Tiga Puisi Ekohm Abiyasa di INDOPOS, edisi Sabtu, 31 Agustus 2013

Saturday, 31 August 2013

Sumber gambar.
Pohon Puisi

ini adalah hari terakhir aku melihat indah matahari
atau pelangi senja yang memesona

aku tak tahu apakah bertunas dan tumbuh
puisi-puisi yang kutanam pada tanah tak bernama

aku tak tahu apakah ia akan berdaun lebat dan berbunga
ataukah berbuah manis
pada hidup yang gerimis

aku tak tahu pula apakah ia akan menjadi tonggak pelindung
bagi dahaga burung-burung
ataukah menjadi ladang berkah bagi para petani
sebagai mata air

aku tak tahu apakah ia akan menjadi semacam pohon rindang
; teduh nan tinggi
bagi aneka rupa dalam telaga warna
nyawa-nyawa yang berkoloni

aku hanya ingin menikmati hari-hari sisa
menanam lagi huruf-huruf di ladang sunyi
memberi pupuk bagi diksi
memberkahi air pada jeda senja

aku hanya ingin menanam benih
dan terus menanam
hanya waktu dan Tuhan
sepantasnya berkah
sepantasnya berkah

Agustus 2013



Mata Air Bunga

mawar sekuntum
mekar di taman-taman
pelataran hatiku

Tuhan, bawakanlah air seteguk ke dalam hatinya
wanita paling bunga

Tuhan, jadikanlah air sari bunga-bunga
mata air dalam hidupnya

Agustus 2013



Puisi atau Mati

kesedihan kembali saat cahaya merambat pelan
puisi ini menguatkanku
untuk bertahan

mencoba mengambil mimpi-mimpi
mengurai di puisi
mimpi-mimpi absurd
merayakan hidup

Agustus 2013


Link INDOPOS.

*Ini tiga dari delapan puisi yang kukirim ke INDOPOS, Minggu, 25 Agustus 2013
*Ada kesalahan sedikit di epaper INDOPOS, seharusnya Malam Sekopi Sunyi, bukan Sekopi Sunyi. Tempat bergiat Bengkel Sastra Surakarta, bukan Bengkel Sastra Rabu Malam (Pasar Malam)
Selengkapnya: Tiga Puisi Ekohm Abiyasa di INDOPOS, edisi Sabtu, 31 Agustus 2013

Membebaskan Bahasa dari Belenggu Kuasa

Sunday, 25 August 2013

Oleh Hanum Fitriah

BAHASA dalam kultur patriarkhi cenderung mengarah kepada penempatan perempuan sebagai objek, karena bahasa dikuasai orde laki-laki. Segala kepentingan disetting agar sesuai dengan kehendak dominasi patriarkhi. Ayu Utami, Maria Hartiningsih dan Gadis Arivia barangkali adalah sedikit diantara orang-orang yang berusaha membebaskan bahasa dari belenggu kuasa laki-laki. Bahasa kemudian diproyeksikan dengan aras kesetaraan gender. Bahwa bahasa yang peka terhadap gender adalah yang tidak menggunakan letupan kekerasan dan eufemisme.

    Ayu Utami misalnya, dalam novel Saman dan Larung, ia menolak menggunakan eufemisme. Apa yang dikatakan sebagai "titit" ia tulis dengan "titit", bukan "alat vital". Bagi Utami, ini bukan semata perspektif kesetaraan gender, namun lebih karena ingin membebaskan bahasa Indonesia dari eufemisme berlebihan. Penggunaan kata "alat vital" justru terkesan erotis dan hegemonik. Pilihan diksi "titit" adalah ekspresi penggambaran atas lampahan sebuah penghinaan. Tidak ada unsur erotis di sana.

    Begitu pula ketika Utami menceritakan kisah penyebutan Adam terhadap organ-organ tubuhnya. Ia menggunakan diksi "puting yang dihisap". Orang lain barangkali menyebutnya sebagai bahasa yang seronok dan tidak layak dihidangkan dalam bahasa tulis, tapi bagi Utami, diksi itu lebih mengutarakan penguasaan perempuan terhadap dirinya sendiri daripada harus diterjemahkan dengan bahasa konotatif berdalih eufemisme ala patriarkhi.

    Taufik Ismail menyebut karya sastra yang menolak eufemisme semacam itu sebagai sastra madzhab "selangkangan". Keterbukaan bahasa dan vulgaritas makna dianggap tak sesuai dengan kultur Nusantara yang mengedepankan etika komunikasi yang lebih "santun". Habiburrahman el-Syirazy justru secara terang menyebut karya itu sebagai karya yang tak punya nilai estetika bahasa.

    Jelaslah, perdebatan di atas muncul karena latar perspektif yang digunakan masing-masing berbeda. Sementara Utami tidak mau terikat oleh norma apapun untuk melakukan humanisasi bahasa; baik dari maskulinitas, feminimitas maupun agama. Intinya, dia ingin mengembalikan bahasa sesuai fitrah asalnya. Karena eufemisme bahasa yang seksis sarat kepentingan jenis kelamin tertentu. Bahasa tidak netral. Karenanya, harus dibebaskan.

    Motif menolak eufemisme adalah menguliti kepentingan-kepentingan seksisme bahasa dan membongkar substansi yang disembunyikan. Ia mengajak untuk keluar dari kesembunyian diri dan keterbukaan kata hati. Makanya, secara normatif, pilihan diksi kata eufemisme cenderung disebut vulgar, bebas, sarkastik dan tidak halus. Ini yang menjadi titik tekan erosi etika dan estetika bahasa dalam eufemisme.

    Padahal, etika juga perlu digunakan dalam kultur komunikasi massa. Dalam sejarah Islam misalnya, orang sekelas Michael H Hart menempatkan Nabi Muhammad sebagai tokoh di rangking pertama yang paling berpengaruh sepanjang peradaban manusia. Bukan karena keberhasilan sejarah Nabi melakukan ekspansi misionaris agama yang sukses dalam waktu singkat (23 tahun) semata, tapi karena strategi yang digunakan memang menarik. Termasuk membangun kesetaraan perempuan yang di kala itu tak pernah mendapatkan tempat terhormat di mata masyarakat.

    Toh demikian, cara yang digunakan dalam kerangka membangun kesetaraan gender Nabi tetap menggunakan etika dan estetika bahasa. Ini menjadi tuntutan profesionalitas sebagai Nabi karena estetika bahasa ketika itu sudah menjadi gaya hidup. Status kehormatan seseorang di masyarakat sukuisme Arab ditentukan sejauh mana ia mampu menciptakan karya estetik dalam bentuk puisi syair dan pantun.

    Ketika menyebut alat kelamin (baik perempuan maupun laki-laki), Nabi menggunakan eufemisme bahasa. Ukuran sekarang, mungkin lebih halus daripada eufemisme normatif. Bukan alat vital (Arab: dzakar/farji) yang dipilih untuk mengungkapkan jenis kelamin. Lebih eufimis Nabi menyebutnya dengan ma wara al izar: yang dibalik sarung/rok/jarik.

    Bagi saya, ini lebih etis, estetis dan mengena. Menjelaskan fungsionalitas alat fital, orang tak perlu diterangkan secara gamblang. Hanya dengan simbol, kerja pikir setiap orang akan serta merta secara naluriah memiliki pemahaman sendiri. Ini hanya sebagai tamsil saja. Bahwa membebaskan bahasa untuk dikembalikan kepada fitrah makna asalnya agaknya memang perlu estetika. Bukankah begitu idealnya? n
   
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 24 Agustus 2013
Sumber http://cabiklunik.blogspot.com/2013/08/membebaskan-bahasa-dari-belenggu-kuasa.html
Selengkapnya: Membebaskan Bahasa dari Belenggu Kuasa

Gradag-Grudug bersama Umbu Landu Paranggi, dkk 13-14 Juli 2013 (Dok. Wayan Jengki Sunarta)

Sunday, 18 August 2013

"ingat...Bali pasti kembali...itu pelajaran malam jelang subuh..." (Umbu sedang mengajari anak angkatnya bikin PR)
sedang sibuk belajar kelompok...PR menulis puisi

ayah dan anak angkatnya..

Beginilah cara Mahaguru Umbu Landu Paranggi mencari, menemukan, dan memotivasi bakat calon muridnya....

Gadis manis yang duduk di depan Umbu di foto ini bernama Vio, pelajar SMAN 3 Denpasar. Vio suka menulis dan aktif di koran dinding sekolahnya. Vio adalah puteri pemilik rumah makan Padang Ampera Saiyo yang berlokasi di Kelandis, Denpasar. Suatu kali kami makan pagi di warung itu dan ngobrol bersama Vio soal kesusastraan, kesenian, dan semacamnya. Umbu nimbrung dan tertarik dengan bakat menulis Vio.

Dan...pada minggu 14 Juli, jam setengah empat pagi, sehabis kongkow di kantin Pos Kepundung, kami nyamperin warung makan Ampera Saiyo. Umbu membawa dua buku puisi dan minta pada saya untuk memberikan pada Vio agar dibubuhi tanda tangan di halaman belakang yang kosong dan nomor hape serta data diri yang lengkap. Saya bertugas membonceng Umbu ke warung itu, kawan-kawan lain membuntuti. Sepanjang jalan, Umbu ngoceh soal Vio beserta talenta terpendam gadis lugu itu. Sembari dengarin Umbu ngoceh, saya yang agak mabuk hampir nyeruduk pembatas jalan, Umbu kaget dan motor hampir kehilangan keseimbangan. Bayangkan saja, saya yang kecil mungil membonceng Umbu yang badannya besar dan berat. Karena dalam kondisi pengaruh bir dan mengantuk, saya berusaha konsentrasi membonceng cucu salah satu raja Sumba ini. Piuhhh....akhirnya sampai di warung padang.

Umbu langsung menyuruh saya menemui Vio. Ibu Vio sibuk meladeni pembeli yang akan sahur. Saya berbisik pada ibunya, "Tante, Vio dimana?" Ibunya jawab, "lagi tidur."

Saya melaporkan pada Umbu bahwa Vio lagi tidur. Umbu langsung berujar dengan semangat 45, "Bangunkan dia!" Waduhhh, gawattt, saya bertugas membangunkan anak gadis orang di waktu subuh. Dengan agak ragu saya kembali masuk ke dalam warung langganan kami itu. Kembali saya berbisik pada ibunya, "Tante, tolong bangunkan Vio yaa. Guru kami mau bertemu." Ibu Vio berkata, "Sebentar yaa, Jengki"

Tak berapa lama, Vio muncul di depan kami dengan wajah masih mengantuk. Belum sempat Vio duduk, Umbu langsung menghujani gadis lugu itu dengan kuliah pagi soal pentingnya puisi, kesenian, bakat, teknik menulis, koran dinding, generasi muda, dan sebagainya. Di pagi buta itu Umbu tampak bersemangat dan sangat yakin telah menemukan bakat baru. Vio mendengar dan berusaha menyimak kuliah pagi itu dengan takzim dan terbengong-bengong. Sambil mengunyah nasi padang yang gurih, Umbu semakin gembira dan semangat memberi kuliah puisi.

Jam setengah enam pagi, kami kembali ke Pos Kepundung. Sepanjang jalan, Umbu kembali ngoceh soal Vio dan bakatnya. "Saya yakin, Jengki, Vio bakal jadi...Orang Padang memang lain...Tolonglah kau tuntun-tuntun dia...Kasik tau lagi dia agar kirim-kirim puisi atau prosa liris...". Sambil pegang stang motor agar tak oleng kemoleng, saya menemani segala ocehan Umbu dengan : "Iya, Bung...Iya, Bung...Iya, Bung.."

Dan....soal Vio akan rajin nulis puisi dan kirim puisi ke rubrik sastra yang digawangi Umbu, yaaa...kita tunggu aja....hehe

Pertemuan mengharukan kakak-beradik yang lama berpisah. (Bukan kandung)

Sumber foto facebook bli Wayan Jengki Sunarta
Selengkapnya: Gradag-Grudug bersama Umbu Landu Paranggi, dkk 13-14 Juli 2013 (Dok. Wayan Jengki Sunarta)

Pekan Hari Puisi Indonesia: Memartabatkan Puisi

Wednesday, 14 August 2013

Oleh Fedli Azis

Pada 26 Juli 2013 lalu menjadi perayaan besar bagi seniman di Indonesia. Hari lahir sastrawan ternama Chairil Anwar yang telah ditetapkan sejak 22 November 2012 di Pekanbaru-Riau itu dikenal dengan nama Hari Puisi Indonesia (HPI). Daerah-daerah pun menggelar helat HPI pertama, tak terkecuali Jakarta dengan nama Pekan Hari Puisi Indonesia.

PEKAN Hari Puisi Indonesia menandai Hari Puisi Indonesia I, yang diselenggarakan 25-30 Juli 2013 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Helat itu dilaksanakan dengan sepenuh hati dan segenap kemampuan, tenaga, fikiran dan waktu dicurahkan untuk mengangkat puisi bermartabat dan memiliki tempat terhormat.

Seirama dengan kegiatan Pekan Hari Puisi Indonesia, di daerah-daerah menyelenggarakan Hari Puisi Indonesia dengan cara masing-masing. Daerah yang melaksanakan perayaan Hari Puisi Indonesia yang perdana itu seperti di Sumatra: Aceh, Riau, Kepulau Riau, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Jambi, Sumatra Selatan. Di Jawa seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Yogyakarta. Di Bali dan Kalimantan Selatan.

Perayaan Hari Puisi Indonesia juga melahirkan terciptanya Lagu Mars Hari Puisi Indonesia oleh Asrizal Nur dan Ravelz Guchi, musik diaransemen oleh Dika dan penyanyi oleh penyanyi-penyair dari Sanggar Semenanjung binaan Yayasan Panggung Melayu, antara lain MD Farhan dan Andrigo.

‘’Semoga Puisi Indonesia dapat menjadi sumber inspirasi memajukan kebudayaan Indonesia yang modern, literat dan merdeka. Dan terus dirayakan setiap tahunnya dari masa ke masa,’’ ungkap Ketua Yayasan Panggung Melayu Asrizal Nur yang juga penggagas Pekan Hari Puisi Indonesia tersebut.

Pekan Hari Puisi Indonesia 2013 menjadi helat sastra terbesar sepanjang lima tahun terakhir. Di samping agenda yang cukup banyak tujuh agenda yakni Sayembara Kritik Buku Sastra diikuti 20 peserta, Sayembara Buku Kumpulan Puisi diikuti 130 judul buku yang dikirim penyair seluruh Indonesia, Lomba baca Puisi se-Indonesia diikuti 250 peserta, Renungan dan Doa Milad 1 Hari Puisi Indonesia diikuti 15 Komunitas, Seminar Hari Puisi, Tadarus Puisi diikuti 25 penyair se Indonesia dan Malam Anugerah Hari Puisi Indonesia diikuti oleh dua pejabat, 10 Penyair Indonesia, 30 Penari prosesi Anugerah Hari Puisi Indonesia, 20 orang Penyanyi Lagi Mars Hari Puisi dan malam puncak ini dipenuhi sesak oleh penonton.

Sosok di balik kesuksesan helat itu adalah Ketua Yayasan Panggung Melayu Asrizal Nur dan kawan-kawan. Dengan kerja satu bulan berjibaku dengan biaya terbatas oleh sponsor terbatas yakni dari Dirut. Indopos yang juga Pembina Yayasan Sagang, Rida K liamsi acara besar bernama Pekan Hari Puisi Indonesia 2013 selama seminggu dapat terlaksana dengan sukses.

‘’Banyak Negara di dunia ini telah memiliki hari puisi sebagai spirit kebangsaan, tak terkecuali Vietnam, negara baru bangkit usai hirukpikuk perang dan beberapa negara lainnya bahkan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pun pada 1999 sudah mencanangkan, bahwa tanggal 21 Maret sebagai Hari Puisi Dunia, sedangkan Indonesia  negara yang didirikan oleh puisi pendek bernama Sumpah Pemuda belum memiliki hari puisi,’’ urai Asrizal.

Mengingat pentingnya bangsa Indonesia memiliki Hari Puisi, sebagai negara yang berkebudayaan luhur dan dilahirkan oleh puisi sebagai spirit kebangsaan, maka tepat 22 November 2012 diprakarsai oleh Rida K Liamsi, Agus R Sarjono, Asrizal Nur, Ahmadun Y Herfanda, Maman S Mahayana, Kazzaini KS, Jamal D Rahman dan didukung oleh penyair dari Aceh hingga Papua mendeklarasikan Hari Puisi Indonesia di Pekanbaru. Deklarasi dibacakan Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri didampingi 40 penyair se Indonesia.

Pada Deklarasi Hari Puisi tersebut disepakati dirayakan tiap tahun pada 26 Juli, diambil dari hari lahir Chairil Anwar sebagai apresiasi dan penghargaan atas dedikasi kepenyairan beliau.

Tentu, upaya untuk memasyarakatkan sastra, khususnya puisi, tidak cukup hanya sampai deklarasi. Hari Puisi Indonesia perlu dirayakan tiap tahun agar memasyarakatan puisi makin maksimal sebagai spirit kebangsaan dan memperkuat karakter kebangsaan.

Dengan dasar pemikiran tersebut, maka Yayasan Panggung Melayu (YPM) bekerja sama dengan Yayasan Sagang, Harian Indo Pos, Dewan Kesenian Jakarta, Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Jurnal Sajak, menggelar serangkaian acara puisi, diberi nama Pekan Hari Puisi Indonesia.

Sejarah Hari Puisi Indonesia
Indonesia dilahirkan oleh puisi yang ditulis bersama sama oleh para pemuda dari berbagai wilayah tanah air. Puisi pendek itu adalah sumpah pemuda. Peristiwa ini memberi dampak yang panjang dan luas bagi imajinasi dan kesadaran rakyat nusantara. Semula membawa misi kedaerahan seperti Muhammad Yamin yang menulis puisi memuja Sumatra, dalam rangka Sumpah Pemuda menulis puisi indonesia ‘’Tumpah Darahku’’. Kemudian para penyair secara meyakinkan menulis puisi-puisi dalam bahasa Indonesia mengisi kesadaran bangsa, mereka adalah Rustam Efendi, Je Tatengkeng ,Sutan Takdir Ali Syahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane dan lain-lain.

Karya demi karya bermunculan dari berbagai daerah menulis dalam bahasa Indonesia. Mengantarkan Bangsa Indonesia meraih kedaulatan sebagai bangsa yang merdeka. Bahasa Indonesia adalah pilihan yang sangat nasionalistis, dengan semangat itu pula para penyair menulis dalam bahasa Indonesia sehingga puisi secara nyata ikut membangun kebudayaan Indonesia. Nasionalisme kepenyairan ini kemudian mengental pada Chairil Anwar yang dengan spirit kebangsaan berhasil meletakkan tonggak utama tradisi puisi indonesia modern.

Deklarasi Hari Puisi Indonesia
Bermula pertemuan Rida K Liamsi dan Agus R Sarjono di Vietnam ketika diundang dalam Festival Asia Pasifik dalam rangka Hari Puisi di Vietnam ke-11, kemudian membincangkan tentang Hari Puisi Indonesia, lalu gagasan itu disampaikan kepada penyair dan Organizer Budaya Asrizal Nur, Penyair Ahmadun Yosi Herfanda, kritikus sastra Maman S Mahayana, Ketua Dewan Kesenian Riau Kazzaini Ks saat mereka berjumpa dalam acara sastra di Hankuk University Korea Selatan. Sepulang ke Indonesia  Asrizal Nur menghubungi Ahmadun Yosie Herfanda, Agus R Sarjono dan Jamal D Rahman mengingat kembali dan segera bergerak mewujudkan gagasan Hari Puisi Indonesia tersebut dengan dimulai melaksanakan Deklarasi Hari Puisi Indonesia sebagai pintu gerbangnya.

Kemudian dengan gerakan cepat, persiapan Deklarasi Hari puisi segera dilaksanakan dengan membagi tugas, Asrizal Nur (Ketua Yayasan Panggung Melayu) mengonsep penyelenggaraan, Kazzaini Ks (Ketua Dewan Kesenian Riau) menyiapkan penyelenggaraan sebagai tuan rumah di Pekanbaru, Ahmadun Yosie Herfanda (Ketua Komunitas Sastra Indonesia) menghubungi rekan-rekan penyair seluruh Indonesia. Agus R Sarjono menyiapkan draft Deklarasi dan kemudian disempurnakan bersama-sama Jamal D Rahman, Ahmadun Y Herfanda dan Asrizal Nur dan akhirnya tepat pada Senin 5 November pukul 2.36 WIB dini hari teks deklarasi Hari Puisi Indonesia dan rancangan lainnya pun berhasil disusun.

Diantaranya mengusulkan tanggal lahir Chairil Anwar  26 Juli menjadi Hari Puisi Indonesia dan siap dimusyawarahkan pada pertemuan penyair indonesia di Pekanbaru, 22 November 2012 yang telah dijadwalkan oleh Dewan Kesenian Riau, dan pada saat itu pula diciptakan logo hari Puisi Indonesia oleh Asrizal Nur dan Hari Ambari yang disetujui oleh Rida K liamsi dan kawan-kawan inisiator lainnya.

Kemudian Deklarasi Hari Puisi Indonesia diselenggarakan dimulai dengan Musywarah Penyair seluruh Indonesia di Pekanbaru 23 Nopember 2012 tepatnya di hotel Grand Elite oleh penyair dari Aceh sampai Papua. Pada hari Sabtu malam 24 Nopember 2012, tepatnya di Anjung Seni Idrus Tintin diperkarsai oleh Dewan Kesenian Riau di bawah pimpinan Kazzaini Ks, sejarahpun dimulai dengan pembacaan puisi oleh penyair seluruh Indonesia dan kegiatan puisi lainnya, dintaranya pembacaan puisi oleh Gubernur Riau.

Detik bersejarah pun tercatat, Pembacaan Deklarasi  Hari Puisi Indonesia pun tiba, penyair seluruh Indonesia mempercayakannya kepada Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bahri untuk membaca teks yang kelak bersejarah itu, Deklarasi Hari Puisi pun bergema.

Dengan telah dibacakannya Deklarasi Hari Puisi Indonesia, Sejarahpun telah dicatat Indonesia telah memiliki Hari Puisi Indonesia, namun tanggung jawab melaksanakan hari puisi Indonesia ada di depan muka. n

Sumber: Riau Pos, Minggu, 4 Agustus 2013
Sumber http://cabiklunik.blogspot.com/2013/08/pekan-hari-puisi-indonesia.html
Selengkapnya: Pekan Hari Puisi Indonesia: Memartabatkan Puisi

Hari Puisi Indonesia, Mengenang Binatang Jalang

Thursday, 8 August 2013

Oleh Musa Ismail

PADA suatu ketika, Chairil Anwar pernah berkata kepada isterinya, mengenai cita-citanya. ‘’Gajah, kalau umurku panjang aku akan jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,’’ katanya. (Panggilan kesayangan terhadap isterinya (Hapsah Wiriaredja) adalah Gajah karena badannya gemuk).

‘’Ah, kalau umurmu panjang, kamu bakal masuk penjara,’’ gurau isterinya. Kemudian, Chairil melanjutkan lagi.

‘’Tapi, kalau umurku ditakdirkan pendek, anak-anak sekolah akan berziarah ke kuburku menabur bunga,’’ demikian katanya.

***

Hari itu, 26 Juli 1922, Chairil Anwar lahir. Penanggalan kelahirannya ini, menjadi penanggalan bersejarah sehingga lahirlah Hari Puisi Indonesia (HPI) yang diprakarsai penyair dan novelis Rida K. Liamsi dan Agus R Sarjono. Penetapan hari kelahiran Chairil Anwar sebagai HPI sungguh berdasar jika kita lihat ketotalannya di dalam dunia kepenyairan dan kemerdekaan berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia menjadi lebih hidup, merdeka, liar, dan mampu membuncahkan nasionalisme.

Hari itu, 24 April 1949, Chairil ‘binatang jalang’ Anwar telah ‘’pergi’’ meninggalkan dunia baka di tengah gerimis siang hari. Seorang penyair agung yang pernah ada di tanah air. Kalau disebut dan dipertanyakan siapakah Chairil Anwar, orang cepat-cepat menjawab sekaligus membacakan puisi berjudul ekspresionis ‘’Aku’’, yang dilahirkannya dalam usia baru sekitar 21 tahun.

“Aku mau hidup seribu tahun lagi” kata si binatang jalang itu dalam ekspresi keakuannya pada 1943. Kedewasaannya memilih diksi sehingga menghasilkan larik-larik mapan (establishment) dalam puisi-puisinya. Penulis ‘’Derai-Derai Cemara’’ ini juga dianggap sebagai pelopor Angkatan 45 dalam periodeisasi kesusastraan Indonesia. Dalam kurikulum lembaga pendidikan formal, para pelajar diperkenalkan dengan penyair ini dan karyanya. Sangkaan Chairil memang benar. Anak-anak sekolah akan senantiasa ‘berziarah’ melalui karya-karyanya. Di dalam kelas, Chairil diperkenalkan oleh para guru kepada pelajar sebagai penyair yang vitalitas. Bukan hanya sebatas perkenalan, tetapi juga melakukan analisis terhadap karya sastranya.

Kita tidak hanya membicarakannya melalui karya-karya, tetapi juga mempergunjingkan lewat biografi-nya. Itulah bukti nyata seperti apa yang dikatakan oleh Scholes, ‘’Cogito ergo sum’’. Artinya, ‘’Akulah tulisan yang kuhasilkan, akulah tulisan itu sendiri’’. Chairil telah berkreativitas di dunia sastra. Beliau dapat disebut orang yang telah mengembangkan pendapat ‘’cogito ergo sum’’. Dari larik-larik puisi ‘’Aku’’, tergambar vitalitas dan kejalangan Chairil. Dia merupakan simbol seniman besar Indonesia.

Sapardi Djoko Damono pernah menulis tentangnya dengan judul Chairil Anwar Kita. Dalam tulisannya itu dikatakan, bukan seperti Rustam Effendi, Sanusi Pane, atau Amir Hamzah. Chairil dianggap memiliki seperangkat ciri seniman khusus, yaitu: tidak memiliki pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, selalu kekurangan uang, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan. Dari ciri-ciri itulah, lahir semacam anekdot yang berlaku untuk semua seniman. Masyarakat beranggapan bahwa seniman tidak berminat mengurus jasmaninya dan sering tergoda dengan khayalannya: bohemian.

‘’Aku mau hidup seribu tahun lagi’’ kata Chairil. Tetapi sayang, dia meninggal dalam usia relatif muda. Chairil mewariskan semboyan masa depan; suatu masa yang akan kita lalui bersama untuk mencapai tujuan ke arah suatu perubahan. Chairil meninggalkan kita setelah waktu kepenyairannya menggapai puncak, tetapi ‘’kerja belum selesai/belum apa-apa,’’ itu katanya. Dengan usia yang muda, dia telah mencapai titik kulminasi kepenyairannya. Situasi dan kondisi ini memungkinkan kita untuk melakukan pembahasan lebih intensif tentang keberadaanya di dunia seni (baca: sastra).

Tanpa kita sadari, kadang-kadang masyarakat awam mengutip beberapa larik puisi Chairil. Kutipan larik puisinya dihidupkan kembali di atas mimbar pidato atau spanduk-spanduk. Apalagi pada zaman penjajahan Jepang. Ketika itu, negara kita berjuang keras untuk menumpas penjajahan. Sekarang pun, semboyan itu merupakan kalimat-kalimat mutiara yang sering dimunculkan. Kita sering mendengar kalimat ‘’Aku masih tetap sendiri’’, yaitu merupakan kalimat penerimaan dari seseorang yang sedang menjalani fase percintaan (puisi berjudul ‘’Penerimaan’’). Seruan ‘’Merdeka!’’ tergambar dalam puisinya yang bertajuk ‘’Merdeka’’, yang menggambarkan ekspresi dan keinginan hidup dalam alam kebebasan. Merdeka dari semua belenggu kehidupan.

Larik yang lain adalah ‘’Hidup hanya menunda kekalahan’’ yang terdapat dalam puisi ‘’Derai-Derai Cemara’’. Kekalahan terakhir adalah kematian. Hanya semangat kehidupanlah yang dapat memperlambat datangnya kematian. ‘’Sekali berarti sudah itu mati’’, merupakan larik yang berpretensi agar manusia berbuat sesuatu yang penuh berarti dalam kehidupan sebelum dijemput maut. Masih banyak larik-larik puisi Chairil yang sempat dijadikan semboyan. Larik-larik puisinya dicabik-cabik dari konteks sebenarnya secara utuh, yang disesuaikan dengan objek pembicaraan.

Tidak heran jika Agus R Sarjono berpendapat bahwa nama Chairil yang besar nampaknya lebih dimungkinkan oleh sajak-sajaknya yang berjenis sastra mimbar seperti ‘’Aku’’, ‘’Catatan Tahun 1946'’, ‘’Perjanjian dengan Bung Karno’’, dan ‘’Kerawang Bekasi’’ (saduran dari sajak ‘’The Young Dead Soldiers’’ karya Archibald MacLeish). Sastra Mimbar, kata Agus, ditandai beberapa ciri, yaitu temanya cenderung merupakan tema-tema zaman. Puisi-puisi dalam jenis Sastra Mimbar cenderung berisi akupublik, berlatar sosial yang dahsyar seperti revolusi, perang, dan sejenisnya.

Sikap setia Chairil terhadap dunianya sangat jelas tergores dalam puisi-puisi dan surat-suratnya yang ditujukan kepada H.B. Jassin. Kesetiaan ini juga merupakan suatu keistimewaan Chairil karena tidak sedikit penyair yang justru terputus dari kesetiaannya. Dunia yang selalu menjadi teman setia ‘binatang jalang’ ini adalah dunia kepenyairannya sebagai seniman (sastrawan sejati).

Sikap selalu saja berubah. Suatu kesetiaan seperti yang telah ditancapkan Chairil memang cukup sulit untuk mencarinya. Ini berarti bahwa telah tertanam suatu prinsip dalam kepribadian Nini (begitu panggilan akrab yang diinginkan Chairil, pen). Sebagai manusia, senantiasa menginginkan kesetiaan. Namun, sikap ini terkadang bertolak belakang dengan realita kehidupan sosial. Sikap idealis sering bertembung dengan keadaan nyata dalam kehidupan. Ternyata, Chairil memang istimewa.  Kesetiaannya itu dapat kita lihat dalam suratnya kepada HB Jassin berikut.

Jassin, dalam kalangan kita setengah-setengah, bersimaharajalela benar. Kau tentu tahu ini. Aku memasuki kesenian dengan sepenuh hati. Tapi, kini lahir aku yang hanya bisa mencampuri dunia kesenian setengah-setengah pula. Tapi, untunglah batin seluruh hasratku dan minatku sedari umur 15 tahun tertuju ke titik satu saja, kesenian.

 Chairil Anwar, dalam perjalanan di Jawa Timur (8 Maret 1944)

Isi surat Chairil tersebut telah memperlihatkan kepada kita tentang sikap kesetiaannya. Kesetiaannya sebagai seorang yang meminati dunia kesenian. Kemudian, di hari yang sama, tercatat Kartu Pos, 8 Maret 1994, Chairil melayangkan sepucuk surat lagi kepada kritikus sastra itu. Isinya sebagai berikut.

Jassin, tidak Jassin, aku tidak akan kembali ke prosa seperti dalam pidato di depan Angkatan Baru dulu! Prosa seperti itu sebenarnya membubung, mengawang tinggi saja, karena keintensiteitan menulis serasa aku mendera jadinya, tetapi tiliklah setelitinya sekali lagi, dengan prosa seperti itu aku tidak sampai ke perhitungan. Sedangkan maksudnya aku akan bikin perhitungan habis-habisan dengan begitu banyak di sekelilingku.

Prosaku, puisiku juga, dalamnya tiap kata akan kugali korek sedalamnya, hingga ke kernwoord, ke kernbeeld. (sudah kumulai dengan sajak-sajak penghabisan, ‘’Di Depan Kaca’’, ‘’Fortisimo’’, dll)...

Puisi memang telah menjadi pilihan terakhir Chairil. Baginya, prosa dalam arti sebenarnya adalah banyak penyimpangan dari batinnya sebagai penyair. Prosa telah mendera batinnya dan itu sangat dirasakan oleh dirinya sendiri. Karena itu, dia mengatakan kepada Jassin bahwa prosanya sama dengan puisi atau puisinya sama dengan prosa. Melalui puisi, Chairil menggali kehidupan manusia dengan ‘cangkul’ kata.

Pernyataan Chairil memang nyata tercermin dalam sikapnya sebagai penulis. Dia memperlihatkan aktivitas dan kreativitasnya di bidang puisi secara  maksimal jika dibandingkan dengan prosa. Keagungan namanya, berkat puisi-puisi yang telah dilahirkan dari resa dan minatnya sejak berusia lima-belas tahun. Dalam pandangannya, puisi merupakan lapangan yang lebih khas dan pas buat batin seorang penyair seperti dirinya.

Dengan sikap setia ini, Chairil telah dibawa angin kepiawaiannya menukilkan  larik-larik yang dewasa. Dalam kepiawaiannya sebagai penyair, tidak ada kerja asal-asalan dalam menggubah kata-kata. Pilihan kata (diksi) sering menjadi tumpuan utamanya dalam menulis puisi. Ketika Chairil melahirkan ‘’Aku’’, banyak sekali coret-moret perkataan yang dianggapnya kurang sesuai dengan kepribadian dan ekspresi yang diinginkannya.

Bagi Chairil, puisi merupakan dunianya. Keseimbangan antara pernyataan dan perbuatan dihasilkannya  secara teserlah dalam salah satu puisinya yang berjudul ‘’Rumahku’’ (27 April 1943). Mari kita simak kesetiaan ‘binatang jalang’ dalam dunia puisinya.

Rumahku dari unggun-timbun sajak/Kaca jernih dari luar segala nampak//Kulari dari gedong lebar halaman/Aku tersesat tak dapat jalan//Kemah kudirikan ketika senjakala/Di pagi terbang entah ke mana//Rumahku dari ungun-timbun sajak/Di sini aku berbini dan beranak//Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang/Aku tidak lagi meraih petang/Biar berleleran kata manis madu/Jika menagih yang satu//
Dalam ‘’Derai-Derai Cemara’’ Chairil berkata.
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah


Si ‘Binatang Jalang’ sudah menyerah. Ia pergi dengan meninggalkan reputasi; mulai dari anak kurang ajar sampai pada pencuri. Ia adalah seorang bohemian. Banyak orang mengira bahwa ia adalah seorang petualang kumuh. Tidak. Chairil selalu berpakaian rapi. Kerah kemejanya selalu kaku karena dikanji, bajunya senantiasa disitrika licin. Ia bahkan boleh dikatakan dandy. Orang ingat pada matanya yang merah. Ia tidak mengerikan. Ia adalah seorang periang dan seorang sahabat yang baik (Asrul Sani dalam ‘’Derai-Derai Cemara’’: xx).  Si ‘’Binatang Jalang’’ memang sudah menyerah. Selain reputasi, kepergiannya pun telah meninggalkan kesetiaan.

***

Chairil Anwar lahir di Medan, 26 Juli 1922. Ayahnya bernama Toeloes dan ibunya adalah Saleha. Kedua orangtuanya berasal dari Sumatera Barat. Dia meninggal pada usia 26 tahun 9 bulan. Isterinya bernama Hapsah Wiriaredja, lahir di Cicuruk, Sukabumi, pada 11 Mei 1922. Kedua orangtua isterinya berasal dari Jawa Barat. Isterinya bekerja di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan hingga pensiun, meninggal dalam usia 56 tahun (9 Mei 1978). Dalam keluarga, panggilan akrab Chairil Anwar adalah Nini. Kepada isterinya, Chairil berpesan begini, ‘’Eva jangan diajari panggil aku papa, tapi Nini, atau Chairil saja.’’ Chairil Anwar hanya meninggalkan satu anak perempuan bernama Evawani Alissa.

Ayahnya, Toeloes, berasal dari kenegerian Taeh, 50 Kota (Sumbar), yang bekerja sebagai pamongpraja di Sumatera Utara. Pada zaman revolusi kemerdekaan, ayahnya menjadi Bupati Indragiri, keresidenan Riau. Sedangkan ibunya, berasal dari Koto Gadang (Sumbar), yang masih memiliki pertalian keluarga dengan ayah Sutan Sjahrir.

Masa kanak-kanak hingga masa remaja Chairil dihabiskan di kota kelahirannya, Medan. Dia masuk sekolah Belanda HIS (Hollands Inlandsche School, setingkat SD). Di sana, Chairil kecil sudah menampakkan diri sebagai siswa cerdas dan berbakat dalam menulis. Kemudian, Chairil melanjutkan sekolahnya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setingkat SLTP). Ketika di kelas dua, pada usia 19 tahun, Chairil hijrah ke Jakarta mengikuti ibunya, sebagai protes terhadap ayahnya yang menikah lagi dan bercerai dengan ibunya. Karena kesulitan ekonomi pada masa kolonial Jepang tahun 1942, akhirnya Chairil putus sekolah.

Di masa putus sekolah itu, Chairil tidak putus belajar. Di Jakarta, daia mengisi waktunya dengan membaca sebanyak-banyaknya karya sastra Indonesia, Belanda, Jerman, Inggris, Amerika, dan berbagai terjemahan sastra dunia.  Sebagai pelajar MULO, otomatis Chairil menguasai tiga bahasa asing, yaitu Belanda, Inggris, dan Jerman secara aktif. Bahasa daerah yang dikuasainya adalah bahasa Minang. Ketiga bahasa asing inilah yang mengantarkan Chairil pada karya-karya sastrawan dunia sebagai rujukan yang berhasil disadur dan diterjemahkan. Keberhasilannya menyadur dan menerjemahkan karya puisi dan cerpen Andre Gide, John Steinbeck, Rainer Maria Rilke, Ernest Hemingway, W.H. Auden, Conrad Aiken, John Cornford, Hsu Chih-Mo, Archibald Macleish, Willem Elsschot, H. Marsman, Edgar du Perron, J. Slauerhoff, dan lain-lain, telah menyudutkan Chairil pada kleim kritikus sastra sebagai plagiator, penyadur, atau penerima pengaruh berat dari karya-karya itu.

Chairil semakin memperlihatkan kematangannnya sebagai penyair yang menyerahkan hampir seluruh perjalanan kehidupannya dengan penuh kesetiaan untuk sastra. Di antara kredo penciptaan puisinya yang sangat menarik adalah,Puisiku tiap kata akan kugali-korek sedalamnya hingga ke kernwoord, ke kernbeeld. Dalam Pidato Radio tahun 1946, Chairil menegaskan kembali pendapatnya, bahwa sebuah sajak (puisi) yang menjadi adalah suatu dunia. Dunia yang dijadikan, diciptakan oleh si penyair.

Tiga kumpulan puisi Chairil, yaitu Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949), atau Tiga Menguak Takdir (1950kumpulan puisi bertiga dengan Asrul Sani dan Rivai Apin), merupakan sejumlah puisi yang selama bertahun-tahun hidup dan memompakan antusiasme dalam sejarah sastra Indonesia, sekaligus referensi yang telah memasuki lubuk teks dunia pendidikan dan bidan kajian sastra. Chairil juga menjadi bagian tersendiri dalam kajian atau penelitian mengenai sastra yang ditulis sastrawan Indonesia. Terjemahan puisinya dalam bahasa Inggris adalah Selected Poems of Chairil Anwar (1962) dan The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar (1970) oleh Burton Raffel, The Complete Poems of Chairil Anwar (1970) oleh Liauw Yock Fang, dan dalam bahasa Jerman adalah Feuer und Asche oleh Walter Karwath.

Nama Chairil Anwar mulai dikenal di lingkungan seniman dan budayawan Jakarta ketika ia berusia 21 tahun 1943. Pada masa itu, ia sering datang ke kantor redaksi majalah Pandji Poestaka mengantarkan puisi-puisinya. Pergaulannya dengan para sastrawan dan budayawan senior makin luas ketika ia kerap muncul di Keimin Bunka Shidoso, pusat kebudayaan yang diprakarsai oleh tentara pendudukan Jepang.

Chairil sempat bekerja menjadi redaksi majalah Gema Suasana (1948). Ia hanya bertahan selama tiga bulan di sana (Januari-Maret), kemudian kelua dan bekerja di mingguan berita Siasat. Di sana, ia menjadi anggota redaksi ruang kebudayaan Gelanggang bersama Ida Nasoetion, Asrul Sani, dan Rivai Apin. Dia salah seorang pemikir yang memberikan kontribusi lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang.

Untuk menghormati kepenyairan Chairil, Dewan Kesenian Jakarta memberikan Anugerah Sastra Chairil Anwar, pertama kepada Mochtar Lubis di tahun 1992 dan kedua kepada Sutardji Calzoum Bachri tahun 1998.

Chairil menikah dengan Hapsah Wiradiredja, 6 September 1946. Putri mereka satu-satunya adalah Evawani Alissa, lahir 17 Juni 1947. Eva tamatan Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, bekerja sebagai notaris di Jakarta.

Chairil Anwar cukup lama mengidap penyakit paru-paru. Pada akhirnya, di usia 26 tahun 9 bulan, beliau meninggal dunia. Warisan karyanya tidak terbilang besar, yaitu 70 puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Namun, dia telah mampu mengilhami kita untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, dan estetika dalam bahasa Indonesia yang penuh tenaga..

Seperti memenuhi makna yang profetik dalam bait puisinya: di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru angin, penyair utama ini meninggal pada 28 April 1949 dan dikebumikan di Pemakaman Karet. n

Musa Ismail, guru SMAN 3 Bengkalis.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 4 Agustus 2013
Sumber http://cabiklunik.blogspot.com/2013/08/hari-puisi-indonesia-mengenang-binatang.html
Selengkapnya: Hari Puisi Indonesia, Mengenang Binatang Jalang

Mastera: Menyoal Cerpen

Tuesday, 6 August 2013

Oleh F. Moses

PROGRAM Penulisan Majelis Sastera Asia Tenggara (Mastera): Cerpen Tahun 2013 sudah diberlangsungkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud, pada 24?30 Juni di Bandung.

Program itu diikuti oleh 20 peserta, mereka adalah Elida Nurhabibah (Sumatera Selatan), Mardiana K. (Jambi), Sartika Sari (Sumatera Utara), Yulizar Fadli (Lampung), Nana Sastrawan (Banten), Encep Abdullah (Banten), Suantoko (Jawa Timur), M. Thobroni (Kalimantan Timur), dan Fadriah Syuaib (Maluku Utara) mewakili Indonesia, bersama peserta dari Singapura; Cik Nur Shahirah Binte Mohamad Sha Hir, Cik Erdiah Binte Samad, dan Encik Noorhaqmal Bin Mohammed Noor, serta peserta asal Malaysia; Encik Wahyu Budiwa Rendra A. Wahid, Puan Hazwani Rameli, Puan Hasni Jamali, dan Nurhaizah, dan juga peserta dari Brunei Darussalam; Abu Zar bin Abdullah, Awang Haji Ali Asnan bin Haji Pungut, Ainah bte Muhammad, dan Zawiyatun Ni'mah binti Mohamad Akir--penulisan cerpen itu juga turut dibimbing oleh enam cerpenis, antara lain Yanusa Nugroho (Indonesia), Nenden Lilis Aisyah (Indonesia), Gus tf Sakai (Indonesia), Awang Chong Ah Fok (Brunei Darussalam), Tuan Syed Mohd. Zakir Syed Othman (Malaysia), dan Encik Ishak bin Abdul Latif (Singapura).

Penguatan Cerpen

Dalam pelaksanaan kegiatan itu, Yanusa Nugroho bersaran bahwa hal paling mendasar adalah penguatan teknik-teknik dasar pembuatan cerpen, seperti tema, penokohan, konflik, plot serta latar. Cerpen-cerpen realis diharapkan lebih dahulu ditulis oleh penulis (jika boleh dikatakan pemula) agar mereka memahami hal-hal mendasar tersebut. Sedangkan unsur-unsur bahasa, seperti stilistika juga penting, hanya ia menyarankan, bahasa yang indah akan menjadi hal yang sia-sia jika tidak disertai dengan kekuatan struktur dasar suatu cerpen.

Dalam sesi itu, SGA juga banyak memberi peluang kepada peserta untuk tanya-jawab menyoal cerpen dan hal lain yang menyangkut cerpen. Dalam sesi itu, di antaranya ada peserta bertanya tentang bagaimana teknik yang digunakan bilamana bercerita tentang perihal tema yang tidak pernah terjadi di dunia sebenarnya (nyata), tapi di dunia fiksi itu ada, katakanlah cerita surealis. Atas pertanyaan tersebut, SGA singkat menjawab bahwa cerita yang baik, meski tidak atau belum terjadi di dunia sebenarnya, mestilah terdapat ?konsensus?. Maksudnya, aturan instrinsik (alur, tokoh, latar, tema, serta pesan yang hendak disampaikan) cerpen tetaplah mesti ada.

Satu contoh adalah cerita Tentang Hanoman Menelan Matahari. Juga sebagaimana SGA pernah membikin judul Sepotong Senja Buat Pacarku, Rembulan dalam Capuccino, dan bentuk lain yang bisa dibilang surealis. Anggaplah bak hal yang tak akan pernah terjadi di muka bumi ini.

Menyoal bagaimana membuat cerpen yang berkualitas. SGA lantang mengatakan ?Pokoknya selalu ditembak beres.? Maksudnya, tugas penulis tetaplah menulis.

Menulis dengan cara langsung mengalir dari ide yang sudah terpendam (terperam). ?Cerpen harus bertindak seperti serangan,? katanya. Maksud dari perkataan SGA itu tak lain bahwa menulislah langsung dari maksud yang sudah terpikirkan. Perkara edit adalah hasil akhir. Edit dimaksud, di antaranya adalah bentuk dan pilihan kata, penalaran jalannya penceritaan, serta mengoreksi rasa kata bilamana ada yang dirasa keliru dan tidak keliru.

Selain menulis cerpen, SGA yang juga menulis novel, di antaranya Biola Tak Berdawai dan Negeri Senja. Menyoal novel, ia punya pandangan tersendiri; anggapnya novel itu tak selalu dan mesti dianggap cerita yang panjang. Baginya, novel adalah sebuah komposisi?yang tentunya cerpen berbeda dengan novel. Cerpen ditulis pendek, sementara novel ditulis panjang. Maksud panjang-pendek bukanlah semata secara fisik, melainkan ?muatan pemadatan?.

Bila cerpen bergerak lurus, sementara novel ?boleh berkelok-kelok?. Terpenting, menulis cerpen mesti dibikin ?mana yang lebih dianggap penting?. Maksudnya, ide maupun pilihan kata untuk mendukung jalannya penceritaan mestilah selektif dengan benar.

Kemudian cerpen juga mestilah sesuatu yang kontradiktif atau bisa dikatakan ironi. Lalu, sastra, dalam hal ini cerpen harus menjadi sesuatu yang ?ajaib? dan ?aneh?. Jadi, bikinlah cerpen yang sungguh-sungguh berbeda. Baik menawarkan keperbedaan dari cerpen lainnya maupun realitas fiksi yang ditawarkan.

Dalam motif menulis pun, SGA juga membeberkan titik pentingnya sebagai penulis; bahwa sejauh ia merasa ?tersentuh? dan membuatnya ?marah?-lah pemantiknya. Sebagaimana kejengkelannya pada tragedi Mei ?98. Banyak pengomporan terjadi di masyarakat untuk memerkosa, membakar, dan menjarah. Dari situlah SGA berang, hingga di antaranya melahirkan cerpen Clara Atawa Wanita yang Diperkosa. Tak hanya Clara, tapi juga cerpen-cerpen beraroma peristiwa Mei ?98. Cerpen yang baginya adalah usaha untuk memasukkan unsur fakta dalam fiksi.

Bagi SGA, menulis cerpen seperti memaparkan fenomena kenyataan yang dapat diendus, juga dibenturkan oleh pertanyaan menyoal sejauh mana tanggung jawabnya sebagai penulis. Intinya paling merasa aneh dan bersalah kalau tak menulis. Sekali lagi, seorang penulis itu setingkat nyawa; dan itulah keseriusan menulis. Jawabnya singkat.

Paling penting lagi, ia selalu bilang bahwa setiap orang yang punya obsesi menulis mestilah membaca dan membaca; tinggal memilih dari ?bursa artistik? mana yang hendak diserap penulis itu. Sebab, jika hendak mendapatkan format estetik itu mestilah ada pergulatan hidup yang total. Karena pergulatan kita, ya, hanya dengan hidup, kata SGA.

Syahdan, bebaskanlah seorang penulis itu untuk menjadi dirinya sendiri. Intinya, tiap kata atau kalimat pertama yang melintas atau tertulis itu harus ?diancam?.

Terakhir, seorang penanya mempertanyakan lagi, soal bagaimana mempertahankan mood. SGA menjawab, kalau menulis itu juga mesti banyak waktu yang dikorbankan. Orang besar mestilah berjiwa besar. Yang penting jangan lapar, itu satu hal penting, katanya sambil terkekeh.

F. Moses, cerpenis

Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 Agustus 2013
Sumber http://cabiklunik.blogspot.com/2013/08/mastera-menyoal-cerpen.html
Selengkapnya: Mastera: Menyoal Cerpen

 
 
 

Postingan Terbaru

Komentar Terbaru

Recent Comments Widget

Trafik

Total Dilihat

 
Kembali ke atas