikut ini akan dipaparkan tahapan-tahapan dalam kegiatan apresiasi sastra. Pentahapan dalam kegiatan apresiasi sastra ini dilihat dari apa yang dilakukan oleh apresiator.

Pada tahap pertama, seorang apresiator membiarkan pikirannya, perasaan dan daya khayalnya mengembara sebebas mungkin mengikuti apa yang dimaui oleh pengarang karya sastra yang dibacanya. Pada tahap ini apresiator belum mengambil sikap kritis terhadap karya sastra yang dibacanya.
Pada tahap kedua, seorang apresiator menghadapi karya sastra secara intelektual. Ia menanggalkan perasaan dan daya khayalnya, dan berusaha memahami karya sastra tersebut dengan cara menyelidiki karya sastra dari unsur-unsur pembentuknya. Ini berarti, apresiator memandang karya sastra sebagai suatu struktur. Pada tahapan ini, penyelidikan unsur-unsur karya sastra oleh apresiator dimaksudkan untuk mendekatkan diri pada karya sastra itu.

Pada tahap ketiga, apresiator memandang karya sastra dalam kerangka historisnya. Artinya, ia memandang karya sastra sebagai pribadi yang mempunyai ruang dan waktu. Dalam pandanganya, tidak ada karya sastra yang tidak diciptakan dalam ruang dan waktu tertentu. Dengan kata lain, pada tahapan ini seorang apresiator mencoba memahami karya sastra dari unsur sosial budaya, situasi pengarang, dan segala hal yang melatarbelakangi karya sastra itu diciptakan.

Lalu, bagaimana sikap apresiator yang baik? Apresiator yang baik adalah apresiator yang dapat menerapkan ketiga tahapan tersebut secara padu, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra itu benar-benar ia pahami dengan membiarkan perasaannya, mencoba menyelidiki unsur-unsurnya, dan berusaha pula memahami situasi sosial budaya saat karya sastra tersebut diciptakan.

Link: http://jaririndu.blogspot.com/2011/09/apresiasi-sastra-pengantar.html
Selengkapnya: Apresiasi Sastra (Pengantar)

Bincang Kepenulisan ke-3 JPIN "Asyiknya Menulis Puisi"

Wednesday, 27 August 2014

Bincang Kepenulisan ke-3 "Asyiknya Menulis Puisi" Bersama Ekohm Abiyasa, seorang penikmat sastra terutama puisi. Puisi-puisinya dipublikasikan di berbagai media dan berbagai antologi.

Dapatkan pengalaman menarik, tips-tips menulis puisi, trik menembus koran, dan masih banyak lagi ilmu yang bisa kalian dapatkan melalui acara Bincang Kepenulisan Online ini. Insya Allah akan dilaksanakan pada,
Hari: Sabtu
Tanggal: 30 Agustus 2014
Jam: 20.00 WIB (bakda' Isya) s.d 22.00 WIB
Tempat: di Grup FB Jaringan Pena Ilma Nafia.

Sumber: Grup Facebook JPIN.
Selengkapnya: Bincang Kepenulisan ke-3 JPIN "Asyiknya Menulis Puisi"

Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia Jilid II 2014





Sumber gambar: Facebook grup Lumbung Puisi.

Pengumuman
Dengan mengetengahkan pertimbangan -pertimbangan:
1. Batas Deadline
2. Ketentuan Lumbung Puisi
3. Lumbung Puisi bukan merupakan lomba maka:
Tambahan pengiriman puisi yang masuk sebelum batas deadline telah diseleksi kembali sehingga memperoleh keputusan akhir sebagai berikut:

Puisi masuk dalam antologi sbb:
001. Abdul Wahid (Karanganyar)
002. Ali Syamsudin Arsi (Banjarbaru)
003. Alra Ramadhan (Kulonprogo)
004. Alya Salaisha-Sinta (Cikarang Kab. Bekasi))
005. Aloeth Pathi (Pati)
006. Anita Riyani (Tanah Bumbu, Kalsel)
007. Andrian Eksa (Boyolali)
008. Anung Ageng Prihantoko (Cilacap)
009. Aulia Nur Inayah (Tegal)
010. Bambang Widiatmoko (Jakarta)
011. Badruz Zaman (Sumenep)
012. Budhi Setyawan (Bekasi)
013. Devi yulianti wafiah(Paseh)
014. Dewa Putu Sahadewa (Kupang)
015. Dhito Nur Ahmad( Makasar)
016. Dhinar Nadi Dewii (Sukoharjo)
017. Diah Natalia (Jakarta)
018. Diah Budiana (Serang)
019. Dian Rusdiana (Bekasi)
020. Dianie Apnialis M (Bandung)
021. Djemi Tomuka (Manado)
022. Devi yulianti wafiah(Paseh)
023. Dwi Rezki Hardianto Putra Rustan (Maros)
024. Elvis Regen (Palembang)
025. Ekohm Abiyasa (Karanganyar)
026. Esti Ismawati (Klaten)
027. En Kurliadi Nf (Sumenep)
028. Fatmawati Liliasari (Takalar)
029. Fasha Imani Febriyanti (Bandung)
030. Fitrah Anugerah (Bekasi)
031. Fitrah Rahim. (Maros)
032. Gampang Prawoto (Bojonegoro)
033. Ghufron Cholid (Sampang)
034. Hasan Bisri BFC (Bogor)
035. Hidayatul Hasanah (Trenggalek)
036. Imam Eka Puji Al-Ghazali (Batuputih)
037. I Putu Wahya Santosa (Bulelelng)
038. Iska Wolandari (Ogan Komering Ilir)
039. Jack Efendi (Bekasi)
040. Julia Hartini (Bandung)
041. Lucky Purwantini(Bekasi)
042. Lukni Maulana
043. M. Amin Mustika Muda (Barito Kuala,Kalsel)
044. M. Ardi Kurniawan(Jogyakarta)
045. Malisa Ladini (Semarang)
046. Ma'sum (Sumenep)
047. Muchlis darma Putra (Banyuwangi)
048. Novia Nurhayati (Bogor)
049. Nurul Hidayah (Banjarmasin)
050. Nyi Mas Rd Ade Titin Saskia Darmawan (Denpasar)
051. Niam At-Majha (Pati)
052. Novi Ageng Rizqy Amalia (Trenggalek)
053. Nur Lathifah Khoerun Nisa (Cilacap)
054. Nastain Achmad (Tuban)
055. Nila Hapsari (Bekasi)
056. Pradita nurmalia (Surakarta)
057. Roni Nugraha Syafroni (Cimahi)
058. Rachmat Juliaini (Makasar)
059. Rachmad Basuni
060. Refa Kris Dwi Samanta (Purwokerto)
061. Seruni Unie (Solo)
062. Syarif hidayatullah (Banjarmasin)
063. Sofyan RH. Zaid (Bekasi)
064. Sokanindya Pratiwi Wening (Medan)
065. Sugi Hartono (Batanghari)
066. Suyitno Ethex (Mojokerto)
067. Sindi Violinda(Medan)
068. Tuti Anggraeni (Bekasi)
069. Thomas haryanto soekiran (Purworejo)
070. Vera Mutiarasani (Karawang)
071. Wadie Maharief (Jogyakarta)
072. Wayan Jengki Sunarta
073. Wintala Achmad (Cilacap)
074. Wong agung utomo (Bekasi)
075. Wulandari ( Nawang Wulan)
076. Yusti Aprilina (Bengkulu Utara)
077. Zen AR
078. Diana Roosetindaro (Surakarta)
079. Ardi Susanti (Tulungagung)
080. Lailatul Kiptiyah
081. Munadi Oke

Indramayu, 22 Agustus 2014

20 puisi terbaik: nama - puisi.

Sumber: https://www.facebook.com/groups/rgbaguswarsono/permalink/810938482271357/

Pesan Jogja

lengang malam senin
tulang-tulang dingin
sesekali asap motor melesap
orang-orang di angkringan bertukar cakap

ini sebuah kota yang dingin
jejak-jejak dan memori selalu mengerling

singgahlah ke gubug lama
tempat di mana kata-kata lahir
tempat di mana rindu-rindu mengalir

Jogja selalu berwarna
sudut-sudut kota
matahari pembatas
halaman yang terlepas

Jogja selalu setia
menanam damai
pada pengembaraan yang kian trengginas

Surakarta, Mei 2014 
Selengkapnya: Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia Jilid II 2014

Antologi Puisi "Empati untuk Palestina: Duka Gaza Duka Kita" (2014)

Thursday, 21 August 2014


Daftar nama penyair yang masuk:
1. Abdul Khafidz Amrullah (Sampit, Kalteng)
2. Ade Andri (Kuningan, Jabar)
3. Aditya D. Sugiarso (Demak, Jateng)
4. Agustav Triono (Purbalingga, Jateng)
5. Akhmad Nurhadi Moekri (Sumenep, Jatim)
6. Ali Syamsudin Arsi (Banjarbaru, Kalsel)
7. Aloeth Pathi (Pati, Jateng)
8. Alya Salaisha Sinta (Bekasi, Jabar)
9. Anastasia Sita Wulandari (Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta)
10. Andrias Edison (Blitar, Jatim)
11. Anta Sulthoni (Trenggalek, Jatim)
12. Aris Probodirdjo (Magelang Jateng)
13. Arsyad Indradi (Banjarbaru, Kalsel)
14. Ary Nurdiana (Ponorogo, Jatim)
15. Asna Sepriawati (Barabai, Kalsel)
16. Asril Koto (Padang, Sumbar)
17. Asyari Muhammad (Jepara, Jateng)
18. Atin Lelya Sukowati (Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta)
19. Aulia Nur Inayah (Tegal, Jateng)
20. Bambang Eka Prasetya (Magelang, Jateng)
21. Bambang Widiatmoko DKI Jakarta)
22. Bejo Sandy (Malang, Jatim)
23. Budhi Setyawan (Bekasi, Jabar)
24. Citra R. Lestari (Pekalongan, Jateng)
25. Daladi Ahmad (Magelang, Jateng)
26. Darman D. Hoeri (Malang, Jatim)
27. Dewi Munfaachiroh (Pasuruan, Jatim)
28. Dewi Yanthi Razalie (DKI Jakarta),
29. Dian Rusdiana (Bekasi, Jabar)
30. Djemi Tomuka (Manado, Sulut)
31. Dr. Hendrawan Nadesul (Karawang, Jabar)
32. Drs. Mustahari Sembiring (DKI Jakarta),
33. Dwi Utomo (Tanah Grogot, Paser, Kaltim)
34. Dyah Kencono Puspito Dewi (Bekasi, Jabar)
35. Eddie MNS Soemanto (Padang, Sumbar)
36. Edi Saputra, S.Pd._Elank Tak Bersayap, (Pesisir Barat, Lampung),
37. Ekohm Abiyasa (Karanganyar, Jateng)
38. Elisabeth Herni Widiastuti (Purwokerto, Jateng)
39. Erwin Dananjaya (Pandaan, Pasuruan, Jatim)
40. Esti Ismawati (Klaten, Jateng)
41. Euis Herni Ismail (Subang, Jabar)
42. Evaliska Dara Baramun’t (Menjalin, Kabupaten Landak, Kkalbar),
43. Fahmi Wahid (Balangan, Kalsel),
44. Fath WS (Magelang, Jateng)
45. Fiqri Ramoy (Barabai, Kalsel)
46. Hasan Bisri Bfc (Pekalongan, Jateng))
47. Herman Sahara (Bogor, Jabar)
48. Husnu Abadi (Pekanbaru, Riau)
49. Imam Balangan Buchori (Balangan, Kalsel)
50. Indra Intisa (Muara Bungo, Jambi)
51. Inka Rachmawati (Tangerang,Banten)
52. Isbedy Stiawan (Tanjung Karang, Lampung),
53. Jack Effendi (Mojokerto, Jatim)
54. Jo Prasetyo (Paser,Penajam Kaltim)
55. Jourdan Alexander Niagara (Mojokerto, Jatim)
56. Juwaini Cak Ju (Kediri, Jatim)
57. Kayla Untara (Barabai, Kalsel)
58. Khoirun Niam (Pati, Jateng)
59. Kholili El-kasih (Sumenep, Jatim)
60. Kidung Purnama (Ciamis, Jabar)
61. Kristine (Malang Jatim)
62. Latifa Maylina Isharyanti (Metro, Lampung)
63. Lucky Purwantini (Bekasi, Jabar)
64. Lukni Maulana (Semarang, Jateng)
65. M. Ridho Illahi (Palembang, Sumsel)
66. Maria Roeslie (Banjarmasin, Kalsel)
67. Mariyana (Marabahan, Kalsel)
68. Mohammad Alimulhuda (Palangkaraya, Kalteng)
69. Muhammad Dihlyz Yasir (Malang, Jatim)
70. Murti Ningsih (Magelang, Jateng)
71. Nani Tanjung (DKI Jakarta),
72. Nella Widodo (Temanggung, Jateng)
73. Niken Kencono Ungu (Magelang, Jateng)
74. Nung Bonham (Kudus, Jateng)
75. Pradono (Singkawang, Kalbar)
76. Rahman Sudrajad ({Purworejo, Jateng)
77. Rezqie Muhammad AlFajar Atmanegara (Banjarmasin, Kalsel)
78. Ria Tri Wahyuni (Pontianak, Kalbar)
79. Ribut Achwandi (Pekalongan, Jateng)
80. Risnawati Nurjannah (Tanjung Kabupaten Tabalong, Kalsel)
81. Rizky Rahma (Malang, Jatim)
82. Rudy Yuswantoro (Surabaya, Jatim)
83. Sarwendah Rahman (Malang, Jatim)
84. Seyhan Zuleha Bachtiar (Malang, Jatim)
85. Sofyan RH Zaid (Bekasi, Jabar)
86. Sudarmono (Bekasi, Jabar)
87. Sulis Bambang (Semarang, Jateng)
88. Sulis SR (Ponoorogo, Jatim)
89. Sumanang Tirta Sujana (Purworejo, Jateng)
90. Suyitno Ethex (Mojokerto, Jatim)
91. Syukur Budiharjo (bogor, Jabar)
92. Taberi Lipani (Barabai, Kalsel)i
93. Talenta Wilwatikta (Jombang, Jatim)
94. Tanti Ika Rohmawati (Ponorogo, Jatim)
95. Thomas Haryanto Soekiran (Purworejo, Jateng)
96. Wahyu Yudi (Ketapang, Kalbar)
97. Yogira Yogaswara (Bandung, Jabar)
98. Yud Kusuma (Magelang, Jateng)
99. Yusti Aprilina (Arga Makmur, Bengkulu)

Sumber: Facebook Bambang Eka Prasetya.
Selengkapnya: Antologi Puisi "Empati untuk Palestina: Duka Gaza Duka Kita" (2014)

Dikutuk-sumpahi Eros

Monday, 11 August 2014

Chairil Anwar (1922-1949)
Oleh: Saut Situmorang* 

Soalnya adalah apa mungkin seseorang mencapai kesadaran akan kematiannya hanya melalui pengalaman patah cinta?

Persoalan cinta adalah persoalan klise dalam dunia sastra. Beribu puisi telah tercipta sejak manusia pintar berkata-kata sampai zaman hyperreal saat ini yang berkisah tentang indahnya cinta dan malangnya mereka yang dikecewakan hatinya. Penyair Dante dari Itali menulis tiga buku besar tentang Neraka, Purgatoria, dan Sorga hanya karena jatuh cinta pada seorang bocah ingusan umur 4 tahun bernama Beatrice yang pertama kali dilihatnya 17 tahun sebelum La Divina Commedia-nya itu tercipta. “Adik seperguruan”-nya Petrarch menciptakan sebuah genre baru dalam puisi yang disebut Soneta hanya untuk seorang Laura yang sampai mati tak pernah berhasil dimilikinya. Bukankah Taj Mahal di India merupakan “puisi konkrit” yang paling konkrit yang pernah diinstalasi demi cinta?

Dalam buku klasiknya tentang sastra Indonesia modern kritikus Belanda A. Teeuw menyatakan bahwa tidak mudah untuk menunjukkan satu karaktek utama yang bisa dipakai untuk menyimpulkan puisi Chairil Anwar dan bahwa “setiap pembaca selalu menemukan sesuatu yang disukainya pada Chairil” (Modern Indonesian Literature, 1967). Alasan Teeuw atas sulitnya untuk menentukan sebuah “dominant mood” atau “central subject” pada puisi Chairil adalah karena dia menulis hanya dalam suatu periode yang pendek dan meninggalkan karya yang “tidak impresif jumlahnya”, “menggambarkan sebuah kepribadian yang sedang berkembang”.

Walau begitu Teeuw masih melihat satu hal yang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang sangat dominan dalam puisi Chairil Anwar:

Satu hal yang dimiliki oleh keseluruhan karya Chairil adalah intensitasnya, obsesinya yang radikal atas hidup dalam semua bentuk dan penampakannya, dan karenanya juga pada kematian – karena siapa saja yang hidup dengan serius pasti tak bisa menghindar dari konfrontasi dengan kematian.

Memang intensitas dan keseriusan Chairil dalam menghadapi kehidupan dan kematian merupakan satu hal yang membuatnya jadi legenda dalam sastra Indonesia modern. Melalui puisi barunya dan terutama gaya hidupnya, Chairil telah menciptakan sebuah imaji baru dari sosok Sang Pujangga lama, dari seorang filsuf bersih bertutur lemah-lembut menjadi seorang bohemian muda yang marah, kotor dan gelisah yang disebutnya “binatang jalang”.

Chairil Anwar mungkin merupakan penulis sastra Indonesia modern yang paling banyak ditulis tentangnya, baik dalam tulisan-tulisan akademis seperti skripsi, tesis, atau disertasi, maupun dalam artikel-artikel lepas di koran dan majalah. Satu aspek dari Chairil yang nampaknya sangat menarik perhatian para pembahasnya adalah kesan umum tentang tidak mungkinnya puisi Chairil dipisahkan dari kenyataan hidupnya. Puisi Chairil adalah refleksi dari kehidupan sehari-harinya, rekaman sebenarnya dari pengalaman hidupnya, baik itu cinta, rasa sunyi, maupun kematian, yang secara jujur dituliskannya ke dalam puisinya. Atau seperti yang diyakini A. Teeuw di atas, karya Chairil menunjukkan intensitas obsesinya dengan kehidupan dan kematian sebagai rasa dominan puisinya. Filsafat Eksistensialisme Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, dan Albert Camus biasanya dipakai sebagai landasan untuk menjelaskan kesatuan karya dan hidup pada oeuvre Chairil.

Tapi tulisan-tulisan tentang Chairil tersebut cendrung melupakan satu aspek penting lain, yaitu peranan Cinta atau Eros dalam kehidupan dan karya Chairil. Cinta bahkan bisa dikatakan sebagai sesuatu yang sangat penting, kalau tidak mau dikatakan yang paling penting, bagi Chairil karena lebih dari separoh dari puisinya “yang tidak impresif jumlahnya” itu merupakan puisi cinta. Dengan Sitor Situmorang atau Rendra sebagai pengecualian, Chairil Anwar mungkin adalah satu-satunya penyair modern Indonesia yang sangat terobsesi dengan cinta (eros). Obsesi atas cinta ini bisa dikatakan merupakan sebuah motif dominan dalam puisi Chairil, sebuah konsekuensi logis dari begitu intensnya dia menghadapi persoalan eksistensial hidup dan kematian. Sentralitas dari tema cinta dalam karya Chairil tidak bisa tidak dihiraukan lagi kalau sebuah pembacaan yang jauh lebih memuaskan ingin dilakukan atas “binatang jalang” yang dua kali dalam puisinya menyatakan dirinya “dikutuk-sumpahi eros” ini.

Pentingnya tema cinta dalam corpus Chairil Anwar mendapat dukungan cukup berarti oleh “penemuan” sebuah sajak cinta Chairil yang hilang oleh seorang Belanda, seperti yang dilaporkan oleh Burton Raffel dalam jurnal Indonesia Circle, No.66, tahun 1995. Sajak yang berjudul “Berpisah dengan Mirat” itu dikatakan telah diambil oleh seorang bernama Wil van Yperen dari sebuah majalah berbahasa Indonesia yang “kalau nggak salah Gelanggang Pemuda, Jan. 47″:

Berpisah dengan Mirat

Matahari tiba2 sudah tinggi, kami 5 x djalan lebih lekas dari
pada biasa. Djam yang menatap kami menggigil seperti
kena malaria rupanja Tiba disetasion ketjil ada lagi 2 a 3
djam untuk berhadapan

Kopi pait dan pendjual tua jang hormat ketawa sadja djadi
alasan untuk bitjara ketika kereta api bawa
aku madju bergerak, kulihat mukamu
terpaling Dan kau hilang..maka mulailah mesin dalam otakku

Mengeri meluar garis, terasa rasa hendak petjah
Penumpang2 lain djuga ikut dimakan njala
dan kering oleh hawa sebaran diriku..kudengar setan datang
Sehabis itulah berdentam dari mulutku Godverd. buat gantidosa.

Dengan membandingkan sajak di atas dengan sajak Chairil “Dalam Kereta”, Burton Raffel mengambil kesimpulan bahwa sajak “Berpisah dengan Mirat” adalah memang benar karya Chairil karena “banyak irama tipikal Chairil ada pada sajak tersebut, dan juga imaji-imaji khasnya”.

Persamaan irama dan imaji pada kedua sajak memang mendukung kesimpulan Burton Raffel tersebut, apalagi kalau kita perhatikan tahun edisi majalah dari mana sajak “Berpisah dengan Mirat” itu dicopy-ulang merupakan masa Chairil produktif menulis puisi.

Sebuah cerita yang pernah hangat beredar di kalangan sastrawan Indonesia adalah tentang sebuah kumpulan sajak pendek Chairil berjudul Kereta Api Penghabisan yang kini hilang tak tentu rimbanya. Sajak “Dalam Kereta” konon merupakan satu-satunya sajak yang berhasil selamat dari peristiwa moksa puitis itu. Dengan memakai sajak “Dalam Kereta” sebagai acuan-tema atas kumpulan sajak pendek Kereta Api Penghabisan, tidaklah sangat keterlaluan untuk membayangkan kalau kumpulan sajak Chairil yang hilang itu merupakan kumpulan puisi cinta.

Sajak cinta di atas juga mengandung sebuah nama perempuan yang selalu akan dikaitkan dengan nama penyair Chairil Anwar, yaitu Mirat atau Sumirat, seorang perempuan muda dari Jawa Timur yang dicintai tapi gagal dikawini oleh Chairil. Chairil adalah juga seorang penyair kereta api terbesar. Memakai kereta api sebagai judul kumpulan sajak cinta yang hilang itu mengisyaratkan perjalanan-perjalanan yang mesti dilakukan Chairil dari Jakarta ke kota kecil Paron di Jawa Timur demi mengejar sang Eros sekaligus menunjukkan kegelisahan hidup, ataupun displacement, yang telah menjadi identitas khas manusia modern.

Dalam hidupnya yang singkat, Chairil mengenal banyak perempuan dan sangat dekat paling tidak dengan tiga orang, Ida, Sri, dan Mirat. Chairil menulis sajak-sajak cintanya yang terdahsyat buat ketiga “les belles dames sans merci”-nya ini, sajak-sajak cinta yang belum tertandingi hingga saat ini, sajak-sajak cinta yang telah jadi sajak-sajak keramat sastra Indonesia modern:

Sia-sia

Penghabisan kali itu kau datang
membawa karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:
darah dan suci
Kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan: Untukmu.

Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya: Apakah ini? Cinta?
Keduanya tak mengerti.

Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.

Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

Perbedaan sajak cinta Chairil dengan sajak cinta umumnya di sastra Indonesia adalah soal hubungan cinta dengan kematian. Bagi Chairil, cinta sama dengan hidup dan kehilangan cinta berarti kehilangan hidup itu sendiri. Dalam “Sajak Putih” untuk tunangannya Mirat, Chairil melihat cinta Mirat bagi dirinya adalah “darah mengalir dari luka/antara kita Mati datang tidak membelah.semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku//” Yang paling menarik pada Chairil adalah terdapatnya semacam fatalisme yang menghubungkan peristiwa cinta dengan datangnya kematian. Pada sajak-sajak cintanya nampak betapa Chairil selalu “menyalahkan dirinya sendiri” atas gagalnya sebuah hubungan cintanya. Sadomasokisme obsesif Chairil ini selalu diulang-ulang dalam beberapa sajak cintanya sampai akhirnya mencapai klimaks pada kesadaran bahwa kegagalan terbesar dari diri (the self) adalah kematian. Cinta, atau hilangnya cinta, telah membuat Chairil sadar akan adanya kematian.

Inilah hal baru yang dilakukan Chairil pada puisi Indonesia modern, disamping perombakan bentuk dari motif pantun ke sajak bebas. Sejak sajak “cinta” awalnya pun Chairil sudah menyinggung-nyinggung soal kematian:

Nisan
untuk nenekanda

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta.

Disamping soal kematian yang sudah mulai masuk ke dalam kesadaran Chairil dalam usianya yang masih cukup muda (20 tahun) waktu menulis sajak “Nisan” di atas, satu hal lain yang juga bisa dilihat di sini yang kelak mewarnai sajak-sajaknya adalah absennya sentimentalisme romantis. Chairil tidak pernah cengeng dalam mengekspresikan perasaannya, apa itu cinta, patah cinta, atau takut mati. Bahasa Chairil sudah matang dan siap pakai, walau mitos tentangnya bercerita tentang perjuangannya berbulan-bulan hanya untuk menemukan satu kata!

Chairil memang bisa dikatakan turut bertanggung jawab atas mitos populer tentang dirinya terutama yang didasarkan pada puisinya yang sangat terkenal itu, “Aku”. Gaya hidup bohemian antara dandy dan gelandangan yang dilakukannya dan beberapa sajaknya yang terkesan mendukung bohemianismenya itu telah membuat Chairil jadi “binatang jalang” individualistis yang anti-sosial. Zaman hidupnya di Jakarta tahun 40an memang mungkin membuat hal ini tidak mustahil. Budaya Barat pada masa-masa itu memang sedang goncang oleh bermacam gerakan revolusi seni dan pemikiran yang umumnya mempertanyakan kembali tradisi. Banyak yang menolak tradisi yang dianggap telah menciptakan malapetaka terbesar dalam sejarah peradaban Barat, yaitu pecahnya Perang Dunia I, sebuah perang terbesar antar sesama orang Eropa beragama Kristen yang memusnahkan jutaan jiwa dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun. Jakarta sebagai salah satu pusat kekuasaan kolonial di Asia tidak bisa lepas dari apa yang terjadi di benua Eropa. Kalahnya Rusia, Inggris, dan Belanda di Asia Timur oleh Jepang juga berdampak luarbiasa bagi wacana pemikiran kontemporer saat itu. Kritik pedas yang dilontarkan oleh Chairil atas majalah Pujangga Baru yang tidak membahas soal naiknya fascisme di Eropa jelas menunjukkan betapa global cara berpikir Chairil dibanding para seniornya tersebut. Mungkinkah S Takdir Alisjahbana menjadi “binatang jalang” walau “polemik kebudayaan” yang dilakukannya memberi kesan seolah dia merupakan seorang eksentrik pada zamannya!

Mitos populer tentang Chairil itu akan lebih bulat dilihat relevansinya kalau mempertimbangkannya juga sebagai sebuah persona, semacam topeng yang dipakai untuk menutupi diri-yang-sebenarnya (the-real-self) yang terekspresi dengan penuh dalam sajak-sajaknya, terutama sajak-sajak cintanya. Dualisme begini cukup biasa terjadi di dunia seni. Ada hal-hal sangat sensitif yang hanya bisa diungkapkan oleh penyair lewat puisi di mana suara narator puisi tidak mesti diartikan sebagai suara senimannya sendiri. Penyair bisa cuci tangan dan meminta pembacanya meminta pertanggungjawaban tekstual pada narator puisinya. Sulit memang untuk menerima fakta bahwa Chairil Anwar adalah binatang jalang yang selalu ditinggal pacarnya! Tapi dualisme antara keeksentrikan seniman dengan karya seninya malah sering membuat seniman tersebut jadi lebih menarik, lebih hidup, lebih manusiawi dibanding yang hitam putih monoton seperti Khalil Gibran yang sangat terkenal di kalangan non-pembaca-sastra Indonesia. Membaca sajak-sajak cinta Chairil akan memberikan sebuah dimensi baru pada apresiasi kita atas dirinya, karyanya, dan mitos tentangnya.

Subjek umum puisi Chairil adalah dirinya sendiri, kesangsiannya, keresahannya, atau nostalgianya. Puisi otobiografis macam begini adalah puisi interior, atau lebih populer dikenal sebagai puisi konfesional. Sebagai puisi konfesional, sajak-sajak Chairil bukanlah komentar-komentar objektif atas dunia eksternal, atas apa yang terjadi di luar diri penyairnya, seperti epik atau balada. Sajak-sajak Chairil adalah simbol-simbol dari sikap dan rasanya dan mesti diinterpretasikan demikian. Inilah ciri khas dari puisi lirik dan puisi Chairil adalah puisi lirik terkuat yang pernah ditulis dalam bahasa Indonesia.*** 

*Saut Situmorang, penyair dan eseis, tinggal di Jogjakarta. 

Selengkapnya: Dikutuk-sumpahi Eros

Sastra yang Tidur Dalam Kulkas

Oleh: Saut Situmorang*

“Aku tidur di depan sebuah kulkas. Suaranya berdengung seperti kaus kakiku di siang hari yang terik. Di dalam kulkas itu ada sebuah negara yang sibuk dengan jas, dasi, dan mengurus makanan anjing. Sejak ia berdusta, aku tak pernah memikirkannya lagi.” Demikianlah bunyi empat baris pertama prose-poem Afrizal Malna yang berjudul “Persahabatan Dengan Seekor Anjing” dari bukunya Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (Bentang, 2002).

Sajak prosa Afrizal tersebut, bagi saya, merupakan semacam metafor atas apa yang selama ini dikenal sebagai “sastra Indonesia”. Saya bilang selama ini karena, bagi saya, saat ini sudah tak ada lagi “sastra Indonesia” itu. Walau bahasa ekspresinya masih memakai bahasa “Indonesia”, tapi isi dari “sastra” yang disebut sebagai “sastra Indonesia” tersebut sudah bukan sastra lagi melainkan sesuatu yang cuma berpretensi sebagai “sastra” belaka. Dunia “sastra Indonesia” saat ini telah menjadi sebuah “negara” dalam sebuah “kulkas” dengan “partai-partai spanduk dan kaos oblong”. Sebuah negara “yang sibuk dengan jas, dasi, dan mengurus makanan anjing” sambil “mencekik suara rakyat”nya sendiri, yaitu para sastrawan, para seniman sastra, yang dalam kepala masing-masing tak ada ambisi ekstra-literer kecuali hanya bagaimana mencipta karya-karya sastra yang baik dan perlu untuk dibaca oleh pembaca lokal maupun internasional. Baik karena memang ditulis sebagai sebuah karya seni dan perlu untuk dibaca karena memang menawarkan sebuah ide, sebuah pemikiran yang bisa memperkaya pengalaman intelektual pembacanya. Para seniman sastra yang mempertaruhkan reputasi kesenimannya hanya pada mutu karyanya, bukan pada politik berkesenian yang semata-mata didukung oleh besarnya jumlah uang dan dusta belaka.

Arogansi yang cuma bersandar pada besarnya jumlah uang dan retorika dusta sudah merajelela dalam dunia kang ouw sastra Indonesia. Para dilettante sastra, para petualang sastra merajalela, menjadi paus-paus sastra baru, mencipta kanon-kanon sastra baru. Tapi tak pernah sekalipun para paus-paus sastra baru ini mampu membuktikan di mana sebenarnya kedahsyatan kanon-kanon sastra baru yang mereka ciptakan itu. Berhasilnya mereka menjadi paus-paus sastra baru yang mencipta kanon-kanon sastra baru pun bukan disebabkan oleh kedahsyatan argumentasi teori seperti yang biasanya terjadi dalam sebuah dunia yang demokratis dan beradab tapi cuma karena dominasi besarnya jumlah uang dalam bentuk media massa yang mereka miliki semata. Media mereka inilah yang menjadi alat retorika dusta mereka. Media mereka inilah arogansi mereka.

Impotensi kritik sastra di Indonesia merupakan sebuah penyebab utama merajalelanya para dilettante sastra. Otoritas akademis/teoritis sebuah institusi kritik sastra di “negara yang sibuk mengurus makanan anjing” ini sudah digantikan oleh otoritas modal kapitalis.

Kondisi pascakolonial ini makin diperparah oleh munculnya sebuah fenomena baru, yaitu maraknya keberadaan komunitas pengarang. Komunitas pengarang yang sejatinya adalah perkumpulan sekelompok pengarang independen yang berideologi artistik yang sama — seperti yang kita kenal dalam sejarah peradaban Barat pada para pengarang Neo-Klasik, para pengarang Romantik, para pengarang Simbolis, para pengarang Ekspresionis, para pengarang Futuris, para pengarang Imagis, para pengarang Dada, Surrealis, Absurd, Eksistensialis, Realis-Magis, Beat, L-A-N-G-U-A-G-E, Konkrit, Marxis, Feminis, Pascakolonial, Posmo… — di negeri ini ternyata cuma menjadi komunitas sastra arisanis belaka.

Namanya saja “komunitas pengarang” tapi orientasi hidupnya bukanlah mengarang dalam pengertian kreatif kata tersebut melainkan menunggu antrean arisan untuk diundang baca puisi atau baca prosa oleh komunitas sastra yang paling dominan kekuasaan uangnya.

Idealisme para leluhur mereka yaitu para pengarang Barat (yang sering mereka ejek atau puja-puji setinggi langit walau tak pernah mereka baca/pahami dengan sebenarnya itu) yang telah berhasil mewariskan beragam aliran estetika di atas telah mereka campakkan ke dalam tong sampah sejarah. Akibatnya, bukan pluralisme gaya menulis yang terjadi tapi keseragaman fascis estetika. Bukan keseragaman eksplorasi artistik yang menghasilkan gerakan seni (art movement), tapi fetishisme selera seseorang, atau dua orang, yang menjadi duta besar kepentingan politik komunitas sastra yang paling besar kekuasaan uangnya. Koran dan majalah adalah kedutaan-besar komunitas sastra yang paling besar kekuasaan uangnya.

Skandal sastra adalah kanonisasi sastra, tapi dalam versi Indonesia, skandal sastra adalah sekedar skandal sastra. Skandal sastra yang disebabkan buku puisi Baudelaire Les fleurs du mal (1857) di Prancis, yang disebabkan novel Lady Chatterley’s Lover (1928) DH Lawrence di Inggris, yang disebabkan novel esek-esek Henry Miller Tropic of Cancer (1934) atau buku puisi Howl (1956) Allen Ginsberg di Amerika Serikat, misalnya, telah membuka sebuah horison kemungkinan gaya mengarang yang baru pada masing-masing budaya, telah menyebabkan musim semi artistik pada dunia sastra masing-masing budaya.

Tapi skandal sastra pada apa yang dulu disebut “sastra Indonesia” itu cuma memperparah kondisi impotensi kritik sastra dan meningkatkan kekuatan dominasi komunitas sastra tertentu yang memang sengaja menciptakan skandal-skandal sastra tersebut.

Skandal sastra adalah alat untuk melegitimasi sekaligus memperkokoh status quo komunitas sastra yang paling besar kekuasaan uangnya. Skandal sastra itu sendiri bisa mengambil bentuk pembuatan klaim-klaim pseudo-kritik sastra atas karya-karya sastra tertentu, biasanya menjatuhkan untuk karya produk komunitas lain dan mengelu-elukan kalau dikarang anggota komunitas sendiri. Klaim-klaim pseudo-kritik sastra itu sendiri diumumkan bukan lewat jalur komunikasi informasi yang netral tapi melalui media massa nasional yang dimiliki komunitas yang berkepentingan dimaksud. Skandal sastra juga dilakukan lewat pemberian hadiah sastra kepada pengarang-pengarang tertentu atau, ini yang paling sering menjadi pilihan strategis, melalui undangan festival sastra yang diselenggarakan komunitas yang berkepentingan dimaksud. Tapi dengan satu catatan pinggir: para pengarang “tertentu” yang dipilih tersebut memang sudah tertentu ideologi kepengarangannya, yaitu minimum bukan merupakan pengarang yang akan kritis terhadap sepak-terjang komunitas dimaksud. Seorang pengarang boleh saja kritis atas dekadensi kultural yang dikembangbiakkan komunitas dimaksud tersebut tapi asal dia tutup mulut dan pura-pura tidak tahu maka kesempatan untuk terpilih dalam arisan menikmati kue kesastraan ala komunitas tersebut sudah jauh lebih terpastikan.

Seperti yang diteriakkan penyair Beat, Allen Ginsberg, dalam baris pembuka yang sangat terkenal dari puisi panjangnya Howl yang kontroversial itu, “I saw the best minds of my generation destroyed by madness, starving hysterical naked”, begitulah yang saya lihat sudah dan sedang terjadi pada otak-otak cemerlang generasi saya yang rusak karena gila ketenaran instan 15-minute fame ala MTV, lapar histeris akan legitimasi status kesastrawanannya, oleh silau ilusi pseudo-kosmopolitanisme yang dengan naif disangkanya direpresentasikan oleh komunitas yang “kekuatannya” semata-mata bersandar pada besarnya jumlah uang yang dimilikinya, bukan pada canggihnya pengetahuan dan kemampuannya.

Kenapa saya terus menerus menyinggung soal “besarnya jumlah uang” yang dimiliki oleh komunitas (-komunitas) sastra tertentu dalam esei saya ini? Jawabannya sederhana; dalam bahasa bangsa saya bangsa Batak Toba dikatakan bahwa “hepeng do na mangatur negaraon”. Memang uanglah yang mengatur negara “yang sibuk dengan jas, dasi, dan mengurus makanan anjing” ini, yang terpesona pada superfisialitas, pada kosmetik, pada obskuritas.

Bagaimana mungkin bisa memiliki media cetak yang art paper kertasnya dan berkilauan sampul pembungkusnya tanpa memiliki uang dalam jumlah yang besar! Bagaimana mungkin bisa menyelenggarakan apa yang dengan arogan mereka klaim sebagai “festival sastra internasional” (walau tak ada orang yang pernah mendengar nama-nama apalagi membaca karya dari yang mereka katakan sebagai “para sastrawan internasional” tersebut!) kalau tak punya uang dalam jumlah yang besar!

Yang kemudian menjadi persoalan (di luar persoalan “keinternasionalan” dan “keseniman” para undangan dari luar tadi) tentu saja adalah asal-usul dari uang yang jumlahnya besar itu sendiri. Kecurigaan saya, nama eksotis Dunia Ketiga “sastra Indonesia” yang digadaikan di luar sana (di mana konsep “dosa sejarah” kolonialisme Barat sudah menjadi moralisme baru political correctness dalam konteks wacana pascakolonialisme) untuk mengongkosi penyelenggaraan sebuah event sastra “internasional” yang sekaligus dijadikan alat legitimasi domestik atas kosmopolitanisme komunitas lokal yang melakukannya. Di sinilah retorika dusta telah menjadi diplomasi kultural yang canggih. Atau dalam bahasa pepatah orang awak di Sumatera sana: Sekali mendayung, dua tiga pulau terlewati.

Kenapa semua ini bisa terjadi justru setelah negeri ini terlepas dari cengkraman kediktatoran penguasa militer? Jawab kenapa.***

*Saut Situmorang, penyair dan eseis, tinggal di Jogjakarta.

Selengkapnya: Sastra yang Tidur Dalam Kulkas

ABC of Saut Situmorang

oleh: Mikael Johani*
Aneh bahwa belum pernah ada review yang benar-benar membahas tentang buku kumpulan puisi Saut Situmorang yang diterbitkan tahun 2007, “otobiografi: kumpulan puisi 1987-2007″ (o-nya memang sengaja kecil), selain review almarhum Asep Sambodja yang juga pernah dibawakan dalam diskusi tentang buku ini di acara Meja Budaya asuhan Martin Aleida di PDS H.B. Jassin di TIM pada tahun 2009. Padahal biasanya dalam dunia sastra Indonesia, figur yang seterkenal Saut akan menarik banyak groupies sastra untuk menulis review tentang buku-bukunya. Lihat saja ledakan review tentang buku-buku Ayu Utami (pemenang pertama lomba esai DKJ yang terakhir pun masih membahas buku dia!–walaupun dengan nada mengkritik), Nirwan Dewanto, dan Nukila Amal (di tahun yang lain lagi, lomba esai DKJ yang sama dipenuhi begitu banyak tulisan lebay-pretentious tentang novelnya yang dianggap super rumit sehingga pasti nggak mungkin nggak adiluhung itu, Cala Ibi). Pendek kata, hype dan kultus individu dalam sastra Indonesia biasanya menghasilkan tulisan yang cukup banyak tentang individu tersebut (nggak usah ngomong dulu tentang kualitasnya), tapi kenapa setelah tujuh tahun belum ada lagi juga esai selain esai Asep yang membahas secara serius puisi-puisi Saut dalam kumpulan seminalnya ini?

Jawaban singkatnya, karena Saut Situmorang tidak cuma terlahir dari sejarah sastra Indonesia, tapi juga dari sejarah sastra, puisi, dan seni di luar Indonesia, dari puisi Modernis ala Eliot, Surrealis ala Rimbaud (kumpulan puisi Saut yang baru berjudul Perahu Mabuk = Le Bateau ivre-nya Rimbaud), puisi-puisi kalligram ala Apollinaire, Négritude ala Aimé Césaire, puisi protes ala Neruda, puisi Beat ala Ginsberg, haiku ala Basho (via Pound?), gerakan meng long shi (Misty Poetry) Tiongkok, dan itu baru pengaruh-pengaruhnya dari dunia puisi di luar Indonesia! Saut juga banyak memamerkan pengaruh-pengaruhnya dari dari dunia film (Tarkovsky, misalnya), dunia seni (Magritte dan Duchamp, misalnya), dan pop culture (Speedy Gonzales, misalnya–walaupun ini bisa juga permainan intertekstualitas dengan Ashbery!). Dan masalahnya, sori-sori aja, kebanyakan kritikus sastra Indonesia tidak tahu sama sekali tentang sejarah apalagi teori puisi di luar Indonesia. Sehingga sederhananya, mereka nggak ngerti puisi-puisi Saut! Mereka nggak menangkap alusi-alusinya, nggak bisa melacak kepadatan intertekstualitas (bukan cuma name-dropping ala Nirwan Dewanto) dalam puisi-puisinya, nggak tahu permainan dan perang apa yang dilancarkan Saut bukan cuma dalam puisi-puisinya tapi juga dengan caranya menyusun puisi-puisi itu dalam kumpulan ini.

Padahal, dalam kumpulan ini, Saut selain berpuisi juga sedang melancarkan protes dan revisinya terhadap puisi Indonesia dan juga puisi Barat berbahasa Inggris yang sepertinya masih berusaha melepaskan diri dari bayang-bayang Puisi Modernis dan tanpa sadar sudah lebih dari setengah abad muter-muter di situ aja. Saut (menulis dalam bahasa Indonesia kecuali di bagian terakhir yang diberi subjudul “Rantau” dan berisi puisi-puisi bahasa Inggrisnya) mencari jalan keluar dari anxiety of influence yang ditinggalkan penyair-penyair Modernis (favorit Saut sendiri sepertinya Eliot) dengan mengadopsi, mengapropriasi, me-mashup pengaruh tersebut dengan tradisi-tradisi kepenyairan di luar gerakan Modernis tersebut–dari surealisme Prancis, writing back ala Négritude, blues ballad ala Rendra (via Lorca?), sampai sajak terang sadar politik penyair-penyair Indonesia tahun 1990an (misalnya puisi protes Wiji Thukul). Yang dihasilkan oleh kumpulan puisi otobiografi ini adalah sesuatu yang revolusioner: sebuah dialog (atau mungkin struggle?) dengan (anxiety of) influences Saut sendiri, sebuah usaha untuk menaklukkan mereka dengan pendekatan yang postmodern: multi-tradisi, multi-intertekstual, bahkan multi-bahasa!

A. Tradisi versus bakat individu
otobiografi diawali dengan sebuah esai dari Saut yang berjudul “Tradisi dan Bakat Individu“. Judul esai ini adalah terjemahan langsung dari esai terkenal T.S. Eliot, Tradition and the Individual Talent. Esai ini bertindak sebagai manifesto kesenian Saut. Seperti Eliot, ia berpendapat tidak mungkin seorang penyair atau sastrawan, seberbakat apapun, berkarya tanpa dipengaruhi tradisi-tradisi yang mendahuluinya. Justru cara si sastrawan bergulat dengan tradisi-tradisi yang mempengaruhinya itulah yang menarik! Saut dengan eksplisit menyatakan tidak setuju dengan pernyataan-pernyataan lebay-asersif kritikus-kritikus Indonesia dari sejak H.B. Jassin sampai Nirwan Dewanto yang sering tanpa bukti jelas mengklaim bahwa seorang pengarang yang berbeda sedikit saja dari teman-teman seangkatannya pasti tidak terlahir dari sejarah sastra Indonesia(nya) sendiri. Dari Chairil yang terlalu sering diklaim sebagai binatang jalang yang dari kumpulan masteng sastra 45-nya terbuang, sampai Ayu Utami dan Saman yang diklaim oleh temannya Nirwan Dewanto tidak terlahir dari sejarah sastra Indonesia–sampai-sampai blurbs buku itu pun dengan enteng sengaja salah mengutip komentar Pramoedya Ananta Toer, seakan-akan ia terlalu kuno dan nggak ngerti Saman! Soal Chairil, Saut menunjukkan bahwa pada tahun 1992, peneliti sastra Indonesia Sylvia Tiwon sudah pernah menganalisa relasi intertekstual antara puisi Chairil dan pendahulu Pujangga Barunya, Amir Hamzah. By the way, Nirwan Dewanto mengklaim hal yang sama dalam esainya tentang Chairil Anwar, “Situasi Chairil Anwar“, yang kemudian dimuat menjadi kata pengantar di kumpulan puisi Chairil Anwar terbaru terbitan Gramedia tahun lalu. Selain esai ini Nirwan ini telat, madingnya udah terbit, ia juga tidak sekalipun menyebutkan bahwa poin yang dibuatnya sudah pernah dibuat pula oleh Sylvia Tiwon (apalagi Saut Situmorang!), mungkin karena ia memang nggak tahu tentang esai terkenal Sylvia Tiwon itu, atau dia pengen orang-orang menganggap dia sendiri yang muncul dengan pikiran itu. Seakan-akan dia sendiri tidak terlahir dari sejarah kritik sastra Indonesia! Hahahahaha!

Patut diperhatikan pula bahwa esai Tradisi dan Bakat Individu ini juga diterbitkan dalam kumpulan esai Saut Situmorang, Politik Sastra, yang terbit dua tahun kemudian, 2009. Kumpulan kritik sastra ini, selain sebuah j’accuse! terhadap kebusukan politik sastra Indonesia, juga bisa dibaca sebagai manifesto kepuisian Saut versi extended. Jika kamu ingin lebih mengerti puisi-puisi Saut, bacalah Politik Sastra, di situ ia layaknya sebuah buku panduan membaca simbolisme lukisan Old Masters, menyebar clues tentang pengaruh-pengaruh dalam puisinya dan bagaimana ia mengolah pengaruh-pengaruh tersebut. Misalnya, jika ingin clues tentang bagian pertama otobiografi, “Cinta”, bacalah esai “Dikutuk-sumpahi Eros” dalam Politik Sastra. Jika ingin lebih mengerti bagian terakhir otobiografi, “Rantau”, baca “Sastra Eksil, Sastra Rantau” dalam Politik Sastra. Menarik pula untuk diingat bahwa eksistensi Saut sebagai poet-critic/shit-stirrer dalam dunia kang ouw sastra Indonesia bisa juga dianggap sebagai usaha mewarisi tradisi penyair-penyair Modernis yang sering juga punya identitas ganda sebagai kritikus pengguncang status quo. Dalam hal ini (bagian critic dari poet-critic), mungkin Saut sebenarnya lebih mirip dengan Ezra Pound daripada Eliot, lebih shit-stirring dan lebih subversif. Jika kamu, seperti Goenawan Mohamad, menganggap jurnal boemipoetra yang ia terbitkan hanya sekedar “coret-coret di kakus“, coba deh download kopian zine Blast yang dieditori Ezra Pound di awal abad 20. boemipoetra itu, seperti hampir semua yang dilakukan Saut Situmorang, bukan sekedar coret-coret di kakus, tapi coret-coret di kakus yang hiperintelektual dan hiperintertekstual! Sampai GM aja nggak ngerti! Kakus boemipoetra itu dilengkapi urinal ready made Duchamp, lho! Hahahahaha!

Setelah esai Tradisi dan Bakat Individu, menyusul bagian pertama otobiografi, “Cinta”. Di sinilah Saut bergulat dengan sumber anxiety of influencenya yang pertama dan mungkin paling utama: Chairil Anwar. Bukan sok-sokan jika bagian ini dimulai dengan kutipan terkenal dari puisi “Tak Sepadan” Chairil: “Dikutuk-sumpahi Eros, aku merangkaki dinding buta, tak satu juga pintu terbuka.” Jika Chairil berusaha mencari pintu keluar dari kutuk-sumpah Eros, Saut berusaha di bagian ini untuk mencari pintu terbuka yang menawarkan jalan keluar dari pengaruh Chairil!

Bagaimana cara Saut melakukan itu? Dengan mengerahkan semua arsenal pengaruh-pengaruhnya yang lain! Dari kaligram ala Apollinaire (bandingkan bentuk puisi “dongeng enggang matahari”

dongeng enggang matahari

dengan “Coeur Courrone et Mirror” Apollinaire, atau bentuk “sajak hujan”

sajak hujan

dengan “Il Pleut” (by the way, baris “hujan… tergelincir kakinya di atap atap rumah” dalam “sajak hujan” juga diapropriasi kemudian direkontekstualisasi dari baris “la pluie qui met ses pieds dans le plat sur les toits” dalam puisi Aimé Cesaire “Le Cristal automatique”), puisi imagis ala William Carlos Williams dengan variable foot dan barisnya yang pendek-pendek (bandingkan puisi “elegi claudie” dengan “The Red Wheelbarrow”), haiku modernis ala Pound via Sitor (bandingkan “lonceng gereja, tembok kota tertawa padanya” dengan “In a Station of the Metro, the apparition of these faces in the crowd, petals on a wet, black bough” dengan “Malam Lebaran, bulan di atas kuburan”), mash-up puisi Zen-Beat ala Ginsberg dengan plesetan kutipan dari Eliot (puisi “kata dalam telinga”, baris “Jumat adalah hari yang paling kejam dalam seminggu” yang memelesetkan baris terkenal dari “The Waste Land”, “April is the cruellest month, breeding lilacs out of the dead land”), sampai Sapardi Djoko Damono! (lihat puisi “Aku mencintaiMu dengan seluruh jembutKu”.)

Dan masih banyak lagi. Poin semua ini adalah, satu, seperti argumen Bloom di buku terkenalnya “The Anxiety of Influence: A Theory of Poetry” yang juga dikutip oleh Saut dalam esai Tradisi dan Bakat Individu di awal otobiografi ini, mendistorsi karya-karya/gaya-gaya penyair-penyair/tradisi-tradisi kepenyairan yang mendahului dan mempengaruhinya tadi menjadi karya/gaya/tradisi-nya sendiri, dan dua, seperti seorang guru yang menerapkan mantra “show, don’t tell” Hemingway, menunjukkan hutang penyair-penyair Indonesia yang dianggap pendobrak tradisi seperti Chairil, Sitor, dan Sutardji terhadap tradisi-tradisi puisi Barat yang dengan sengaja mereka apropriasi (puisi Modernis buat Chairil dan Sitor, kalligram ala Apollinaire dan Puisi Konkrit buat Sutardji).

Tentu, Saut secara sengaja juga menunjukkan betapa berhutangnya dia kepada tradisi dan sejarah puisi yang mendahuluinya. Puisi-puisi ini adalah pembuktian manifesto Bakat dan Tradisi Individunya tadi, caranya (memelesetkan kalimat terakhir di esai itu) menunjukkan bagaimana dia menjadi bagian dari tradisi/sejarah sastra Indonesia, sekaligus menunjukkan relasi intertekstual puisi-puisinya dengan puisi-puisi sebelumnya.

Bagian kedua otobiografi dijuduli “Politik”. Di sinilah Saut menunjukkan bahwa salah satu bagian dari identitas kepenyairannya adalah keanggotaan tidak resminya dalam “angkatan” penyair Indonesia 1990an. Seperti dikatakannya di esai Bakat dan Tradisi Individu: “Sebuah motif dominan lain pada puisi para penyair 1990an adalah politik. Para penyair 1990an tidak lagi tabu atau malu-malu untuk mempuisikan politik, mempolitikkan puisi, malah justru pada periode inilah puisi politik mencapai puncak ekspresi artistiknya yang melampaui apa yang sebelumnya dikenal sebagai sajak-protes dan pamflet-penyair seperti pada puisi Wiji Thukul.”

Strategi puitis yang dipakai Saut di bagian “Politik” ini sama dengan yang dipakainya di bagian “Cinta”: lebih banyak lagi distorsi dan revisi atas pengaruh-pengaruh tradisi yang mendahuluinya. Puisi pertama dalam bagian ini saja berjudul “potret sang anak muda sebagai penyair protes”, judul alusif yang sekaligus memelesetkan frase terkenal dari pentolan (prosa) besar Modernis Joyce dan pentolan Komunitas Utan Kayu/Salihara Goenawan Mohamad yang lebih dulu memelesetkan frase itu (“A Portrait of the Artist as a Young Man” → “Potrét Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang”).

Salah satu puisi yang paling menarik dalam bagian “Politik” ini adalah puisi “demikianlah”. Dalam puisi ini, Saut menggabungkan berbicara tanpa malu-malu tentang politik (“langit yang biru lebam dihajar popor m-16 anjing anjing kapitalis pascakolonial) dengan irama-irama puisi Beat ala Ginsberg dan obsesinya dengan budaya pop dan obscenity (“demi dr strangelove yang berkhayal nikmatnya sebuah rudal yang pecah di lobang duburnya”) dan semacam katalog influences atas kepenyairannya (Harry Roesli, Alfred Hitchcock, Rendra, Wiji Thukul, Karl Marx, Guernica Picasso, Made Wianta, lagu anak-anak Pelangi, Tampax, SMS, Borobudur, Bukek Siansu, National Geographic, dan masih banyak lagi).

Bagian “Politik” ini juga jadi cara efektif buat menghapus stigma hangover Orba bahwa sajak yang bertema politik seperti puisi pamflet Rendra atau sajak protes Wiji Thukul pasti kurang “puitis” atau malah kurang “adiluhung”. Saut membuktikan dengan sajak-sajaknya di bagian ini bahwa “sajak politik” tidaklah serta-merta (hanya karena subject matternya) sederhana, naif, dan primitif seperti yang sering dituduhkan oleh penyair-kritikus salon Salihara, tapi juga bisa canggih, intertekstual, dan postmodern. Stigma bahwa sajak politik pasti jelek hanyalah hangover (anxiety of influence!) Orba, bagian dari propagandanya untuk men-depolitisasi seni di Indonesia.

B. Writing back to the canon
Bagian ketiga otobiografi berjudul “Rantau”, berisi puisi-puisi bahasa Inggris Saut. Di sinilah Saut takes the game to his influences head on! Di bagian inilah usaha Saut untuk keluar dari bayang-bayang Puisi Modernis paling kelihatan. Yang ia lakukan dalam bagian ini adalah semacam tour de force melewati berbagai macam genre dan subgenre puisi Barat dan Indonesia yang menawarkan obat penawar untuk hangover Puisi Modernis, yang dalam dunia puisi Barat berbahasa Inggris pun sepertinya belum ditemukan. Kebanyakan penyair berbahasa Inggris masih terjebak dalam curhatan borjuis confessional poetry ala Lowell, Plath, dkk, atau permainan borjuis-esoterik flarf, dan keduanya tidak relevan dengan kondisi pascakolonial (penyair) Indonesia (atau penyair yang lahir dari sejarah sastra Indonesia seperti Saut). “Rantau” menunjukkan salah satu episode paling penting dari otobiografi kepenyairan Saut, saat dia menulis puisi sebagai usaha “writing back” kepada otoritas kanon Puisi Barat yang mempengaruhinya. Tidak heran apabila bagian ini dimulai dengan kutipan favorit para pascakolonialis dari drama Shakespeare, The Tempest: “You taught me language, and my profit on’t is I knew how to curse.” Kutipan ini salah satu baris yang diucapkan oleh Caliban, antagonis utama dalam The Tempest, tapi justru protagonis dan poster boy pemikir pascakolonial, termasuk salah satu idola Saut, Aimé Cesaire, yang mengangkat Caliban sebagai seorang black slave-hero yang melawan white masternya Prospero dalam adaptasinya atas The Tempeste, Une Tempête. Patut diingat bahwa dalam salah satu baris yang mengikuti baris yang dikutip Saut di atas, Caliban mengutuk Prospero dan Miranda yang mengajarinya bahasa Inggris, semoga “the red plague rid you for teaching me your language!” Namun, yang dilakukan Caliban-Saut dalam bagian “Rantau” ini, seperti juga yang sebenarnya dilakukannya di balik sumpah-serapah j’accuse!-nya di Twitter dan Facebook tapi tidak banyak disadari orang, bukan cuma cursing tapi sebuah proses writing back terhadap kanon puisi Inggris!
Dalam puisi “Looking for Charles Bukowski in K Rd” misalnya, Saut mendistorsi waste land urban Eropa pra- dan pasca-Perang Dunia I yang digambarkan Eliot dalam dua puisi yang dianggap memelopori Puisi Modernis, “The Love Song of J. Alfred Prufrock” (“half-deserted streets, … restless nights in one-night cheap hotels”) dan “The Waste Land”, menjadi waste land “retro paradise” “red-light-cum-nightclub-district” K Rd di Auckland, metropolis terbesar di New Zealand. Dalam puisi ini, Saut kembali memelesetkan “April is the cruellest month” Eliot dari “The Waste Land” menjadi “Friday is the holiest night of the week” (ironically, of course), me-mashup-nya (lagi) dengan irama Beat dan obscenity ala Ginsberg (“shit & death”, “prophets of semen redemption”, “perfumed communion of alcohol & semen”), dengan referensi budaya pop dalam bentuk kutipan lagu The Beatles (“obladi oblada life goes on, yeah…”), kemudian mengakhirinya dengan memelesetkan tiga baris pembuka “The Love Song of J. Alfred Prufrock” yang sangat terkenal (yang judulnya juga dia pelesetkan jadi judul satu lagi puisinya, yang rasanya bukan kebetulan ditaruh pas setelah puisi “Looking for Charles Bukowski in K Rd” ini, “Love Song of Saut Speedy Gonzales”): “Let us go then, you and I, when the evening is spread out against the sky, like a patient etherised upon a table”, menjadi “let us go to K Rd then, you & I, while the evening is still spread out against the Sky Tower, like a Holy Virgin intoxicated upon a bar table”. Yang paling mencengangkan sekaligus mengacengkan di sini adalah distorsi simile Eliot yang dingin dan mencekam, “like a patient etherised upon a table” menjadi simile yang hot dan mencekam, dan sacrilegous (!), “like a Holy Virgin intoxicated upon a bar table.” Sungguh sebuah distorsi yang sangat pas untuk mengubah baris-baris Eliot yang menggambarkan urban Eropa yang sepi dan membusuk (ingat “half-deserted streets”) menjadi baris-baris Saut yang menggambarkan waste land K Rd yang ramai dan busuk!

Sementara itu, puisi selanjutnya, “Love Song of Saut Speedy Gonzales”, sudah intertekstual sejak judulnya. Judul ini bisa dibaca sebagai mash-up antara “The Love Song of J. Alfred Prufrock” dengan nama karakter kartun Looney Tunes Speedy Gonzales, tikus tercepat di Meksiko, atau dengan nama karakter kartun ini setelah digunakan oleh John Ashbery dalam puisinya “Daffy Duck in Hollywood”. Bentuk puisinya sendiri adalah sebuah contoh “definition poem” yang Oulipoesque, usaha Saut Speedy Gonzalez untuk mendefinisikan “love” seperti entry sebuah dictionary. Love di sini didefinisikan dan redefinisikan berkali-kali dengan berbagai macam metafora, referensi, dan alusi. Salah satu yang khas Saut, surreal, liris, pop, sekaligus obscene, adalah “love is the tampon that you mistook for a Chinese herbal tea-bag”.

Dalam bagian “Rantau” ini, Saut memakai bahasa Inggris yang ia serap selama masa perantauannya sebagai senjata (the pen is mightier than the sword!), bukan untuk melenyapkan anxiety of influencenya yang berasal dari kanon puisi dunia, tapi untuk berdamai dengan influence(s) tersebut. Selain nama-nama yang sudah disebut di atas, influences itu juga termasuk Baudelaire (dalam “after Baudelaire”), Rendra (“After Rendra 3”), Li Po (“homage to Li Po”), Andrei Tarkovsky (“to Andrei Tarkovsky”), René Magritte (“totem–to René Magritte”), Jimi Hendrix (“1966–for Jimi Hendrix”), dan masih banyak lagi.

Dengan referensinya ke penyair non-Inggris (Baudelaire, Li Po, Rendra) dan non-penyair (Tarkovsky, Magritte, Hendrix), Saut seperti ingin menunjukkan kepada puisi bahasa Inggris bahwa jalan keluar dari Puisi Modernis bisa saja berasal dari puisi yang tidak berbahasa Inggris atau bahkan bukan dari dunia puisi!

Namun usul Saut ini pun mungkin tidak sepenuhnya orisinil, karena Ezra Pound, malaikat penolong/Ibu Theresa penyair-penyair Modernis itu, juga pernah mengusulkan hal yang sama dalam kanto-kantonya: menca/uri jalan ke depan setelah Puisi Modern dari Confucius, Dante, Homer, Gaudier-Brzeska, ilmu ekonomi, dan masih banyak lagi. Yang berbeda dari Saut adalah identitas, otobiografi kepenyairannya. Ia menyerang kanon puisi berbahasa Inggris sebagai Caliban, writing back dari dunia ketiga ke pusat empire, sementara Pound, yang sering tidak benar-benar bisa membaca sumber-sumber non-Inggrisnya, menyerang sebagai Prospero, sebagai white master dari pusat empire itu sendiri.

Kesadaran Saut akan posisinya yang khas subyek pascakolonial itu menjadikannya unik di dalam dunia kang ouw sastra Indonesia. Karena alih-alih sadar akan posisi diri mereka yang lahir dari sejarah sastra Indonesia yang always already pascakolonial dan karena itu perlu untuk mempertanyakan, mengkritik, kemudian merevisi pengaruh-pengaruh mereka yang berasal dari kanon sastra Barat, mereka justru mem-fetish-kan pengaruh-pengaruh Barat itu dan menjadi sekelompok penyair inlander yang tidak pernah bisa berdamai dengan, apalagi melampaui!, anxiety of influencenya.

C. Intertekstualitas versus name-dropping
Kalau kritikus sastra Indonesia bicara tentang intertekstualitas saat ini, mereka biasanya akan menyebut nama Nirwan Dewanto sebagai contoh seorang penyair Indonesia kontemporer yang “intertekstual”. Biasanya ini disebabkan karena klaim Nirwan sendiri, atau fakta bahwa ia sering mendedikasikan puisi-puisinya buat penyair/seniman/musisi asing yang jarang terdengar namanya sehingga rasanya o so hipster sekali, atau kalau tidak begitu menyitir baris-baris puisi mereka dalam puisinya sendiri. Tapi bagaimana dan untuk apa Nirwan menyebutkan nama mereka dan menyitir puisi-puisi mereka? Apakah sekedar menyebutkan nama dan atau mengutip baris puisi orang lain cukup untuk menghasilkan puisi yang intertekstual?

Mari kita bahas salah satu puisi Nirwan yang melakukan keduanya, sebuah puisi berjudul “Burung Merak” dari “himpunan” (o so pretentious!) puisinya, “Jantung Lebah Ratu”. Puisi “Burung Merak” ini didedikasikan “untuk Juan José Arreola dan Wallace Stevens”. Wallace Stevens, satu lagi punggawa Puisi Modernis, pernah menulis sebuah puisi berjudul “Anecdote of the Prince of Peacocks”, yang (sepertinya, you’re never sure with Stevens) bercerita secara imagis tentang dunia penyair (“Prince of Peacocks”) yang menakutkan (“I met Berserk”). Puisi Nirwan “Burung Merak” (hampir pasti, karena hampir semua puisi Nirwan selalu tentang betapa menyiksanya menjadi seorang penyair) juga tentang dunia penyair yang menakutkan. Dalam “Burung Merak”, penyair diumpamakan sebagai “pemburu”: “Ia sering mengaku tahu rahasia semua jalan yang dilalui para pemburu. Sebenarnya mereka adalah kaum penyair…”. Paragraf (puisi ini berbentuk puisi prosa, seperti layaknya sebuah puisi Nirwan Dewanto) yang mengutip Stevens langsung berbunyi begini: “Tetap saja ia merasa lebih tinggi ketimbang segala pohon dan lebih luas ketimbang hutan sebab ia mampu menjangkau matahari dengan matanya dan laut dengan telinganya. (Aku berhutang ungkapan ini kepada seorang penyair dari negeri putih, pegandrung burunghitam, yang hampir saja menjebaknya di pinggir hutan. Sejak itu aku tahu bahwa pena lebih tajam ketimbang pedang. Ah, sungguh harfiah, bukan?)” Sekarang bandingkan dengan “ungkapan” aslinya: (stanza ketiga dari “Six Significant Landscapes”) “I measure myself against a tall tree. I find that I am much taller, for I reach right up to the sun, with my eye; and I reach to the shore of the sea with my ear.” Selain itu, “burunghitam” berasal dari salah satu puisi Stevens yang paling terkenal “Thirteen Ways of Looking at a Blackbird” (perhatikan cara penulisan “burunghitam” yang disambung dan tak wajar dan berhutang banyak pastinya kepada cara Stevens mengeja “Blackbird”), yang mise-en-scènenya “Among twenty snowy mountains” di (sepertinya, you’re never sure with Stevens) Haddam, Connecticut, 26,8 mil dari ibukota Connecticut, Hartford, tempat Stevens menghabiskan kebanyakan masa hidupnya menulis puisi dan bekerja di perusahaan asuransi. Dibandingkan dengan Hartford, Haddam di tahun 1917 (tahun penerbitan “Thirteen Ways of Looking at a Blackbird”) pasti memang terkesan seperti “pinggir hutan”! Sementara itu, “pena lebih tajam ketimbang pedang” adalah terjemahan verbatim dari pemeo Inggris “The pen is mightier than the sword”, yang pertama kali muncul in print di naskah drama penulis Inggris Edward Bulwer-Lytton, “Richelieu; Or the Conspiracy”.

Sekarang bandingkan cara “berhutang” Nirwan Dewanto kepada Stevens dengan cara berhutang Saut kepada Eliot seperti dideskripsikan sebelumnya. Betapa “sungguh harfiah”-nya memang cara Nirwan menyitir Stevens! Bahkan sampai ke subject matter puisinya sendiri! Mana distorsinya, mana revisinya, seperti yang dilakukan Saut? Intertekstualitas, menurut Julia Kristeva yang meng-coin istilah ini, selalu mengandung sebuah transformasi. Mana transformasi teks Stevens dalam (kon)teks puisi Nirwan? Tidak ada!

Kemudian pertimbangkan kebenaran satu lagi pemeo terkenal dari Eliot berikut ini: “immature poets imitate; mature poets steal; bad poets deface what they take, and good poets make it into something better, or at least something different.”

Mungkin menunjukkan bahwa “intertekstualitas” Nirwan Dewanto adalah satu lagi kasus “The Emperor’s New Clothes” dari pujangga-pujangga adiluhung kantong budaya Salihara bukan raison d’être utama Saut menulis puisi-puisinya, karena intertekstualitas itu sendiri adalah salah satu kondisi utama Modernisme, dan Saut sebagai penyair yang sangat dipengaruhi oleh Modernisme dan terus-menerus bergulat dengan pengaruh itu mungkin secara alami dan secara sadar (menggunakan bakat alam dan intelektualismenya!) menggunakannya sebagai salah satu modus operandi kepenyairannya. Namun, mengingat bahwa menunjukkan kenyataan kalau the Salihara emperors have actually got no clothes on adalah salah satu raison d’être politik sastra Saut selama ini, jangan didiskon dulu kemungkinan bahwa Saut memang sengaja mengkurasi puisi-puisi yang menonjolkan intertekstualitas yang sebenarnya dalam kumpulan otobiografi ini–untuk mengekspos dusta hagiografi penyair-penyair sok intertekstual dari KUK/Salihara!

“The only real emotion is anxiety”  
Begitu kata satu lagi pentolan Modernisme, Freud. Kumpulan puisi otobiografi ini pada akhirnya memang sebuah otobiografi kepenyairan Saut Situmorang, kisahnya berjuang dengan anxiety of influence(s)nya, yang membawanya merantau dari Puisi Modernis-Imagis ala Eliot kemudian migrasi ke puisi Beat ala Ginsberg, puisi Négritude ala Cesaire, time travel ke puisi-puisi surrealis Rimbaud, memulung found poetry, membetot balada-balada blues ala Rendra, mengutuk-sumpahi Eros seperti Chairil, mengutuk-sumpahi Orba seperti Wiji Thukul–dan along the way writing back dengan penuh gusto (and not a little cursing!) dari prakondisi pascakolonialnya, dengan jitu mengidentifikasi bahwa semua pengaruh-pengaruh itu harus didistorsi, dikritisi, dan direvisi, kalau ia memang ingin otobiografi kepenyairannya punya identitas sendiri.***

*Mikael Johani, penyair dan kritikus posmo, tinggal di Ciledug, Tangerang.

Selengkapnya: ABC of Saut Situmorang

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas