Oleh Musa IsmailPADA suatu ketika, Chairil Anwar pernah
berkata kepada isterinya, mengenai cita-citanya. ‘’Gajah, kalau umurku
panjang aku akan jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,’’ katanya.
(Panggilan kesayangan terhadap isterinya (Hapsah Wiriaredja) adalah
Gajah karena badannya gemuk).
‘’Ah, kalau umurmu panjang, kamu bakal masuk penjara,’’ gurau isterinya. Kemudian, Chairil melanjutkan lagi.
‘’Tapi, kalau umurku ditakdirkan pendek, anak-anak sekolah akan berziarah ke kuburku menabur bunga,’’ demikian katanya.
***
Hari
itu, 26 Juli 1922, Chairil Anwar lahir. Penanggalan kelahirannya ini,
menjadi penanggalan bersejarah sehingga lahirlah Hari Puisi Indonesia
(HPI) yang diprakarsai penyair dan novelis Rida K. Liamsi dan Agus R
Sarjono. Penetapan hari kelahiran Chairil Anwar sebagai HPI sungguh
berdasar jika kita lihat ketotalannya di dalam dunia kepenyairan dan
kemerdekaan berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia menjadi lebih hidup,
merdeka, liar, dan mampu membuncahkan nasionalisme.
Hari itu, 24
April 1949, Chairil ‘binatang jalang’ Anwar telah ‘’pergi’’ meninggalkan
dunia baka di tengah gerimis siang hari. Seorang penyair agung yang
pernah ada di tanah air. Kalau disebut dan dipertanyakan siapakah
Chairil Anwar, orang cepat-cepat menjawab sekaligus membacakan puisi
berjudul ekspresionis ‘’Aku’’, yang dilahirkannya dalam usia baru
sekitar 21 tahun.
“Aku mau hidup seribu tahun lagi” kata si
binatang jalang itu dalam ekspresi keakuannya pada 1943. Kedewasaannya
memilih diksi sehingga menghasilkan larik-larik mapan (
establishment)
dalam puisi-puisinya. Penulis ‘’Derai-Derai Cemara’’ ini juga dianggap
sebagai pelopor Angkatan 45 dalam periodeisasi kesusastraan Indonesia.
Dalam kurikulum lembaga pendidikan formal, para pelajar diperkenalkan
dengan penyair ini dan karyanya. Sangkaan Chairil memang benar.
Anak-anak sekolah akan senantiasa ‘berziarah’ melalui karya-karyanya. Di
dalam kelas, Chairil diperkenalkan oleh para guru kepada pelajar
sebagai penyair yang vitalitas. Bukan hanya sebatas perkenalan, tetapi
juga melakukan analisis terhadap karya sastranya.
Kita tidak
hanya membicarakannya melalui karya-karya, tetapi juga mempergunjingkan
lewat biografi-nya. Itulah bukti nyata seperti apa yang dikatakan oleh
Scholes, ‘’
Cogito ergo sum’’. Artinya, ‘’Akulah tulisan yang
kuhasilkan, akulah tulisan itu sendiri’’. Chairil telah berkreativitas
di dunia sastra. Beliau dapat disebut orang yang telah mengembangkan
pendapat ‘’cogito ergo sum’’. Dari larik-larik puisi ‘’Aku’’, tergambar
vitalitas dan kejalangan Chairil. Dia merupakan simbol seniman besar
Indonesia.
Sapardi Djoko Damono pernah menulis tentangnya dengan judul
Chairil Anwar Kita.
Dalam tulisannya itu dikatakan, bukan seperti Rustam Effendi, Sanusi
Pane, atau Amir Hamzah. Chairil dianggap memiliki seperangkat ciri
seniman khusus, yaitu: tidak memiliki pekerjaan tetap, suka keluyuran,
jorok, selalu kekurangan uang, penyakitan, dan tingkah lakunya
menjengkelkan. Dari ciri-ciri itulah, lahir semacam anekdot yang berlaku
untuk semua seniman. Masyarakat beranggapan bahwa seniman tidak
berminat mengurus jasmaninya dan sering tergoda dengan khayalannya:
bohemian.
‘’Aku mau hidup seribu tahun lagi’’ kata Chairil.
Tetapi sayang, dia meninggal dalam usia relatif muda. Chairil mewariskan
semboyan masa depan; suatu masa yang akan kita lalui bersama untuk
mencapai tujuan ke arah suatu perubahan. Chairil meninggalkan kita
setelah waktu kepenyairannya menggapai puncak, tetapi ‘’kerja belum
selesai/belum apa-apa,’’ itu katanya. Dengan usia yang muda, dia telah
mencapai titik kulminasi kepenyairannya. Situasi dan kondisi ini
memungkinkan kita untuk melakukan pembahasan lebih intensif tentang
keberadaanya di dunia seni (baca: sastra).
Tanpa kita sadari,
kadang-kadang masyarakat awam mengutip beberapa larik puisi Chairil.
Kutipan larik puisinya dihidupkan kembali di atas mimbar pidato atau
spanduk-spanduk. Apalagi pada zaman penjajahan Jepang. Ketika itu,
negara kita berjuang keras untuk menumpas penjajahan. Sekarang pun,
semboyan itu merupakan kalimat-kalimat mutiara yang sering dimunculkan.
Kita sering mendengar kalimat ‘’Aku masih tetap sendiri’’, yaitu
merupakan kalimat penerimaan dari seseorang yang sedang menjalani fase
percintaan (puisi berjudul ‘’Penerimaan’’). Seruan ‘’Merdeka!’’
tergambar dalam puisinya yang bertajuk ‘’Merdeka’’, yang menggambarkan
ekspresi dan keinginan hidup dalam alam kebebasan. Merdeka dari semua
belenggu kehidupan.
Larik yang lain adalah ‘’Hidup hanya menunda
kekalahan’’ yang terdapat dalam puisi ‘’Derai-Derai Cemara’’. Kekalahan
terakhir adalah kematian. Hanya semangat kehidupanlah yang dapat
memperlambat datangnya kematian. ‘’Sekali berarti sudah itu mati’’,
merupakan larik yang berpretensi agar manusia berbuat sesuatu yang penuh
berarti dalam kehidupan sebelum dijemput maut. Masih banyak larik-larik
puisi Chairil yang sempat dijadikan semboyan. Larik-larik puisinya
dicabik-cabik dari konteks sebenarnya secara utuh, yang disesuaikan
dengan objek pembicaraan.
Tidak heran jika Agus R Sarjono
berpendapat bahwa nama Chairil yang besar nampaknya lebih dimungkinkan
oleh sajak-sajaknya yang berjenis sastra mimbar seperti ‘’Aku’’,
‘’Catatan Tahun 1946'’, ‘’Perjanjian dengan Bung Karno’’, dan ‘’Kerawang
Bekasi’’ (saduran dari sajak ‘’The Young Dead Soldiers’’ karya
Archibald MacLeish). Sastra Mimbar, kata Agus, ditandai beberapa ciri,
yaitu temanya cenderung merupakan tema-tema zaman. Puisi-puisi dalam
jenis Sastra Mimbar cenderung berisi akupublik, berlatar sosial yang
dahsyar seperti revolusi, perang, dan sejenisnya.
Sikap setia
Chairil terhadap dunianya sangat jelas tergores dalam puisi-puisi dan
surat-suratnya yang ditujukan kepada H.B. Jassin. Kesetiaan ini juga
merupakan suatu keistimewaan Chairil karena tidak sedikit penyair yang
justru terputus dari kesetiaannya. Dunia yang selalu menjadi teman setia
‘binatang jalang’ ini adalah dunia kepenyairannya sebagai seniman
(sastrawan sejati).
Sikap selalu saja berubah. Suatu kesetiaan
seperti yang telah ditancapkan Chairil memang cukup sulit untuk
mencarinya. Ini berarti bahwa telah tertanam suatu prinsip dalam
kepribadian Nini (begitu panggilan akrab yang diinginkan Chairil, pen).
Sebagai manusia, senantiasa menginginkan kesetiaan. Namun, sikap ini
terkadang bertolak belakang dengan realita kehidupan sosial. Sikap
idealis sering bertembung dengan keadaan nyata dalam kehidupan.
Ternyata, Chairil memang istimewa. Kesetiaannya itu dapat kita lihat
dalam suratnya kepada HB Jassin berikut.
Jassin, dalam kalangan
kita setengah-setengah, bersimaharajalela benar. Kau tentu tahu ini. Aku
memasuki kesenian dengan sepenuh hati. Tapi, kini lahir aku yang hanya
bisa mencampuri dunia kesenian setengah-setengah pula. Tapi, untunglah
batin seluruh hasratku dan minatku sedari umur 15 tahun tertuju ke titik
satu saja, kesenian.
Chairil Anwar, dalam perjalanan di Jawa Timur (8 Maret 1944)
Isi
surat Chairil tersebut telah memperlihatkan kepada kita tentang sikap
kesetiaannya. Kesetiaannya sebagai seorang yang meminati dunia kesenian.
Kemudian, di hari yang sama, tercatat Kartu Pos, 8 Maret 1994, Chairil
melayangkan sepucuk surat lagi kepada kritikus sastra itu. Isinya
sebagai berikut.
Jassin, tidak Jassin, aku tidak akan kembali ke
prosa seperti dalam pidato di depan Angkatan Baru dulu! Prosa seperti
itu sebenarnya membubung, mengawang tinggi saja, karena keintensiteitan
menulis serasa aku mendera jadinya, tetapi tiliklah setelitinya sekali
lagi, dengan prosa seperti itu aku tidak sampai ke perhitungan.
Sedangkan maksudnya aku akan bikin perhitungan habis-habisan dengan
begitu banyak di sekelilingku.
Prosaku, puisiku juga, dalamnya
tiap kata akan kugali korek sedalamnya, hingga ke kernwoord, ke
kernbeeld. (sudah kumulai dengan sajak-sajak penghabisan, ‘’Di Depan
Kaca’’, ‘’Fortisimo’’, dll)...
Puisi memang telah menjadi pilihan
terakhir Chairil. Baginya, prosa dalam arti sebenarnya adalah banyak
penyimpangan dari batinnya sebagai penyair. Prosa telah mendera batinnya
dan itu sangat dirasakan oleh dirinya sendiri. Karena itu, dia
mengatakan kepada Jassin bahwa prosanya sama dengan puisi atau puisinya
sama dengan prosa. Melalui puisi, Chairil menggali kehidupan manusia
dengan ‘cangkul’ kata.
Pernyataan Chairil memang nyata tercermin
dalam sikapnya sebagai penulis. Dia memperlihatkan aktivitas dan
kreativitasnya di bidang puisi secara maksimal jika dibandingkan dengan
prosa. Keagungan namanya, berkat puisi-puisi yang telah dilahirkan dari
resa dan minatnya sejak berusia lima-belas tahun. Dalam pandangannya,
puisi merupakan lapangan yang lebih khas dan pas buat batin seorang
penyair seperti dirinya.
Dengan sikap setia ini, Chairil telah
dibawa angin kepiawaiannya menukilkan larik-larik yang dewasa. Dalam
kepiawaiannya sebagai penyair, tidak ada kerja asal-asalan dalam
menggubah kata-kata. Pilihan kata (diksi) sering menjadi tumpuan
utamanya dalam menulis puisi. Ketika Chairil melahirkan ‘’Aku’’, banyak
sekali coret-moret perkataan yang dianggapnya kurang sesuai dengan
kepribadian dan ekspresi yang diinginkannya.
Bagi Chairil, puisi
merupakan dunianya. Keseimbangan antara pernyataan dan perbuatan
dihasilkannya secara teserlah dalam salah satu puisinya yang berjudul
‘’Rumahku’’ (27 April 1943). Mari kita simak kesetiaan ‘binatang jalang’
dalam dunia puisinya.
Rumahku dari unggun-timbun sajak/Kaca
jernih dari luar segala nampak//Kulari dari gedong lebar halaman/Aku
tersesat tak dapat jalan//Kemah kudirikan ketika senjakala/Di pagi
terbang entah ke mana//Rumahku dari ungun-timbun sajak/Di sini aku
berbini dan beranak//Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang/Aku tidak
lagi meraih petang/Biar berleleran kata manis madu/Jika menagih yang
satu//Dalam ‘’Derai-Derai Cemara’’ Chairil berkata.
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerahSi
‘Binatang Jalang’ sudah menyerah. Ia pergi dengan meninggalkan
reputasi; mulai dari anak kurang ajar sampai pada pencuri. Ia adalah
seorang bohemian. Banyak orang mengira bahwa ia adalah seorang petualang
kumuh. Tidak. Chairil selalu berpakaian rapi. Kerah kemejanya selalu
kaku karena dikanji, bajunya senantiasa disitrika licin. Ia bahkan boleh
dikatakan dandy. Orang ingat pada matanya yang merah. Ia tidak
mengerikan. Ia adalah seorang periang dan seorang sahabat yang baik
(Asrul Sani dalam ‘’Derai-Derai Cemara’’: xx). Si ‘’Binatang Jalang’’
memang sudah menyerah. Selain reputasi, kepergiannya pun telah
meninggalkan kesetiaan.
***
Chairil Anwar lahir di Medan,
26 Juli 1922. Ayahnya bernama Toeloes dan ibunya adalah Saleha. Kedua
orangtuanya berasal dari Sumatera Barat. Dia meninggal pada usia 26
tahun 9 bulan. Isterinya bernama Hapsah Wiriaredja, lahir di Cicuruk,
Sukabumi, pada 11 Mei 1922. Kedua orangtua isterinya berasal dari Jawa
Barat. Isterinya bekerja di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan hingga
pensiun, meninggal dalam usia 56 tahun (9 Mei 1978). Dalam keluarga,
panggilan akrab Chairil Anwar adalah Nini. Kepada isterinya, Chairil
berpesan begini, ‘’Eva jangan diajari panggil aku papa, tapi Nini, atau
Chairil saja.’’ Chairil Anwar hanya meninggalkan satu anak perempuan
bernama Evawani Alissa.
Ayahnya, Toeloes, berasal dari kenegerian
Taeh, 50 Kota (Sumbar), yang bekerja sebagai pamongpraja di Sumatera
Utara. Pada zaman revolusi kemerdekaan, ayahnya menjadi Bupati
Indragiri, keresidenan Riau. Sedangkan ibunya, berasal dari Koto Gadang
(Sumbar), yang masih memiliki pertalian keluarga dengan ayah Sutan
Sjahrir.
Masa kanak-kanak hingga masa remaja Chairil dihabiskan
di kota kelahirannya, Medan. Dia masuk sekolah Belanda HIS (Hollands
Inlandsche School, setingkat SD). Di sana, Chairil kecil sudah
menampakkan diri sebagai siswa cerdas dan berbakat dalam menulis.
Kemudian, Chairil melanjutkan sekolahnya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs, setingkat SLTP). Ketika di kelas dua, pada usia 19 tahun,
Chairil hijrah ke Jakarta mengikuti ibunya, sebagai protes terhadap
ayahnya yang menikah lagi dan bercerai dengan ibunya. Karena kesulitan
ekonomi pada masa kolonial Jepang tahun 1942, akhirnya Chairil putus
sekolah.
Di masa putus sekolah itu, Chairil tidak putus belajar.
Di Jakarta, daia mengisi waktunya dengan membaca sebanyak-banyaknya
karya sastra Indonesia, Belanda, Jerman, Inggris, Amerika, dan berbagai
terjemahan sastra dunia. Sebagai pelajar MULO, otomatis Chairil
menguasai tiga bahasa asing, yaitu Belanda, Inggris, dan Jerman secara
aktif. Bahasa daerah yang dikuasainya adalah bahasa Minang. Ketiga
bahasa asing inilah yang mengantarkan Chairil pada karya-karya sastrawan
dunia sebagai rujukan yang berhasil disadur dan diterjemahkan.
Keberhasilannya menyadur dan menerjemahkan karya puisi dan cerpen Andre
Gide, John Steinbeck, Rainer Maria Rilke, Ernest Hemingway, W.H. Auden,
Conrad Aiken, John Cornford, Hsu Chih-Mo, Archibald Macleish, Willem
Elsschot, H. Marsman, Edgar du Perron, J. Slauerhoff, dan lain-lain,
telah menyudutkan Chairil pada kleim kritikus sastra sebagai plagiator,
penyadur, atau penerima pengaruh berat dari karya-karya itu.
Chairil
semakin memperlihatkan kematangannnya sebagai penyair yang menyerahkan
hampir seluruh perjalanan kehidupannya dengan penuh kesetiaan untuk
sastra. Di antara kredo penciptaan puisinya yang sangat menarik
adalah,Puisiku tiap kata akan kugali-korek sedalamnya hingga ke
kernwoord, ke kernbeeld. Dalam Pidato Radio tahun 1946, Chairil
menegaskan kembali pendapatnya, bahwa sebuah sajak (puisi) yang menjadi
adalah suatu dunia. Dunia yang dijadikan, diciptakan oleh si penyair.
Tiga
kumpulan puisi Chairil, yaitu Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam
dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949), atau Tiga Menguak Takdir
(1950kumpulan puisi bertiga dengan Asrul Sani dan Rivai Apin), merupakan
sejumlah puisi yang selama bertahun-tahun hidup dan memompakan
antusiasme dalam sejarah sastra Indonesia, sekaligus referensi yang
telah memasuki lubuk teks dunia pendidikan dan bidan kajian sastra.
Chairil juga menjadi bagian tersendiri dalam kajian atau penelitian
mengenai sastra yang ditulis sastrawan Indonesia. Terjemahan puisinya
dalam bahasa Inggris adalah Selected Poems of Chairil Anwar (1962) dan
The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar (1970) oleh Burton
Raffel, The Complete Poems of Chairil Anwar (1970) oleh Liauw Yock Fang,
dan dalam bahasa Jerman adalah Feuer und Asche oleh Walter Karwath.
Nama
Chairil Anwar mulai dikenal di lingkungan seniman dan budayawan Jakarta
ketika ia berusia 21 tahun 1943. Pada masa itu, ia sering datang ke
kantor redaksi majalah Pandji Poestaka mengantarkan puisi-puisinya.
Pergaulannya dengan para sastrawan dan budayawan senior makin luas
ketika ia kerap muncul di Keimin Bunka Shidoso, pusat kebudayaan yang
diprakarsai oleh tentara pendudukan Jepang.
Chairil sempat
bekerja menjadi redaksi majalah Gema Suasana (1948). Ia hanya bertahan
selama tiga bulan di sana (Januari-Maret), kemudian kelua dan bekerja di
mingguan berita Siasat. Di sana, ia menjadi anggota redaksi ruang
kebudayaan Gelanggang bersama Ida Nasoetion, Asrul Sani, dan Rivai Apin.
Dia salah seorang pemikir yang memberikan kontribusi lahirnya Surat
Kepercayaan Gelanggang.
Untuk menghormati kepenyairan Chairil,
Dewan Kesenian Jakarta memberikan Anugerah Sastra Chairil Anwar, pertama
kepada Mochtar Lubis di tahun 1992 dan kedua kepada Sutardji Calzoum
Bachri tahun 1998.
Chairil menikah dengan Hapsah Wiradiredja, 6
September 1946. Putri mereka satu-satunya adalah Evawani Alissa, lahir
17 Juni 1947. Eva tamatan Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, bekerja
sebagai notaris di Jakarta.
Chairil Anwar cukup lama mengidap
penyakit paru-paru. Pada akhirnya, di usia 26 tahun 9 bulan, beliau
meninggal dunia. Warisan karyanya tidak terbilang besar, yaitu 70 puisi
asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa
terjemahan. Namun, dia telah mampu mengilhami kita untuk mengekspresikan
pikiran, perasaan, dan estetika dalam bahasa Indonesia yang penuh
tenaga..
Seperti memenuhi makna yang profetik dalam bait
puisinya: di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru angin,
penyair utama ini meninggal pada 28 April 1949 dan dikebumikan di
Pemakaman Karet. n
Musa Ismail, guru SMAN 3 Bengkalis.
Sumber:
Riau Pos, Minggu, 4 Agustus 2013
Sumber
http://cabiklunik.blogspot.com/2013/08/hari-puisi-indonesia-mengenang-binatang.html